Mata Bayu memanas.Petugas medis masih dengan tenang membantu persalinan Fahira.Namun, Fahira terlihat lemas, tak bertenaga. Selang darah dipasang untuk mengganti darah yang banyak keluar. Tak lama, Fahira tak sadarkan diri setelah berjuang mengeluarkan bayi mungil buah cinta mereka. Bayu menerima bayi merah yang disodorkan oleh perawat rumah sakit. Setelah mengumandangkan azan dan iqomah di kedua telinga bayi, Bayu kembali memberikan bayi itu kepada perawat yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Bayu bergegas untuk menghampiri Fahira. Rumah sakit ini terasa asing. Iya, sangat asing. Semua tulisan berbahasa Belanda, meski ada terjemahan dalam Bahasa Inggris. Semua pegawai termasuk dokter dan suster-susternya pun menggunakan Bahasa Belanda. Namun, jika berkomunikasi dengan Bayu, mereka bersedia memakai bahasa Inggris. Fahira masih terbaring dengan selang oksigen di hidung dan selang infus di tangannya. Matanya terpejam. Ada alat yang menghubungkan dengan indikator yang terpasang
“Mas….Mas!” Fahira mengguncang pundak Bayu.Lelaki yang tidur di sebelahnya itu masih teriak-teriak memanggil namanya. “Mas! Bangun, Mas,” ujar Fahira sambil meraih botol minum di atas nakas. Bayu mengerjapkan matanya. “Alhamdulillah, ya, Alloh,” seru Bayu sambil duduk. Refleks dia memeluk Fahira yang ada di depannya. Dia tak menghiraukan botol minum yang disodorkan kapadanya. “Sudah, Mas. Sesak,” ujar Fahira merenggangkan pelukan Bayu. “Minum dulu. Kamu mimpi buruk, ya,” tanya Fahira. Matanya menatap Bayu yang kembali ingin memeluknya. Namun, Fahira menggeleng dan menepisnya. Dia kembali menyodorkan botol minum pada Bayu. Bayu meneguk air putih dalam botol itu. Setelah menutup botol dan meletakkan kembali di nakas, Bayu kembali memeluk Fahira. Fahira tak lagi menolak. Dahinya mengernyit. Dia penasaran, kenapa suaminya. “Ra, berjanjilah padaku. Kamu tak akan meninggalkanku,” ujar Bayu mengiba. Bayangan Fahira meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya seperti tergambar nyata. B
[Ra, kamu harus revisi lagi nih. Discussion-nya kurang bisa menjawab Research Questionnya] Pesan Faisal masuk ke gawai Fahira.Fahira yang hendak tidur, terpaksa membuka kembali laptopnya. Beasiswa Fahira sebentar lagi habis. Dia harus bisa lulus tepat waktu. Jika tidak, dia harus mengandalkan uang tabungannya. Meskipun Bayu siang dan malam berusaha bekerja membanting tulang sebagai pekerja gelap, tapi tetap saja upahnya hanya cukup buat makan mereka sehari-hari. Sementara, kebutuhan sewa rumah dan bayar-bayar rekening seperti air, listrik, gas, internet, tidak lah murah. Beasiswa mahasiswa master tidaklah besar. Berbeda dengan beasiswa untuk mahasiswa PhD.Di Belanda, Master dianggap sebagai student, yang umumnya masih fresh graduate dan belum berkeluarga. Sementara PhD dianggap sebagai pegawai atau employee sehingga beasiswanya juga di sesuaikan dengan UMR.Jarum jam hampir menunjukkan pukul 11 malam. Mata Fahira sudah lumayan lelah seharian lembur menulis thesis. Bukan hal yang
Pagi-pagi, Fahira langsung bergegas bangun. Pekerjaan semalam yang tertunda harus segera diselesaikan. Sementara Bayu pun sudah siap-siap untuk melaksanakan tugas sebagai loper koran di pagi hari. Sedikit receh lumayan membuatnya merasa sibuk dan berarti. Apalagi jika Fahira bersedia belanja menggunakan uangnya. Bayu sering teringat saldo tabungan Fahira yang ditransfernya sebagai uang bulanan selama dua tahun, hampir utuh selama hidup bersamanya. Kini Bayu tak ingin mengulangi kesalahan lama. Fahira dan Nayla harus makan dari hasil keringatnya. “Mas, kamu ngga ada rencana pulang?” tanya Fahira saat Bayu sudah datang. Dia merasa heran. Selama di Belanda, Fahira tak pernah melihat Bayu menghubungi keluarganya. Hanya sesekali menelpon mama dan Mbak Wulan. Nggak mungkin Bayu menelpon di luar rumah, karena selama ini Bayu hanya mengandalkan sambungan wifi apartemen. Fahira membuatkan teh panas untuk menghangatkan badan sembari memanggang roti dan mengolesinya dengan olesan keju dan
Fahira menggelengkan kepalanya. Tak percaya dengan pikirannya sendiri. Tak percaya dengan kenyataan yang dihadapi. Jadi, selama ini Bayu benar-benar tidak mencintainya. Jadi, Bayu datang kepadanya karena dia sudah kehilangan wanita yang dicintainya. Jadi, Bayu hanya menjadikannya pengganti wanitanya itu. Dada Fahira berdebar tak karuan. Dunia rasanya ingin runtuh. Kenapa saat dia merasa manis, kembali dia harus terhempas. Ini sama persis dengan peristiwa sebelum kepergiannya. Saat dia merasakan cinta dan jatuh cinta, di belakangnya, Bayu mencampakkannya. Kenapa harus seperti itu? “Ra—” “Cukup, Mas! Kamu memang dari dulu tak penah mencintaiku. Kamu tak pernah menghargaiku. Kamu tidak pernah menganggap aku ada!" Fahira berucap dengan suara bergetar. Nafasnya terengah-engah menahan sesak di dadanya. "Kamu hanya menganggapku sebagai pemberian orang tuamu semata. Saat orang tuamu memintamu kembali padaku, lantas kamu kembali. Coba kalau mereka tidak memintamu? Apa kamu akan mau k
“Mmm, kalau kamu bisa ujian bulan ini, di grupku sedang ada lowongan nyari PhD baru. Siapa tahu kamu minat. Biasanya, lulusan dari kampus kita, lebih diutamakan,” ujar Faisal. “He-emmm!” Belum sempat Faisal menjelaskan, Bayu sudah berdiri di belakang mereka. Lelaki itu berdeham untuk memberi isyarat bahwa dia mengetahui semuanya. Faisal menatap Bayu sekilas, mengisyaratkan kode yang pernah diucapkan dulu. Lalu dia memilih mengambil sepeda di parkiran, dan segera meninggalkan keduanya menuju kampus. Meskipun keduanya bersaudara, Faisal tak mau membuat masalah dengan Bayu. Bahkan, sejak Bayu datang ke Belanda pun, mereka memang seperti tak menunjukkan adanya ikatan darah. Bayu masih saja terlihat dihantui rasa curiga dan cemburu kepada Faisal, meskipun dibibirnya beberapa kali meminta maaf. Tapi tindakannya tetap tak berubah. Udara sudah mulai menghangat, tidak sedingin sebelumnya. Matahari juga mulai bersinar cerah. Namun begitu, Faisal masih setia dengan jaketnya sambil mengayuh
Bayu mengayuh sepedanya menuju warung Indonesia tempat dia bekerja. Dulu, Fahira lah yang hampir bekerja di tempat itu sebagai tenaga paruh waktu. Namun, karena hamil, akhirnya Fahira batal melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, Bayu lah yang menggantikannya. Meskipun belum genap dua bulan di Belanda, tak jarang, Bayu merasa bosan dengan rutinitasnya. Di Jakarta dia bekerja secara professional di balik meja. Sementara, di sini, dia mendampingi Fahira belajar. Bukan liburan. Mengais rejeki dengan menjadi pekerja kelas bawah, dengan upah yang minim untuk standar Belanda. Sementara Fahira sangat sibuk dengan kuliah dan bayinya. Bahkan, hampir tak ada waktu untuk sekedar santai. Detik demi detik bagi Fahira sangat berharga. Hidupnya seperti hanya untuk sekolah dan Nayla. Bayu merasa jengah. Dulu, dia tak pernah membayangkan bahwa Fahira akan lari hingga ke negeri ini. Dulu, Bayu hanya bisa membayangkan bahwa hidup di negara empat musim itu indah. Tapi itu dulu. Saat dia belum mengalam
Fahira masih menekuri draft thesisnya saat Bayu pulang.Tak seperti biasanya, Bayu yang sering merayunya di malam hari jika menemuinya masih terjaga. Bayu yang kemudian akan memeluknya jika dia menemui dalam keadaan tertidur. Malam itu, Bayu hanya diam. Wajahnya dingin. Bahkan nggak berucap sepatah kata pun. “Mas, kamu marah?” Fahira mendekati Bayu yang duduk menyendiri di ruang tengah.Biasanya, dia langsung tidur usai mandi, karena pagi-pagi dia harus berangkat kerja lagi. Namun, malam ini Fahira memang masih ingin menyelesaikan beberapa revisian. Tak ingin menundanya, karena khawatir moodnya hilang. Kalau dia kehilangan mood, membangkitkannya akan lebih susah. “Ra, apa kamu menyukai Faisal?”Tiba-tiba Bayu bersuara setelah Fahira duduk di sebelahnya. Pria itu menatap manik mata Fahira yang juga tengah manatapnya. Entah kapan, kaca-kaca mulai tercipta di mata Bayu. “Mas, kamu ngomong apa?” Kening Fahira berkerut. Namun, dia berusaha tak menggubrisnya. Dia sudah paham dengan sikap
EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan
"Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah
Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N
“Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan
“Fahira?!” Kedua pria itu saling berpandangan. Bayu segera menyeka air matanya. Ia memastikan yang di depan matanya betul Fahira, wanita yang ditinggalkannya enam bulan lalu, di negeri asing belasan ribu kilometer dari Jakarta. “Mas Bayu?! Itu kamu, Mas? Kamu Mas Bayu?!” Fahira tak percaya dengan sosok lelaki di depannya. Wajahnya tirus, matanya cekung, jambang halus memenuhi sisi kanan kiri wajahnya. Rambutnya gondrong. Benar-benar jauh berbeda dengan enam bulan lalu, saat dia meninggalkan Fahira. Dua pria di depannya kembali saling berpandangan. Fahira tak terlalu memperhatikan Faisal. Fokusnya hanya Bayu. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya lalu pergi begitu saja. “Fahira, jangan ke sini. Biarkan aku pergi.” Mendadak, Bayu membalikkan badannya, lalu ia berlari menjauh. Seolah tak mempedulikan apa yang di depannya, hingga tiba-tiba Bayu sudah tiba di jalan raya yang ada di ujung gang. Faisal dan Fahira saling menatap, karena tak mengira Bayu akan kabur. Begitu menyadari Ba
“Aku malu, Sal. Aku tak punya muka lagi. Ini semua salahku, Sal. Aku yang membuat mama sakit. Aku yang membuat mama meninggal. Semua karena aku. Aku yang telah membuat papa meninggal. Aku yang telah membuat Nabila meninggal. Aku yang membuat Fahira pergi.Andai saja aku tak memaksa mama dan papaku menyetujui aku menikah lagi dengan Nabila. Andai saja aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertemu Nabila. Andai saja aku tidak menutup hatiku dari Fahira saat itu….” Bayu tak dapat menahan uraian air matanya. Dia kembali tergugu dalam tangis penyesalannya. “Bay, semua sudah takdir…maut itu urusan Alloh. Bukan urusan kita sebagai manusia. Kamu sudah berusaha yang terbaik.” Faisal merangkul saudaranya, agar tenang. “Aku tidak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian mama. Aku tak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian papa. Aku ingin dia bahagia,” lanjut Bayu. Pandangannya kembali menerawang. Faisal menghela nafasnya, “Kembalilah ke Fahira. Dia wanita yang baik. Dia istri yang bai
“Faisal?!” guman Bayu. Mata Bayu melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamunya. Biasanya Bayu jarang keluar kamar. Hari ini, Wulan sedang keluar dengan Bi Darni. Setelah ketukan ke sekian, Bayu terpaksa beranjak dari kamarnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dipindainya lelaki muda yang berdiri di depan pintu. Ya, dia yang selama ini menjadi rivalnya dalam merebut hati Fahira. Tapi, siapa wanita muda yang bersama Faisal. Bukan. Dia bukan adik Faisal. Bayu tahu siapa adik Faisal. “Bayu?!” Faisal tak kalah kaget saat melihat Bayu yang sangat berubah. Penampilannya sangat tak terurus. Matanya cekung, pandangannya terlihat kosong, pipinya tirus dengan jambang halus. Sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga melewati bahu. Hampir dia tak mengenalnya. Tapi, mengapa, Bayu bisa berubah seperti ini. Kemanakah Fahira? Terakhir kali dia bertemu Fahira saat Fahira ujian tesis, tanpa Bayu. Setelahnya, Fahira seperti hilang ditelan bumi. Mayang satu-satunya yang