"Hei, kau, berhenti!"
Perempuan itu berlarian menerobos angin. Meski terlahir sebagai seorang perempuan, badannya yang kecil memudahkan dia untuk mengejar seorang pencuri yang baru saja mencopet tas kecil miliknya. Dia mengumpat di tengah pelariannya untuk mendapatkan kembali tasnya beserta membuat pencuri itu terkapar tidak berdaya di atas tanah.
Ia yang sedang sibuk sendiri, hampir tidak memedulikan tag nama bertuliskan Anatari. H. G yang akan terjatuh dari jas kantor yang tengah dia pakai. Tangannya yang gesit langsung meraih dan melepaskan benda itu agar ia tidak menyulitkannya saat melakukan pengejaran.
"Kubilang berhenti!" Dia kembali memekik. Akan tetapi, sosok itu tak kunjung memelankan laju. Justru kecepatan larinya kian bertambah.
Ana melepaskan sepatu ber-haknya sebelum berbelok ke sebuah gang yang sempit, yang mana cuma dia yang dapat masuk ke sana. Di belakang, nampak seorang laki-laki bertubuh tinggi dan agak berisi, turut serta dalam aksi kejar-kejaran itu. Sayangnya ia tidak muat untuk memasuki celah sempit tersebut.
Di sisi lain, sang pencuri tersenyum penuh kemenangan. Melihat desain tas Ana yang bisa dibilang keluaran merk yang terkenal di Indonesia, setidaknya akan menguntungkan dirinya ketika dijual kembali. Dia belum melihat ke dalamnya, namun sudah berharap kalau isinya hampir seberharga berlian atau setidaknya tidak berbeda jauh.
Begitu si pencuri mengambil belokan ke kiri, seketika itu juga sesuatu yang keras datang dari arah belakang dan mengenai kepalanya. Dia dapat merasakan kepalanya agak pusing, bersamaan dengan kemunculan cairan merah berbau amis dari dahinya.
Wajah itu memucat ketika melihat kedatangan si wanita tanpa bersepatu muncul setelah dirinya berbalik badan. Ialah korban pencuriannya. Betapa menyeramkan Ana hingga tidak ragu melukai kepala pencuri tersebut.
Anatari yang merupakan korban dari kejadian ini, menghampiri pencuri tersebut dengan wajah merah menahan amarah serta napas yang memburu. Seperti siap untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrim.
"Kembalikan tasku!" pinta Ana dengan sorot mata yang menajam kepadanya.
Sang pencuri lupa ada jalan pintas untuk mencapai posisinya sekarang dalam waktu yang singkat. Padahal dia sudah sangat hafal mengenai lingkungan tersebut.
Menakutkan ketika melihat wanita asing itu marah. Jika saja sepatu yang Ana pakai memiliki ujung yang runcing, ini tidak akan menjadi kasus pencurian, melainkan pembunuhan yang mana sang korban akan dituduh sebagai pelaku. Tetapi, dia beruntung meski mendapat cedera yang cukup parah.
"Kau membuatku kehilangan kesabaran. Kau mau kuapakan? Mematahkan tanganmu? Atau kau bersedia menggantikan lenganmu menggunakan lehermu? Bahkan tengkorakmu bisa kubuat retak. Kemari!" terangnya.
Ancaman yang mengerikan dari seorang perempuan seperti Ana. Di balik tubuhnya yang nampak seperti seorang gadis remaja, rupanya tersimpan keberanian dan tenaga yang dapat menyaingi kaum Adam. Bahkan ekspresi yang dibuat Ana benar-benar tidak main.
Alhasil mau tak mau dompet Ana dikembalikan. Lebih baik pulang dalam keadaan seperti ini daripada tinggal nama. Pencurinitu sudah bersiap-siap kabur dikhawatirkan Ana akan kembali melaksanakan eksekusi terhadap dirinya.
"Tunggu!" Sang wanita pun berteriak dan si pencuri terdiam. Apa Ana akan menghabisinya? Sungguh, untuk urusan kematian, dia belum siap meninggalkan dunia.
Ana menyodorkan selembar uang berwarna biru. Jumlah yang besar untuk diberikan kepadanya yang telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Ia memandang kosong Ana, namun cepat-cepat Ana meraih tangannya dan meletakkan uang itu dalam genggamannya sebelum dia menarik lagi tangannya.
"Ambil itu dan belilah obat-obatan untuk memerban kepalamu. Aku tidak akan meminta maaf atas sikapku barusan karena kau memang pantas mendapatkan. Tapi, perlu kau ingat satu hal. Setidaknya berusaha lah bertahan hidup tanpa melakukan tindakan kejahatan seperti barusan. Aku tahu dunia kejam, tapi jangan biarkan dunia yang mengaturmu."
Si pencuri tersenyum hampa. "Dari semua orang yang barangnya pernah kucuri, baru kali ini ada yang mau berbaik hati pada orang serendah diriku." Suaranya agak bergetar dan Ana dapat mendengarnya dengan jelas.
Ana menimpalinya, "Kau sendiri yang memandang dirimu rendah. Di mataku, kau cuma kurang memiliki tujuan. Setelah ini, hidup lah dengan baik." Lalu, dia pun pamit. "Selamat tinggal!"
Ana melambai-lambai dan berlalu menjauhi pencuri tersebut. Matanya agak menyipit saat mendapati sosok pria yang sejak tadi ia sadari tengah mengejarnya sampai di lokasi Ana berada sekarang.
"Kau baik-baik saja, Ana?" tanya si pria. Deru napasnya tidak teratur sehabis mengejar Ana dan sang pencuri.
Ana mengangguk-angguk. "Ya, kurang lebih. Mengapa kau mencariku, Damar?" Wanita itu menatap sosok yang berbalut pakaian formal seperti hendak melakukan pekerjaan kantoran.
"Bagaimana aku tidak mencarimu? Kau itu sekretarisku. Segala macam hal yang harus kulakukan, jadwalnya ada padamu. Kalau sekretarisku tidak bekerja dengan baik, maka aku juga takkan bisa menuntaskan pekerjaanku." Damar menyentil kening Ana hingga si gadis mengaduh.
"Hei, itu sakit!" Ana menyentaknya. "Iya, aku tahu soal itu. Aku hanya ingin memperjuangkan hak asasiku. Ayo pergi! Tidak baik pemimpin perusahaan sepertimu datang terlambat."
Ana sudah mendahuluinya. Dia berjalan sembari mengenakan lagi sepatu ber-haknya. Di belakang, Damar tertawa pelan agar Ana tak bisa mendengarnya.
"Posisimu pun menjadi sekretarisku. Aku terlambat, berarti salah si sekretaris," gumamnya sebelum mengejar langkah Ana.
***
SMA Negeri Nusantara 2.
Ana memperhatikan nama sekolah yang tertera di atapnya. Sedikit bingung lantaran memikirkan alasan dari mengapa nama sekolah harus tertulis di atas sana? Memangnya akan terlihat dari dalam pesawat terbang? Dirinya bahkan tidak mau melihat ke bawah saat pesawat terbang masih berada di udara.
Ana hanya mencoba berpikir realistis.
Dan lagi, ini adalah hari pertama dirinya dinyatakan sebagai murid pindahan di tempat tersebut. Suasana sekolah di Kota Jakarta masih terasa asing untuknya. Entah hanya perasaannya saja atau memang murid-murid di kelasnya terlihat lebih mengutamakan individualisme dibanding sosialisme.
"Kelas kita kedatangan murid baru. Berhubung Wali Kelas sedang sakit, jadi Kepala Sekolah memberiku amanat untuk memperkenalkannya pada kalian," ujar sang ketua kelas yang namanya tidak Ana pedulikan. Terlebih lagi raut wajahnya. Ana kurang menyukainya, kalau boleh jujur. Dia memakai topeng keramahannya.
Ana pun memperkenalkan dirinya. "Namaku Ana. Murid pindahan dari Bandung. Salam kenal."
Dia memperhatikan murid-murid di kelasnya dengan jumlah yang telah dia hitung. Ada sebanyak 33 orang dan mungkin ada yang tidak masuk. Semuanya tak perkataan Ana dan menyibukkan diri mereka sendiri. Ana juga tidak ingin berpikir lebih banyak. Mereka suka atau tidak, dia akan tetap menjadi bagian dari kelas tersebut.
"Maaf, Na."
Segera Ana mengangkat tangan dan menutup mulut sang ketua kelas. Mengisyaratkannya untuk diam. "Aku paham. Tidak usah mengatakan apapun. Sekarang, aku duduk di mana? Kurasa sebentar lagi akan ada guru yang datang."
Tiba-tiba seseorang berteriak, "Cepat ke tempat duduk kalian! Bu Kana sedang menuju ke mari!"
Ana masih memperhatikan sang ketua kelas. Dengan asal, siswa itu menempatkan Ana bersama seorang siswi berhijab putih yang nampaknya tengah menulis sesuatu di buku. Gadis itu tersenyum ketika menyadari kehadiran Ana di sampingnya.
"Halo. Namaku Kinanti. Maaf tidak melihatmu saat sedang berbicara di depan. Ada jawaban yang salah hitung di PR matematika. Jadi, aku harus memperbaiki ini. Guru matematika di sini tidak bisa dianggap remeh. Kau harus berhati-hati."
Kesan pertama yang Ana dapatkan dari Kinanti adalah gadis cerewet yang tak memerlukan topengnya. Mengabaikan reaksi Ana yang kemungkinan akan memperlakukannya dengan buruk. Namun, tentu saja dia tidak akan melakukan hal itu.
Ana menatap tangan si gadis berhijab putih yang terulur kepadanya. Kemudian, dia tersenyum kecil dan membalas jabatan tangan Kinanti. "Aku Anatari."
Kinanti terdengar sedikit berdeham. "Ehm, kau mau ikut mengerjakannya? Setidaknya ini cukup membantumu agar terlihat sebagai murid yang rajin di hari pertamamu sekolah di sini."
Tawaran yang menarik. Di hari pertama mereka bertemu, Kinanti sudah membantunya. "Baiklah. Coba kulihat," ucap Ana.
Si gadis yang memakai bando hitam itu menyimak tulisan tangan Kinanti yang meskipun hitungannya bisa terbilang mengarah ke sana-sini karena terdapat beberapa tanda panah, namun masih bisa dimengerti. Ana menyimpulkan kalau Kinanti merupakan tipe orang yang mendetail terhadap sesuatu.
"Ada yang salah. Harusnya kau mengerjakannya seperti ini." Ana mengeluarkan sebatang pensil dari tasnya dan mulai mengerjakan tugas milik Kinanti. Di sampingnya, si pemilik tugas membelalak tidak percaya.
"Tidak mungkin! Bagaimana kau tahu cara sederhana seperti ini?"
Ana menggaruk-garuk kepalanya. "Hanya memperhatikan orang lain saja."
***
Ini sangat salah. Dia terlalu meremehkan Kinanti yang kelihatan seperti sosok perempuan lemah yang patut dilindungi. Untuk pertama kalinya dalam sepanjang sejarah kehidupan Ana, ada seorang perempuan yang sanggup melemahkan kakinya sehabis berjalan-jalan ke seluruh sekolah.
Ana masih menarik napasnya saat mengatakan, "Kinanti, bisakah untuk tidak terlalu bersikap aktif? Aku membutuhkan minum. Aku ... Aku haus."
Kinanti gelagapan akibat penuturan Ana. Dia tidak tahu efek dari keaktifannya dalam beraktivitas bisa separah ini. "B-baiklah, maafkan aku. Aku terlalu bersemangat."
Jam istirahat dipakai Kinanti untuk mengenalkan lingkungan sekolah tersebut kepada Ana. Ini sudah berjalan lebih dari 15 menit dan Kinanti berlarian sambil menyeret Ana. Sebenarnya Ana tidak masalah soal sikap aktifnya Kinanti. Hanya saja dia butuh waktu untuk mengisi perut dan dahaga.
"Kupikir kau mencintai sekolah ini karena sebuah alasan. Di salah satu ruangan, aku bisa merasakan emosimu yang lebih bahagia dibandingkan pada saat kita berada di tempat lain." Kinanti menengok pada Ana. "Apa aku benar, kalau kau sedang mencari seseorang?"
Merasa ketahuan, Kinanti pun tersenyum malu. "Kau benar. Tapi, sepertinya dia tidak ada di tempat itu."
Ana mengernyit sebentar sebelum membalasnya lagi. "Kekasihmu?"
Tebakan Ana berhasil membuat Kinanti semakin malu bukan main. Apakah sejelas itu perasaan Kinanti di depan Ana, atau gadis itu yang memang mudah menebak perasaan orang lain?
Kinanti menggerakkan tangannya ke kanan-kiri. Tidak setuju atas ucapan Ana. "B-bukan! Hanya ... H-hanya ...." Namun, dia malah kebingungan mencari jawabannya sendiri.
Ana tidak ingin memaksa Kinanti untuk menjawab pertanyaannya. Lagipula dia sudah mengetahui kebenarannya. Reaksi Kinanti sekarang cukup menghiburnya.
Ana memanggil si gadis berhijab itu setelah mendengar perutnya berbunyi. "Kau tahu letak kantin? Aku lapar."
Kinanti tertawa sebentar sebelum menjawab, "Tentu saja. Turnya kita lanjutkan nanti saat pulang sekolah."
Ana merasa tidak keberatan. Dia senang bertemu dengan Kinanti, gadis dengan mata berwarna cokelat yang berbinar-binar ketika melakukan suatu hal yang kelihatannya dia sukai. Karakter yang Kinanti miliki tidak berlebihan ataupun ingin terlihat paling baik kepribadiannya di mata orang, dari Ana. Dia menyukai Kinanti. Suka dalam artian tertarik.
Belum beranjak dari tempatnya, Ana dibuat keheranan setelah melihat beberapa murid berlarian ke satu arah yang sama. Kedua alis milik gadis itu berkerut. Ana memandang Kinanti, namun yang dituju malah mengangkat bahu. Pertanda bahwa Kinanti pun tidak tahu-menahu terkait apa yang terjadi saat ini.
"Kau mau mengikuti mereka?" tanya Kinanti dengan nada bicara yang kelewat pelan, bahkan nyaris berbisik.
Entahlah. Ana bingung. Biasanya jika ada keadaan yang seperti ini, maka telah terjadi sesuatu di tempat kejadian. Ana menghela napas.
"Lebih baik kuikuti."
Ana tidak tahu mengenai apa yang terjadi di dalam kerumunan murid tersebut, begitu pula dengan Kinanti. Mereka cuma bisa mengandalkan pendengaran yang tajam untuk mencari informasi terkait kerumunan itu. Juga sayang sekali, keduanya tidak dianugerahi dengan tubuh yang tinggi, sehingga mereka terlihat seperti anak SMP kelas 1 di antara murid-murid satu sekolah mereka. Dia masih merasa penasaran dengan orang-orang itu. Belum lagi Ana dapat mendengar suara seseorang di antara obrolan para murid di kantin. Karakter suaranya sangat berbeda dengan murid-murid di sekitar. Ada rasa marah, cemburu, bahkan tingkat kebenciannya sangat tinggi. Karakter suara yang paling dibenci Ana. "Ana, lihat ke sana!" Kinanti menunjuk ke sebuah tangga di gedung terdekat kantin. Ana melihat ke lantai dua. Menonton dari sana akan membuat dirinya lebih mudah menyaksikan tontonan murid-murid itu. Segera gadis berbando itu menarik lengan Kinanti dan membawanya pergi ke tempat tujuan mereka
Ana melangkah menuju meja makan yang terdapat berbagai macam jenis masakan buatan sang ibu. Harum dari masakan tersebut mampu menggugah selera Ana. Dia menghampiri ibunya yang masih menyiapkan piring untuk makan keduanya. Akan tetapi, Ana perlu berangkat pagi-pagi ke sekolah. Hanya saja dia tidak enak mengatakannya. "Mengapa diam saja, Na? Ayo makan! Nanti kamu akan terlambat ke sekolah." Ana menghela napas. Dia tak kunjung duduk meski ibunya sudah menyiapkan alat makan untuk dirinya dan anaknya, Anatari. "Ibu, sepertinya aku akan membawa bekal saja. Aku sudah memiliki janji dengan teman sebangkuku kalau kami akan berkeliling sekolah lagi sebelum bel berbunyi," jelasnya. Sang ibu terkejut. Alih-alih merasa kecewa karena Ana yang tidak makan bersama dengannya, justru dia terlihat menyunggingkan senyum manis atas ucapan anaknya itu. "Kamu sudah punya teman, Na? Ibu senang karena anak Ibu memiliki teman baru. Ya sudah, Ibu akan siapkan bekalnya.
Setiap menitnya dalam menjalani kehidupan, sejak kemunculan seorang gadis tak dikenal yang berani memandang menantang kepadanya, lelaki itu jadi menyimpan rasa kesal serta dendam. Seperti tak ada rasa takut, ia mampu melawan Rezvan di saat murid lain hanya bisa terdiam kaku. Ini begitu memalukan. Harga diri Rezvan jatuh setelah seorang perempuan berhasil mengalahkannya. Dalam waktu 4 hari, Rezvan berhasil menyimpan beberapa informasi mengenai orang itu, yang didapat dari orang kepercayaannya. Maksudnya orang yang sudah dia ancam jika tidak memberitahunya mengenai sosok itu. Anatari adalah nama panjangnya. Sedangkan dia sering dipanggil Ana. Dari raut wajahnya menjelaskan bahwa Ana merupakan seorang gadis bertingkah laku tenang, namun bisa menjadi menyeramkan jika situasi sudah membuatnya marah. Ada beberapa saksi yang mengatakan hal yang hampir sama. Rezvan bisa melihat setenang apa Ana jika dirinya tidak ada. Ketika mereka berpapasan, Ana akan mengge
Ana tak ingat kapan tepatnya dia melawan penindasan yang dilakukan orang-orang. Tetapi sejak SD, Ana kecil sudah berani melaporkan perilaku teman-teman sekelasnya hingga membuat seseorang menangis. Saat itu, Ana sudah berpikir bahwa candaan yang bisa menimbulkan rasa sedih di hati orang lain itu sangatlah salah, dan Ana akan membenci para pelaku ini. Mungkin orang dewasa berpikir itu cuma permainan anak kecil. Bagi Ana, ini sama sekali tidak lucu. Dia tak mau orang itu menjadi tak ingin masuk sekolah. Setidaknya jika orang itu bersekolah, ia akan diberi uang jajan. Mohon dimaklumi. Bukankah anak kecil memang senang jajan? Masuk SMP, Ana mulai mengerti soal pengelompokan manusia yang entah siapa yang membuatnya. Sekali lagi, Ana membencinya. Seperti menunjukkan bahwa orang lain tidak pantas berada dalam kelompok itu. Ana lebih suka menyendiri, atau menemani seseorang yang sedang dikucilkan oleh orang lain. Kesendirian yang Ana dapatkan merupakan pilihannya, te
Sesuai tantangan yang Ana berikan, Rezvan benar-benar mendatangi gadis itu ke tempat yang telah diarahkan. Ia tersenyum miring. Meskipun pertengkaran tadi memperlihatkan bahwa dirinya yang menjadi seorang pelaku, tetapi itu sudah cukup membuktikan kepadanya bahwa Ana juga akan merasa tidak nyaman ketika ada yang membicarakan soal keluarganya.Ya, pada akhirnya Rezvan tahu akan apa yang terjadi mengenai keluarga Ana. Tidak sia-sia dirinya mencari informasi dari sana sini, meskipun harus ada ancaman dulu terhadap seseorang yang pernah satu sekolah dengan Ana ketika masih SMP.Inilah akibatnya melawan seorang Rezvan Adhitama, apalagi membawa nama keluarga. Dia takkan segan-segan menyakiti orang yang telah mencemari nama baik keluarganya.Dia bisa melihat seorang gadis berjaket sedang menyilangkan tangan sembari memperhatikan dirinya, berada di tengah-tengah taman. Ternyata Ana sudah lebih dulu sampai ke tempat itu dan bersiap-siap mengenai apa yang akan terjadi di
Seumur hidup, ada 2 hal yang sangat Ana sesali. Pertama, dia tidak menggigit lengan sang ayah sebelum menghilang dan memberikan tanggung jawab pelunasan hutangnya kepada anak dan istri. Kedua, memiliki atasan yang kini menjadi salah satu teman dekatnya.Damar Mahendra, laki-laki menyebalkan yang dulu merupakan seorang remaja pengecut yang takut dengan keberadaan orang bertubuh lebih pendek darinya. Mendapat kabar Ana sedang kesulitan mencari pekerjaan di wilayah ibukota, Damar menawari Ana posisi sekretaris dengan iming-iming gaji yang sangat tinggi bahkan mampu membelikannya sebuah rumah yang besar. Sombong sekali.Ah, Ana tidak mau munafik. Dia suka kesombongan itu. Maksudnya mengenai uang.Damar tampan? Lumayan.Damar baik hati? Lupakan saja.Di lingkungan pekerjaan, pria itu bukan orang yang mudah membiarkan kesalahan orang lain. Entah bagaimana Damar tumbuh menjadi laki-laki yang disegani para karyawannya. Tak ada Damar yang memiliki pandangan
"Dengan ini, rapat telah selesai. Terima kasih atas kehadiran anda sekalian." Pria tersebut sedikit membungkuk guna memberikan sopan santun kepada orang-orang dari berbagai jabatan yang hadir dalam pertemuan tersebut. Akan tetapi, tak satupun dari orang-orang itu meninggalkan ruang rapat. Mereka hanya melihat ke sebuah laptop hitam yang selalu setia hadir di setiap perkumpulan tersebut. Lelaki itu paham mengenai penatapan mata yang mereka perlihatkan. Sebenarnya tidak sekali ataupun dua kali hal ini terjadi. Tetapi, tak ada yang mau membicarakannya. Mereka membiarkan ini terus terjadi dan mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk dibahas. "Saya minta maaf jika sudah berkata tidak sopan. Tapi, bukankah seharusnya direktur diharuskan datang ke rapat? Mengapa anda memilih berkomunikasi dengan kami lewat layar kecil ini, Pak Rezvan?" Di tempat lain yang menghubungkan ia dengan laptop di ruang rapat, seorang lelaki hanya memandang serta tersenyum miri
"K-Kau!" "B-bagaimana bisa?!" Dua insan saling melihat. Namun, bukan sebuah pandangan biasa yang mereka berikan terhadap satu sama lain, melainkan rasa terkejut hingga kembali timbul amarah dan dendam di antara mereka yang sudah lama terkubur. Mereka tak pernah dapat membayangkan bahwa Tuhan mempertemukan kedua orang tersebut kembali tanpa tahu alasan-Nya melakukan itu. Terlebih ... Bagaimana ceritanya Ana menjadi sekretaris direktur dan Rezvan menjadi direktur dari perusahaan masing-masing? Dan yang akan mereka lakukan adalah kerja sama demi keuntungan dua perusahaan? Tidak. Jelas Ana ingin sekali mengabarkan kehadiran Rezvan di perusahaan kepada Damar, sebelum orang itu datang dan membuat situasi lebih parah. Di sisi lain, Rezvan pun menyesal karena dia malah mengiyakan ajakan Kenan untuk melakukan pertemuan tatap muka dengan pemilik perusahaan High-tech. Mengapa ayahnya–direktur ut
Hari ini, Damar telah diizinkan pulang oleh dokter yang merawatnya, dengan catatan Damar masih perlu menemui psikiater guna mengembalikan kesehatan mentalnya lagi. Ana lah yang jadi orang pertama untuk mendengar kabar kepulangan Damar.Namun, mendadak dia teringat ucapan Rezvan kemarin. Jika benar orang yang Rezvan usik merupakan anak-anak dari orang yang hendak menghancurkan keluarganya, bukankah ini berarti keberadaan keluarga Damar merupakan salah satu dari alasan Rezvan melampiaskan kemarahannya pada pria di hadapannya sekarang?Jadi, sebenarnya siapa yang benar-benar salah? Jujur, Ana tak ingin membela orang yang sebenarnya salah namun pura-pura menjadi korban. Tetapi, Damar tidak menunjukkan pengetahuannya terkait permasalahan ini. Semakin dalam, ini membuat Ana stres.Menyadari perubahan tingkah Ana, Damar menghampirinya. "Kau baik-baik saja, Ana?""Aku baik. Tak perlu khawatirkan aku. Sepertinya aku cuma kelelahan saja," sahutnya lirih.Dam
"Aku bilang ... Ayo kita bertemu, membicarakan hubungan kita."Rezvan ingin sekali membawa korek kupingnya jika tau akan terjadi hal ini. Serius ... Ana mengucapkan kalimat aneh seperti itu? Bertemu? Membicarakan hubungan? Maksudnya apa? Sudah jelas mereka bermusuhan. Tidak dekat pula.Tunggu. Rezvan menyadari arah perbincangan ini. Hubungan mereka di masa lalu berbeda dengan di masa sekarang. Jikalau Ana bukan sekretaris Damar atau Rezvan tidak mengambil posisi sekretaris atau kedua perusahaan tersebut tak menjalin kerja sama, maka mereka akan tetap sama seperti sebelumnya ketika kembali bertemu.Tetapi, jelas kehidupan mereka seperti tengah dipermainkan lewat pertemuan kemarin. Apa yang harus Rezvan lakukan meskipun melihat Ana saja sudah membuatnya kesal?"Hei, Pak Bos, kau masih di sana?"Dengan terpaksa Rezvan menjawab, "Aku mengerti apa katamu. Kau melakukan ini untuk apa?""Aku tidak ingin hubungan kita di masa lalu merusak semuanya y
Gadis itu sedang menggigit jarinya berulang kali dan sudah sedari tadi dia melakukan ini. Dalam pikirannya, dia tidak tahu harus membantu temannya atau tidak. Damar sendiri yang tidak ingin tugas tersebut kembali dipegang oleh ayah dari lelaki itu, sang direktur utama. Pun ini akan menjadi pertama kali untuknya jika benar hal itu akan terjadi, menjalin ikatan kerja sama dengan posisi sebagai sekretaris. Ana cukup tahu diri. Tidak mungkin sekretaris melakukan hal itu. Akan tetapi, ini akan menjadi mungkin jika Ana mau melakukannya. Selain itu, ada sesuatu yang sudah Ana coba simpulkan, tetapi tetap saja membuatnya tidak mengerti. Wanita itu mengetahui soal masa lalu di antara Damar dan Rezvan. Kejadiannya setelah upacara kelulusan. Ana menyaksikan Rezvan tengah memukuli Damar secara terus-menerus. Bahkan ia memanfaatkan ketakutan Damar untuk menjalankan aksinya. Jujur, Ana takut. Untuk pertama kali selama dia terikat konflik dengan Rezvan, lelaki itu m
"B-b-bagaimana bisa?!" Rezvan langsung bangkit dari tempat duduknya. Sangat terkejut mendapati si gadis berada di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di sini?!" "Ini perusahaan tempatku bekerja!" kata Ana menyeru. "Kau sendiri, bagaimana bisa ada di sini?!" Kenan yang merasa penasaran, memotong perbincangan keduanya. "Kalian saling mengenal?" Rezvan tersenyum meremehkan Ana. "Oh, benar. Kenan, perkenalkan. Dia perempuan j**ang yang sering melawanku ketika kami bermain semasa masih sekolah. Berpura-pura kuat padahal sebenarnya suka menangis." "J**ang? Apa aku tidak salah dengar? Apakah seseorang yang dulunya selalu dikalahkan oleh perempuan, pengecut yang bersembunyi di bawah ketiak orang tuanya, menyebutku begitu?" Rezvan memperhatikan baju yang dikenakan Ana. Bahkan dia juga melihat ke arah berkas-berkas yang dibawa Ana. "Wah, lihat! Sekretaris? Rendah sekali posisimu," cibirnya. Ana tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Rezva
"K-Kau!" "B-bagaimana bisa?!" Dua insan saling melihat. Namun, bukan sebuah pandangan biasa yang mereka berikan terhadap satu sama lain, melainkan rasa terkejut hingga kembali timbul amarah dan dendam di antara mereka yang sudah lama terkubur. Mereka tak pernah dapat membayangkan bahwa Tuhan mempertemukan kedua orang tersebut kembali tanpa tahu alasan-Nya melakukan itu. Terlebih ... Bagaimana ceritanya Ana menjadi sekretaris direktur dan Rezvan menjadi direktur dari perusahaan masing-masing? Dan yang akan mereka lakukan adalah kerja sama demi keuntungan dua perusahaan? Tidak. Jelas Ana ingin sekali mengabarkan kehadiran Rezvan di perusahaan kepada Damar, sebelum orang itu datang dan membuat situasi lebih parah. Di sisi lain, Rezvan pun menyesal karena dia malah mengiyakan ajakan Kenan untuk melakukan pertemuan tatap muka dengan pemilik perusahaan High-tech. Mengapa ayahnya–direktur ut
"Dengan ini, rapat telah selesai. Terima kasih atas kehadiran anda sekalian." Pria tersebut sedikit membungkuk guna memberikan sopan santun kepada orang-orang dari berbagai jabatan yang hadir dalam pertemuan tersebut. Akan tetapi, tak satupun dari orang-orang itu meninggalkan ruang rapat. Mereka hanya melihat ke sebuah laptop hitam yang selalu setia hadir di setiap perkumpulan tersebut. Lelaki itu paham mengenai penatapan mata yang mereka perlihatkan. Sebenarnya tidak sekali ataupun dua kali hal ini terjadi. Tetapi, tak ada yang mau membicarakannya. Mereka membiarkan ini terus terjadi dan mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk dibahas. "Saya minta maaf jika sudah berkata tidak sopan. Tapi, bukankah seharusnya direktur diharuskan datang ke rapat? Mengapa anda memilih berkomunikasi dengan kami lewat layar kecil ini, Pak Rezvan?" Di tempat lain yang menghubungkan ia dengan laptop di ruang rapat, seorang lelaki hanya memandang serta tersenyum miri
Seumur hidup, ada 2 hal yang sangat Ana sesali. Pertama, dia tidak menggigit lengan sang ayah sebelum menghilang dan memberikan tanggung jawab pelunasan hutangnya kepada anak dan istri. Kedua, memiliki atasan yang kini menjadi salah satu teman dekatnya.Damar Mahendra, laki-laki menyebalkan yang dulu merupakan seorang remaja pengecut yang takut dengan keberadaan orang bertubuh lebih pendek darinya. Mendapat kabar Ana sedang kesulitan mencari pekerjaan di wilayah ibukota, Damar menawari Ana posisi sekretaris dengan iming-iming gaji yang sangat tinggi bahkan mampu membelikannya sebuah rumah yang besar. Sombong sekali.Ah, Ana tidak mau munafik. Dia suka kesombongan itu. Maksudnya mengenai uang.Damar tampan? Lumayan.Damar baik hati? Lupakan saja.Di lingkungan pekerjaan, pria itu bukan orang yang mudah membiarkan kesalahan orang lain. Entah bagaimana Damar tumbuh menjadi laki-laki yang disegani para karyawannya. Tak ada Damar yang memiliki pandangan
Sesuai tantangan yang Ana berikan, Rezvan benar-benar mendatangi gadis itu ke tempat yang telah diarahkan. Ia tersenyum miring. Meskipun pertengkaran tadi memperlihatkan bahwa dirinya yang menjadi seorang pelaku, tetapi itu sudah cukup membuktikan kepadanya bahwa Ana juga akan merasa tidak nyaman ketika ada yang membicarakan soal keluarganya.Ya, pada akhirnya Rezvan tahu akan apa yang terjadi mengenai keluarga Ana. Tidak sia-sia dirinya mencari informasi dari sana sini, meskipun harus ada ancaman dulu terhadap seseorang yang pernah satu sekolah dengan Ana ketika masih SMP.Inilah akibatnya melawan seorang Rezvan Adhitama, apalagi membawa nama keluarga. Dia takkan segan-segan menyakiti orang yang telah mencemari nama baik keluarganya.Dia bisa melihat seorang gadis berjaket sedang menyilangkan tangan sembari memperhatikan dirinya, berada di tengah-tengah taman. Ternyata Ana sudah lebih dulu sampai ke tempat itu dan bersiap-siap mengenai apa yang akan terjadi di
Ana tak ingat kapan tepatnya dia melawan penindasan yang dilakukan orang-orang. Tetapi sejak SD, Ana kecil sudah berani melaporkan perilaku teman-teman sekelasnya hingga membuat seseorang menangis. Saat itu, Ana sudah berpikir bahwa candaan yang bisa menimbulkan rasa sedih di hati orang lain itu sangatlah salah, dan Ana akan membenci para pelaku ini. Mungkin orang dewasa berpikir itu cuma permainan anak kecil. Bagi Ana, ini sama sekali tidak lucu. Dia tak mau orang itu menjadi tak ingin masuk sekolah. Setidaknya jika orang itu bersekolah, ia akan diberi uang jajan. Mohon dimaklumi. Bukankah anak kecil memang senang jajan? Masuk SMP, Ana mulai mengerti soal pengelompokan manusia yang entah siapa yang membuatnya. Sekali lagi, Ana membencinya. Seperti menunjukkan bahwa orang lain tidak pantas berada dalam kelompok itu. Ana lebih suka menyendiri, atau menemani seseorang yang sedang dikucilkan oleh orang lain. Kesendirian yang Ana dapatkan merupakan pilihannya, te