Seekor ular berbisa bergerak melingkar menaiki batang bakung emas yang tumbuh subur dengan sulur bunga panjang melengkung, lalu berdiri tegak dengan ekor melilit pada sulur bunga. Ular itu berada di jalan yang hendak mereka lewati.
Raka bergerak mendekat dari arah belakang. Kakinya berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Setelah cukup dekat, tangannya secepat kilat menangkap leher ular dan membuang jauh-jauh. Lalu balik lagi ke mereka yang menunggu di bawah lereng dan mengambil barang bawaan yang teronggok di tanah.
Di wajah ketiga gadis itu masih tersimpan perasaan ngeri. Mereka tidak tahu ular jenis apa, tapi pernah melihat keganasan binatang itu di internet.
Mereka memasuki hutan baru beberapa meter nyawa sudah terancam. Masuk lebih dalam lagi pasti banyak binatang berbahaya. Inara dan kedua temannya tidak melihat ular itu bertengger di bunga bakung emas karena terselubung kabut. Mereka benar-benar mengandalkan Raka dan Jonan.
Mereka tidak ada persiapan untuk mengatasi ancaman, hanya melatih kekuatan fisik, belajar masak, dan menonton dunia flora dan fauna supaya tidak kaget jika melihat di alam nyata. Tapi baru bertemu dengan satu binatang buas saja, nyali mereka sudah hilang separuh.
Lagi pula, basecamp suasananya tidak seram begini. Pemandangannya sangat indah, dekat pantai karang, tidak ada binatang buas. Destinasi terbaik hasil pilihan mereka di internet.
"Tidak dibunuh saja sekalian," kata Maysha. "Bagaimana kalau kembali?"
Gadis ini kadang berpikir ambil gampangnya saja, sesuai dengan gaya hidupnya yang tidak ingin ribet. Jika setiap hewan buas yang mengancam dibunuh, berapa banyak lagi yang mesti dilenyapkan?
"Jangan memancing perang dengan alam," kata Raka. "Kita tidak pernah tahu siapa yang jadi pecundang."
"Hutan ini masih perawan," timpal Oldi seolah ingin menakut-nakuti. "Jangankan ular, dedemit saja suka sama perawan. Berani bantai dedemit?"
"Jangan asal deh," tegur Kirei kecut. "Entar muncul lagi."
Kirei percaya hal-hal yang berbau mistis. Hutan perawan adalah hutan yang belum tersentuh manusia, banyak dihuni makhluk astral, itu yang membekas di otaknya.
Dia banyak menonton film dunia lain, tujuannya ingin mengurangi rasa takut supaya terbiasa melihat makhluk gaib. Nyatanya malah semakin menghantui pikiran.
"Kalau muncul, kenapa?" tatap Oldi separuh meledek. "Memangnya kamu masih perawan?"
"Dasar gajah bengkak."
Tidak hanya Oldi yang berpandangan kalau pacaran dengan orang bule menganut hidup bebas. Banyak perempuan memilih pasangan orang bule karena tidak peduli dengan keperawanan. Nick tidak termasuk golongan itu. Penganut Katolik yang fanatik.
Mereka melanjutkan perjalanan. Lereng pada bagian ini cukup landai, ditumbuhi pohon tinggi dan sedikit semak belukar. Permukaan tanah tertutup daun mati dan lembab. Tanaman bakung emas terdapat di mana-mana. Udara cukup menggigit karena hutan diselimuti kabut yang semakin menebal.
Ketiga gadis itu melangkah lambat-lambat seperti jijik menginjak dedaunan. Raka kadang berhenti menunggu agar tidak ketinggalan jauh sambil mengamati sekitar. Oldi dan Jonan yang berjalan di belakang mesti bersabar mengikuti mereka.
"Anggap saja lantai diskotik," kata Oldi. "Butuh musik apa? Nah, itu musiknya."
Waktu itu terdengar suara tonggeret, jangkrik, kukila, dan caplak bersahutan membentuk harmoni irama natural, terdengar syahdu. Tapi di telinga Kirei mirip irama kematian, menyeramkan.
"Aku ingin menikmati sentuhan daun busuk," sahut Kirei ketus. "Biar tidak ilfeel lihat pemandangan busuk di belakang."
Sebuah penghinaan berat sebenarnya. Wajah Oldi disamakan dengan barang busuk. Tapi pemuda itu sudah biasa mendapat bullying dari gadis cantik. Padahal wajahnya terbilang lumayan. Cuma perutnya terlalu maju.
Seingat Oldi, hanya Inara yang belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Gadis itu memiliki kepribadian mengagumkan. Tidak heran jika terpilih jadi puteri kampus. Banyak tawaran main sinetron dan model iklan. Inara memilih jadi model iklan karena jadwalnya tidak padat. Profesi itu cuma selingan. Dia adalah penerus dinasti perusahaan besar, jadi studi diutamakan.
Perjalanan Inara ini disponsori sebuah iklan. Ada beberapa merek tertentu yang dikenakan. Kadang minta difoto bersama Raka dengan berbagai gaya. Tampang pemuda itu bisa menaikkan nilai jual.
"Gantengan aku kali dibanding bangkai busuk," sahut Oldi tanpa merasa tersinggung. "Aku sebenarnya ingin operasi plastik biar setampan Song Joong Ki. Takut jadi play boy dan kamu pasti tersakiti."
Kebesaran hati Oldi ini kadang membuat Kirei menyesal dengan kata-katanya. Song Joong Ki adalah aktor Korea yang lagi naik daun. Gadis itu tergila-gila padanya.
Seekor cacing besar merayap keluar dari bawah daun basah. Kirei menjerit kaget seraya melompat mundur hampir menubruk Oldi. Maysha segera menjauh. Jijik.
Oldi ambil cacing itu dan dilemparkan ke semak-semak. "Sekali-sekali tanya ke mami kamu, sosis apa yang dibawa dari tanah leluhur."
Mami Kirei sering bolak-balik ke Tokyo untuk urusan bisnis. Cinta manis pada dosen pribumi membuat dia rela tinggal di tanah air dan melahirkan anak-anaknya. Sosis takoyaki adalah oleh-oleh favorit.
"Jelas bukan sosis cacing," bantah Kirei keki. "Enak saja."
"Memang lihat saat bikinnya?"
Mereka mulai mendaki lereng yang agak curam. Gadis-gadis itu tampak kepayahan. Nafas naik-turun. Wajah berkeringat. Sekali waktu mereka berhenti, mengatur nafas dan melap keringat dengan tissue.
"Biasa mangkal di lampu merah begini," sindir Oldi. "Banyak merapikan wajah."
"Bisa diam gak sih?" bentak Kirei geram. "Mulut apa comberan ngocor terus?"
"Comberan." Oldi cengengesan. "Tempat pembuangan cintamu."
"Berisik! Aku cape, tahu gak?"
"Aku gendong ya?"
Kirei kehabisan kata-kata untuk meladeni kekonyolan pemuda itu. Dia menyusul dua temannya yang sudah meneruskan perjalanan. Tapi beberapa menit kemudian mereka sudah beristirahat lagi.
Begini risikonya kalau pergi sama gadis manja, batin Jonan muak. Mesti banyak sabar. Anehnya mereka sanggup joget semalam suntuk. Tidak banyak istirahat. Padahal sama-sama menguras energi. Barangkali karena faktor hobi.
Untuk ukuran gadis metropolis, fisik mereka sebenarnya termasuk kuat. Mereka belum pernah berjalan kaki sejauh ini. Biasa naik-turun mobil. Keluar-masuk diskotik. Entah kerasukan apa, mereka tiba-tiba saja ingin pergi ke hutan.
Jonan tidak sudi menemani gadis-gadis cengeng ini kalau tidak memandang Raka. Mendingan ikut Ayumi ke Lombok, berselancar di Senggigi lebih banyak tantangan.
"Mereka sahabat kita," kata Raka. "Kita sudah pernah merasakan bagaimana kerasnya musik disko. Nah, sekarang mereka ingin merasakan bagaimana lembutnya musik alam."
"Pasti nanti menyusahkan kita."
"Kalau menyenangkan kita, aku tidak minta kamu. Muka kamu kan muka susah."
"Kita sudah ada agenda ke Kilimanjaro."
"Aku reschedule. Jadi minggu berikutnya."
"Gila."
"Nyaris."
Raka sudah mempertimbangkan masak-masak keputusan itu. Tentu saja anak Mapala protes. Tapi Inara adalah potensi besar yang tidak boleh disia-siakan. Jika gadis itu tertarik pada dunia petualangan, mereka tidak perlu susah-susah cari sponsor.
"Si Lola pasti ngamuk," ujar Jonan.
Gadis itu paling berani menentang. Raka melihat hal itu dipengaruhi perseteruan dengan Inara. Untung perjalanan ke Afrika ini bukan disponsori perusahaan papinya. Modal masing-masing. Kerja sama dengan sponsor lain tidak mencapai titik temu. Jadi Raka bebas mengambil keputusan.
Raka sebenarnya tidak ingin ada sponsor dalam setiap petualangan mereka. Agenda sponsor kadang bikin ribet. Tapi tidak semua anggota Mapala mampu mengumpulkan dana. Pada petualangan ke Kilimanjaro itu ada beberapa orang tidak berangkat, padahal anggota paling potensial. Kemudian datang Inara membantu mereka.
"Buat apa mengurusi si Lola?" sahut Raka tak ambil pusing. "Kamu bagaimana?"
"Malas ikut acara begituan. Tidak ada tantangan."
"Justru mereka itulah tantangannya."
"Sejak kapan perempuan jadi tantangan aku? Lagi mereka sudah punya pacar. Aku tidak suka jadi orang ketiga."
"Jadi ke mana-mana ya."
"Bukan itu maksudnya?"
"Kamu harus membuat mereka nyaman, terutama Inara."
Temannya itu sudah biasa menghadapi perempuan dengan bermacam karakter. Jadi tidak ada masalah seharusnya. Dia banyak akal untuk menarik simpati mereka.
"Di hutan tidak ada tempat yang nyaman buat mereka," elak Jonan.
"Maka itu kamu bikin nyaman."
"Bagaimana caranya?"
"Kamu ahlinya."
"Aku menyerah untuk urusan yang satu ini, kecuali di hutan ada tempat dugem."
Raka angkat bahu sedikit. "Ya sudah. Kamu urus anak-anak Mapala ke Afrika. Aku pergi bersama mereka."
Tentu saja itu tidak mungkin. Semua berada di bawah komando Raka. Mereka tidak berani pergi kalau sudah ada keputusan ditunda. Apalagi pada pendakian itu banyak melibatkan pemula. Risikonya besar. Raka sudah teruji dalam mengatasi berbagai masalah.
Lagi pula, Jonan tidak biasa pergi bertualang tanpa Raka, ibarat pizza tanpa keju. Sesekali tak ada salahnya ikut kegiatan Pramuka, berkemah di pulau tak bernama.
Jonan tidak tahu bagaimana membuat gadis-gadis metropolis itu merasa nyaman. Mereka sendiri tidak menikmati perjalanan ini. Seingatnya, kalau mereka sudah kumpul, yang timbul kekacauan.
Mereka sampai di tebing rendah. Raka menaruh barang bawaan di atas tebing lalu bergerak naik. Satu per satu dia bantu temannya naik. Dari atas tebing ini, mereka dapat melihat daerah rawa-rawa di kejauhan.
Pemandangan tersaput kabut tipis, menciptakan suasana mistis.
Oldi dan ketiga gadis itu melongo. Perahu mereka hanyut menuju sungai berair deras dan dus di atasnya lenyap!
"Aku bilang apa," seru Oldi. "Maling ada di mana-mana."
"Ya tapi siapa?" Inara tak habis pikir. "Di hutan ini tidak ada yang patut dicurigai."
Jangankan manusia, binatang mamalia saja tidak terlihat. Sangat mengherankan di hutan liar begini hanya dihuni binatang melata, seperti ada sesuatu yang membuat binatang besar menyingkir.
"Siapa tahu ada suku terasing," kilah Oldi.
Maysha menoleh sekejap. "Kamu lihat tidak? Jangan halu deh."
"Biasanya mereka bersembunyi, malu ketemu orang modern."
"Bukan malu, takut ketularan binatang modern. Kamu tidak sadar punya teman generasi terkontaminasi?" Sekilas Maysha melirik Jonan yang kelihatan tenang-tenang saja.
"Jangan menghujat diri sendiri," balik Jonan. "Tidak dihujat juga orang sudah tahu siapa kamu."
Kirei mengamati sekitar dengan kecut. "Jangan-jangan hutan ini ada penunggunya. Kamu sih, Jo, suka sembarangan."
"Namanya hutan pasti ada penunggunya," sahut Jonan tenang. "Beruang, macan, serigala."
"Satu lagi," tambah Inara. "Kita. Satu-satunya harapan bisa ditemukan, bisa pulang, hilang sudah."
Tim pencari tentu kesulitan menolong mereka. Semua jejak hilang sehingga tidak dapat ditelusuri. Ada yang sengaja menciptakan situasi agar mereka tidak ditemukan. Entah siapa.
"Kalau nyatanya demikian, ya kita jalani saja," sahut Oldi santai. "Kebetulan kita pasang-pasangan. Kita babat hutan dan bangun kampung. Kita ramaikan dengan anak cucu sebanyak-banyaknya. Terus nama kita tercatat dalam sejarah sebagai pelopor pemerataan penduduk."
"Sempat-sempatnya halu," sergah Kirei. "Kita dalam bahaya besar, tahu gak? Perahu itu tidak mungkin hanyut sendiri. Dus-dus itu tidak mungkin jalan sendiri. Tahu siapa yang melakukan semua ini? Yang pertama-tama mencabut nyawa kamu!"
"Bullshit."
"Sudah kejadian tahu rasa."
"Ada binatang yang ingin bercanda sama kita," gumam Jonan. "Dia tidak tahu bermain dengan siapa."
Maysha menatap tak percaya. "Binatang apaan bisa menghanyutkan perahu sebesar itu? Doyan makanan sama minuman kaleng juga?"
"Kalau aku bilang ikan teri bisa menenggelamkan kapal laut, percaya tidak?"
"Percaya, percaya," sambar Oldi. "Kamu bisa menenggelamkan Mey dalam pelukanmu juga, aku percaya."
"Tapi makanan kaleng?" Kirei menatap sangsi. "Binatang masa doyan black beans?"
"Ada larangan apa binatang satu selera sama kamu?"
"Perlu alat untuk buka tutup kaleng," sanggah Maysha. "Aku saja susah bukanya."
"Biasa buka yang lain sih," sindir Jonan pedas. Begini kalau kebanyakan nongkrong di kafe. Hal sepele saja aneh. "Binatang lebih cerdas dari kamu."
"Pohon saja bisa tumbang tanpa gergaji," timpal Oldi. "Maka itu kita terdampar."
"Nah, pintar kamu."
"Terdampar kok pintar?" ejek Kirei.
"Tapi kamu bisa tumbang gak ya tanpa cinta?" goda Oldi.
"Tunggu khilaf deh."
Gajah bengkak ini benar-benar, gerutu Kirei dongkol. Situasi lagi genting begini bisa-bisanya bergurau.
Dia yakin ada sesuatu yang mengerikan di hutan ini, bahkan mengancam keselamatan mereka. Belum apa-apa perbekalan sudah berkurang. Lama-lama mereka bisa mati kelaparan.
Kirei tidak percaya ada binatang sekuat itu. Perlu beberapa orang untuk mendorong perahu ke tengah sungai agar bisa hanyut. Bahkan pohon itu butuh buldozer untuk merobohkan. Tapi kalau bukan binatang, lalu apa? Teringat cerita di film thriller, Kirei jadi takut.
"Sekarang yang jadi persoalan bukan di mana kita bermalam," kata Inara. "Tapi bagaimana kita bisa keluar dari hutan ini."
"Betul," sahut Maysha. "Cari lokasi buat mendirikan tenda cuma buang-buang waktu."
"Keluar dari sini tidak segampang kamu keluar dari pelukan laki-laki," dengus Jonan sinis.
Maysha memandang muak. "Situ-situ sih? Suka ngintip apa?"
"Buka mata lebar-lebar," sahut Jonan tak kalah muaknya. "Lihat sekeliling. Sanggup kamu keluar masuk hutan? Semua perlu dipikirkan matang-matang. Kalau aku sama Raka, gampang saja."
"Segampang membuang pacarmu?" balik Maysha melecehkan.
Inara memperhatikan Raka dan bertanya, "Kamu lihat apaan sih?"
Ada cowok kayak begini, pikir Inara sewot. Orang-orang ribut, ini malah anteng-anteng saja mengamati sekitar. Apa batang pohon itu lebih menarik dari bidadari di dekatnya?
"Kamu lagi cari si Lola di balik pohon?"
"Cari kembarannya kali," sambar Maysha. "Yang suka lompat-lompat."
"Pelecehan," tukas Oldi. "Bidadari kampus disamakan dengan kodok."
"Yang merasa langsung saja ngegas," sindir Kirei.
"Mending irit-irit energi kalian," kata Raka dingin. "Banyak omong banyak keluar energi. Orang posko kayaknya tidak cepat-cepat sampai, bahkan mungkin tidak menemukan kita."
Lenyapnya perahu mengaburkan pencarian. Tim penolong tentu tidak mengira mereka terdampar di hutan ini. Disangkanya mereka putar haluan karena ada pohon tumbang.
"Jadi nakut-nakutin sih?" desis Kirei ciut. "Memangnya kamu mau tinggal di sini selamanya?"
Raka mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Aku hanya menceritakan gambaran yang ada. Kita cari tempat bermalam yang aman."
Jonan dan Oldi mengangkat barang bawaan melanjutkan perjalanan. Gadis-gadis itu terpaksa melangkahkan kakinya meskipun tidak setuju.
Raka melihat rumpun bakung di lembah meliuk searah seperti ada angin kencang menerobos. Kemudian bunga itu diam secara mendadak. Jadi bukan angin puting beliung karena angin tidak mungkin berhenti mendadak. Alis Raka meninggi sebelah.
Inara berhenti melangkah dan menoleh dengan heran. "Ada apa? Kamu lihat apa?"
"Hanya memastikan, kalau-kalau si Jimy datang menjemput."
Inara keki. "Kirain si Lola kecemplung sungai!"
"Dia jago renang."
"Alah, lihat air aquarium saja takut!"
"Sembarangan."
Tentu saja Lola tidak ada bagusnya di mata Inara, seperti halnya Inara selalu jelek di mata Lola. Mereka adalah dua bidadari kampus dengan kehidupan luar biasa yang tak pernah saling mengagumi!
Dalam setiap kesempatan mereka selalu bersaing dan saling mengalahkan. Bertualang ke pulau tak bernama ini pun tak luput dari persaingan. Lola sudah lebih dulu masuk Mapala.
"Aku sering berharap kalian bisa berdamai," kata Raka sebelum berangkat. "Alangkah meriah semua kegiatan yang ada."
"Aku sih oke-oke saja. Nah, angsa betinanya mau tidak?"
"Katanya kamu yang sulit berdamai?"
"Kata siapa? Fitnah itu."
"Lola ingin pergi bersama kita."
"Tidak masalah."
"Ngomongnya kayak tidak ikhlas."
"Ngomong yang ikhlas itu yang kayak bagaimana sih? Teriak-teriak pakai mikrofon? Kamu ingin aku seperti itu?"
"Tidak apa-apa kalau Lola ikut?"
"Kok tanya aku? Tanya sama diri sendiri. Dia kan pacar kamu."
"Jadi aku juga harus tanya Jimy kalau begitu."
"Cowok itu mana sudi pergi ke hutan."
"Lalu kamu kenapa tiba-tiba ingin pergi ke hutan? Kangen sama Tarzan?"
"Aku ingin cari suasana baru."
Raka diam.
"Kamu kayak tidak percaya? Alam adalah hal baru bagiku. Angsa betina tiba-tiba blusukan ke hutan kamu tidak banyak tanya. Kok aku jadi masalah?"
"Yang mempermasalahkan itu siapa?"
"Diamnya itu tidak enak dilihat. Apa kamu juga menginterogasi angsa betina saat pertama kali masuk hutan?"
Raka jadi serba salah.
Rumpun bunga matahari bergoyang tertiup angin. Kupu-kupu besar datang dan terbang berputar-putar mengibaskan sayap yang berwarna-warni, kemudian hinggap di kuntum bunga. Seekor kadal pemangsa tiba-tiba melompat ke luar dari dalam rumpun bunga mencaplok kupu-kupu itu, lalu menelannya sedikit demi sedikit. Inara dan kedua temannya sampai bergidik ngeri melihatnya. Mereka baru tiba dari lembah. Rumpun bunga itu berada di pinggir dataran rumput hijau yang dikelilingi pohon rimbun dan rumpun semak. Raka mengamati situasi sejenak. Padang rumput itu cukup luas, aman dari genangan air bila hujan, dan jika ada ancaman binatang buas bisa diantisipasi lebih awal karena kedatangannya terlihat. "Lokasi ini cukup strategis." Raka berjalan ke tengah padang rumput dan menaruh barang bawaan di atas rumput diikuti teman-temannya. Jonan dan Oldi segera menyiapkan peralatan untuk mendirikan tenda. Raka pergi mencari kayu ke tepi hutan untuk me
Raka mempelajari peta Pulau Tak Bernama sambil makan apel. Oldi dan Jonan makan pir. Inara, Maysha, dan Kirei menyantap potongan buah menggunakan garpu. Mereka duduk mengelilingi meja beralas karpet bulu. Ada lima kaleng minuman dan beberapa butir anggur ruby yang belum tersentuh di meja. Di depan Raka ada botol air mineral. “Ada di mana kita?” tanya Inara. “Sektor empat.” Gadis-gadis itu berpandangan. Ketegangan muncul di wajah mereka. Sektor empat adalah daerah yang harus mereka hindari karena sangat berbahaya. Banyak kejadian yang belum terpecahkan hingga saat ini. “Hutan larangan,” desis Kirei ngeri. “Hutan mana kenal undang-undang?” kicau Oldi. “Ada larangan segala.” “Hutan ini tertutup untuk wisata alam,” kata Kirei ciut. Keganasan hutan ini melelehkan nyalinya. "Ada plank peringatan di sekitar sungai." "Kamu lihat plank itu?" tanya Jonan. Kirei tidak melihat di sepanjang sungai ada papan peringatan.
Sekitar tenda cukup terang dalam penerangan cahaya bulan. Sekali-sekali terdengar suara binatang yang membangkitkan perasaan seram, disusul lolongan panjang serigala. Di dalam tenda, sebuah lampu badai tergantung di tengah-tengah dengan cahaya redup, membuat keadaan di dalam lebih gelap daripada di luar, sehingga kelihatan jika ada binatang buas datang mengancam melalui bayangannya. Raka dan Jonan tidur terlentang di alas tenda tanpa melepas sepatu tactical. Mereka mengenakan celana loreng ala pasukan komando dan kaos crew neck yang elegan. Oldi tidur meringkuk di atas karpet bulu berbantal carrier. Dia memakai penutup kepala, blazer, kaos lengan panjang, dan celana jeans dengan ujung dimasukkan ke dalam kaos kaki tebal. Kelihatan heboh sekali. Kirei dan kawan-kawan berbaring beralas karpet bulu dengan bantal berisi udara. Kirei dan Maysha mengenakan jaket, Inara mengenakan sweat shirt. Tapi waktu itu tidak kelihatan karena sebuah selimut menutupi sel
Ceret yang dijerang di atas kompor mini berbunyi. Inara matikan kompor dan angkat ceret menggunakan serbet, lalu menuangkan airnya ke dalam gelas berisi susu bubuk di atas meja, semuanya ada enam gelas. Diaduknya satu per satu. Selain gelas, di meja ada enam piring kosong lengkap dengan pisau dan garpu. Hari ini dia kebagian jadwal menyiapkan sarapan pagi. Beres membuat susu, Inara meracik sandwich sambil sesekali menoleh ke teras lewat pintu tenda yang terbuka lebar. Kirei, Maysha, dan Jonan duduk santai di atas karpet bulu di teras menunggu hidangan sarapan pagi siap. Kirei bersikeras ingin pulang. "Pokoknya aku mau pulang kalau tim penolong datang. Tidak mau meneruskan petualangan, kapok." Dari semalam gadis itu merengek ingin pulang seperti anak kecil, membuat jengkel teman-temannya. Memangnya di kota gampang panggil taksi? "Berani pulang sendiri?" tatap Inara separuh mencemooh. "Kalau terjadi pelecehan seksual di kapal penjemput, te
Burung-burung berkicau meramaikan hutan. Suara binatang lain sesekali terdengar menyemarakkan suasana. Seekor harimau muncul dari rumpun semak dan mengaum keras. Burung-burung berhenti berkicau. Beberapa kera kecil yang bermain di tanah terkaing-kaing kabur ke atas pohon. Hutan mendadak sepi. Harimau itu berjalan dengan lambat melewati pepohonan. Di suatu tempat, dia mendongak ke sebuah dahan rindang seperti melihat sesuatu. Makhluk misterius bersembunyi di balik rimbunnya daun. Suara tarikan nafasnya yang ganjil dan menyeramkan terdengar sayup-sayup. Harimau itu terpaku diam. Matanya memandang dengan gentar. Makhluk tak kasat mata itu melompat turun dari dahan, berjalan mendekat secara perlahan. Suara tarikan nafasnya terdengar semakin nyaring. Tiba-tiba harimau kabur ketakutan, berlari sekencang-kencangnya menuruni lereng menuju ke lembah. Kejadian itu terlihat oleh Raka di kejauhan. Matanya memicing mencoba melihat lebih
Raka berlari dengan cepat menerabas semak-semak. Dia berharap Jonan menyadari adanya bahaya besar ini sehingga waspada terhadap ancaman yang muncul sewaktu-waktu. Mereka mendirikan tenda di area terbuka. Raka mulanya berpikir lokasi itu aman dari serangan binatang, tapi kemudian menjadi kesalahan besar karena mereka menjadi sasaran empuk orang-orang bersenjata. Makhluk ganas itu adalah ancaman yang paling serius. Dia bisa datang dan membantai mereka kapan saja. Situasi di sekitar tenda terang benderang karena hari ini cuaca sangat cerah, sehingga mereka tidak dapat melihat kemunculan makhluk itu. Hutan jinak ini jadi demikian liar karena kehadiran orang-orang mencurigakan dan makhluk ganjil itu. Mereka membuat wisatawan yang tersesat tidak bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini. Raka memilih jalan yang tidak mudah dilewati, daerah yang kemungkinan kecil mereka jelajahi. Dia ingin menghindari kontak senjata dengan orang-orang asing itu sehingga tidak m
Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya. Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang. Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang. Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya. Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk i
Jonan dan Raka menggenggam senjata siap tembak sambil berjalan agak cepat. Mata kedua pemuda itu mengamati sekeliling dengan waspada. Mereka berada di daerah terbuka, terdapat sedikit semak-semak. Ancaman bisa datang dari berbagai penjuru. Mereka harus melewati wilayah ini secepatnya. Gadis-gadis metropolis itu mulai kelelahan, keringat membasahi wajah, nafas sengal-sengal. Kaki mereka sudah lemas. Kirei kelihatan paling parah. Dia berjalan gontai. "Aku tidak kuat lagi." Kirei duduk di akar pohon yang menonjol panjang di permukaan tanah, Maysha dan Inara juga. Mereka mengatur nafas yang terengah-engah. "Istirahat sesukanya," kata Raka dengan mata mengawasi ke setiap penjuru. "Terima kasih." "Sesukanya pula makhluk itu menyantap kamu kapan saja." "Katanya dia ada di lereng selatan," sahut Maysha. "Sekarang tiba-tiba saja ada di lereng utara, sebenarnya di mana dia tinggal?" "Tanya sendiri sana alamatnya di mana," sambar
Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s
Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan
Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi
Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal
Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu
Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or
Ketika alat pelacak tidak dapat mendeteksi, maka insting yang digunakan. Raka tahu di kamar ini banyak menyimpan teka-teki. Dia berpikir keras mencari tahu jawaban dari teka-teki itu. Raka berjalan lambat-lambat memeriksa isi kamar. Matanya kelihatan betah sekali mengamati barang-barang antik yang ada. Inara memperhatikan setiap gerak-gerik Raka sambil berbaring tengkurap di tempat tidur. "Ngapain periksa-periksa? Orangnya sudah tidak ada." "Tahu dari mana orangnya sudah tidak ada?" "Nyatanya tidak muncul-muncul." "Bukan berarti sudah tidak ada." "Kamar ini adalah kamar pimpinan tertinggi kastil. Semua benda dan perabotan yang ada sangat eksklusif dan bernilai seni tinggi, berbeda dengan kamar lain. Sepasang insan berbeda usia pada dua lukisan itu adalah pemiliknya. Mereka pasti sudah tewas dalam kontak senjata di dekat perairan internasional." Pemi
Kirei benar-benar dongkol. Rencananya dia dan Maysha tidur satu kamar. Mereka memilih kamar ujung yang view-nya bagus. Jonan masuk lebih dulu untuk memastikan kamar itu aman. Padahal buat apa diperiksa? Orang-orangnya sudah ditangkap. Ketika Kirei menyusul masuk, tiba-tiba Maysha mengunci pintu dari luar. Tentu saja Kirei gelagapan. Percuma teriak-teriak, Maysha mendadak tuli. Lagi pula kamar itu kedap suara. Akhirnya Jonan kena tumpahan kejengkelan Kirei. "Kamu lagi pakai periksa kamar segala. Cari pembalut bekas?" "Orang-orangnya sudah tidak ada bukan berarti tidak ada ancaman," sahut Jonan santai. "Makanya jadi orang jangan suka iseng." "Kalau Ara memang ingin satu kamar sama Raka," dalih Kirei. Jonan mendengus sinis. "Terus menurutmu aku ingin satu kamar sama kamu? Malahan aku curiga ini settingan biar kamu bisa satu kamar sama aku." "Pede banget sih kamu?"
Kamar itu terletak di lantai empat, sangat luas dan sangat mewah, dengan interior perpaduan abad pertengahan dan abad modern, terdapat beberapa jendela besar menghadap ke hutan dan Samudera Hindia. Beberapa lukisan kuno naturalisme gotik bernilai seni tinggi terpampang di dinding, pesona dinding bertambah indah dengan lukisan besar berupa potret pemilik kamar bergaya ala Ratu Pantai Selatan, di sebelah lukisan lelaki tua menunggang kuda bertopi cowboy. Perabotan yang sangat berkelas dan antik tertata rapi dan menarik. Kamar mandi berdinding kaca bening dengan bathtub dan shower beratap serta bertirai tipis keemasan. Meja rias berlapiskan emas dengan model unik. Televisi layar datar berukuran besar berpadu serasi di dinding. Di setiap sudut kamar terdapat guci sebagai pot bunga matahari dan bakung emas yang tumbuh tinggi, tampak alami dan segar. Tempat tidur berukuran big dan berlapiskan emas terletak di tengah kamar. Di kasur yang sangat empuk tergolek tubuh