Seekor burung pemakan daging melayang-layang di udara yang tidak begitu cerah, sesekali terdengar suaranya yang menyeramkan.
Tiba-tiba burung itu menukik dengan sayap menguncup ke permukaan sungai, cakar-cakar berkuku tajam mencebur ke air menimbulkan percikan hebat di sekitar, lalu terbang lagi membawa tangkapan ikan.
Sungai itu tidak begitu lebar, berair tenang, dan berkelok-kelok membelah hutan belantara. Kanan kiri ditumbuhi pohon-pohon besar dan tua dengan sebagian akar terendam air, berongga-rongga membentuk pemandangan yang menyeramkan.
Dahan malang-melintang menutupi angkasa sungai. Tanaman perdu yang hampir mati tumbuh rebah menambah sempit permukaan air. Sepanjang tepian sungai bertanah landai lalu menanjak membentuk lereng hutan. Kabut tipis menyelubungi hutan itu menciptakan aroma mistis.
Sebuah perahu bermotor melaju pelan-pelan menuju ke hilir. Perahu model houseboat tanpa dinding, berlantai datar, atap melengkung dengan empat tiang penyangga, tidak berkursi, berwarna agak usang.
Raka mengemudikan perahu dengan santai. Di dekatnya, Inara sibuk memfoto obyek pemandangan dengan kamera digital.
Oldi duduk bersila di belakang sambil makan coklat. Tangannya kadang menggelitiki kaki Kirei yang berdiri di sampingnya, mengganggu gadis itu mengambil gambar pemandangan dengan kamera gadget. Kirei balas dengan memukul kepala Oldi menggunakan gulungan peta yang dipegangnya.
Di seberang mereka, Jonan berdiri bersandar ke tiang perahu. Maysha sibuk foto-foto tak jauh di sebelahnya, banyaknya selfie.
Penampilan mereka tidak berlebihan, tapi cukup menggambarkan kalau mereka berasal dari kalangan menengah ke atas. Semua barang yang dikenakan bermerek dan produk impor.
Laki-laki memakai sepatu tactical, perempuan memakai sepatu hiking. Tas laki-laki model carrier, tas perempuan model daypack.
Semua tas ditaruh di lantai bersama barang muatan, seperti dus makanan dan minuman, kantong belanjaan, boks alat masak, tiga gulung karpet bulu, satu tas lonjong berisi tenda, dan perlengkapan lainnya.
Perbekalan itu terlihat berlebihan untuk kebutuhan berkemah selama satu minggu, seperti takut kelaparan.
Raka dan Jonan membawa veldples mungil dan sangkur di pinggang.
Oldi dan ketiga gadis metropolis itu kelihatan senang berperahu. Mereka mengabadikan setiap momen menarik yang terdapat di sepanjang aliran sungai. Oldi cukup dengan memanjakan mata. Wisata alam ini adalah pengalaman pertama buat mereka.
Raka dan Jonan tampak jemu, seakan pemandangan yang tersuguh tidak menarik perhatian mereka.
Suara binatang kecil sekali-sekali terdengar dari dalam hutan. Suaranya kadang menyayat, menambah kental suasana mistis. Kirei, anak yang paling penakut di antara mereka, kadang merinding bulu kuduknya.
Seekor siamang duduk santai sambil makan buah-buahan di sebuah dahan.
"Itu tidak difoto, Rei?" canda Oldi. "Lumayan buat oleh-oleh orang rumah."
"Lihat kamu saja cukup," balik Kirei.
Berkumandang suara binatang dari dalam hutan, bunyinya melengking dan menyeramkan. Nyali Kirei lumer separuh.
"Apaan itu?" tanya Maysha ke Jonan. Gadis ini cukup berani.
"Jeritan korban PHP kamu," sahut Jonan asal.
Kemudian terdengar bunyi cukup keras dan lumayan panjang seperti suara terompet rusak.
Kirei tersentak kaget. "Binatang apaan lagi?"
"Jeritan pantat aku," jawab Oldi santai.
Serentak Kirei menutup hidung. "Jorok."
"Telat!"
Perahu memasuki daerah sungai dengan padang rumput hijau kanan kiri. Beberapa ekor rusa berkeliaran makan rumput. Gadis-gadis metropolis itu memfotonya.
Kirei zoom seekor rusa lalu sentuh ikon foto di layar ponsel tepat pada saat Oldi menciprati kakinya dengan air sungai. Gadis itu berjingkrak dan menggebuk Oldi dengan gulungan peta.
"Memangnya aku kompor meleduk apa diciprati air?"
Kirei lihat hasil fotonya di layar ponsel, terpampang close up bokong rusa. Matanya melotot. Oldi tersenyum lebar. Kirei bandingkan bokong rusa dengan senyum pemuda itu.
"Persis."
Padang rumput berakhir di bagian sungai yang sangat lebar menyerupai rawa-rawa. Raka menghentikan perahu. Matanya mengamati sekitar. Teratai, kiambang, dan tanaman air lainnya tumbuh rapat alami menutupi permukaan rawa, seolah tidak pernah dilewati.
Inara memandang heran. "Jadi curiga. Jangan-jangan salah rute."
Pengetahuan gadis itu tentang alam cukup lumayan sekalipun cuma tahu dari internet. Penampilannya paling feminim di antara dua temannya. Mengenakan busana simple dan prilly sehingga memancarkan pesona yang sangat anggun dengan rambut panjangnya.
"Banyakan curiga," sindir Oldi. "Pacar ke toilet saja curiga ketemuan sama selingkuhan."
Inara tidak menanggapi. Pemuda itu tidak pandang tempat dan situasi, bercanda adalah kebutuhannya.
"Depan kita pas berangkat ada perahu bangca, mana tidak ada bekas-bekasnya?" Lalu Inara menoleh ke jalur sungai yang sudah dilewati. "Belakang juga perahu coble tidak kelihatan."
"Itu bagaimana ceritanya sampai salah rute?"
"Jadi menyalahkan begitu sih?" dengus Kirei ketus. "Kenapa bukan kamu saja tadi yang ikut briefing?"
"Aku sama Raka sibuk mengurus barang-barang. Jo cari perahu bateau sesuai keinginan Inara, dapatnya perahu butut kayak begini. Nah, kamu bertiga lama di posko, briefing apa cukur jenggot orang posko?"
"Sunat gajah bengkak." Kirei menjulurkan lidah mengejek.
Maysha melirik Jonan. "Buaya bisa juga kesasar di habitatnya."
"Kesasar ...," decak Jonan acuh tak acuh. "Aku baru dengar kata itu."
Jonan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Berkemah di hutan ini atau di basecamp sama saja. Tidak menarik. Maka itu dia suruh mereka ikut briefing dan hasilnya apa tidak ingin tahu.
Jonan sebenarnya ingin pergi bertualang ke Tanzania, mendaki Gunung Kilimanjaro. Dia terpaksa menemani mereka karena permintaan Raka.
"Kok bisa ya?" cetus Inara. "Kamu baca petanya benar kan, Rei?"
"Pasti benarlah! Memangnya aku buta huruf?"
Oldi meledek. "Katanya cari suasana baru, ya begini pengalaman pertamanya."
"Coba sini petanya." Raka yang sejak tadi diam saja angkat bicara.
Kirei menyerahkan peta yang dipegangnya. Raka buka gulungan itu. Sebuah peta berwarna. Pada bagian atas tertera judul: Rute Wisata Alam Pulau Tak Bernama.
"Kamu bacanya bagaimana?" Raka menoleh sekilas. "Ini jalur merah, depan ada jeram deras, bahaya. Belakang tadi mestinya belok."
"Baca peta saja gak becus," semprot Oldi. "Bagaimana baca perasaan aku?"
"Perasaan kamu tidak usah dibaca. Sudah ketahuan ... menjijikkan."
Raka menggulung peta, menyerahkan kembali ke Kirei.
"Jadi pengen tahu yang namanya jeram itu kayak apa sih?" kicau Maysha.
"Jeram itu aliran air yang sangat deras, mau tahu derasnya kayak apa?" pandang Jonan. "Derasnya kayak sumpah serapah korban petualangan cinta kamu, bisa mati kelelep sekedipan."
Maysha tersenyum sinis. "Kirain derasnya kayak makian cewek yang kena ghosting kamu."
"Bagaimana kita sekarang?" Inara memandang Raka ingin tahu pendapatnya.
"Lanjut," sambar Kirei. "Kalau tenggelam, kan ada Raka sama Jo."
Oldi mendelik. "Memangnya kamu saja yang perlu ditolong? Aku dianggap buntalan kasur apa?"
"Itu merasa."
"Sesuai tujuan semula kita mau berkemah," kata Raka. "Bukan wisata arung jeram. Kita balik lagi."
Oldi memarahi Kirei. "Kebanyakan memikirkan si bule gembel. Semua jadi kacau."
Oldi tahu beberapa bulan ini Nick susah dihubungi. Dia pulang ke negerinya, habis kontrak di klub sepak bola tanah air, entah kembali lagi entah tidak. Kirei gelisah menunggu kabar.
"Jangan marah-marah deh," sergah Maysha. "Wajahmu makin sepet dilihatnya."
Dua ekor buaya yang meringkuk di antara rumpun semak mulai bergerak meninggalkan daratan, berenang di rawa-rawa mendekati perahu. Ketiga gadis metropolis itu menjerit kaget.
Raka memutar haluan perahu dan melaju meninggalkan rawa-rawa menuju ke arah semula. Buaya mengejar. Gadis-gadis itu menjerit ketakutan.
Maysha yang berada di belakang berteriak dengan paniknya, "Cepat, Raka! Cepat! Cepat!"
Raka menambah kecepatan. Perahu melaju kencang. Tapi buaya-buaya itu cepat sekali mengejar. Jarak mereka semakin dekat. Oldi bangkit dari duduknya dan menjauh dari sisi perahu, merasa ngeri juga.
Maysha bertambah panik. "Raka! Cepat! Cepat! Cepat!"
Sementara Jonan tenang-tenang saja bersandar ke tiang perahu.
"Kamu sepertinya menikmati sekali jeritan perempuan," gerutu Raka.
Baru Jonan bergerak mengambil sepotong daging segar dari kantong belanjaan dan dilemparkan ke depan buaya. Potongan daging yang jatuh ke dalam air berhasil mengalihkan perhatian, buaya berebut untuk mendapatkannya.
Ketiga gadis itu bernafas lega. Perahu meluncur kencang melewati kawasan padang rumput.
"Buaya darat ternyata lebih cerdik dari buaya rawa," kata Maysha separuh mengejek. "Kayaknya yang kena ghosting itu buaya betina."
Perahu tiba di daerah sungai yang ditumbuhi pohon-pohon besar menggidikkan.
Raka melambatkan laju perahu secara tiba-tiba. Perahu berhenti. Ada pohon besar tumbang menutupi jalur sungai sehingga perahu tidak bisa lewat.
"Bagaimana pohon itu bisa roboh mendadak?" cetus Maysha heran. "Padahal pohon itu tidak tua-tua banget."
"Pohon roboh mendadak heran," sindir Jonan sinis. "Giliran cowok roboh mendadak kamu sergap."
"Tidak masuk akal," desis Kirei tak percaya.
"Akalnya pas-pasan sih," sambar Oldi mengejek.
Raka menenangkan mereka. "Di hutan pohon roboh biasa. Jadi tidak ada yang tidak masuk akal."
"Cinta roboh juga biasa." Oldi mengerling ke Kirei. "Betul tidak?"
"Biar pakai gergaji mesin, cintaku tidak bakalan roboh."
"Pakai buldozer berarti."
Maysha belum dapat menerima kejadian itu dengan logikanya. "Tidak mungkin roboh sendiri. Pasti ada yang mempercepat robohnya. Masa gajah iseng?"
"Jangan berburuk sangka pada binatang," dengus Jonan. "Kamu tidak lebih mulia."
"Kayak yang ngomong manusia saja."
"Bukan binatang kayaknya," tukas Kirei.
"Terus apaan?" potong Maysha. "Dinamit?"
"Dedemit," ralat Inara. "Takhayul itu."
Raka menghubungi posko lewat radio komunikasi perahu, "Contact posko."
Tidak ada jawaban. Raka besarkan volume radio, terdengar bunyi "zzzz'" berisik sekali.
Raka ganti menghubungi basecamp, "Basecamp contact."
Tidak ada jawaban juga, terdengar bunyi "zzzz" berisik sekali.
Raka hubungi mereka sekali lagi. "Break, break. Ada yang monitor, ganti?"
Sekali lagi terdengar bunyi "zzzz" berisik sekali. Raka kecilkan volume radio mengurangi kebisingan, lalu mengeluarkan ponsel satelit dari kantong celana.
"Tidak ada sinyal," kata Inara. "GSM juga."
Sekilas Raka melihat layar ponsel dan menyimpannya kembali.
"Ada rencana lain?" tanya Inara penasaran. "Tidak mungkin kita gotong ramai-ramai pohon itu."
"Kita sudah telat check in. Orang basecamp pasti lagi mencari. Telat-telatnya besok pagi datang."
"Berarti tidur di mari?" gumam Kirei ciut.
"Sana hutan sini hutan," sahut Oldi. "Apa bedanya?"
"Di basecamp banyak orang."
"Banyak orang apa cari orang bule? Tidak cukup satu?"
Raka menggerakkan perahu ke pinggir sungai yang landai dan berhenti di air dangkal dekat pohon tumbang, putar kunci matikan mesin.
"Aku cari tempat bermalam." Jonan siap-siap turun.
Maysha buru-buru mencegah. "Tidak, tidak. Kamu tidak boleh pergi. Kalau ada apa-apa, bagaimana?"
"Punya hati juga."
"Jangan GR. Aku cuma tidak ingin cewek sastra Jepang itu baper lihat kamu kenapa-napa, baru jadian kan?"
"Buat apa susah-susah cari tempat bermalam?" cetus Kirei. "Di mari saja, tinggal geser barang-barang. Kalau orang basecamp datang, langsung pergi."
"Kalau yang datang buaya rawa, bagaimana?" sambar Oldi. "Yang selamat cuma handphone kamu, buaya tidak doyan karena ada foto si bule gembel."
"Sungai ini mengalir dari Samudera Hindia dan menuju ke Samudera Hindia," kata Raka. "Aku tidak tahu bahaya apa yang ada dalam air kalau kita bermalam di sini."
"Tahu begini...." Inara tidak jadi meneruskan kata-katanya karena mata Raka sudah bergeser ke arahnya.
Raka memandang bolak-balik. "Menyesal? Kamu yang ingin berlibur di pulau ini. Aku sudah katakan segala sesuatu bisa terjadi. Rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beda dengan kamu pergi ke Paris sama mami-papi kamu, atau liburan ke Hawaii sama teman-teman, sama si Jimy pacar kamu."
Inara hendak membantah, tapi Raka sudah melanjutkan kata-katanya:
"Pulau ini adalah satu dari sekian ribu pulau yang belum mempunyai nama dan belum terdaftar di PBB sebagai wilayah Indonesia. Tahu apa artinya itu? Rencana tinggal rencana, penyesalan tinggal penyesalan."
"Yang menyesal itu siapa?" balik Inara enteng. "Aku cuma mau bilang tahu begini pakai guide, kok jadi ke mana-mana?"
"Bisa apa guide?" dengus Jonan dengan gaya yang meremehkan. "Paling-paling cuma bisa berdoa agar diberi kesabaran."
"Setidaknya mereka tahu yang mesti dilakukan."
"Aku bisa panggil guide," ujar Raka dingin. "Sekalian pulang."
Maysha menatap tidak senang. "Kok begitu sih? Tidak menghargai bangat. Aku, Ara, Rei, dapat izin mami-papi itu tidak gampang, tahu gak?"
"Teman kamu butuh guide."
"Ilfeel? Sensi banget kamu ya?"
"Ada guide terus aku buat apa? Cuma buat menemani kalian aku tidak punya waktu."
"Begitu saja jadi persoalan," semprot Kirei. "Tidak baik gampang ilfeel, cepat tua."
"Lagi tidak boleh ya sudah," timpal Inara. "Sampai segitunya."
"Kayaknya gara-gara si Lola tidak jadi pergi deh," gerutu Maysha. "Kamu jadi bantalan."
Inara memandang Maysha pura-pura tidak mengerti, padahal maksudnya ingin menyindir Raka. "Masa sih? Kan sudah aku tawari boleh bawa siapa saja, mami-papinya si Lola bila perlu. Salahnya aku di mana?"
"Jadi ribet begini ya?" Oldi usap-usap kepala. "Buat apa ribut-ribut soal si Lola, si Jimy, si sastra Jepang? Orangnya saja di mana tahu."
Mereka diam. Raka ambil dua tas karpet. Satu tas lagi berikut tas tenda diambil Jonan. Mereka ikat di atas dan bawah carrier. Oldi kebagian lampu badai, boks alat masak, dan kompor parafin.
Kemudian Jonan menggantungkan beberapa kantong belanjaan besar dan dua makanan kaleng pada batang frame, dibantu Oldi. Mereka gotong menuruni sungai menuju ke daratan sambil masing-masing menenteng sebuah dus minuman kaleng. Sementara Raka menjinjing dus meja pasang ulang dan dus minuman botol.
Di perahu tersisa empat buah dus; dua dus makanan dan dua dus minuman. Kantong belanjaan yang ringan-ringan dibawa oleh ketiga gadis itu. Mereka masih berdiri di sisi perahu, tidak berani turun ke sungai.
Raka datang menghampiri Inara. "Maaf."
Pemuda itu meraih tubuhnya dan membopong ke daratan. Jonan memanggul tubuh Maysha tanpa basa-basi. Gadis itu menjerit-jerit sambil memukul punggungnya.
Oldi lebih romantis. Tangannya membentang lebar depan Kirei sambil berharap dengan mata terpejam. Gadis itu pergi ke sisi lain, melepas sepatu dan kaos kaki, lalu melilitkan celana. Kakinya turun dengan hati-hati dari perahu, berjalan di air. Saat pemuda itu membuka mata, dia sudah hampir sampai di daratan.
"Nasib nasib." Oldi mengambil tambang perahu, diikatnya pada dahan pohon tumbang. Selesai itu menoleh ke mereka. "Dus-dus ini sudah begini saja? Tidak ditutupi atau bagaimana begitu biar tidak ada yang mencuri?"
"Di hutan belantara begini mana ada maling?" sergah Maysha. "Minumnya kemarin maboknya sekarang."
Oldi berjalan menuju daratan sambil bicara, "Maling di mana-mana ada. Binatang bisa saja jadi maling. Memangnya dia tahu amal soleh apa?"
"Mau ada juga kanibal," tukas Kirei. "Siap-siap saja kamu jadi santapan pertama."
Oldi naik ke daratan. Kemudian mereka berjalan beriringan mendaki lereng landai.
Di seberang sungai, tampak butiran tanah di sela-sela akar pohon tumbang berjatuhan ke permukaan air menimbulkan riak-riak kecil, seperti ada yang membuangnya. Tapi di sekitar akar tidak terlihat makhluk apapun.
Raka sempat melihat kejadian aneh itu, tapi cuma angkat bahu.
Seekor ular berbisa bergerak melingkar menaiki batang bakung emas yang tumbuh subur dengan sulur bunga panjang melengkung, lalu berdiri tegak dengan ekor melilit pada sulur bunga. Ular itu berada di jalan yang hendak mereka lewati. Raka bergerak mendekat dari arah belakang. Kakinya berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Setelah cukup dekat, tangannya secepat kilat menangkap leher ular dan membuang jauh-jauh. Lalu balik lagi ke mereka yang menunggu di bawah lereng dan mengambil barang bawaan yang teronggok di tanah. Di wajah ketiga gadis itu masih tersimpan perasaan ngeri. Mereka tidak tahu ular jenis apa, tapi pernah melihat keganasan binatang itu di internet. Mereka memasuki hutan baru beberapa meter nyawa sudah terancam. Masuk lebih dalam lagi pasti banyak binatang berbahaya. Inara dan kedua temannya tidak melihat ular itu bertengger di bunga bakung emas karena terselubung kabut. Mereka benar-benar mengandalkan Raka dan Jonan. Mereka tidak ada pers
Rumpun bunga matahari bergoyang tertiup angin. Kupu-kupu besar datang dan terbang berputar-putar mengibaskan sayap yang berwarna-warni, kemudian hinggap di kuntum bunga. Seekor kadal pemangsa tiba-tiba melompat ke luar dari dalam rumpun bunga mencaplok kupu-kupu itu, lalu menelannya sedikit demi sedikit. Inara dan kedua temannya sampai bergidik ngeri melihatnya. Mereka baru tiba dari lembah. Rumpun bunga itu berada di pinggir dataran rumput hijau yang dikelilingi pohon rimbun dan rumpun semak. Raka mengamati situasi sejenak. Padang rumput itu cukup luas, aman dari genangan air bila hujan, dan jika ada ancaman binatang buas bisa diantisipasi lebih awal karena kedatangannya terlihat. "Lokasi ini cukup strategis." Raka berjalan ke tengah padang rumput dan menaruh barang bawaan di atas rumput diikuti teman-temannya. Jonan dan Oldi segera menyiapkan peralatan untuk mendirikan tenda. Raka pergi mencari kayu ke tepi hutan untuk me
Raka mempelajari peta Pulau Tak Bernama sambil makan apel. Oldi dan Jonan makan pir. Inara, Maysha, dan Kirei menyantap potongan buah menggunakan garpu. Mereka duduk mengelilingi meja beralas karpet bulu. Ada lima kaleng minuman dan beberapa butir anggur ruby yang belum tersentuh di meja. Di depan Raka ada botol air mineral. “Ada di mana kita?” tanya Inara. “Sektor empat.” Gadis-gadis itu berpandangan. Ketegangan muncul di wajah mereka. Sektor empat adalah daerah yang harus mereka hindari karena sangat berbahaya. Banyak kejadian yang belum terpecahkan hingga saat ini. “Hutan larangan,” desis Kirei ngeri. “Hutan mana kenal undang-undang?” kicau Oldi. “Ada larangan segala.” “Hutan ini tertutup untuk wisata alam,” kata Kirei ciut. Keganasan hutan ini melelehkan nyalinya. "Ada plank peringatan di sekitar sungai." "Kamu lihat plank itu?" tanya Jonan. Kirei tidak melihat di sepanjang sungai ada papan peringatan.
Sekitar tenda cukup terang dalam penerangan cahaya bulan. Sekali-sekali terdengar suara binatang yang membangkitkan perasaan seram, disusul lolongan panjang serigala. Di dalam tenda, sebuah lampu badai tergantung di tengah-tengah dengan cahaya redup, membuat keadaan di dalam lebih gelap daripada di luar, sehingga kelihatan jika ada binatang buas datang mengancam melalui bayangannya. Raka dan Jonan tidur terlentang di alas tenda tanpa melepas sepatu tactical. Mereka mengenakan celana loreng ala pasukan komando dan kaos crew neck yang elegan. Oldi tidur meringkuk di atas karpet bulu berbantal carrier. Dia memakai penutup kepala, blazer, kaos lengan panjang, dan celana jeans dengan ujung dimasukkan ke dalam kaos kaki tebal. Kelihatan heboh sekali. Kirei dan kawan-kawan berbaring beralas karpet bulu dengan bantal berisi udara. Kirei dan Maysha mengenakan jaket, Inara mengenakan sweat shirt. Tapi waktu itu tidak kelihatan karena sebuah selimut menutupi sel
Ceret yang dijerang di atas kompor mini berbunyi. Inara matikan kompor dan angkat ceret menggunakan serbet, lalu menuangkan airnya ke dalam gelas berisi susu bubuk di atas meja, semuanya ada enam gelas. Diaduknya satu per satu. Selain gelas, di meja ada enam piring kosong lengkap dengan pisau dan garpu. Hari ini dia kebagian jadwal menyiapkan sarapan pagi. Beres membuat susu, Inara meracik sandwich sambil sesekali menoleh ke teras lewat pintu tenda yang terbuka lebar. Kirei, Maysha, dan Jonan duduk santai di atas karpet bulu di teras menunggu hidangan sarapan pagi siap. Kirei bersikeras ingin pulang. "Pokoknya aku mau pulang kalau tim penolong datang. Tidak mau meneruskan petualangan, kapok." Dari semalam gadis itu merengek ingin pulang seperti anak kecil, membuat jengkel teman-temannya. Memangnya di kota gampang panggil taksi? "Berani pulang sendiri?" tatap Inara separuh mencemooh. "Kalau terjadi pelecehan seksual di kapal penjemput, te
Burung-burung berkicau meramaikan hutan. Suara binatang lain sesekali terdengar menyemarakkan suasana. Seekor harimau muncul dari rumpun semak dan mengaum keras. Burung-burung berhenti berkicau. Beberapa kera kecil yang bermain di tanah terkaing-kaing kabur ke atas pohon. Hutan mendadak sepi. Harimau itu berjalan dengan lambat melewati pepohonan. Di suatu tempat, dia mendongak ke sebuah dahan rindang seperti melihat sesuatu. Makhluk misterius bersembunyi di balik rimbunnya daun. Suara tarikan nafasnya yang ganjil dan menyeramkan terdengar sayup-sayup. Harimau itu terpaku diam. Matanya memandang dengan gentar. Makhluk tak kasat mata itu melompat turun dari dahan, berjalan mendekat secara perlahan. Suara tarikan nafasnya terdengar semakin nyaring. Tiba-tiba harimau kabur ketakutan, berlari sekencang-kencangnya menuruni lereng menuju ke lembah. Kejadian itu terlihat oleh Raka di kejauhan. Matanya memicing mencoba melihat lebih
Raka berlari dengan cepat menerabas semak-semak. Dia berharap Jonan menyadari adanya bahaya besar ini sehingga waspada terhadap ancaman yang muncul sewaktu-waktu. Mereka mendirikan tenda di area terbuka. Raka mulanya berpikir lokasi itu aman dari serangan binatang, tapi kemudian menjadi kesalahan besar karena mereka menjadi sasaran empuk orang-orang bersenjata. Makhluk ganas itu adalah ancaman yang paling serius. Dia bisa datang dan membantai mereka kapan saja. Situasi di sekitar tenda terang benderang karena hari ini cuaca sangat cerah, sehingga mereka tidak dapat melihat kemunculan makhluk itu. Hutan jinak ini jadi demikian liar karena kehadiran orang-orang mencurigakan dan makhluk ganjil itu. Mereka membuat wisatawan yang tersesat tidak bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini. Raka memilih jalan yang tidak mudah dilewati, daerah yang kemungkinan kecil mereka jelajahi. Dia ingin menghindari kontak senjata dengan orang-orang asing itu sehingga tidak m
Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya. Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang. Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang. Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya. Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk i
Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s
Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan
Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi
Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal
Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu
Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or
Ketika alat pelacak tidak dapat mendeteksi, maka insting yang digunakan. Raka tahu di kamar ini banyak menyimpan teka-teki. Dia berpikir keras mencari tahu jawaban dari teka-teki itu. Raka berjalan lambat-lambat memeriksa isi kamar. Matanya kelihatan betah sekali mengamati barang-barang antik yang ada. Inara memperhatikan setiap gerak-gerik Raka sambil berbaring tengkurap di tempat tidur. "Ngapain periksa-periksa? Orangnya sudah tidak ada." "Tahu dari mana orangnya sudah tidak ada?" "Nyatanya tidak muncul-muncul." "Bukan berarti sudah tidak ada." "Kamar ini adalah kamar pimpinan tertinggi kastil. Semua benda dan perabotan yang ada sangat eksklusif dan bernilai seni tinggi, berbeda dengan kamar lain. Sepasang insan berbeda usia pada dua lukisan itu adalah pemiliknya. Mereka pasti sudah tewas dalam kontak senjata di dekat perairan internasional." Pemi
Kirei benar-benar dongkol. Rencananya dia dan Maysha tidur satu kamar. Mereka memilih kamar ujung yang view-nya bagus. Jonan masuk lebih dulu untuk memastikan kamar itu aman. Padahal buat apa diperiksa? Orang-orangnya sudah ditangkap. Ketika Kirei menyusul masuk, tiba-tiba Maysha mengunci pintu dari luar. Tentu saja Kirei gelagapan. Percuma teriak-teriak, Maysha mendadak tuli. Lagi pula kamar itu kedap suara. Akhirnya Jonan kena tumpahan kejengkelan Kirei. "Kamu lagi pakai periksa kamar segala. Cari pembalut bekas?" "Orang-orangnya sudah tidak ada bukan berarti tidak ada ancaman," sahut Jonan santai. "Makanya jadi orang jangan suka iseng." "Kalau Ara memang ingin satu kamar sama Raka," dalih Kirei. Jonan mendengus sinis. "Terus menurutmu aku ingin satu kamar sama kamu? Malahan aku curiga ini settingan biar kamu bisa satu kamar sama aku." "Pede banget sih kamu?"
Kamar itu terletak di lantai empat, sangat luas dan sangat mewah, dengan interior perpaduan abad pertengahan dan abad modern, terdapat beberapa jendela besar menghadap ke hutan dan Samudera Hindia. Beberapa lukisan kuno naturalisme gotik bernilai seni tinggi terpampang di dinding, pesona dinding bertambah indah dengan lukisan besar berupa potret pemilik kamar bergaya ala Ratu Pantai Selatan, di sebelah lukisan lelaki tua menunggang kuda bertopi cowboy. Perabotan yang sangat berkelas dan antik tertata rapi dan menarik. Kamar mandi berdinding kaca bening dengan bathtub dan shower beratap serta bertirai tipis keemasan. Meja rias berlapiskan emas dengan model unik. Televisi layar datar berukuran besar berpadu serasi di dinding. Di setiap sudut kamar terdapat guci sebagai pot bunga matahari dan bakung emas yang tumbuh tinggi, tampak alami dan segar. Tempat tidur berukuran big dan berlapiskan emas terletak di tengah kamar. Di kasur yang sangat empuk tergolek tubuh