Kedua tangan Bayu berkacak pinggang. Seolah ingin menunjukkan arogansinya. Hal yang tak pernah ditunjukkan selama delapan tahun sebagai kekasih Nabila. “Semua orang kantor membicarakan ini semua.” Suara Bayu meninggi. Tatapannya semakin tajam dan menghujam. Dadanya naik turun menandakan emosinya masih belum stabil. “Lalu, kenapa? Kamu malu, iya? Apa kamu lebih suka kalau kamu selingkuh denganku, dibanding menikah?” cerca Nabila tak mau kalah. Ini adalah cara Nabila menagih haknya secara kasar, setelah Bayu enggan memberikannya secara halus. Biar semua orang tahu bahwa Bayu sudah menjadi miliknya. Dia tak peduli menjadi kedua. Dia tak peduli reputasi Bayu hancur. Dia tak peduli dituduh biang meninggalnya mertuanya. Sejatinya, Nabila hanya membutuhkan hak untuk diperhatikan. Nabila hanya memberontak karena semenjak menikah dengan Bayu, pikiran Bayu hanya tertuju pada Fahira, meskipun fisiknya bersamanya. “Mana janjimu? Mana yang katanya kamu masih cinta sama aku? Apa kamu pikir aku
Bayu menghela nafas. Lalu ia menghembuskannya kembali. “Wasiat papaku, aku harus tetap bersama Fahira. Jadi, aku memberikan pilihan padamu. Semua tergantung kamu.” Bayu tak berani menatap Nabila. Dia masih merenungi apa yang akan dia sampaikan agar lugas terdengar dan Nabila bisa memahaminya. “Bay, apa kamu masih belum percaya. Aku mencintaimu. Masih sama dengan delapan tahun yang pernah kita jalani dulu.” Nabila meraih tangan Bayu. Tangan itu digenggamnya, agar Bayu mengerti maksudnya. Bayu mengatupkan mulutnya. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke langit-langit kamar Nabila. Berulang kali dia menarik nafas dan menghembuskannya kembali, memberi ruang agar dadanya tidak merasa sesak. Jawaban Nabila bukanlah jawaban yang melegakan baginya. Justru itu semakin menambah beban karena tanggung jawab yang harus dia pikul. Ada penyesalan, tapi semuanya sudah tak berguna lagi. Sekarang yang ada adalah menanggung segala konsekuensi. “Baiklah Nabila. Kita jalani.” Bayu menarik nafas seray
Terkadang, sesuatu perbuatan yang dilakukan bukan karena motivasi dalam diri sendiri, maka akan menimbulkan keterpaksaan, yang berujung akan menyakiti satu sama lain. Begitu juga dengan apa yang telah Bayu lakukan. Dia menikah atas kemauan orang tuanya. Menjalaninya dengan terpaksa. Begitu ada cinta lama bersemi kembali, dia tinggalkan begitu saja Fahira yang sudah berusaha mencintainya. “Mbak, sekarang tidak lagi bicara soal cinta, Mbak. Sekarang soal tanggung jawab dan pengorbanan. Aku sayang mama. Aku ingin papa tenang di sana. Aku tak peduli lagi dengan cinta.” Mata Bayu mulai berkaca-kaca. Dia ingin menunaikan wasiat papanya. Rasa bersalah demikian besar mengalahkan kebimbangannya.“Dik, kamu timbang masak-masak apa yang akan kamu perbuat. Mbak tidak ingin kamu salah melangkah lagi.” Wulan menarik nafas. “Lalu bagaimana dengan Nabila?” lanjut kakak Bayu.“Aku belum tahu, Mbak. Nanti aku bicarakan lagi dengan Nabila. Saat ini yang aku pikirkan bagaimana menebus kesalahanku pada
Sepulang kerja, Bayu kembali ke rumah Nabila. Dia ingin mengutarakan keinginannya untuk kembali menemui Fahira sesuai pesan mamanya, mumpung visa multiple entry-nya masih berlaku. Tetapi, yang menjadi pikiran utama sebenarnya adalah biaya bolak-balik Jakarta-Belanda yang tak murah. Untuk beli tiket pulang-pergi saja, gaji sebulan plus tunjangannya sudah terkuras. Belum lagi biaya akomodasi selama di sana. Ada penyesalan dalam lubuk hati Bayu. Andaikan Fahira tidak kabur, pasti dia tidak perlu keluar uang untuk menemuinya. "Ah, nasi sudah menjadi bubur!"Kini yang bisa dilakukan hanyalah mencari solusi terbaiknya. Bayu memasuki rumah. Karena merasa haus, Bayu langsung menuju dapur. Tiba-tiba matanya memicing saat melihat siapa yang sedang memasak di sana. “Kamu bisa masak?” tanya Bayu saat melihat Nabila sedang di belakang kompor. Selama ini hampir tak pernah Bayu makan di rumah itu. Dia hanya singgah sementara. Kalaupun menginap, acara makan malam juga sudah usai. “Aku sengaja be
Bayu kembali menghembuskan napasnya. Dia tahu Nabila mencoba untuk berubah. Namun, dia sudah terlanjur membuat kesalahan besar yang menebusnya hanya dengan kembali ke Fahira. “Nabila, aku tidak bisa memaksamu untuk bersamaku.” Bayu mengambil jeda. “Karena aku harus menunaikan tanggungjawabku, wasiat papaku,” lanjut Bayu. “Maafkan aku Nabila. Secepatnya aku harus menyusul Fahira.” Bayu tahu dia harus memilih untuk saat ini. Ternyata membagi dua hati tidaklah mudah meskipun bisa saja ada kecendurangan pada salah satunya. Bisa jadi Bayu memiliki cinta untuk Nabila, tapi tanggungjawab untuk orangtuanya kini lebih utama. Apalagi setelah kehilangan papanya, kesehatan mamanya mulai menurun. “Nanti aku akan atur semua keperluanmu selama aku pergi. Percayalah aku akan kembali lagi,” ujar Bayu, lalu ia bergegas meninggalkan ruang makan.Nabila hanya mematung, menatap kepergian Bayu. Baru saja dia merasakan bahagia. Baru saja dia bersemangat menjadi istri yang seutuhnya, namun, seketika terh
Jalinan cinta, apabila tidak dirawat, maka lama kelamaan akan memudar. Itulah apa yang dirasakan Bayu. Setelah dia memutuskan menunda cutinya, dia kini memilih tinggal di rumah Nabila. Sedang rumah yang biasa dihuni dengan Fahira dibiarkan kosong. Hanya tiap akhir pekan dia membayar orang untuk membersihkannya. Orang tua Nabila pun merasa bahagia dengan perubahan Bayu. Bahkan, Bayu seolah lupa dengan permintaannya pada Nabila agar kembali bekerja. Bayu lebih terlena dengan perubahan pada Nabila yang semakin fokus melayaninya. Cinta lamanya seperti bersemi kembali. Bahkan, Bayu yang tadinya berkomitmen mentransfer jatah bulanan ke rekening Fahira yang ditinggalkan di rumah Bayu, kini sudah mulai lupa karena terdesak kebutuhan barunya dengan Nabila yang semakin menggila. Namun begitu, Bayu belum berani membawa Nabila ke rumah mamanya. Dia perlu waktu untuk meyakinkan mamanya menerima Nabila. Bahkan, sejak Wulan memutuskan tinggal bersama mama mereka, Bayu bahkan belum lagi membezukn
Faisal keluar dari ruangan professor yang juga merangkap kepala departemen di fakultasnya. Hari itu adalah hari pertama Faisal bertemu langsung dengan calon promotornya. Baru kemaren dia mendarat di Belanda. Meskipun dua tahun lalu dia sudah menyelesaikan program masternya, tentu saja dia tetap merasa asing, apalagi ini kota yang berbeda dengan kota dimana dua tahun lalu dia menghabiskan waktu. Faisal berjalan dengan wajah sumringah menuruni tangga menuju lantai bawah. Menyusuri lorong fakultas itu, lalu keluar menuju parkiran. Hari pertama ini akan dia gunakan untuk observasi kota, alias mencari berbagai kebutuhan selama pekan pertama. Apalagi tadi di diskusi awal dengan promotor dia harus mulai menyiapkan untuk pertemuan minggu pertama dengan calon daily supervisornya. Belum lagi berbagai hal teknis yang harus dia kerjakan seperti mengambil kartu ijin tinggalnya, membuka rekening bank, mengurus asuransi, hingga tes TB yang wajib dilakukan untuk pendatang yang berasal dari negeri r
Sudah sebulan berlalu. Faisal meskipun sibuk dengan kegiatan riset dan meetingnya dengan promotor dan daily supervisornya, tapi dia tak sedikitpun melupakan Fahira. Tidak sulit bagi Faisal mengetahui jadwal kuliah Fahira, karena semua jadwal kelas perkuliahan program master, dia bisa mengaksesnya. Bahkan, dia bisa tahu ruangan mana yang dipakai Fahira untuk belajar di kelas.Kadang Faisal menyempatkan diri sekedar lewat tempat kuliah Fahira.Cinta memang tak mengenal logika. Tapi, begitulah. Kadang Faisal rela memastikan bahwa Fahira hadir kuliah, karena dia khawatir Fahira jatuh sakit di saat kondisinya sedang hamil. Di kampusnya juga tersedia study room, dimana para mahasiswa biasanya memanfaatkan ruangan itu untuk belajar. Dan tentu saja, dari ruangan Faisal pun dia bisa memantau langsung ke arah study room itu karena letaknya tepat berseberangan dengan ruangannya. Begitulah cinta. Bahkan, sekelebat bayangan Fahira saja mampu membangkitkan mood Faisal untuk menyelesaikan progres