Faisal dengan sengaja mensejajari langkah Fahira yang sedang berjalan menuju parkiran sepeda. “Kata Mayang kamu lagi nyari apartemen?” tanya Faisal saat sudah berjalan di sebelah Fahira. Fahira menghentikan langkahnya. ‘Duh, Mayang kenapa ember, sih?’ batin Fahira. “Aku baca di grup. Dia posting nyari rumah. Aku tebak, pasti buat kamu,” tutur Faisal seperti memberi jawab penasaran Fahira. Faisal tahu, kalau tidak diklarifikasi, pasti Fahira akan memarahi sahabatnya itu. Sedikit banyak, Faisal mulai memahami Fahira yang makin tertutup untuk urusan pribadinya. Perut Fahira sudah mulai membuncit. Fahira ingin segera pindah tempat tinggal di saat kandungannya belum terlalu besar. Dia memilih mencari tempat tinggal di dekat centrum yang mudah akses kemana-mana. Membeli barang kebutuhan sehari-hari dekat. Apalagi jarak centrum ke kampus hanya sekitar 1 km. Bisa ditempuh jalan kaki jika dia sudah tak kuat bersepeda. Bukankah itu bagus untuk kehamilannya? “Cari yang satu kamar saja sih
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Saat Fahira melahirkan sudah semakin dekat. Nun jauh di sana, Fahira sedikit demi sedikit mulai mencicil kepindahan di tempat barunya. Dia mulai belajar beradaptasi menghadapi kelak usai melahirkan. Tak ada suami mendampingi, kadang membuat hatinya melow. Namun, dia sering mendapatkan dukungan dari ibu-ibu muda dari Indonesia yang rata-rata pasangan dari pelajar Indonesia. Fahira banyak bertukar pengalaman dengan mereka. Dan mereka selalu memberi semangat."Nggak usah risau. Hamil dan melahirkan jauh dari keluarga tidak masalah. Bidanmu akan siaga saat waktu sudah dekat. Begitu juga kraamzorg. Kami juga insyaalloh ready kapan kamu butuhkan." Begitu para ibu muda yang kadang mereka sengaja berkumpul di taman menemani balitanya bermain. Fahira akhir-akhir ini suka bergabung demi mendapatkan banyak nasehat dan tukar pengalaman dari mereka. Sementara di Jakarta, Bayu masih berjuang untuk berdamai dengan keadaan. Nabila yang kini menunjukkan s
Fahira sangat senang kedua orangtuanya akhirnya tiba di Belanda. Fahira sengaja menjemput ayah dan ibunya di bandara. Setelah turun dari kereta, Fahira dan kedua orang tuanya melanjutkan naik bis menuju apartemen Fahira. Kebetulan, halte bis terletak tepat di depan apartemennya. “Selamat datang, Ayah, Ibu,” ujar Fahira begitu masuk unit apartemen mungilnya. Ada satu kamar tidur, satu ruangan besar yang menyatu dengan dapur. Di sana ada sofa sekaligus sofa bed dan juga satu set meja makan. Pemandangan dari kamar Fahira adalah pusat kota. Fahira segera menghangatkan makanan yang sudah disiapkan sejak sebelum berangkat ke bandara, seraya menunggu ayah ibunya membersihkan diri bergantian di kamar mandi.“Ayah dan ibu nanti istirahat dulu ya. Fahira ada kuliah. Nanti habis kuliah, Fahira langsung pulang. Besok baru kita jalan-jalan,” ujar Fahira bersemangat sambil menyelesaikan sarapannya. Ayah dan Ibu Fahira sangat senang. Kondisi Fahira yang sehat dan tak tampak lemah, meskipun dengan
“Gimana ya, Mbak. Apa aku jual saja rumah dan mobilku saja, ya?” tanya Bayu pada Wulan. Satu-satunya orang yang bisa dimintai pertimbangannya.Setiap membezuk, mamanya, selalu menanyakan Fahira. Rasa bersalah masih saja menyelimuti benak mertua Fahira itu. Bukan Bayu tak mau menyusul Fahira, tapi banyak hal yang mesti dipertimbangkannya, terutama urusan finansial. Belum lagi urusan Nabila yang harus ditinggalkannya. Tidak mungkin meninggalkan Nabila tanpa memberinya nafkah.“Terus, nanti kalau Fahira pulang, kalian mau tinggal dimana? Pikir baik-baik. Bukan dengan emosi.” Wulan mencoba menasehati. “Atau, aku jual dulu rumah itu. Kalau sudah laku, uangnya aku pakai untuk membeli rumah yang ukurannya kecil secara cash. Jadi, aku tak perlu repot memikirkan cicilannya selama aku tidak ada,” lanjut Bayu. Wulan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak menyangka. Adiknya yang dulu jadi kebanggan. Cerdas. Lulusan perguruan tinggi ternama. Kini mengalami dilema. Tapi biarlah. Dia harus bela
Bayu dan kedua orang tua Nabila tergesa menyusuri koridor unit gawat darurat rumah sakit yang disebutkan oleh penelpon. “Korban sudah di pindah ke ruang ICU, Pak,” ujar petugas medis yang ada di sana. "Tadi ada pihak keluarga korban yang bertanggungjawab yang menandatangani persetujuan pemindahan ruangan. Tapi, untuk administrasinya, silahkan diselesaikan terlebih dahulu," ucap petugas itu, sebelum Bayu dan Mertuanya bergegas ke ruang ICU. Tanpa pikir panjang, Bayu mengangguk dan menerima arahan petugas, kemana dia harus menyelesaikan administrasi. Matanya seketika melebar saat tahu jaminan yang harus dibayarkan. Memang rumah sakitnya sangat berkelas. Setara dengan kocek yang harus dirogoh."Silahkan, Mbak." Bayu menyerahkan kartu yang isinya uang yang selama ini dikumpulkan untuk berangkat menemui Fahira. Rupanya manusia hanya berencana. Tapi, Tuhan selalu punya kehendak yang harus diikuti."Terimakasih, Nak Bayu." Suara Papa Nabila yang berdiri di belakang Bayu. Pria itu juga mel
“Cukuplah kematian itu sebagai nasehat.”Artinya bahwa kematian sebenarnya sudahlah cukup menjadi nasehat agar manusia selalu ingat dan beribadah kepada Allah SWT, agar manusia menjauhi segala macam bentuk kemaksiatan. Bayu masih berdiri menatap pusara Nabila. Para pelayat sudah pergi. Hanya kedua orang tua Nabila yang masih terisak di sana. Dipejamkannya matanya. Baru beberapa bulan lalu papanya meninggal. Kini, istri sirinya pun menyusul. Maut menjemput tak kenal usia. Maut menjemput tak kenal amal yang sudah kita perbuat. Siapa yang menyangka Nabila akan dipanggil secepat itu. Saat Bayu baru saja menerima video yang tak seharusnya tersebar. Manusia tak berhak menghakimi sesama manusia yang lain. Bayu berharap, Nabila masih sempat bertaubat sebelum nyawa ditenggorokan. Bayu memejamkan kembali matanya. Mengingat pelajaran yang pernah dia dapatkan. Bahwa amalan manusia tergantung akhirnya. Bisa jadi saat ini kita jadi orang yang punya banyak cadangan amal kebaikan. Tapi, kita tak
Hati Fahira menjadi tersayat-sayat. Lelaki ini datang, bukannya memberikan pelukan, menanyakan kabar, tapi datang dengan amarah. Tapi, Fahira sadar. Lelaki mana yang tidak marah, jika istrinya didatangi pria lain saat dirinya tidak di rumah. Fahira menjadi serba salah. Bulir bening tak sadar mengalir di sudut mata Fahira. Wanita muda itu memilih beringsut dari depan Bayu. Sambil menyeduh teh panas, diusapnya air mata itu dengan lengan sweater rajut yang dipakainya. Sesekali dielusnya perut yang sudah membuncit. “Mas, minta maaf,” bisik Bayu lirih di telinga Fahira. Tanpa disadari, lelaki itu sudah berdiri di belakang Fahira. Tangan kanannya ikut mengusap perut Fahira. Fahira semakin merasa emosional. Dia semakin terisak. Tujuh bulan dia hidup sendiri di negeri orang dengan janin dalam kandungan, tapi pria ini bukannya berempati, justru menuduhnya yang bukan-bukan. Padahal, dia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga hatinya. Meski kadang, perasaan yang tak dapat diungkapkan itu tak te
Mata Bayu memanas.Petugas medis masih dengan tenang membantu persalinan Fahira.Namun, Fahira terlihat lemas, tak bertenaga. Selang darah dipasang untuk mengganti darah yang banyak keluar. Tak lama, Fahira tak sadarkan diri setelah berjuang mengeluarkan bayi mungil buah cinta mereka. Bayu menerima bayi merah yang disodorkan oleh perawat rumah sakit. Setelah mengumandangkan azan dan iqomah di kedua telinga bayi, Bayu kembali memberikan bayi itu kepada perawat yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Bayu bergegas untuk menghampiri Fahira. Rumah sakit ini terasa asing. Iya, sangat asing. Semua tulisan berbahasa Belanda, meski ada terjemahan dalam Bahasa Inggris. Semua pegawai termasuk dokter dan suster-susternya pun menggunakan Bahasa Belanda. Namun, jika berkomunikasi dengan Bayu, mereka bersedia memakai bahasa Inggris. Fahira masih terbaring dengan selang oksigen di hidung dan selang infus di tangannya. Matanya terpejam. Ada alat yang menghubungkan dengan indikator yang terpasang
EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan
"Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah
Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N
“Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan
“Fahira?!” Kedua pria itu saling berpandangan. Bayu segera menyeka air matanya. Ia memastikan yang di depan matanya betul Fahira, wanita yang ditinggalkannya enam bulan lalu, di negeri asing belasan ribu kilometer dari Jakarta. “Mas Bayu?! Itu kamu, Mas? Kamu Mas Bayu?!” Fahira tak percaya dengan sosok lelaki di depannya. Wajahnya tirus, matanya cekung, jambang halus memenuhi sisi kanan kiri wajahnya. Rambutnya gondrong. Benar-benar jauh berbeda dengan enam bulan lalu, saat dia meninggalkan Fahira. Dua pria di depannya kembali saling berpandangan. Fahira tak terlalu memperhatikan Faisal. Fokusnya hanya Bayu. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya lalu pergi begitu saja. “Fahira, jangan ke sini. Biarkan aku pergi.” Mendadak, Bayu membalikkan badannya, lalu ia berlari menjauh. Seolah tak mempedulikan apa yang di depannya, hingga tiba-tiba Bayu sudah tiba di jalan raya yang ada di ujung gang. Faisal dan Fahira saling menatap, karena tak mengira Bayu akan kabur. Begitu menyadari Ba
“Aku malu, Sal. Aku tak punya muka lagi. Ini semua salahku, Sal. Aku yang membuat mama sakit. Aku yang membuat mama meninggal. Semua karena aku. Aku yang telah membuat papa meninggal. Aku yang telah membuat Nabila meninggal. Aku yang membuat Fahira pergi.Andai saja aku tak memaksa mama dan papaku menyetujui aku menikah lagi dengan Nabila. Andai saja aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertemu Nabila. Andai saja aku tidak menutup hatiku dari Fahira saat itu….” Bayu tak dapat menahan uraian air matanya. Dia kembali tergugu dalam tangis penyesalannya. “Bay, semua sudah takdir…maut itu urusan Alloh. Bukan urusan kita sebagai manusia. Kamu sudah berusaha yang terbaik.” Faisal merangkul saudaranya, agar tenang. “Aku tidak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian mama. Aku tak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian papa. Aku ingin dia bahagia,” lanjut Bayu. Pandangannya kembali menerawang. Faisal menghela nafasnya, “Kembalilah ke Fahira. Dia wanita yang baik. Dia istri yang bai
“Faisal?!” guman Bayu. Mata Bayu melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamunya. Biasanya Bayu jarang keluar kamar. Hari ini, Wulan sedang keluar dengan Bi Darni. Setelah ketukan ke sekian, Bayu terpaksa beranjak dari kamarnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dipindainya lelaki muda yang berdiri di depan pintu. Ya, dia yang selama ini menjadi rivalnya dalam merebut hati Fahira. Tapi, siapa wanita muda yang bersama Faisal. Bukan. Dia bukan adik Faisal. Bayu tahu siapa adik Faisal. “Bayu?!” Faisal tak kalah kaget saat melihat Bayu yang sangat berubah. Penampilannya sangat tak terurus. Matanya cekung, pandangannya terlihat kosong, pipinya tirus dengan jambang halus. Sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga melewati bahu. Hampir dia tak mengenalnya. Tapi, mengapa, Bayu bisa berubah seperti ini. Kemanakah Fahira? Terakhir kali dia bertemu Fahira saat Fahira ujian tesis, tanpa Bayu. Setelahnya, Fahira seperti hilang ditelan bumi. Mayang satu-satunya yang