Fahira sangat senang kedua orangtuanya akhirnya tiba di Belanda. Fahira sengaja menjemput ayah dan ibunya di bandara. Setelah turun dari kereta, Fahira dan kedua orang tuanya melanjutkan naik bis menuju apartemen Fahira. Kebetulan, halte bis terletak tepat di depan apartemennya. “Selamat datang, Ayah, Ibu,” ujar Fahira begitu masuk unit apartemen mungilnya. Ada satu kamar tidur, satu ruangan besar yang menyatu dengan dapur. Di sana ada sofa sekaligus sofa bed dan juga satu set meja makan. Pemandangan dari kamar Fahira adalah pusat kota. Fahira segera menghangatkan makanan yang sudah disiapkan sejak sebelum berangkat ke bandara, seraya menunggu ayah ibunya membersihkan diri bergantian di kamar mandi.“Ayah dan ibu nanti istirahat dulu ya. Fahira ada kuliah. Nanti habis kuliah, Fahira langsung pulang. Besok baru kita jalan-jalan,” ujar Fahira bersemangat sambil menyelesaikan sarapannya. Ayah dan Ibu Fahira sangat senang. Kondisi Fahira yang sehat dan tak tampak lemah, meskipun dengan
“Gimana ya, Mbak. Apa aku jual saja rumah dan mobilku saja, ya?” tanya Bayu pada Wulan. Satu-satunya orang yang bisa dimintai pertimbangannya.Setiap membezuk, mamanya, selalu menanyakan Fahira. Rasa bersalah masih saja menyelimuti benak mertua Fahira itu. Bukan Bayu tak mau menyusul Fahira, tapi banyak hal yang mesti dipertimbangkannya, terutama urusan finansial. Belum lagi urusan Nabila yang harus ditinggalkannya. Tidak mungkin meninggalkan Nabila tanpa memberinya nafkah.“Terus, nanti kalau Fahira pulang, kalian mau tinggal dimana? Pikir baik-baik. Bukan dengan emosi.” Wulan mencoba menasehati. “Atau, aku jual dulu rumah itu. Kalau sudah laku, uangnya aku pakai untuk membeli rumah yang ukurannya kecil secara cash. Jadi, aku tak perlu repot memikirkan cicilannya selama aku tidak ada,” lanjut Bayu. Wulan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak menyangka. Adiknya yang dulu jadi kebanggan. Cerdas. Lulusan perguruan tinggi ternama. Kini mengalami dilema. Tapi biarlah. Dia harus bela
Bayu dan kedua orang tua Nabila tergesa menyusuri koridor unit gawat darurat rumah sakit yang disebutkan oleh penelpon. “Korban sudah di pindah ke ruang ICU, Pak,” ujar petugas medis yang ada di sana. "Tadi ada pihak keluarga korban yang bertanggungjawab yang menandatangani persetujuan pemindahan ruangan. Tapi, untuk administrasinya, silahkan diselesaikan terlebih dahulu," ucap petugas itu, sebelum Bayu dan Mertuanya bergegas ke ruang ICU. Tanpa pikir panjang, Bayu mengangguk dan menerima arahan petugas, kemana dia harus menyelesaikan administrasi. Matanya seketika melebar saat tahu jaminan yang harus dibayarkan. Memang rumah sakitnya sangat berkelas. Setara dengan kocek yang harus dirogoh."Silahkan, Mbak." Bayu menyerahkan kartu yang isinya uang yang selama ini dikumpulkan untuk berangkat menemui Fahira. Rupanya manusia hanya berencana. Tapi, Tuhan selalu punya kehendak yang harus diikuti."Terimakasih, Nak Bayu." Suara Papa Nabila yang berdiri di belakang Bayu. Pria itu juga mel
“Cukuplah kematian itu sebagai nasehat.”Artinya bahwa kematian sebenarnya sudahlah cukup menjadi nasehat agar manusia selalu ingat dan beribadah kepada Allah SWT, agar manusia menjauhi segala macam bentuk kemaksiatan. Bayu masih berdiri menatap pusara Nabila. Para pelayat sudah pergi. Hanya kedua orang tua Nabila yang masih terisak di sana. Dipejamkannya matanya. Baru beberapa bulan lalu papanya meninggal. Kini, istri sirinya pun menyusul. Maut menjemput tak kenal usia. Maut menjemput tak kenal amal yang sudah kita perbuat. Siapa yang menyangka Nabila akan dipanggil secepat itu. Saat Bayu baru saja menerima video yang tak seharusnya tersebar. Manusia tak berhak menghakimi sesama manusia yang lain. Bayu berharap, Nabila masih sempat bertaubat sebelum nyawa ditenggorokan. Bayu memejamkan kembali matanya. Mengingat pelajaran yang pernah dia dapatkan. Bahwa amalan manusia tergantung akhirnya. Bisa jadi saat ini kita jadi orang yang punya banyak cadangan amal kebaikan. Tapi, kita tak
Hati Fahira menjadi tersayat-sayat. Lelaki ini datang, bukannya memberikan pelukan, menanyakan kabar, tapi datang dengan amarah. Tapi, Fahira sadar. Lelaki mana yang tidak marah, jika istrinya didatangi pria lain saat dirinya tidak di rumah. Fahira menjadi serba salah. Bulir bening tak sadar mengalir di sudut mata Fahira. Wanita muda itu memilih beringsut dari depan Bayu. Sambil menyeduh teh panas, diusapnya air mata itu dengan lengan sweater rajut yang dipakainya. Sesekali dielusnya perut yang sudah membuncit. “Mas, minta maaf,” bisik Bayu lirih di telinga Fahira. Tanpa disadari, lelaki itu sudah berdiri di belakang Fahira. Tangan kanannya ikut mengusap perut Fahira. Fahira semakin merasa emosional. Dia semakin terisak. Tujuh bulan dia hidup sendiri di negeri orang dengan janin dalam kandungan, tapi pria ini bukannya berempati, justru menuduhnya yang bukan-bukan. Padahal, dia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga hatinya. Meski kadang, perasaan yang tak dapat diungkapkan itu tak te
Mata Bayu memanas.Petugas medis masih dengan tenang membantu persalinan Fahira.Namun, Fahira terlihat lemas, tak bertenaga. Selang darah dipasang untuk mengganti darah yang banyak keluar. Tak lama, Fahira tak sadarkan diri setelah berjuang mengeluarkan bayi mungil buah cinta mereka. Bayu menerima bayi merah yang disodorkan oleh perawat rumah sakit. Setelah mengumandangkan azan dan iqomah di kedua telinga bayi, Bayu kembali memberikan bayi itu kepada perawat yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Bayu bergegas untuk menghampiri Fahira. Rumah sakit ini terasa asing. Iya, sangat asing. Semua tulisan berbahasa Belanda, meski ada terjemahan dalam Bahasa Inggris. Semua pegawai termasuk dokter dan suster-susternya pun menggunakan Bahasa Belanda. Namun, jika berkomunikasi dengan Bayu, mereka bersedia memakai bahasa Inggris. Fahira masih terbaring dengan selang oksigen di hidung dan selang infus di tangannya. Matanya terpejam. Ada alat yang menghubungkan dengan indikator yang terpasang
“Mas….Mas!” Fahira mengguncang pundak Bayu.Lelaki yang tidur di sebelahnya itu masih teriak-teriak memanggil namanya. “Mas! Bangun, Mas,” ujar Fahira sambil meraih botol minum di atas nakas. Bayu mengerjapkan matanya. “Alhamdulillah, ya, Alloh,” seru Bayu sambil duduk. Refleks dia memeluk Fahira yang ada di depannya. Dia tak menghiraukan botol minum yang disodorkan kapadanya. “Sudah, Mas. Sesak,” ujar Fahira merenggangkan pelukan Bayu. “Minum dulu. Kamu mimpi buruk, ya,” tanya Fahira. Matanya menatap Bayu yang kembali ingin memeluknya. Namun, Fahira menggeleng dan menepisnya. Dia kembali menyodorkan botol minum pada Bayu. Bayu meneguk air putih dalam botol itu. Setelah menutup botol dan meletakkan kembali di nakas, Bayu kembali memeluk Fahira. Fahira tak lagi menolak. Dahinya mengernyit. Dia penasaran, kenapa suaminya. “Ra, berjanjilah padaku. Kamu tak akan meninggalkanku,” ujar Bayu mengiba. Bayangan Fahira meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya seperti tergambar nyata. B
[Ra, kamu harus revisi lagi nih. Discussion-nya kurang bisa menjawab Research Questionnya] Pesan Faisal masuk ke gawai Fahira.Fahira yang hendak tidur, terpaksa membuka kembali laptopnya. Beasiswa Fahira sebentar lagi habis. Dia harus bisa lulus tepat waktu. Jika tidak, dia harus mengandalkan uang tabungannya. Meskipun Bayu siang dan malam berusaha bekerja membanting tulang sebagai pekerja gelap, tapi tetap saja upahnya hanya cukup buat makan mereka sehari-hari. Sementara, kebutuhan sewa rumah dan bayar-bayar rekening seperti air, listrik, gas, internet, tidak lah murah. Beasiswa mahasiswa master tidaklah besar. Berbeda dengan beasiswa untuk mahasiswa PhD.Di Belanda, Master dianggap sebagai student, yang umumnya masih fresh graduate dan belum berkeluarga. Sementara PhD dianggap sebagai pegawai atau employee sehingga beasiswanya juga di sesuaikan dengan UMR.Jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 malam. Mata Fahira sudah lumayan lelah seharian lembur menulis thesis. Bukan hal yang