Bayu menatap Fahira. Pria itu mencari jawab di manik mata Fahira. Apakah ia serius bertanya, atau sekedar basa-basi semata. Yang dikenal Bayu, Fahira memang tak pernah bohong. Bisa jadi memang dia tidak tahu siapa Faisal. “Dia anak dari sepupu papa.” Bayu mulai menceritakan siapa Faisal dan mengapa saudaranya itu begitu gigih menentang pernikahannya dengan Nabila. Bahkan Bayu juga bercerita bahwa Faisal adalah kakak kelas Fahira di kampus yang sama, dan entah mengapa Faisal memiliki banyak informasi tentang Fahira. Termasuk informasi menemukan Fahira di Belanda. “Mas, apa yang kamu harapkan dari hubungan kita?” tanya Fahira kemudian sambil menarik nafas. Bukannya Bayu sudah memilih Nabila, batin Fahira. Sedangkan hubungan Fahira dan Bayu hanya sebatas perjodohan, yang mungkin kini sudah tak diharapkan lagi oleh Bayu. “Aku tak mau kamu tidak bahagia karena kita masih terus bersama. Aku tak mau jadi duri dalam kebahagiaanmu, Mas. Aku tak mau kamu harus berkorban begini banyak, tapi
Angin musim gugur bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan yang warnanya sudah menguning di sekitar Bayu dan Fahira berdiri berguguran tertiup angin. Udara menjadi lebih dingin karena tiupan angin. Beruntung keduanya sudah mengantisipasi dengan mengenakan jaket yang lumayan tebal, meskipun untuk orang sekitar semestinya bisa memakai yang lebih tipis. Namun, bagi orang Asia yang belum terbiasa, pergantian musim seperti ini dapat berpotensi menurunkan kadar imun, terutama batuk. “Fahira, maafkan aku. Tapi, aku tak bisa meninggalkanmu." Bayu mendekat. Matanya berkaca-kaca. Meski dia sadar dia salah, tapi dia tak tahu bagaimana untuk memperbaiki semuanya. “Jangan gunakan papa dan mama lagi sebagai alasanmu. Aku tak mau berkorban apapun. Cukup tinggalkan aku.” Air mata Fahira pun tak kuasa meleleh. Fahira tahu, dia sangat lemah jika dipojokkkan menjadi pihak yang bersalah. Kalau sampai Bayu mengatasnamakan mertua dan orang tuanya, habis sudah pertahanannya. Fahira bergegas pergi meninggalkan Bay
Hari itu, Fahira sudah kembali pada rutinitas biasa. Usai dari bandara dia langsung ke kampus. Tak ada waktu lagi untuk melow dan memikirkan Bayu. Fahira mensugesti dirinya sendiri, toh Bayu hanya memikirkannya saat ada di sampingnya. Jika tidak, tentu Bayu lebih fokus pada istri barunya. Bukannya dulu saja, saat dia masih bersama, Bayu juga fokus pada sang mantan? “Bayu sudah pulang?” Suara Faisal yang tiba-tiba mensejajari langkahnya menuju parkiran sepeda membuat Fahira menoleh. Lalu ia mengangguk sebagai tanda membenarkan ucapan Faisal. Sementara, Faisal memang sengaja memantau Fahira. Dari jadwal kampus yang bisa diakses secara online, dia tahu jam kuliah serta ruangan kuliah Fahira. Bukan karena nama mahasiswa yang bisa diakses, namun karena dia sudah mengamati dari awal, Fahira mengambil mata kuliah apa saja di semester ini, hingga dia bisa mencocokkan dengan jadwal yang ada. Sore itu belum waktunya jam pulang. Tentu saja parkiran sepeda masih sangat penuh. Meskipun ada rak
Bayu keluar dari bandara di Jakarta sekitar jam 10 pagi. Dia tak perlu antri menunggu bagasi karena hanya membawa tas punggung. Pagi itu, dia langsung menuju ke kantor mengingat jatah cutinya yang sudah habis. Dia hanya memanfaatkan libur akhir pekan yang kebetulan bersamaan dengan tanggal merah. Tak peduli harga tiket membubung tinggi. Paling tidak, keputusannya menemui Fahira untuk membuktikan keseriusannya kembali pada istri pertamanya, agar mamanya tenang. Sedangkan kepada Nabila, dia hanya pamit akan menginap di rumah mamanya beberapa hari. Karena Bayu tidak membalas pesannya beberapa hari, Nabila memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya sekaligus ingin memberi kejutan kepada mama mertuanya. Nabila berharap kedekatannya dengan mertua terjalin kembali. Tak lupa, Nabila pun menyiapkan makanan untuk mama mertuanya yang dia masak sendiri, seperti yang dilakukan Fahira kala itu.“Tunggu, Mbak,” seru Bi Darni saat membuka pintu rumah orang tua Bayu. Dia menahan Nabila agar tidak m
“Bi, mama sama mbak Wulan mana?” tanya Bayu saat masuk rumah sepulang kerja. Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan. Rumah orangtuanya sepi. Bergegas dia menuju kamar. Mama dan kakaknya tidak ada di sana. Bi Darni menatap Bayu dengan takut-takut. Bayu yang melihatnya roman muka Bi Darni, semakin merasa cemas. “Ada apa, Bi?” tanya Bayu penasaran. Kedua tangannya memegang pundak Bi Darni yang masih terdiam. Mata Bayu menatap bi Darni yang masih menunduk. “Mama Mas Bayu dibawa ke rumah sakit, Mas. Tensinya naik,” ujar Bi Darni lirih. Tanpa komando, Bayu segera melempar tas kerjanya dan kembali menuju mobilnya. Dibelahnya lalu lintas yang padat karena masih jam kerja menuju rumah sakit yang sudah menjadi langganan berobat keluarganya. Ditelponnya kakaknya untuk memberitahukan dimana posisi mamanya. Kemacetan jalanan membuat emosi Bayu menjadi naik. Bayu segera berlari menuju ruang perawatan dimana mamanya di rawat. “Mama kenapa, Mbak?” tanya Bayu saat melihat Wulan yang henda
[Kamulah penyebab mama Bayu masuk rumah sakit, puas?] Sebuah pesan masuk ke ponsel Fahira, membuatnya mendesah lalu dihembuskannya nafas berkali-kali untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Pesan itu bukan yang pertama diterimanya, namun entah kesekian kalinya. Fahira tak perlu mencari tahu. Dari nada kalimatnya dia dapat menebak, seperti tebakan-tebakan sebelumnya. Daripada menanggapi, Fahira memilih diam. Dari jendela kamarnya, Fahira menatap lurus ke depan. Langit biru dan sinar matahari cerah namun tak juga memanaskan paginya. Suasana cerah tak lalu menggambarkan suhu udara yang sebenarnya. Lalu, mata Fahira memandang ke jalanan di sebelah apartemennya. Dari ketinggian lantai empat yang ditinggalinya, dia bisa menatap lalu lalang mahasiswa yang bergerak ke kampus, atau pun kembali. Meski hari sudah sore, mahasiswa masih saja ada yang ke kampus, karena belajar di perpustakaan jauh lebih mendukung dibanding di kamar. Perpustakaan kampus buka hingga tengah malam. Dan biasa
Mendengar Mama Bayu masuk rumah sakit kembali, Ayah dan Ibu Fahira bergegas untuk membezuknya. Meskipun sakit hati dengan perlakuan anaknya, tak harus membuat persahabatnya menjadi terputus. Bahkan, ada rasa kawatir dan penyesalan pada hati kedua orang tua Fahira, andaikan semua ini, sakitnya Mama Bayu, disebabkan kesalahannya. Kesalahan karena telah mendatangi keduanya saat Papa Bayu masih ada, yang kemudian disusul dengan meninggalnya papa Bayu. “Mbak, segera sehat ya,” ujar ibu Fahira sambil mengenggam tangan Mama Bayu.Tubuh Mama Bayu semakin kelihatan ringkih dan kurus. Sepertinya semakin banyak beban yang dipikirkannya sepeninggal Papa Bayu.“Jangan banyak pikiran. Mas Arman sudah tenang di sana. Bayu dan Wulan juga sudah bahagia,” sambung Ibu Fahira lagi sambil mengusap punggung tangan Mama Bayu. Mama Bayu menatap wajah Ibu Fahira. Matanya berkaca-kaca. “Soal Fahira, nggak perlu dipikirkan,” lanjut Ibu Fahira. Bulir bening serta merta menetes di sudut mata wanita yang telah
“Makasih ya, Kak.” Wajah Fahira sumringah setelah mendapatkan penjelasan salah satu mata kuliah yang tidak dipahaminya dari Faisal. Pria tampan itu menatap Fahira sambil menyunggingkan senyum. Dia sangat merasa berharga bisa membantu Fahira. Gadis keras kepala yang sering merasa bisa melakukan segalanya tanpa bantuan.Hari itu memang Fahira terpaksa menemui Faisal karena banyak hal yang tidak dimengertinya. Fahira merasa buntu. Sudah mencoba bertanya ke dosen, tetap tidak paham. Lama-lama merasa malu dan rendah diri. Untung ada Faisal yang merupakan mahasiswa PhD selalu bersedia membantunya. Mereka berdua berada di salah satu hall dimana di sana banyak bangku-bangku berderet. Tempat itu disediakan untuk para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas kelompok. Awalnya Fahira sungkan untuk meminta bantuan Faisal. Tapi, demi tak ingin mengulang mata kuliah dan artinya membuat masa studinya molor, akhirnya Fahira memberanikan diri. Toh, Faisal tak pernah macam-macam dan dia dengan senang hat
EPILOG Setelah beberapa bulan ikut bekerja di tempat Pak Ahmad, Bayu akhirnya memberanikan diri membuka sendiri usaha pencucian motor di dekat kampus tempat Fahira bekerja. Bayu terlebih dahulu meminta izin pada mantan atasannya itu. Dia juga melakukan pengembangan dengan ide-ide yang dimilikinya. Beruntung, Pak Ahmad tidak keberatan. Malah dia merasa bangga ada anak buahnya berhasil mengembangkan idenya. Bahkan Pak Ahmad mengijinkan tanpa harus memberi bagi hasil apapun terkait ide bisnis tersebut. Bayu menyewa tempat di dekat kampus Fahira. Dia pun merekrut para mahasiswa yang memang merupakan ide awal bisnisnya. Dia ingin membantu para mahasiswa yang membutuhkan uang tambahan dengan memberi kesempatan sistem part time. Bayu memberi kelulasaan waktu bekerja meskipun ada jadwal dan insentif khusus, yang membuat bisnisnya tetap berjalan, tanpa terganggu dengan sistem yang dia bangun. Pada awalnya memang sepi. Bayu harus memutar otak untuk memberikan promo-promo di awal pembukaan
"Mas Bayu! Mas! Bangun, Mas!" pekikku saat kulihat dia tergeletak di karpet. Sementara tangan kanannya mengenggam erat sebuah buket bunga. Segera kuletakkan Nayla di atas karpet. Kulepas juga kain gendongan Nayla dari tubuhku.Kutepuk-tepuk pipi Mas Bayu. Aku langsung meraba nadinya. Nafasnya masih teratur. Hanya wajahnya pucat sekali. Aku teringat dengan kejadian di Belanda saat itu. Segera jendela ruang depan ini aku buka lebar agar udara segar masuk. Lalu kuambil minyak angin. Bantal kuletakkan untuk menyangga kepala Mas Bayu. Tak lama matanya dia mulai mengerjap. “Ra…”panggilnya. Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur. Mas Bayu sudah sadar. “Minum, Mas…” Aku sudah menyiapkan segelas air putih di dekat Mas Bayu. Kulihat dia langsung menegak habis minum itu setelah aku membantunya untuk duduk. “Aku lupa alamat rumah ini. Aku kemarin habis kerja, beli ini.” Mas Bayu menunjukkan buket bunga dan memberikannya padaku.Seketika aku terharu. Buket bunga yang cantik. Entah
Aku terduduk di depan depot yang masih tertutup itu sambil menggendong Nayla. Untungnya, Nayla tidak rewel. Wajah imutnya dan damai, membuatku makin teriris saat memandanginya. Maafkan Mamamu ini, Nak. Yang tak mampu menjaga papamu untuk terus bersamamu, gumanku. Sudut mataku tak sadar mengeluarkan air mata. Hatiku makin nelangsa. Namun, aku segera tersadar. Aku nggak boleh lemah. Jika iya, Nayla pun akan turut menjadi lemah. Dia harus tumbuh menjadi anak yang kuat. Biasanya, akhir pekan aku pulang ke rumah orangtuaku. Awalnya, aku pun berencana ke sana jika Mas Bayu sudah pulang. Pasti Ayah dan Ibu akan senang jika tahu Mas Bayu kini sudah bekerja. Meski bekerja apa saja, aku rasa, orang tuaku tak akan pernah mempermasalahkan. Tapi, justru kini ia kembali menghilang.Ada apa denganmu, Mas? Gumanku. Kembali ponselku bergetar. [Ndhuk, kamu nggak ke sini?] Rupanya pesan singkat dari Ibu.Aku tahu, ibu pasti cemas karena aku sama sekali tidak memberinya kabar kalau tidak ke sana. [N
“Di minum, Mbak…” ujar si ibu penjual es kelapa.Aku mengangguk. Pandanganku tetap tak lepas pada lelaki itu.“Bu, saya nitip sebentar,” ujarku.Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyeberang mendekat ke depot cucian motor itu. Sayangnya, belum sempat aku mendekat. Pria yang hendak kudekati menyadari kehadiranku. Diletakkannya alat pembersih yang ada di tangannya. Lalu dia berlari ke dalam. Aku hanya diam mematung di depan depot itu, hingga seorang pria berusia empat puluhan dengan perawakan tambun mendekat ke arahku. “Mencari siapa, Mbak?” sapa pria itu menyentakkan lamunanku. “Mas…ee…Mas tadi yang lagi nyuci…yang masuk ke dalam…” ujarku sedikit gelagapan. Pria itu tersenyum simpul, lalu bertanya penuh selidik.“Mbak saudaranya?”Aku menghela nafas. Ada degup jantung penuh harap dengan pertanyaan pria itu. Aku berharap dia betul Mas Bayu. “Apakah dia bernama Bayu?” Aku mencoba meyakinkan sebelum menjawab pertanyaannya. Pria itu mengangguk, lalu mengajakku menjauh dari depotnya,
Kutanyakan ke tetangga sebelah dan depan rumah, adakah yang melihat Mas Bayu. Semua menggeleng. Meskipun Mas Bayu hanya di rumah, setiap sholat lima waktu selalu ke masjid. Tentu saja tetangga banyak yang tidak asing dengannya. Aku pun bertanya pada marbot masjid, katanya sejak sholat dhuhur sudah tidak ke masjid. Deg! Kemana Mas Bayu? Kususuri jalanan di sekitar perumahan tempat kami tinggal hingga sekitar kampus di mana aku mengajar. Tiga bulan lamanya kami tinggal di kota ini, aku jarang mengajak Mas Bayu jalan-jalan. Sesekali setiap akhir pekan aku hanya mengajak Mas Bayu dan Nayla pulang ke rumah orang tuaku. Jadi, mustahil Mas Bayu kenal baik daerah sini. Apalagi, dia tak punya teman di sini. Pikiranku menjadi kalut. Kemana Mas Bayu pergi? Kalau dia tidak tahu jalan, bagaimana? Karena Mas Bayu sekarang bukanlah Mas Bayu yang dulu. Mas Bayu yang baik-baik saja. Belakangan, setelah kepergian Mama Mertua, Mas Bayu hanya banyak diam dan melamun. Tak bisa disebut normal jik
“Mas, kamu sudah sadar?” Fahira mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu saat mendengar lenguhan suara suaminya itu. Orang tua Fahira beserta kakaknya langsung pulang. Hanya Fahira yang berjaga. Baju milik Fahira dan Bayu sudah dibawakan saat mereka datang membezuk. Sementara Nayla diasuh oleh Wulan di rumah Bayu. Terlalu kecil untuk di bawa ke rumah sakit. Bayu membuka matanya. Raut wajahnya menunjukkan penolakan atas kehadiran Fahira. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada kakaknya di sana “Mas, hanya aku yang di sini. Aku yang akan merawatmu. Bukan Mbak Wulan,” ujar Fahira seolah tahu isi pikiran Bayu. Fahira menggenggam tangan Bayu. Punggung tangannya terbalut verban. Bayu menatap Fahira. Matanya berkaca-kaca. Lalu ia berkata, “Ra, kamu tidak seharusnya di sini. Aku tak pantas buatmu.” Suara itu terdengar lirih dan putus asa. Fahira menggeleng. “Siapa bilang kamu tak pantas. Justru, seharusnya akulah yang mengurusmu. Bukan Mbak Wulan. Aku berhutang banyak pada Mbak Wulan. Mbak Wulan
“Fahira?!” Kedua pria itu saling berpandangan. Bayu segera menyeka air matanya. Ia memastikan yang di depan matanya betul Fahira, wanita yang ditinggalkannya enam bulan lalu, di negeri asing belasan ribu kilometer dari Jakarta. “Mas Bayu?! Itu kamu, Mas? Kamu Mas Bayu?!” Fahira tak percaya dengan sosok lelaki di depannya. Wajahnya tirus, matanya cekung, jambang halus memenuhi sisi kanan kiri wajahnya. Rambutnya gondrong. Benar-benar jauh berbeda dengan enam bulan lalu, saat dia meninggalkan Fahira. Dua pria di depannya kembali saling berpandangan. Fahira tak terlalu memperhatikan Faisal. Fokusnya hanya Bayu. Lelaki yang pernah mengisi hari-harinya lalu pergi begitu saja. “Fahira, jangan ke sini. Biarkan aku pergi.” Mendadak, Bayu membalikkan badannya, lalu ia berlari menjauh. Seolah tak mempedulikan apa yang di depannya, hingga tiba-tiba Bayu sudah tiba di jalan raya yang ada di ujung gang. Faisal dan Fahira saling menatap, karena tak mengira Bayu akan kabur. Begitu menyadari Ba
“Aku malu, Sal. Aku tak punya muka lagi. Ini semua salahku, Sal. Aku yang membuat mama sakit. Aku yang membuat mama meninggal. Semua karena aku. Aku yang telah membuat papa meninggal. Aku yang telah membuat Nabila meninggal. Aku yang membuat Fahira pergi.Andai saja aku tak memaksa mama dan papaku menyetujui aku menikah lagi dengan Nabila. Andai saja aku bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertemu Nabila. Andai saja aku tidak menutup hatiku dari Fahira saat itu….” Bayu tak dapat menahan uraian air matanya. Dia kembali tergugu dalam tangis penyesalannya. “Bay, semua sudah takdir…maut itu urusan Alloh. Bukan urusan kita sebagai manusia. Kamu sudah berusaha yang terbaik.” Faisal merangkul saudaranya, agar tenang. “Aku tidak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian mama. Aku tak mau Fahira merasa bersalah atas kepergian papa. Aku ingin dia bahagia,” lanjut Bayu. Pandangannya kembali menerawang. Faisal menghela nafasnya, “Kembalilah ke Fahira. Dia wanita yang baik. Dia istri yang bai
“Faisal?!” guman Bayu. Mata Bayu melebar saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ruang tamunya. Biasanya Bayu jarang keluar kamar. Hari ini, Wulan sedang keluar dengan Bi Darni. Setelah ketukan ke sekian, Bayu terpaksa beranjak dari kamarnya menuju ruang tamu dan membuka pintu. Dipindainya lelaki muda yang berdiri di depan pintu. Ya, dia yang selama ini menjadi rivalnya dalam merebut hati Fahira. Tapi, siapa wanita muda yang bersama Faisal. Bukan. Dia bukan adik Faisal. Bayu tahu siapa adik Faisal. “Bayu?!” Faisal tak kalah kaget saat melihat Bayu yang sangat berubah. Penampilannya sangat tak terurus. Matanya cekung, pandangannya terlihat kosong, pipinya tirus dengan jambang halus. Sementara rambutnya dibiarkan panjang hingga melewati bahu. Hampir dia tak mengenalnya. Tapi, mengapa, Bayu bisa berubah seperti ini. Kemanakah Fahira? Terakhir kali dia bertemu Fahira saat Fahira ujian tesis, tanpa Bayu. Setelahnya, Fahira seperti hilang ditelan bumi. Mayang satu-satunya yang