Angin musim gugur bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan yang warnanya sudah menguning di sekitar Bayu dan Fahira berdiri berguguran tertiup angin. Udara menjadi lebih dingin karena tiupan angin. Beruntung keduanya sudah mengantisipasi dengan mengenakan jaket yang lumayan tebal, meskipun untuk orang sekitar semestinya bisa memakai yang lebih tipis. Namun, bagi orang Asia yang belum terbiasa, pergantian musim seperti ini dapat berpotensi menurunkan kadar imun, terutama batuk. “Fahira, maafkan aku. Tapi, aku tak bisa meninggalkanmu." Bayu mendekat. Matanya berkaca-kaca. Meski dia sadar dia salah, tapi dia tak tahu bagaimana untuk memperbaiki semuanya. “Jangan gunakan papa dan mama lagi sebagai alasanmu. Aku tak mau berkorban apapun. Cukup tinggalkan aku.” Air mata Fahira pun tak kuasa meleleh. Fahira tahu, dia sangat lemah jika dipojokkkan menjadi pihak yang bersalah. Kalau sampai Bayu mengatasnamakan mertua dan orang tuanya, habis sudah pertahanannya. Fahira bergegas pergi meninggalkan Bay
Hari itu, Fahira sudah kembali pada rutinitas biasa. Usai dari bandara dia langsung ke kampus. Tak ada waktu lagi untuk melow dan memikirkan Bayu. Fahira mensugesti dirinya sendiri, toh Bayu hanya memikirkannya saat ada di sampingnya. Jika tidak, tentu Bayu lebih fokus pada istri barunya. Bukannya dulu saja, saat dia masih bersama, Bayu juga fokus pada sang mantan? “Bayu sudah pulang?” Suara Faisal yang tiba-tiba mensejajari langkahnya menuju parkiran sepeda membuat Fahira menoleh. Lalu ia mengangguk sebagai tanda membenarkan ucapan Faisal. Sementara, Faisal memang sengaja memantau Fahira. Dari jadwal kampus yang bisa diakses secara online, dia tahu jam kuliah serta ruangan kuliah Fahira. Bukan karena nama mahasiswa yang bisa diakses, namun karena dia sudah mengamati dari awal, Fahira mengambil mata kuliah apa saja di semester ini, hingga dia bisa mencocokkan dengan jadwal yang ada. Sore itu belum waktunya jam pulang. Tentu saja parkiran sepeda masih sangat penuh. Meskipun ada rak
Bayu keluar dari bandara di Jakarta sekitar jam 10 pagi. Dia tak perlu antri menunggu bagasi karena hanya membawa tas punggung. Pagi itu, dia langsung menuju ke kantor mengingat jatah cutinya yang sudah habis. Dia hanya memanfaatkan libur akhir pekan yang kebetulan bersamaan dengan tanggal merah. Tak peduli harga tiket membubung tinggi. Paling tidak, keputusannya menemui Fahira untuk membuktikan keseriusannya kembali pada istri pertamanya, agar mamanya tenang. Sedangkan kepada Nabila, dia hanya pamit akan menginap di rumah mamanya beberapa hari. Karena Bayu tidak membalas pesannya beberapa hari, Nabila memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya sekaligus ingin memberi kejutan kepada mama mertuanya. Nabila berharap kedekatannya dengan mertua terjalin kembali. Tak lupa, Nabila pun menyiapkan makanan untuk mama mertuanya yang dia masak sendiri, seperti yang dilakukan Fahira kala itu.“Tunggu, Mbak,” seru Bi Darni saat membuka pintu rumah orang tua Bayu. Dia menahan Nabila agar tidak m
“Bi, mama sama mbak Wulan mana?” tanya Bayu saat masuk rumah sepulang kerja. Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan. Rumah orangtuanya sepi. Bergegas dia menuju kamar. Mama dan kakaknya tidak ada di sana. Bi Darni menatap Bayu dengan takut-takut. Bayu yang melihatnya roman muka Bi Darni, semakin merasa cemas. “Ada apa, Bi?” tanya Bayu penasaran. Kedua tangannya memegang pundak Bi Darni yang masih terdiam. Mata Bayu menatap bi Darni yang masih menunduk. “Mama Mas Bayu dibawa ke rumah sakit, Mas. Tensinya naik,” ujar Bi Darni lirih. Tanpa komando, Bayu segera melempar tas kerjanya dan kembali menuju mobilnya. Dibelahnya lalu lintas yang padat karena masih jam kerja menuju rumah sakit yang sudah menjadi langganan berobat keluarganya. Ditelponnya kakaknya untuk memberitahukan dimana posisi mamanya. Kemacetan jalanan membuat emosi Bayu menjadi naik. Bayu segera berlari menuju ruang perawatan dimana mamanya di rawat. “Mama kenapa, Mbak?” tanya Bayu saat melihat Wulan yang henda
[Kamulah penyebab mama Bayu masuk rumah sakit, puas?] Sebuah pesan masuk ke ponsel Fahira, membuatnya mendesah lalu dihembuskannya nafas berkali-kali untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Pesan itu bukan yang pertama diterimanya, namun entah kesekian kalinya. Fahira tak perlu mencari tahu. Dari nada kalimatnya dia dapat menebak, seperti tebakan-tebakan sebelumnya. Daripada menanggapi, Fahira memilih diam. Dari jendela kamarnya, Fahira menatap lurus ke depan. Langit biru dan sinar matahari cerah namun tak juga memanaskan paginya. Suasana cerah tak lalu menggambarkan suhu udara yang sebenarnya. Lalu, mata Fahira memandang ke jalanan di sebelah apartemennya. Dari ketinggian lantai empat yang ditinggalinya, dia bisa menatap lalu lalang mahasiswa yang bergerak ke kampus, atau pun kembali. Meski hari sudah sore, mahasiswa masih saja ada yang ke kampus, karena belajar di perpustakaan jauh lebih mendukung dibanding di kamar. Perpustakaan kampus buka hingga tengah malam. Dan biasa
Mendengar Mama Bayu masuk rumah sakit kembali, Ayah dan Ibu Fahira bergegas untuk membezuknya. Meskipun sakit hati dengan perlakuan anaknya, tak harus membuat persahabatnya menjadi terputus. Bahkan, ada rasa kawatir dan penyesalan pada hati kedua orang tua Fahira, andaikan semua ini, sakitnya Mama Bayu, disebabkan kesalahannya. Kesalahan karena telah mendatangi keduanya saat Papa Bayu masih ada, yang kemudian disusul dengan meninggalnya papa Bayu. “Mbak, segera sehat ya,” ujar ibu Fahira sambil mengenggam tangan Mama Bayu.Tubuh Mama Bayu semakin kelihatan ringkih dan kurus. Sepertinya semakin banyak beban yang dipikirkannya sepeninggal Papa Bayu.“Jangan banyak pikiran. Mas Arman sudah tenang di sana. Bayu dan Wulan juga sudah bahagia,” sambung Ibu Fahira lagi sambil mengusap punggung tangan Mama Bayu. Mama Bayu menatap wajah Ibu Fahira. Matanya berkaca-kaca. “Soal Fahira, nggak perlu dipikirkan,” lanjut Ibu Fahira. Bulir bening serta merta menetes di sudut mata wanita yang telah
“Makasih ya, Kak.” Wajah Fahira sumringah setelah mendapatkan penjelasan salah satu mata kuliah yang tidak dipahaminya dari Faisal. Pria tampan itu menatap Fahira sambil menyunggingkan senyum. Dia sangat merasa berharga bisa membantu Fahira. Gadis keras kepala yang sering merasa bisa melakukan segalanya tanpa bantuan.Hari itu memang Fahira terpaksa menemui Faisal karena banyak hal yang tidak dimengertinya. Fahira merasa buntu. Sudah mencoba bertanya ke dosen, tetap tidak paham. Lama-lama merasa malu dan rendah diri. Untung ada Faisal yang merupakan mahasiswa PhD selalu bersedia membantunya. Mereka berdua berada di salah satu hall dimana di sana banyak bangku-bangku berderet. Tempat itu disediakan untuk para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas kelompok. Awalnya Fahira sungkan untuk meminta bantuan Faisal. Tapi, demi tak ingin mengulang mata kuliah dan artinya membuat masa studinya molor, akhirnya Fahira memberanikan diri. Toh, Faisal tak pernah macam-macam dan dia dengan senang hat
Akhirnya, Nabila mulai bekerja. Dia bekerja sebagai asisten direktur di salah satu perusahaan milik salah satu kenalan Bayu. Setelah seminggu, Nabila mulai merasa betah, meski awalnya canggung. Ternyata mulai bekerja di usia yang bukan fresh graduate tak semenakutkan yang dibayangkan sebelumnya. Sikap Nabila yang mudah bergaul, membuat atasannya cepat akrab. Tak heran jika dia sering diajak oleh bosnya makan di luar. Aneka restoran mewah kembali dia sambangi, yang sejak menikah dengan Bayu sudah tak pernah lagi dikunjunginya. “Jadi, kamu sama Bayu hanya menikah siri?” tanya Bagas, sang atasan, saat keduanya sedang keluar makan siang di sebuah restoran bernuansa Sunda. Masakan Sunda pun ditawarkan di rumah makan itu. Keduanya duduk lesehan berseberangan sambil menikmati air mancur yang berada di depan gazebo.“Aku tak habis pikir. Pria seperti Bayu bisa sanggup punya istri dua.” Pria bernama Bagas itu mengenal Bayu dengan baik. Kebetulan dalam beberapa pekerjaan, kantor Bayu sering