Sekitar tenda cukup terang dalam penerangan cahaya bulan. Sekali-sekali terdengar suara binatang yang membangkitkan perasaan seram, disusul lolongan panjang serigala.
Di dalam tenda, sebuah lampu badai tergantung di tengah-tengah dengan cahaya redup, membuat keadaan di dalam lebih gelap daripada di luar, sehingga kelihatan jika ada binatang buas datang mengancam melalui bayangannya.
Raka dan Jonan tidur terlentang di alas tenda tanpa melepas sepatu tactical. Mereka mengenakan celana loreng ala pasukan komando dan kaos crew neck yang elegan.
Oldi tidur meringkuk di atas karpet bulu berbantal carrier. Dia memakai penutup kepala, blazer, kaos lengan panjang, dan celana jeans dengan ujung dimasukkan ke dalam kaos kaki tebal. Kelihatan heboh sekali.
Kirei dan kawan-kawan berbaring beralas karpet bulu dengan bantal berisi udara. Kirei dan Maysha mengenakan jaket, Inara mengenakan sweat shirt. Tapi waktu itu tidak kelihatan karena sebuah selimut menutupi seluruh tubuh mereka.
Tempat tidur laki-laki dan perempuan dibatasi dengan meja. Inara tidur dekat pintu depan dan Raka dekat pintu belakang.
Sekali lagi berkumandang lolongan panjang serigala....
Bagian atas selimut perlahan terbuka. Ketegangan membersit di wajah ketiga gadis itu. Mereka ternyata belum tidur.
Kirei memandang kedua temannya dengan wajah takut. “Kata orang lolongan serigala menandakan ada makhluk halus gentayangan.”
“Terus kata orang kita harus ngapain?” tanya Maysha.
Inara menghibur padahal nyalinya sendiri meleleh. “Tidak aneh ada suara serigala di hutan, memang markasnya.”
Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan. Mereka bertambah tegang. Suara itu makin lama makin jelas, datangnya dari depan tenda. Serempak mereka menoleh. Sesosok bayangan tinggi besar berdiri depan tenda!
Mereka menjerit ketakutan. Pemuda-pemuda itu bangun.
“Ada apa?” tanya Raka tenang seolah tidak terpengaruh oleh suasana yang mencekam.
Mereka tidak mampu berbicara. Tubuh Kirei menggigil saking takutnya.
Jonan bertanya dengan tak kalah santainya, “Mimpi buruk? Pacar tenggelam di selokan?”
“Ada...bayangan...di luar,” jawab Inara tergagap.
Jonan melihat ke luar tenda, tidak ada bayangan apa-apa. "Bercanda.”
“Masa bohong sih, Jo?’’ Maysha memandang pemuda itu dengan sinar mata ketakutan.
“Kingkong kali.”
“Tinggi gede kayak manusia.”
“Kingkong memang kayak manusia,” sambar Jonan enteng. “Samping aku contohnya.”
Oldi keki. “Sekalian saja ngomong sampel gagal."
Jonan dan Oldi berebahan lagi. Ketika Raka hendak berbaring, Inara memanggil.
“Raka...."
Pemuda itu tidak jadi berbaring. Dia menoleh dan bertanya, "Ada apa?"
“Takut,” lenguh Inara manja. "Jangan tidur."
Gadis itu memandang Raka dengan sinar mata minta dikasihani. Perasaan takut tidak mengurangi pesona matanya yang bening kebiruan bagai samudera itu. Maysha dan Kirei menambah sendu keadaan dengan tatap mata yang memelas.
"Please," pinta mereka.
Raka bangkit dan berjalan ke pintu tenda. “Bermimpilah tentang kekasih terindah kalian. Kujaga tidur dan mimpi kalian.”
Raka keluar tenda. Mereka memejamkan mata. Tidak menutup wajah dengan selimut. Merasa aman karena ada yang berjaga-jaga di luar.
Raka menyalakan api unggun sambil duduk di sebuah batu. Api mulai menjilat-jilat. Padang rumput diselimuti kabut tipis. Ada sekumpulan mega apabila diperhatikan secara imajinasi membentuk makhluk raksasa yang menakutkan. Pemuda itu tidak tertarik untuk melihat fenomena yang demikian.
Sekonyong-konyong berkumandang lolongan panjang serigala yang sangat menyeramkan. Mata Inara terbuka. Kini bayangan itu ada di belakang tenda!
Spontan gadis itu berteriak kaget. “Raka, di belakang!”
Raka yang sedang membetulkan letak kayu bakar pada api unggun refleks bangkit dari duduknya dan berlari ke belakang, tapi tidak menemukan makhluk apapun. Suasana sekitar sunyi. Hutan bagian dalam terlihat gelap. Cahaya bulan tak dapat menembus rimbunnya dedaunan.
Raka kembali ke depan lewat jalan yang berbeda dan masuk ke dalam tenda.
Inara dan kawan-kawan duduk berkumpul dengan wajah ketakutan. Oldi terbangun. Dia duduk sambil makan coklat. Sementara Jonan tidur terlentang dengan tenangnya.
Raka memandang mereka. “Kalian tidak usah takut. Tidak ada apa-apa.”
Jonan bicara tanpa membuka mata seperti orang mengigau. "Makanya sebelum tidur ingat Tuhan, jangan ingat pacar, jadi halu.”
“Aku benar-benar melihatnya," tegas Inara. "Bukan halu."
Raka menoleh ke Oldi. “Kamu lihat, Ol?”
“Ya.”
“Lihat apa?”
“Ada tiga cewek gengges mengganggu tidurku.”
Maysha berusaha meyakinkan Raka. “Bayangan itu nyata, Raka, sangat nyata. Dia kabur ke arah hutan.”
“Pasti kingkong jantan,” sahut Jonan. “Dia ketakutan melihat macan betina.”
"Aku serius.”
“Memangnya aku main-main apa?” balik Jonan dengan gaya yang menyebalkan. "Aku saja takut melihat keganasan kamu, apalagi kingkong."
“Binatang apapun namanya tidak bisa kabur secepat itu,” kata Raka. "Aku pasti dapat melihatnya."
Inara memandang dengan takut-takut. “Kayaknya bukan binatang."
“Jangan-jangan....” Kirei tidak berani melanjutkan kata-katanya.
Raka memperhatikan mereka sekejap, lalu menarik nafas dengan halus. "Aku minta sekali lagi kalian jangan berpikiran yang tidak-tidak."
Halusinasi muncul karena pikiran terkungkung oleh hal-hal gaib. Daun kering jatuh saja bisa terlihat seperti hantu kalau di dalam pikiran sudah tercipta situasi yang menakutkan. Otak perlu dikembalikan ke alam nyata dengan memikirkan hal-hal nyata.
"Kalian akan sering mengalami kejadian aneh seperti ini," ujar Raka. "Kenapa aku katakan aneh? Telinga belum biasa mendengar, mata belum biasa melihat, hati belum biasa merasakan. Dari belum biasa itu muncul rasa takut. Kalau rasa takut itu tidak bisa dikendalikan, itu berarti ancaman bagi keselamatan kalian."
Perasaan takut mulai mencair di wajah mereka. Gadis-gadis metropolis itu kelihatan lebih tenang.
Raka melanjutkan motivasinya, "Berapa kali aku didatangi harimau, beruang, singa. Nyatanya aku masih bisa berbagi pengalaman sama kalian. Tahu kenapa? Aku coba mengendalikan rasa takut.”
“Tadi itu bukan harimau, beruang atau singa,” bantah Inara.
"Kamu tahu ada binatang saja di dunia ini dari internet, gaya-gayaan."
“Aku tidak bego-bego banget, Raka. Aku bisa membedakan mana bayangan binatang mana bukan. Tapi kalau bayangan manusia, apa ada manusia bisa lari secepat itu?”
“Nah, kamu sudah jawab sendiri.”
“Jangan-jangan....” Kirei tidak meneruskan kata-katanya karena tajamnya mata Raka menerbangkan isi kepalanya.
Maysha memandang Raka dengan harapan mempercayai mereka. "Aku tidak tahu itu apa. Entah binatang, entah manusia. Tapi percayalah, yang kulihat itu bukan halusinasi. Benar-benar nyata."
“Jangan-jangan....”
Raka mengambil sangkur yang tergeletak di meja dan memasangnya di pinggang. Di meja ada sangkur satu lagi dan empat buah senter kecil. Dia abaikan senter itu.
Raka memandang mereka dengan tajam. "Akan kubawa ke hadapan kalian siapa sebenarnya pemilik bayangan itu, manusia, binatang atau jangan-jangan.”
Pemuda itu pergi. Teman-temannya terperangah. Mereka berpandangan. Raka berani mencari makhluk itu sendirian? Bagaimana kalau benar-benar makhluk astral?
Oldi segera membangunkan Jonan. "Bangun, bangun.”
Jonan membuka mata sebelah lalu menutup lagi, malas-malasan bicara. "Ada apa?”
“Raka pergi.”
“Terus kenapa?”
“Bahaya, tahu gak?”
“Raka sudah biasa keluar masuk hutan malam-malam. Keluar masuk kamar perempuan malam-malam, naaah, baru deh bahaya.”
“Pilih mana, bangun apa...?” Oldi memonyongkan bibir hendak mencium temannya.
Jonan segera bangkit duduk. "Amit-amit.”
“Susul deh, Jo,” pinta Inara khawatir.
Maysha mendelik melihat Jonan tenang-tenang saja. "Segera."
“Gak pake lama,” timpal Kirei. “Aku tahu Raka orangnya beranian, tidak takut sama binatang apa juga. Tapi aku yakin makhluk itu bukan binatang bukan manusia.”
“Bukan juga manusia binatang seperti kamu,” sambung Maysha.
"Cepetan!" sentak Kirei tidak sabar.
Jonan memandang mereka dengan tenang. “Kalian ini kenapa sih? Tahu kenapa Raka pergi? Bukan gaya-gayaan ingin membuktikan omongan kalian. Bising. Aku sekarang ini justru kuatir sama kalian, terutama kamu Ol. Kamu gampang drop kena udara dingin, kalau sakit bagaimana? Dokter hewan saja di mari tidak ada.”
Inara memandang dengan tajam. “Sebenarnya kamu bersedia menyusul apa tidak?”
Jonan jadi kesal. Dia meraih sangkur di meja dan melangkah dengan tergesa-gesa ke pintu tenda. Maysha mengambil senter, bangkit menyusul.
Jonan mendelik. "Mau apa kamu?"
“Menemani kamu.”
"Aku justru dalam bahaya besar kalau main gelap-gelapan sama perempuan kayak kamu." Jonan membuka pintu tenda dan melangkah ke luar.
Maysha memandang kepergian pemuda itu dengan jengkel. “Kenapa sih tuh anak? Harusnya bersyukur diperhatikan sama aku."
“Perhatian kamu adalah ancaman bagi laki-laki," sahut Oldi sambil memasukkan potongan coklat ke mulutnya. "Jo tidak bego, kan buaya.”
Keluar dari tenda, Jonan berjalan melintasi padang rumput dan berhenti di bawah sebuah pohon di tepi hutan. Suasana di situ remang-remang. Cahaya bulan terhalang rimbunnya dedaunan.
Jonan berebahan di atas rumput dengan bantal akar yang menonjol di permukaan tanah. Baru saja memejamkan mata sudah muncul gangguan. Seekor serigala melolong panjang dari dalam hutan. Suaranya terdengar cukup keras menandakan binatang itu tidak jauh posisinya.
Jonan bangkit dengan geram. "Bukan cuma gadis-gadis metropolis yang tidak suka aku tidur.”
Pemuda itu masuk ke dalam hutan, berjalan pelan-pelan sambil tengok kanan kiri. Matanya memicing mencoba menerobos kegelapan.
Sekali lagi berkumandang lolongan serigala. Suaranya tiba-tiba terputus seperti ada sesuatu yang menimpa binatang itu.
Jonan melangkah lambat-lambat menuju ke sebuah rumpun semak yang dicurigai sebagai lokasi kejadian. Dia tertegun sejenak. Lamat-lamat terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan....
Sementara itu suasana di dalam tenda semakin mencekam. Mereka menunggu dengan gelisah. Oldi tak henti-hentinya menyantap coklat. Habis satu potong masuk potongan baru. Kebiasaan kalau lagi gelisah.
“Kalau bayangan itu datang terus masuk tenda, bagaimana?” desis Kirei tercekat.
Mereka berpandangan. Perasaan takut menghiasi sinar mata mereka.
"Tenang ada aku," kata Oldi. "Serahkan semua sama aku."
Oldi bukan gagah-gagahan. Nyalinya sendiri lumer. Tapi cuma dia laki-laki yang tersisa di dalam tenda. Dia harus berani mengambil alih tanggung jawab melindungi mereka.
Gadis-gadis itu malah semakin gelisah. Ketegangan membayang kuat di wajah mereka.
Sekonyong-konyong berkumandang lolongan panjang serigala, kedengaran keras sekali, berasal dari depan tenda. Serempak mereka menoleh ke Oldi. Potongan coklat makin gencar masuk ke mulut pemuda itu sampai-sampai bungkusnya hampir ikut tertelan.
Sayup-sayup terdengar suara erangan yang menyeramkan, semakin lama semakin jelas, ditingkahi suara langkah kaki yang berat mendekati pintu tenda.
Gadis-gadis metropolis itu pindah duduk ke belakang Oldi. Tangan pemuda itu berhenti memasukkan coklat ke mulut. Mereka semua tidak berani bergerak, apalagi bersuara.
Di saat-saat yang menegangkan itu, tiba-tiba bangkai serigala melayang masuk lewat pintu tenda dan jatuh di hadapan mereka. Leher binatang itu hampir putus dengan luka yang mengerikan. Gadis-gadis itu menjerit ketakutan.
Kemudian Jonan muncul dengan wajah garang, mata mendelik, lewat sela-sela bibirnya yang belepotan darah keluar erangan-erangan yang menyeramkan. Mereka terkejut bukan main.
“Jo." Oldi memandang tak berkedip. “Kamu kenapa?”
Jonan tak henti mengerang. Kakinya melangkah lambat-lambat mendekati mereka sambil memandang dengan galak.
“Jo,” pekik Oldi tercekat. “Kenapa kamu jadi begini?”
Jonan duduk di dekat meja. Dari mulutnya keluar suara yang serak dan dalam, "Aku bukan Jo.”
Oldi terpana. Muncul rasa gentar di wajahnya. Sementara ketiga gadis itu mengkerut ketakutan di belakangnya.
Oldi memberanikan diri bertanya, “Terus siapa?”
“Pangeran hutan larangan.”
Gadis-gadis itu semakin ketakutan. Kirei sampai tidak berani melihat Jonan, bersembunyi dalam-dalam di punggung Oldi.
Beberapa saat lamanya Oldi susah berkata-kata, tapi akhirnya keluar juga suaranya karena dorongan rasa tanggung jawabnya, "Kenapa pangeran ganggu teman aku? Salah apa teman aku?”
“Mau tahu salahnya teman kamu? Mau tahu salahnya kamu-kamu pada? Berani-beraninya menginjakkan kaki di daerah kekuasaan aku.”
Badan Oldi membungkuk dengan tangan merapat di depan wajah. “Ampun, pangeran. Kami terpaksa. Kami terdampar di hutan ini."
“Bohong.”
Oldi angkat dua jari bersumpah. "Swear, pangeran.”
“Dower.” Jonan ikut-ikutan angkat dua jari.
“Swear, pangeran, bukan dower. Tolong maafkan kami, pangeran. Kami mohon, please.”
“Ada syaratnya.”
“Sya...rat?” Inara tergagap, antara takut dan bingung. “Syarat apaan, pangeran?”
Jonan menggeram sambil menunjuk pipi kiri, maksudnya minta dicium. Inara terpana sesaat. Ragu-ragu dia bergerak maju dan mencium pipi kirinya.
Kemudian Jonan menggeram dan mendelik ke Kirei yang mengintip lewat punggung Oldi, menunjuk pipi kanan. Kirei melongo. Oldi dorong tubuh gadis itu agar bergerak maju. Kirei merangkak maju dengan takut-takut dan mengecup pipi kanannya.
Sekarang Jonan membelalak ke Oldi. Tanpa menunggu perintah, pemuda itu bergerak maju sambil memonyongkan bibir hendak mencium keningnya.
Tiba-tiba Jonan menggebrak meja, Oldi terlonjak kaget, gerakannya berhenti seketika. Jonan menungging, lalu menggoyangkan pantat ke kiri dan ke kanan. Oldi bengong. Sekali lagi pangeran hutan larangan menggebrak meja. Terpaksa Oldi mencium pantatnya.
Terakhir Jonan mendelik ke Maysha dan menunjuk bibir. Gadis itu terpukau. Pangeran hutan larangan menggeram marah sambil mengangkat kedua tangan seolah hendak menerkam. Maysha sampai mengkerut ngeri.
"Tapi pangeran janji akan pergi?" tatap Maysha takut-takut.
Jonan angkat dua jari bersumpah. "Dower."
Maysha bergerak maju dan perlahan menyorongkan wajah mengecup bibirnya sedikit. Jonan tekan kepala gadis itu sehingga bibirnya merapat dan belepotan darah.
Raka masuk dan melihat kejadian itu. Sekejap dia terpukau, kemudian berkomentar, "Dapat banyak."
Kedatangan Raka bagaikan kemunculan pahlawan yang ditunggu-tunggu.
"Raka!" seru Oldi. "Jo kerasukan! Cepat tolong!"
Raka berjalan dengan santai ke bangkai serigala. “Setan mana berani masuk ke tubuh rajanya?”
Jonan bangkit berdiri. Ekspresi wajahnya kembali seperti biasa. "Aku cuma ingin tahu kebiasaan gadis metropolis."
Mereka terpukau, baru sadar kena tipu. Jonan ternyata cuma pura-pura kesurupan!
Dengan jengkel Oldi menimpukkan carrier ke arah kepala temannya. "Pangeran brengseeek!"
Jonan menangkap carrier itu dan balas menimpuk. Oldi gelagapan terhantam carrier dengan tali tersangkut di kepala.
“Kurang ajar.” Dengan gemas Maysha mengusap wajah Jonan menggunakan tissue bekas membersihkan bibirnya, sehingga wajah pemuda itu belepotan. "Ngaku-ngaku pangeran, tidak tahunya raja buaya."
Raka memeriksa luka pada leher bangkai serigala. Alisnya mengernyit. Jonan ambil bangkai itu, lalu membawanya keluar tenda dan pergi ke tepi lembah.
Raka menyusul. "Aku tahu bukan kamu yang membunuhnya. Luka itu aneh.”
“Ada yang ingin bermain-main dengan kita.” Jonan melemparkan bangkai itu ke lembah. “Dia menakut-nakuti orang yang salah.”
“Siapa?”
Jonan menggeleng. “Aku hanya menemukan bangkai itu.”
Mungkin gadis-gadis metropolis itu benar, pikir Raka. Yang datang ke tenda bukan binatang. Tapi apa?
Ceret yang dijerang di atas kompor mini berbunyi. Inara matikan kompor dan angkat ceret menggunakan serbet, lalu menuangkan airnya ke dalam gelas berisi susu bubuk di atas meja, semuanya ada enam gelas. Diaduknya satu per satu. Selain gelas, di meja ada enam piring kosong lengkap dengan pisau dan garpu. Hari ini dia kebagian jadwal menyiapkan sarapan pagi. Beres membuat susu, Inara meracik sandwich sambil sesekali menoleh ke teras lewat pintu tenda yang terbuka lebar. Kirei, Maysha, dan Jonan duduk santai di atas karpet bulu di teras menunggu hidangan sarapan pagi siap. Kirei bersikeras ingin pulang. "Pokoknya aku mau pulang kalau tim penolong datang. Tidak mau meneruskan petualangan, kapok." Dari semalam gadis itu merengek ingin pulang seperti anak kecil, membuat jengkel teman-temannya. Memangnya di kota gampang panggil taksi? "Berani pulang sendiri?" tatap Inara separuh mencemooh. "Kalau terjadi pelecehan seksual di kapal penjemput, te
Burung-burung berkicau meramaikan hutan. Suara binatang lain sesekali terdengar menyemarakkan suasana. Seekor harimau muncul dari rumpun semak dan mengaum keras. Burung-burung berhenti berkicau. Beberapa kera kecil yang bermain di tanah terkaing-kaing kabur ke atas pohon. Hutan mendadak sepi. Harimau itu berjalan dengan lambat melewati pepohonan. Di suatu tempat, dia mendongak ke sebuah dahan rindang seperti melihat sesuatu. Makhluk misterius bersembunyi di balik rimbunnya daun. Suara tarikan nafasnya yang ganjil dan menyeramkan terdengar sayup-sayup. Harimau itu terpaku diam. Matanya memandang dengan gentar. Makhluk tak kasat mata itu melompat turun dari dahan, berjalan mendekat secara perlahan. Suara tarikan nafasnya terdengar semakin nyaring. Tiba-tiba harimau kabur ketakutan, berlari sekencang-kencangnya menuruni lereng menuju ke lembah. Kejadian itu terlihat oleh Raka di kejauhan. Matanya memicing mencoba melihat lebih
Raka berlari dengan cepat menerabas semak-semak. Dia berharap Jonan menyadari adanya bahaya besar ini sehingga waspada terhadap ancaman yang muncul sewaktu-waktu. Mereka mendirikan tenda di area terbuka. Raka mulanya berpikir lokasi itu aman dari serangan binatang, tapi kemudian menjadi kesalahan besar karena mereka menjadi sasaran empuk orang-orang bersenjata. Makhluk ganas itu adalah ancaman yang paling serius. Dia bisa datang dan membantai mereka kapan saja. Situasi di sekitar tenda terang benderang karena hari ini cuaca sangat cerah, sehingga mereka tidak dapat melihat kemunculan makhluk itu. Hutan jinak ini jadi demikian liar karena kehadiran orang-orang mencurigakan dan makhluk ganjil itu. Mereka membuat wisatawan yang tersesat tidak bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini. Raka memilih jalan yang tidak mudah dilewati, daerah yang kemungkinan kecil mereka jelajahi. Dia ingin menghindari kontak senjata dengan orang-orang asing itu sehingga tidak m
Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya. Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang. Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang. Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya. Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk i
Jonan dan Raka menggenggam senjata siap tembak sambil berjalan agak cepat. Mata kedua pemuda itu mengamati sekeliling dengan waspada. Mereka berada di daerah terbuka, terdapat sedikit semak-semak. Ancaman bisa datang dari berbagai penjuru. Mereka harus melewati wilayah ini secepatnya. Gadis-gadis metropolis itu mulai kelelahan, keringat membasahi wajah, nafas sengal-sengal. Kaki mereka sudah lemas. Kirei kelihatan paling parah. Dia berjalan gontai. "Aku tidak kuat lagi." Kirei duduk di akar pohon yang menonjol panjang di permukaan tanah, Maysha dan Inara juga. Mereka mengatur nafas yang terengah-engah. "Istirahat sesukanya," kata Raka dengan mata mengawasi ke setiap penjuru. "Terima kasih." "Sesukanya pula makhluk itu menyantap kamu kapan saja." "Katanya dia ada di lereng selatan," sahut Maysha. "Sekarang tiba-tiba saja ada di lereng utara, sebenarnya di mana dia tinggal?" "Tanya sendiri sana alamatnya di mana," sambar
Perjalanan ini jadi lambat karena gadis-gadis metropolis itu. Raka tidak bisa memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat. Mereka belum terbiasa menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Biasa naik-turun mobil. Perjalanan semakin lambat karena medan yang dilalui cukup sulit. Padahal bahaya tidak bisa menunggu. Raka terpaksa harus berani mengambil risiko memilih jalur yang tidak banyak rintangan, berjalan di area terbuka. Dia memasang kelima inderanya baik-baik untuk menghadapi ancaman yang sewaktu-waktu datang dari segala arah. Sungguh situasi yang tidak menyenangkan. Mereka berada di bawah perlindungannya, tapi tidak dapat melaksanakan strategi yang diterapkan karena keterbatasan fisik. Dia berharap keberuntungan menaungi mereka. Inara dapat memahami situasi pelik ini. "Aku tidak ingin jadi beban. Kamu lakukan apa yang kamu bisa. Seandainya aku harus kehilangan nyawa di hutan ini, jangan jadi penyesalan di kemudian hari." "Aku tidak akan membiarkan itu
Daerah ini merupakan kawasan pepohonan dengan akar bersembulan di permukaan tanah dan tidak banyak ditumbuhi semak. Malam sudah mulai turun. Tapi masih kelihatan jalan yang dilalui. Raka berjalan sambil mencari lokasi yang cukup aman untuk bermalam. Mereka tidak mungkin melakukan perjalanan di malam hari, risikonya terlalu besar. Lagi pula mereka butuh istirahat. Inara sekali-sekali melihat kompas yang tergantung di leher. Jarum kompas bergerak normal mencari arah kutub. Manusia plasma berarti tidak berada di sekitar mereka. Tapi bukan berarti mengurangi kewaspadaan. Kompas itu akan menjadi kenangan terindah yang mengisi lemari koleksi seandainya mereka diberi kesempatan untuk pulang ke rumah dengan nyawa melekat di badan. Inara selalu menyimpan pemberian Raka sekecil apapun. Dia yang membeli kompas itu, tapi menjadi kenangan manis karena pemuda itu yang mengalungkan ke lehernya. Dia tidak akan mengganti tambang kecil dengan kalung berlian karena just
Bulan purnama menerangi sungai yang dipenuhi batu besar. Bayangan bulan terombang-ambing di permukaan air yang mengalir deras lewat sela-sela bebatuan, suaranya bergemuruh. Sungai itu berada di antara dua tebing curam. Di atas tebing, seekor serigala berdiri pada batu karang yang menonjol tinggi dengan pandangan terarah ke hilir sungai. Kemudian binatang itu mendongak ke langit dan melolong panjang dengan suara yang sangat menyeramkan. Sesosok makhluk tinggi besar muncul dari hilir sungai. Sosok itu begitu aneh, terdiri dari sekumpulan cahaya. Bentuknya tidak kelihatan jelas karena bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya silhouette yang melompat dari satu batu ke batu lain seperti belalang. Serigala di atas batu karang sekali lagi melolong panjang meningkahi gemuruhnya air sungai. Suara lolongan itu pertanda adanya bahaya bagi kawanan binatang itu, dan terdengar jauh sehingga mendapat sambutan dari beberapa tempat yang berbeda. Inara dan M
Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s
Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan
Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi
Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal
Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu
Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or
Ketika alat pelacak tidak dapat mendeteksi, maka insting yang digunakan. Raka tahu di kamar ini banyak menyimpan teka-teki. Dia berpikir keras mencari tahu jawaban dari teka-teki itu. Raka berjalan lambat-lambat memeriksa isi kamar. Matanya kelihatan betah sekali mengamati barang-barang antik yang ada. Inara memperhatikan setiap gerak-gerik Raka sambil berbaring tengkurap di tempat tidur. "Ngapain periksa-periksa? Orangnya sudah tidak ada." "Tahu dari mana orangnya sudah tidak ada?" "Nyatanya tidak muncul-muncul." "Bukan berarti sudah tidak ada." "Kamar ini adalah kamar pimpinan tertinggi kastil. Semua benda dan perabotan yang ada sangat eksklusif dan bernilai seni tinggi, berbeda dengan kamar lain. Sepasang insan berbeda usia pada dua lukisan itu adalah pemiliknya. Mereka pasti sudah tewas dalam kontak senjata di dekat perairan internasional." Pemi
Kirei benar-benar dongkol. Rencananya dia dan Maysha tidur satu kamar. Mereka memilih kamar ujung yang view-nya bagus. Jonan masuk lebih dulu untuk memastikan kamar itu aman. Padahal buat apa diperiksa? Orang-orangnya sudah ditangkap. Ketika Kirei menyusul masuk, tiba-tiba Maysha mengunci pintu dari luar. Tentu saja Kirei gelagapan. Percuma teriak-teriak, Maysha mendadak tuli. Lagi pula kamar itu kedap suara. Akhirnya Jonan kena tumpahan kejengkelan Kirei. "Kamu lagi pakai periksa kamar segala. Cari pembalut bekas?" "Orang-orangnya sudah tidak ada bukan berarti tidak ada ancaman," sahut Jonan santai. "Makanya jadi orang jangan suka iseng." "Kalau Ara memang ingin satu kamar sama Raka," dalih Kirei. Jonan mendengus sinis. "Terus menurutmu aku ingin satu kamar sama kamu? Malahan aku curiga ini settingan biar kamu bisa satu kamar sama aku." "Pede banget sih kamu?"
Kamar itu terletak di lantai empat, sangat luas dan sangat mewah, dengan interior perpaduan abad pertengahan dan abad modern, terdapat beberapa jendela besar menghadap ke hutan dan Samudera Hindia. Beberapa lukisan kuno naturalisme gotik bernilai seni tinggi terpampang di dinding, pesona dinding bertambah indah dengan lukisan besar berupa potret pemilik kamar bergaya ala Ratu Pantai Selatan, di sebelah lukisan lelaki tua menunggang kuda bertopi cowboy. Perabotan yang sangat berkelas dan antik tertata rapi dan menarik. Kamar mandi berdinding kaca bening dengan bathtub dan shower beratap serta bertirai tipis keemasan. Meja rias berlapiskan emas dengan model unik. Televisi layar datar berukuran besar berpadu serasi di dinding. Di setiap sudut kamar terdapat guci sebagai pot bunga matahari dan bakung emas yang tumbuh tinggi, tampak alami dan segar. Tempat tidur berukuran big dan berlapiskan emas terletak di tengah kamar. Di kasur yang sangat empuk tergolek tubuh