Sesuai tantangan yang Ana berikan, Rezvan benar-benar mendatangi gadis itu ke tempat yang telah diarahkan. Ia tersenyum miring. Meskipun pertengkaran tadi memperlihatkan bahwa dirinya yang menjadi seorang pelaku, tetapi itu sudah cukup membuktikan kepadanya bahwa Ana juga akan merasa tidak nyaman ketika ada yang membicarakan soal keluarganya.
Ya, pada akhirnya Rezvan tahu akan apa yang terjadi mengenai keluarga Ana. Tidak sia-sia dirinya mencari informasi dari sana sini, meskipun harus ada ancaman dulu terhadap seseorang yang pernah satu sekolah dengan Ana ketika masih SMP.
Inilah akibatnya melawan seorang Rezvan Adhitama, apalagi membawa nama keluarga. Dia takkan segan-segan menyakiti orang yang telah mencemari nama baik keluarganya.
Dia bisa melihat seorang gadis berjaket sedang menyilangkan tangan sembari memperhatikan dirinya, berada di tengah-tengah taman. Ternyata Ana sudah lebih dulu sampai ke tempat itu dan bersiap-siap mengenai apa yang akan terjadi di antara keduanya. Ia membuka bahkan melempar jaket serta tasnya ke sembarang arah. Pandangannya sangat menusuk, namun Rezvan tidak menjadi segan olehnya.
Lelaki itu pun meladeni Ana dengan sama-sama melepaskan tasnya ke samping. Dia kembali memancing Ana.
"Ini yang kau mau, kan? Memang apa yang salah soal perkataanku tadi? Apa karena aku benar, bahwa ibumu selingkuh dan ayahmu pergi meninggalkan rumah?" tuturnya yang menyerang Ana lewat beberapa pertanyaan.
Ana yang sudah berjarak semester dari Rezvan, dengan cepat meraih kerah baju pemuda tersebut. Kini, pandangan Rezvan sama gelapnya seperti anak Hawa itu.
"Tutup mulutmu!"
"Kau ingat pernah membicarakan hal buruk soal keluargaku? Ini balasan yang pantas untukmu," tutur Rezvan.
"Aku berbeda darimu, si**an! Kau tahu apa soal keluargaku? Sedangkan kau," Secara berani, jari telunjuk Ana menunjuk kepada Rezvan hingga menyentuh dadanya, "bahkan satu sekolah pun tahu kau dan keluargamu itu tidak punya rasa malu dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Apa yang terjadi dengan para korban? Apakah mereka dijadikan pelaku olehmu? Polisi dibayar untuk melakukan itu?"
Tak terduga, Rezvan mengambil kesempatan ini untuk melayangkan sebuah pukulan ke pipi Ana. Perempuan itu jatuh terduduk dan menyadari rasa sakit yang menyebar di wajah. Akan tetapi, hal itu tidak membuatnya berhenti begitu saja.
Rezvan membentaknya. "Jangan bertindak seperti kau mengetahui semua hal!"
"Kau juga tidak tahu apapun soal aku! Kau tidak tahu apa alasan ayahku pergi! Memangnya kau siapa hingga bisa membicarakan itu? Mengapa kau ikut campur urusan keluargaku, br***sek?!" Lalu, Ana membalas serangan Rezvan dengan membanting badan anak Adam itu ke tanah dan mencekiknya kuat-kuat.
Meski begitu, tetap saja tenaga Ana tidak lebih kuat dibanding Rezvan. Jadi, Rezvan berhasil menyingkirkan Ana lewat tarikan pada rambutnya sekuat mungkin hingga si gadis merasa kesakitan dan refleks membebaskan Rezvan dari tangannya.
Sekarang, mereka saling menyerang satu sama lain. Rezvan menggunakan tenaganya, sanggup mencederai Ana yang tergolong gadis biasa yang pandai bela diri. Tetapi, Ana berhasil mengimbangi keadaan memakai kecerdikannya mencari posisi demi mengunci gerakan Rezvan, juga menghindari beberapa serangan Rezvan.
Hingga pada akhirnya, mereka berdua sama-sama terengah-engah akibat terlalu lelah. Rezvan mengakui Ana bukan perempuan biasa yang ketika mendapat luka akan merasa tersakiti, diam, kemudian menangis. Begitu juga dengan apa yang dipikirkan Ana, Rezvan bukanlah lawan yang bisa dia remehkan karena mau bagaimanapun, Rezvan merupakan seseorang yang terlahir sebagai laki-laki.
Rezvan mendapat rasa sakit di bagian perut, leher, pipi, juga kaki. Sedangkan yang Ana rasakan berada di bagian perut, wajah, dan lengan. Sayangnya mereka masih mengibarkan bendera peperangan. Jadi, pertarungan ini belum benar-benar berakhir.
Di saat Ana lengah, Rezvan hendak melangkahkan satu kakinya sebelum seseorang menutupi tubuh Ana dan berdiri di hadapan si perempuan. Napasnya berhembus berat, kentara tengah ragu-ragu mengenai keputusannya untuk melindungi Ana.
"Damar?" ucap Ana melirih.
"Hentikan ini, Ana. Jangan menyiksa dirimu sendiri dengan cara ini! Mengapa jadi kau yang harus menanggung semua ini? Ingatlah, aku penyebabnya. Tolong jangan dilanjutkan!" Damar menyeru juga meminta kepada Ana.
Rezvan menjawab, "Kau ingin jadi pahlawan kesiangannya? Menjadi pangerannya? Jangan bersikap sok berani kalau kemarin saja kau tidak bisa menatap mataku!"
"J-justru karena aku yang mengawali pertengkaran kalian, maka dari itu aku perlu menghentikan ini!"
Rezvan tidak berkata-kata lagi. Lelaki itu memutuskan untuk melangkah meraih tasnya dan pergi dari tempat tanpa berbalik badan lagi. Di belakang, Ana jatuh ke pelukan Damar. Dia memandang ke langit dan membiarkan tubuhnya berada dalam dekapan Damar.
"Tolong jangan terluka! Ini semua salahku." Damar menunduk, menyesali perbuatannya karena tidak bisa melindungi Ana hingga membuatnya cedera.
Lalu, Ana membalasnya, "Untuk apa kau menyalahkan dirimu sendiri? Sudah kubilang, ini bukan karena dirimu."
Akan tetapi, Damar nampak menggeleng-geleng meskipun perlahan. "Tidak, ini memang salahku karena saat itu awal mula kalian bertengkar. Karena aku tak cukup berani melawan Rezvan, membuatmu membelaku. Jika aku melakukannya sedari awal, keadaanmu yang seperti sekarang ini takkan pernah terjadi."
Dan Ana tiba-tiba menceketuk, "Ya, dan pertemuan kita juga tidak akan jadi begini. Bersyukurlah atas setiap pertemuan yang terjadi dalam hidupmu. Terkadang setelah mendapat perpisahan, itu hanya akan menyakiti kita."
Damar tak lagi bersuara, karena apa yang Ana ucapkan memang benar adanya. Ia hanya menyaksikan Ana yang mengistirahatkan diri tanpa memedulikan keadaan sekitar. Malahan Ana bilang untuk meminjam paha Damar agar dia bisa tiduran.
Suasana saat ini sangat mendukung Ana yang ingin mendamaikan hati serta pikirannya. Penat telah berkelahi dengan rezvan. Setidaknya dia ingin lelaki itu mendapat pelajaran agar tidak lagi mengungkit-ungkit soal keluarganya.
***
Ana sangat bersyukur begitu melihat pesan dari ibunya kalau sang ibu harus pergi ke rumah adiknya. Katanya, bibi dari gadis itu dilarikan ke rumah sakit tanpa menjelaskan penyebab yang membuat bibinya menjadi seperti itu. Di satu sisi, Ana jadi mengkhawatirkan sang bibi. Di sisi lain, Ana tidak harus mendengar beragam pertanyaan keluar dari mulut ibunya mengenai luka yang Ana dapatkan. Dia tak mau ibunya tahu Ana bertengkar dengan seseorang lagi.
Dia meminta Kinanti untuk datang ke rumah. Menjadi yang pertama kali sepanjang hidup Ana, membawa teman ke tempat tinggalnya tersebut. Mengundang Kinanti untuk menemaninya, dan mungkin dirinya juga harus bercerita soal kejadian tadi sore di taman. Setelah mengirim lokasi rumah Ana, gadis itu hanya tinggal duduk manis sembari mempersiapkan peralatan obatnya.
Karena Ana sudah berpesan agar Kinanti langsung masuk ke rumahnya, maka gadis bertudung cokelat tersebut sudah berada di depan Ana dengan mata yang membulat begitu ia sampai di tempat.
"Apa yang terjadi denganmu, Na?" Kinanti spontan meremas kedua bahu Ana.
Bukannya menjawab pertanyaannya, Ana malah berkata, "Waalaikusalam."
Kinanti mengerjap-ngerjapkan sepasang indra penglihatannya. Dan ia baru sadar akan sesuatu. Lantas, Kinanti tersenyum malu-malu. "Maaf, lupa. Terlalu panik. Assalammualaikum," ucapnya.
Ana mengangguk-anggukan kepala. "Waalaikusalam."
"Jadi, mengapa kau bisa begini?" Kemudian, Kinanti pun mengambil alih untuk mengobati Ana.
"Tadi sore, aku habis berkelahi dengan Rezvan."
"KAU GILA?!" Tanpa Kinanti sadar, teriakannya sukses mengejutkan Ana dan mungkin tetangga di seberang sana. Ana bersumpah, suara Kinanti sangat keras.
Dia menjauhkan Kinanti terlebih dahulu. Mengambil beberapa buah es batu, memasukkannya ke dalam kain, lalu kembali mengompres luka bekas bogem mentah karya Rezvan.
"Ya, aku sangat gila sampai rasanya masih ingin memukulinya lagi."
Kinanti meringis melihat luka gores di alis Ana. Ia tidak mengetahui bahwa yang menyebabkan luka tersebut muncul adalah cincin yang Rezvan kenakan.
"Memangnya apa yang sudah dia lakukan hingga kau marah?"
Ana mengeratkan lagi kepalan tangannya. "Dia sudah menghina ibuku. Aku tidak mungkin berdiam diri saja."
Berat menjalani kehidupan seperti Ana. Gadis berambut hitam sebahu itu tahu permasalahannya seperti apa. Karena ketika itu terjadi, Ana sudah berada di umur 7 tahun, waktu yang setidaknya cukup untuk memahami kondisi rumah tangga orang tuanya. Dan barulah ia tahu, mereka tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.
Ibunya tidak pernah selingkuh. Yang membuatnya sebal adalah wanita yang sudah melahirkannya itu masih percaya suaminya akan kembali pulang, sedangkan Ana bahkan bersiap-siap akan menendangnya kembali ke luar. Tidak peduli orang itu adalah ayahnya.
Kinanti memang tidak mengetahui masalah yang Ana miliki. Namun, satu hal yang pasti dari dirinya.
"Aku tidak mau kau terluka seperti ini lagi. Kau temanku, Na, dan aku juga tak ingin membiarkanmu begini lagi. Ini karena aku peduli padamu. Aku tahu kau marah. Tapi, beradu pukul dengannya hanya akan membuat situasi menjadi lebih rumit. Ada jalan lain agar kau bisa membuktikan kalau dia salah dan kau benar, dan itu akan lebih menguntungkanmu. Bisa kan, Na? Buktikan kalau kau memang bisa melakukannya!"
Hingga di titik ini, Ana merasa tidak yakin. Sejujurnya diberi kepercayaan seperti yang Kinanti lakukan kepadanya malah membuat Anamerasa tidak nyaman. Ana takut akan kegagalan, dan apa yang Kinanti bicarakan hanya sebuah mimpi hitam yang perlu dia kubur.
Akan tetapi, itu hanyalah beberapa menit yang lalu sebelum sorot mata Ana berubah menjadi lebih tegas. Dia meraih tangan Kinanti dan menggenggamnya.
"Aku pun akan membuktikan kepadamu kalau aku akan berhasil suatu hari nanti, Kinan. Akan aku buktikan juga kalau ibuku tidak pernah bersalah dan penindasan itu adalah hal yang salah. Akan aku hancurkan laki-laki itu hingga dia bertekuk lutut kepadaku."
Seumur hidup, ada 2 hal yang sangat Ana sesali. Pertama, dia tidak menggigit lengan sang ayah sebelum menghilang dan memberikan tanggung jawab pelunasan hutangnya kepada anak dan istri. Kedua, memiliki atasan yang kini menjadi salah satu teman dekatnya.Damar Mahendra, laki-laki menyebalkan yang dulu merupakan seorang remaja pengecut yang takut dengan keberadaan orang bertubuh lebih pendek darinya. Mendapat kabar Ana sedang kesulitan mencari pekerjaan di wilayah ibukota, Damar menawari Ana posisi sekretaris dengan iming-iming gaji yang sangat tinggi bahkan mampu membelikannya sebuah rumah yang besar. Sombong sekali.Ah, Ana tidak mau munafik. Dia suka kesombongan itu. Maksudnya mengenai uang.Damar tampan? Lumayan.Damar baik hati? Lupakan saja.Di lingkungan pekerjaan, pria itu bukan orang yang mudah membiarkan kesalahan orang lain. Entah bagaimana Damar tumbuh menjadi laki-laki yang disegani para karyawannya. Tak ada Damar yang memiliki pandangan
"Dengan ini, rapat telah selesai. Terima kasih atas kehadiran anda sekalian." Pria tersebut sedikit membungkuk guna memberikan sopan santun kepada orang-orang dari berbagai jabatan yang hadir dalam pertemuan tersebut. Akan tetapi, tak satupun dari orang-orang itu meninggalkan ruang rapat. Mereka hanya melihat ke sebuah laptop hitam yang selalu setia hadir di setiap perkumpulan tersebut. Lelaki itu paham mengenai penatapan mata yang mereka perlihatkan. Sebenarnya tidak sekali ataupun dua kali hal ini terjadi. Tetapi, tak ada yang mau membicarakannya. Mereka membiarkan ini terus terjadi dan mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk dibahas. "Saya minta maaf jika sudah berkata tidak sopan. Tapi, bukankah seharusnya direktur diharuskan datang ke rapat? Mengapa anda memilih berkomunikasi dengan kami lewat layar kecil ini, Pak Rezvan?" Di tempat lain yang menghubungkan ia dengan laptop di ruang rapat, seorang lelaki hanya memandang serta tersenyum miri
"K-Kau!" "B-bagaimana bisa?!" Dua insan saling melihat. Namun, bukan sebuah pandangan biasa yang mereka berikan terhadap satu sama lain, melainkan rasa terkejut hingga kembali timbul amarah dan dendam di antara mereka yang sudah lama terkubur. Mereka tak pernah dapat membayangkan bahwa Tuhan mempertemukan kedua orang tersebut kembali tanpa tahu alasan-Nya melakukan itu. Terlebih ... Bagaimana ceritanya Ana menjadi sekretaris direktur dan Rezvan menjadi direktur dari perusahaan masing-masing? Dan yang akan mereka lakukan adalah kerja sama demi keuntungan dua perusahaan? Tidak. Jelas Ana ingin sekali mengabarkan kehadiran Rezvan di perusahaan kepada Damar, sebelum orang itu datang dan membuat situasi lebih parah. Di sisi lain, Rezvan pun menyesal karena dia malah mengiyakan ajakan Kenan untuk melakukan pertemuan tatap muka dengan pemilik perusahaan High-tech. Mengapa ayahnya–direktur ut
"B-b-bagaimana bisa?!" Rezvan langsung bangkit dari tempat duduknya. Sangat terkejut mendapati si gadis berada di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di sini?!" "Ini perusahaan tempatku bekerja!" kata Ana menyeru. "Kau sendiri, bagaimana bisa ada di sini?!" Kenan yang merasa penasaran, memotong perbincangan keduanya. "Kalian saling mengenal?" Rezvan tersenyum meremehkan Ana. "Oh, benar. Kenan, perkenalkan. Dia perempuan j**ang yang sering melawanku ketika kami bermain semasa masih sekolah. Berpura-pura kuat padahal sebenarnya suka menangis." "J**ang? Apa aku tidak salah dengar? Apakah seseorang yang dulunya selalu dikalahkan oleh perempuan, pengecut yang bersembunyi di bawah ketiak orang tuanya, menyebutku begitu?" Rezvan memperhatikan baju yang dikenakan Ana. Bahkan dia juga melihat ke arah berkas-berkas yang dibawa Ana. "Wah, lihat! Sekretaris? Rendah sekali posisimu," cibirnya. Ana tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Rezva
Gadis itu sedang menggigit jarinya berulang kali dan sudah sedari tadi dia melakukan ini. Dalam pikirannya, dia tidak tahu harus membantu temannya atau tidak. Damar sendiri yang tidak ingin tugas tersebut kembali dipegang oleh ayah dari lelaki itu, sang direktur utama. Pun ini akan menjadi pertama kali untuknya jika benar hal itu akan terjadi, menjalin ikatan kerja sama dengan posisi sebagai sekretaris. Ana cukup tahu diri. Tidak mungkin sekretaris melakukan hal itu. Akan tetapi, ini akan menjadi mungkin jika Ana mau melakukannya. Selain itu, ada sesuatu yang sudah Ana coba simpulkan, tetapi tetap saja membuatnya tidak mengerti. Wanita itu mengetahui soal masa lalu di antara Damar dan Rezvan. Kejadiannya setelah upacara kelulusan. Ana menyaksikan Rezvan tengah memukuli Damar secara terus-menerus. Bahkan ia memanfaatkan ketakutan Damar untuk menjalankan aksinya. Jujur, Ana takut. Untuk pertama kali selama dia terikat konflik dengan Rezvan, lelaki itu m
"Aku bilang ... Ayo kita bertemu, membicarakan hubungan kita."Rezvan ingin sekali membawa korek kupingnya jika tau akan terjadi hal ini. Serius ... Ana mengucapkan kalimat aneh seperti itu? Bertemu? Membicarakan hubungan? Maksudnya apa? Sudah jelas mereka bermusuhan. Tidak dekat pula.Tunggu. Rezvan menyadari arah perbincangan ini. Hubungan mereka di masa lalu berbeda dengan di masa sekarang. Jikalau Ana bukan sekretaris Damar atau Rezvan tidak mengambil posisi sekretaris atau kedua perusahaan tersebut tak menjalin kerja sama, maka mereka akan tetap sama seperti sebelumnya ketika kembali bertemu.Tetapi, jelas kehidupan mereka seperti tengah dipermainkan lewat pertemuan kemarin. Apa yang harus Rezvan lakukan meskipun melihat Ana saja sudah membuatnya kesal?"Hei, Pak Bos, kau masih di sana?"Dengan terpaksa Rezvan menjawab, "Aku mengerti apa katamu. Kau melakukan ini untuk apa?""Aku tidak ingin hubungan kita di masa lalu merusak semuanya y
Hari ini, Damar telah diizinkan pulang oleh dokter yang merawatnya, dengan catatan Damar masih perlu menemui psikiater guna mengembalikan kesehatan mentalnya lagi. Ana lah yang jadi orang pertama untuk mendengar kabar kepulangan Damar.Namun, mendadak dia teringat ucapan Rezvan kemarin. Jika benar orang yang Rezvan usik merupakan anak-anak dari orang yang hendak menghancurkan keluarganya, bukankah ini berarti keberadaan keluarga Damar merupakan salah satu dari alasan Rezvan melampiaskan kemarahannya pada pria di hadapannya sekarang?Jadi, sebenarnya siapa yang benar-benar salah? Jujur, Ana tak ingin membela orang yang sebenarnya salah namun pura-pura menjadi korban. Tetapi, Damar tidak menunjukkan pengetahuannya terkait permasalahan ini. Semakin dalam, ini membuat Ana stres.Menyadari perubahan tingkah Ana, Damar menghampirinya. "Kau baik-baik saja, Ana?""Aku baik. Tak perlu khawatirkan aku. Sepertinya aku cuma kelelahan saja," sahutnya lirih.Dam
"Hei, kau, berhenti!" Perempuan itu berlarian menerobos angin. Meski terlahir sebagai seorang perempuan, badannya yang kecil memudahkan dia untuk mengejar seorang pencuri yang baru saja mencopet tas kecil miliknya. Dia mengumpat di tengah pelariannya untuk mendapatkan kembali tasnya beserta membuat pencuri itu terkapar tidak berdaya di atas tanah. Ia yang sedang sibuk sendiri, hampir tidak memedulikan tag nama bertuliskan Anatari. H. G yang akan terjatuh dari jas kantor yang tengah dia pakai. Tangannya yang gesit langsung meraih dan melepaskan benda itu agar ia tidak menyulitkannya saat melakukan pengejaran. "Kubilang berhenti!" Dia kembali memekik. Akan tetapi, sosok itu tak kunjung memelankan laju. Justru kecepatan larinya kian bertambah. Ana melepaskan sepatu ber-haknya sebelum berbelok ke sebuah gang yang sempit, yang mana cuma dia yang dapat masuk ke sana. Di belakang, nampak seorang laki-l
Hari ini, Damar telah diizinkan pulang oleh dokter yang merawatnya, dengan catatan Damar masih perlu menemui psikiater guna mengembalikan kesehatan mentalnya lagi. Ana lah yang jadi orang pertama untuk mendengar kabar kepulangan Damar.Namun, mendadak dia teringat ucapan Rezvan kemarin. Jika benar orang yang Rezvan usik merupakan anak-anak dari orang yang hendak menghancurkan keluarganya, bukankah ini berarti keberadaan keluarga Damar merupakan salah satu dari alasan Rezvan melampiaskan kemarahannya pada pria di hadapannya sekarang?Jadi, sebenarnya siapa yang benar-benar salah? Jujur, Ana tak ingin membela orang yang sebenarnya salah namun pura-pura menjadi korban. Tetapi, Damar tidak menunjukkan pengetahuannya terkait permasalahan ini. Semakin dalam, ini membuat Ana stres.Menyadari perubahan tingkah Ana, Damar menghampirinya. "Kau baik-baik saja, Ana?""Aku baik. Tak perlu khawatirkan aku. Sepertinya aku cuma kelelahan saja," sahutnya lirih.Dam
"Aku bilang ... Ayo kita bertemu, membicarakan hubungan kita."Rezvan ingin sekali membawa korek kupingnya jika tau akan terjadi hal ini. Serius ... Ana mengucapkan kalimat aneh seperti itu? Bertemu? Membicarakan hubungan? Maksudnya apa? Sudah jelas mereka bermusuhan. Tidak dekat pula.Tunggu. Rezvan menyadari arah perbincangan ini. Hubungan mereka di masa lalu berbeda dengan di masa sekarang. Jikalau Ana bukan sekretaris Damar atau Rezvan tidak mengambil posisi sekretaris atau kedua perusahaan tersebut tak menjalin kerja sama, maka mereka akan tetap sama seperti sebelumnya ketika kembali bertemu.Tetapi, jelas kehidupan mereka seperti tengah dipermainkan lewat pertemuan kemarin. Apa yang harus Rezvan lakukan meskipun melihat Ana saja sudah membuatnya kesal?"Hei, Pak Bos, kau masih di sana?"Dengan terpaksa Rezvan menjawab, "Aku mengerti apa katamu. Kau melakukan ini untuk apa?""Aku tidak ingin hubungan kita di masa lalu merusak semuanya y
Gadis itu sedang menggigit jarinya berulang kali dan sudah sedari tadi dia melakukan ini. Dalam pikirannya, dia tidak tahu harus membantu temannya atau tidak. Damar sendiri yang tidak ingin tugas tersebut kembali dipegang oleh ayah dari lelaki itu, sang direktur utama. Pun ini akan menjadi pertama kali untuknya jika benar hal itu akan terjadi, menjalin ikatan kerja sama dengan posisi sebagai sekretaris. Ana cukup tahu diri. Tidak mungkin sekretaris melakukan hal itu. Akan tetapi, ini akan menjadi mungkin jika Ana mau melakukannya. Selain itu, ada sesuatu yang sudah Ana coba simpulkan, tetapi tetap saja membuatnya tidak mengerti. Wanita itu mengetahui soal masa lalu di antara Damar dan Rezvan. Kejadiannya setelah upacara kelulusan. Ana menyaksikan Rezvan tengah memukuli Damar secara terus-menerus. Bahkan ia memanfaatkan ketakutan Damar untuk menjalankan aksinya. Jujur, Ana takut. Untuk pertama kali selama dia terikat konflik dengan Rezvan, lelaki itu m
"B-b-bagaimana bisa?!" Rezvan langsung bangkit dari tempat duduknya. Sangat terkejut mendapati si gadis berada di hadapannya. "Apa yang kau lakukan di sini?!" "Ini perusahaan tempatku bekerja!" kata Ana menyeru. "Kau sendiri, bagaimana bisa ada di sini?!" Kenan yang merasa penasaran, memotong perbincangan keduanya. "Kalian saling mengenal?" Rezvan tersenyum meremehkan Ana. "Oh, benar. Kenan, perkenalkan. Dia perempuan j**ang yang sering melawanku ketika kami bermain semasa masih sekolah. Berpura-pura kuat padahal sebenarnya suka menangis." "J**ang? Apa aku tidak salah dengar? Apakah seseorang yang dulunya selalu dikalahkan oleh perempuan, pengecut yang bersembunyi di bawah ketiak orang tuanya, menyebutku begitu?" Rezvan memperhatikan baju yang dikenakan Ana. Bahkan dia juga melihat ke arah berkas-berkas yang dibawa Ana. "Wah, lihat! Sekretaris? Rendah sekali posisimu," cibirnya. Ana tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Rezva
"K-Kau!" "B-bagaimana bisa?!" Dua insan saling melihat. Namun, bukan sebuah pandangan biasa yang mereka berikan terhadap satu sama lain, melainkan rasa terkejut hingga kembali timbul amarah dan dendam di antara mereka yang sudah lama terkubur. Mereka tak pernah dapat membayangkan bahwa Tuhan mempertemukan kedua orang tersebut kembali tanpa tahu alasan-Nya melakukan itu. Terlebih ... Bagaimana ceritanya Ana menjadi sekretaris direktur dan Rezvan menjadi direktur dari perusahaan masing-masing? Dan yang akan mereka lakukan adalah kerja sama demi keuntungan dua perusahaan? Tidak. Jelas Ana ingin sekali mengabarkan kehadiran Rezvan di perusahaan kepada Damar, sebelum orang itu datang dan membuat situasi lebih parah. Di sisi lain, Rezvan pun menyesal karena dia malah mengiyakan ajakan Kenan untuk melakukan pertemuan tatap muka dengan pemilik perusahaan High-tech. Mengapa ayahnya–direktur ut
"Dengan ini, rapat telah selesai. Terima kasih atas kehadiran anda sekalian." Pria tersebut sedikit membungkuk guna memberikan sopan santun kepada orang-orang dari berbagai jabatan yang hadir dalam pertemuan tersebut. Akan tetapi, tak satupun dari orang-orang itu meninggalkan ruang rapat. Mereka hanya melihat ke sebuah laptop hitam yang selalu setia hadir di setiap perkumpulan tersebut. Lelaki itu paham mengenai penatapan mata yang mereka perlihatkan. Sebenarnya tidak sekali ataupun dua kali hal ini terjadi. Tetapi, tak ada yang mau membicarakannya. Mereka membiarkan ini terus terjadi dan mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk dibahas. "Saya minta maaf jika sudah berkata tidak sopan. Tapi, bukankah seharusnya direktur diharuskan datang ke rapat? Mengapa anda memilih berkomunikasi dengan kami lewat layar kecil ini, Pak Rezvan?" Di tempat lain yang menghubungkan ia dengan laptop di ruang rapat, seorang lelaki hanya memandang serta tersenyum miri
Seumur hidup, ada 2 hal yang sangat Ana sesali. Pertama, dia tidak menggigit lengan sang ayah sebelum menghilang dan memberikan tanggung jawab pelunasan hutangnya kepada anak dan istri. Kedua, memiliki atasan yang kini menjadi salah satu teman dekatnya.Damar Mahendra, laki-laki menyebalkan yang dulu merupakan seorang remaja pengecut yang takut dengan keberadaan orang bertubuh lebih pendek darinya. Mendapat kabar Ana sedang kesulitan mencari pekerjaan di wilayah ibukota, Damar menawari Ana posisi sekretaris dengan iming-iming gaji yang sangat tinggi bahkan mampu membelikannya sebuah rumah yang besar. Sombong sekali.Ah, Ana tidak mau munafik. Dia suka kesombongan itu. Maksudnya mengenai uang.Damar tampan? Lumayan.Damar baik hati? Lupakan saja.Di lingkungan pekerjaan, pria itu bukan orang yang mudah membiarkan kesalahan orang lain. Entah bagaimana Damar tumbuh menjadi laki-laki yang disegani para karyawannya. Tak ada Damar yang memiliki pandangan
Sesuai tantangan yang Ana berikan, Rezvan benar-benar mendatangi gadis itu ke tempat yang telah diarahkan. Ia tersenyum miring. Meskipun pertengkaran tadi memperlihatkan bahwa dirinya yang menjadi seorang pelaku, tetapi itu sudah cukup membuktikan kepadanya bahwa Ana juga akan merasa tidak nyaman ketika ada yang membicarakan soal keluarganya.Ya, pada akhirnya Rezvan tahu akan apa yang terjadi mengenai keluarga Ana. Tidak sia-sia dirinya mencari informasi dari sana sini, meskipun harus ada ancaman dulu terhadap seseorang yang pernah satu sekolah dengan Ana ketika masih SMP.Inilah akibatnya melawan seorang Rezvan Adhitama, apalagi membawa nama keluarga. Dia takkan segan-segan menyakiti orang yang telah mencemari nama baik keluarganya.Dia bisa melihat seorang gadis berjaket sedang menyilangkan tangan sembari memperhatikan dirinya, berada di tengah-tengah taman. Ternyata Ana sudah lebih dulu sampai ke tempat itu dan bersiap-siap mengenai apa yang akan terjadi di
Ana tak ingat kapan tepatnya dia melawan penindasan yang dilakukan orang-orang. Tetapi sejak SD, Ana kecil sudah berani melaporkan perilaku teman-teman sekelasnya hingga membuat seseorang menangis. Saat itu, Ana sudah berpikir bahwa candaan yang bisa menimbulkan rasa sedih di hati orang lain itu sangatlah salah, dan Ana akan membenci para pelaku ini. Mungkin orang dewasa berpikir itu cuma permainan anak kecil. Bagi Ana, ini sama sekali tidak lucu. Dia tak mau orang itu menjadi tak ingin masuk sekolah. Setidaknya jika orang itu bersekolah, ia akan diberi uang jajan. Mohon dimaklumi. Bukankah anak kecil memang senang jajan? Masuk SMP, Ana mulai mengerti soal pengelompokan manusia yang entah siapa yang membuatnya. Sekali lagi, Ana membencinya. Seperti menunjukkan bahwa orang lain tidak pantas berada dalam kelompok itu. Ana lebih suka menyendiri, atau menemani seseorang yang sedang dikucilkan oleh orang lain. Kesendirian yang Ana dapatkan merupakan pilihannya, te