Raka berlari dengan cepat menerabas semak-semak. Dia berharap Jonan menyadari adanya bahaya besar ini sehingga waspada terhadap ancaman yang muncul sewaktu-waktu.
Mereka mendirikan tenda di area terbuka. Raka mulanya berpikir lokasi itu aman dari serangan binatang, tapi kemudian menjadi kesalahan besar karena mereka menjadi sasaran empuk orang-orang bersenjata.
Makhluk ganas itu adalah ancaman yang paling serius. Dia bisa datang dan membantai mereka kapan saja. Situasi di sekitar tenda terang benderang karena hari ini cuaca sangat cerah, sehingga mereka tidak dapat melihat kemunculan makhluk itu.
Hutan jinak ini jadi demikian liar karena kehadiran orang-orang mencurigakan dan makhluk ganjil itu. Mereka membuat wisatawan yang tersesat tidak bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini.
Raka memilih jalan yang tidak mudah dilewati, daerah yang kemungkinan kecil mereka jelajahi. Dia ingin menghindari kontak senjata dengan orang-orang asing itu sehingga tidak menghambat waktu untuk segera menemui teman-temannya.
Orang-orang asing itu tentunya masuk secara ilegal melalui perairan internasional, kemungkinan kecil kalau masuk ke pulau ini dengan kedok wisatawan.
Raka kenal baik pengelola biro wisata alam yang berkantor di pulau ini. Nasionalismenya tidak diragukan. Mereka pasti lapor ke aparat kepolisian setempat kalau ada wisatawan yang mencurigakan. Mantan petualang itu memantau langsung para tamunya.
Raka berhenti berlari ketika melihat pemandangan menarik di tepi sungai. Dia tidak bisa melewatkan kesempatan yang ada di depan matanya.
Sebuah perahu bermotor tertambat di rerumpunan tanaman air yang tumbuh tinggi dan rapat sehingga keberadaan perahu itu tersembunyi. Raka sendiri pasti tidak tahu kalau tidak menempuh jalur tepi sungai yang banyak ditumbuhi semak ini. Lokasi itu terlindung dari penglihatan orang di sekitar lereng bukit.
Perahu itu cukup untuk enam orang. Jadi Raka tidak perlu repot-repot pergi ke basecamp untuk mengambil perahu cadangan. Dia ingin memindahkan perahu itu.
Raka bersembunyi di balik rumpun semak yang tumbuh rapat. Dia buka kunci pistol dan menggenggamnya. Matanya mengamati situasi di sekitar perahu.
Raka yakin perahu itu milik kelompok sindikat orang asing yang dibantai makhluk ganas itu. Pulau terpencil ini tidak mungkin dikuasai oleh beberapa kelompok mafia. Kepolisian NKRI akan mengendus keberadaan mereka karena pulau ini tidak berpenghuni.
Dua orang pria asing muncul dari arah hutan sambil tertawa-tawa. Pria berkumis menjinjing dua buah travel bag, temannya memegang senjata otomatis. Mereka kelihatannya senang telah berhasil menipu seseorang.
"Fooled," kata pria berkumis.
"He thought our friend who brought," sahut pria bersenjata.
Pria berkumis tertawa. "Dingle."
Jadi barang yang dirampas makhluk ganjil itu adalah barang palsu, pikir Raka. Mereka hanya untuk mengalihkan perhatian. Barang aslinya ada pada dua orang itu. Tapi barang apa?
Mereka naik ke atas perahu sambil tertawa terbahak-bahak. Pria bersenjata menghidupkan mesin perahu. Baling-baling berputar. Raka sudah siap-siap melumpuhkan mereka dengan peluru, tapi mendadak tidak jadi.
Makhluk bengis itu muncul secara tiba-tiba dari permukaan air di dekat baling-baling. Kemunculannya terlihat dengan membuncahnya air ke udara. Dua orang itu tahu-tahu meregang nyawa. Mereka terkapar di perahu dengan leher menderita luka yang mengerikan.
Travel bag lenyap dari perahu dan seolah melayang-layang sendiri ke arah lereng bukit karena yang membawanya tidak terlihat secara kasat mata. Perahu itu melaju membawa dua sosok mayat.
Raka segera berlari ke arah yang berbeda, meninggalkan tepian sungai dan mendaki lereng landai menuju ke tenda. Dia harus secepatnya sampai sebelum musibah menimpa teman-temannya.
Sementara itu di dalam tenda suasana sangat ceria. Jonan dan teman-temannya duduk mengitari meja sambil menyantap salisbury steak. Di meja ada beragam buah dan lima minuman kaleng.
Oldi tampak surprise mengetahui kabar terbaru tentang Inara. "Jadi kamu sama si Jimy sudah tidak jalan bareng? Kok beritanya tidak menyebar ya?"
Inara dan Jimy merahasiakan keretakan hubungan mereka supaya tidak heboh. Gadis itu menganggap perpisahan adalah jalan keluar terbaik, daripada pemuda itu sakit hati kalau di kemudian hari tahu ternyata dia tidak pernah mencintainya.
"Jaim dong," sahut Kirei. "Baru terpilih jadi pasangan terfavorit masa bubar?"
Oldi memandang Inara dengan tak percaya. "Jadi kamu rela meninggalkan duniamu dan nekat bertualang cuma untuk mendapatkan cinta Raka? Puteri kampus bisa juga mengagungkan cinta. Selebritis biasanya hobi ganti-ganti pacar."
Inara sebenarnya sering ganti-ganti pasangan. Dia ingin membunuh cinta yang tak pernah mati di hatinya. Tapi pacar-pacar itu tidak bisa menggantikan posisi Raka.
"Hatiku cuma mengenal satu cinta," kata Inara. "Dan itu Raka."
"So sweet," kicau Oldi.
"Tapi aku tidak tahu bisa apa tidak mewujudkan itu."
"Jangan pesimis begitu dong."
"Aku hanya tidak ingin terlalu berharap, sehingga kecewaku tidak berkepanjangan nantinya."
"Si Lola pastinya happy banget di Hawaii," sela Maysha. "Tidak perlu susah payah buat menggaet si Jimy."
"Si Lola itu lagi menunggu kepastian dari Raka," sanggah Oldi. "Belum apa-apa masa sudah main dobel?"
Lola sudah biasa memiliki pacar lebih dari satu. Tapi gadis itu tahu tidak bisa memperlakukan Raka secara sama. Maka itu dia memutuskan pacarnya sebelum mendekati pemuda itu.
"Raka itu cuma cowok alternatif," kata Maysha. "Angsa betina itu memilih teman kamu karena kalah bersaing untuk mendapatkan si Jimy."
Angsa betina adalah julukan Lola. Inara mendapat sebutan puteri manja karena segala keperluan serba mami yang mengurus, termasuk urusan celana dalam dan bra.
"Sotoy," rutuk Oldi.
Maysha menasehati. "Kalau tidak mau ketinggalan berita soal angsa betina, makanya baik-baikin puteri manja."
"Tapi angsa betina jadi kepikiran sama Raka," keluh Inara. "Kepergiannya ke Hawaii membuat Raka jadi sensi, baperan."
Kirei menoleh. "Raka jealous maksudnya karena di Hawaii ada si Jimy? Terus kamu kena getahnya? Masuk akal juga."
"Jadi rumit deh," komentar Oldi. "Tapi aku percaya cinta Raka bukan untuk si Lola."
"Bukan untuk aku juga," sahut Inara. "Ada yang lain di hatinya."
"Kayak lagu jadul."
"Tapi masih enak didengar."
"Tidak ada perempuan di kepala beruang salju, meski cuma sebuah nama," potong Jonan. "Dia hanya mendengarkan suara alam, persahabatan atau permusuhan dari sabda alam."
"Nyatanya?"
"Kamu saja lebay."
"Boleh aku jujur?" cetus Oldi.
Kirei mencemooh. "Jadi selama ini kamu tidak jujur? Pantesan tu muka makin jelek, kena azab."
"Jelek-jelek juga buatan negeri sendiri, dompet tebal. Nah, si bule gembel menang merek doang. Main kafe, dugem, banyaknya gratis. Kamu itu pacarnya apa donatur?"
"Jujur soal apaan?" tanya Inara ingin tahu.
"Sebenarnya si Lola kepingin ikut ke pulau ini," jawab Oldi. "Tapi pasti perang terus sama kamu. Cuma bikin Raka pusing. Ada Mey sama Jo saja sudah bising."
"Gak salah?" sindir Maysha. "Kamu sama Rei kali."
"Aku suka sama Rei, berantem itu ngangenin."
"Jangan mimpi di siang bolong," dengus Kirei ketus. "Malu bangunnya."
"Itu hak aku dan tidak bisa diganggu gugat."
"Pertanyaannya aku mau tidak?"
"Pasti tidak."
"Nah, terus?"
"Itu hak kamu dan tidak bisa diganggu gugat."
Jonan mendorong kepalanya. "Tidak usah ngomong kalau begitu."
"Maka itu Raka bagi-bagi waktu," kata Inara. "Pulang dari sini langsung pergi ke Kilimanjaro."
"Terus si Lola ngambek gara-gara Raka memprioritaskan kita," sambung Kirei. "Raka dibilang cowok matre karena semua biaya petualangan ini kamu tanggung. Raka tersinggung. Si Lola nangis-nangis minta maaf ... basbang."
Oldi menatap mereka. "Pasti ada anak Mapala jadi mata-mata. Lengkap banget kalian dapat infonya."
"Jo tidak setuju pergi sama aku bertiga," tambah Maysha. "Cewek metropolis tahunya cuma kosmetik, lantai diskotik, pasti rematik jalan di lantai alam."
"Terus kamu datang atas nama masa lalu," timpal Kirei. "Kebetulan kamu juga ingin sekali bertualang. Momen yang pas buat reuni, kumpul bareng kayak dulu."
"Aku kangen masa-masa itu," ujar Inara. "Gang kita dulu paling meriah dan paling ditakuti gang lain, karena Raka sama Jo jago bela diri. Mey malah pernah sewa Jo jadi bodyguard karena pengen putus sama pacarnya yang mafia. Aku tidak tahu bayarnya pakai cinta atau apa."
"Ke mana-mana deh," gerutu Maysha.
Kirei memuji Oldi untuk pertama kalinya. "Kamulah yang paling jago. Bisa menyatukan kita kembali."
"Tapi aku tidak bisa menyatukan cinta kita."
"Sabar, jodoh tidak ke mana."
"Alhamdulillah."
"Tunggu khilaf."
"Astagfirullah," ucap Oldi. "Kalian tahu semua itu dari siapa? Waktu itu aku ngomongnya cuma bertiga?"
"Kamu sendiri yang membocorkan," sahut Inara. "Coklat dari aku belum habis, kan?"
Jonan mencakar turun muka Oldi. "Pura-pura lupa."
"Perempuan memang susah dimengerti," kicau Oldi. "Banyak cowok yang ngejar-ngejar si Lola, eh, si Lola malah ngejar-ngejar cowok yang tidak suka dikejar-kejar."
"Ya iyalah," tukas Kirei. "Memangnya maling dikejar-kejar?"
"Kapan ya kamu ngejar-ngejar aku?"
"Sabar," hibur Maysha. "Muka kamu adalah ujian."
"Colong saja kucing eksotiknya," gurau Inara. "Rei pasti ngejar-ngejar."
Mereka tertawa.
Raka muncul di pintu tenda dengan wajah serius. Suasana yang meriah mendadak sepi. Semua mata tertuju ke arahnya.
Raka menutup pintu dan jendela tenda. Dia berharap dengan begitu musuh menduga mereka tidak ada di tempat, dan kedatangan musuh bisa terlihat karena keadaan di luar jauh lebih terang.
Mereka heran melihat Raka datang-datang menutup semua pintu dan jendela, lebih-lebih di tubuhnya terdapat banyak senjata. Jonan saja yang kelihatan sabar menunggu penjelasannya.
"Ada apa ditutup semua?" tatap Inara separuh protes. "Pengap tahu."
"Itu senjata beneran?" tanya Oldi ingin tahu. "Dapat dari mana?"
"Bagaimana hasilnya?" buru Kirei penasaran. "Orang basecamp bisa dihubungi? Kapan dijemput?"
"Mulai main gelap-gelapan," sindir Maysha. "Lunch box itu kamu kasih obat perangsang ya, Ara?"
"Aku kasih obat cinta, biar hatinya tidak dingin."
"Nyatanya malah parah. Sekalian kancing kerahmu suruh tutup."
"Kecekik dong."
"Tutup dengan cinta."
Raka mengambil air mineral di dalam dus dan duduk di samping Jonan. Dia buka tutup botol dan meneguknya.
"Aku mau bicara...," kata Raka.
Mereka tidak ada yang berani main-main lagi melihat seriusnya wajah Raka. Semua memasang telinga siap mendengarkan.
"Awalnya aku kira wisata alam ini adalah petualangan yang paling aman buat kalian. Ternyata aku keliru. Aku tidak tahu ada apa dengan hutan ini? Di mana-mana tidak ada sinyal."
"Terus kamu kenapa pulang?" tanya Maysha. "Katanya langsung pergi ke basecamp ambil perahu cadangan kalau gagal cari sinyal."
"Banyak kejadian yang tidak aku pahami, yang membuat aku terpaksa kembali ke tenda."
"Kejadian apa?"
"Kejadian yang membuat kalian harus menyiapkan mental dengan baik untuk mendengarkan."
Gadis-gadis itu berpandangan. Wajah mereka dibayangi perasaan khawatir.
"Terus bagaimana kita pulang?" tatap Inara gelisah.
Maysha bertanya dengan waswas, "Apa kita akan mengalami nasib yang sama?"
Mereka sangat cemas karena teringat tidak ada satupun wisatawan yang berhasil keluar dari hutan ini dengan selamat.
"Jalan kaki lewat jalur utara."
"Kamu bilang jaraknya sangat jauh," sanggah Kirei. "Aku bertiga takut tidak sanggup karena makan waktu berhari-hari untuk menempuhnya. Kamu ingin aku bertiga mati?"
Raka memandang dengan tajam. "Mulai detik ini aku tidak mau ada protes. Simpan itu untuk keselamatan kamu."
Kemudian Raka menoleh ke Inara dengan tatap mata seakan ingin menyelami lubuk hatinya.
"Aku tidak protes, swear," sahut Inara buru-buru. "Aku ikuti ke mana kamu pergi kalau menurutmu itu jalan yang terbaik."
"Aku harap situasi ini tidak menambah beban pikiranmu."
Inara menatap bingung. "Beban apaan?"
"Jangan kira aku tidak tahu soal hubungan kamu sama si Jimy. Kalian sudah bubar, maka itu si Jimy berangkat sendiri ke Hawaii. Kamu ada di sini ingin menenangkan pikiran. Aku hargai apapun alasan kamu. Sayangnya, pulau tak bernama tidak bersahabat untuk orang patah hati."
"Tidak begitu ceritanya," sambar Kirei. "Dengarkan ya...."
Inara menyenggol minuman kaleng yang ada di hadapan Kirei dengan gaya seolah tidak sengaja sehingga minuman itu tumpah membasahi bajunya. Cerita gadis itu langsung terputus. Tangannya sibuk mengibas-ngibaskan pakaian.
"Taruh minuman yang benar," tegur Inara santai. "Untung tidak mampir di muka."
"Minuman sudah benar letaknya," sahut Kirei dongkol. "Otakmu yang perlu diperiksa, miring tidak letaknya."
Inara seperti tidak suka kalau Raka mengetahui cerita yang sebenarnya. Apa maksudnya? Dia pasti gengsi! Memangnya puteri kampus tidak boleh jatuh cinta duluan?
Pemuda itu mendapat informasi yang tidak utuh. Dia mesti tahu alasan yang sebenarnya. Di antara mereka akan terjadi kesalahpahaman kalau dibiarkan. Apakah hal ini tidak terpikir oleh Inara?
Inara mempunyai pemikiran lain. Pasti Lola yang memberi tahu Raka kalau hubungannya sama Jimy berantakan. Angsa betina itu tidak tahu ceritanya secara utuh, atau sengaja menutupi karena gang-nya tidak mungkin memberi informasi asal-asalan. Inara tidak peduli.
Masalahnya, saat ini bukan momen yang tepat untuk menyampaikan cerita yang sebenarnya. Mereka sedang menghadapi persoalan besar. Raka tentu mencurahkan segenap pikiran untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Cerita itu tidak berkesan. Cuma bikin malu.
"Perjalanan kita nanti butuh stamina yang prima, otak jernih, semangat pantang menyerah, dan yang paling penting ... nyali," kata Raka. "Yang kita hadapi bukan cuma ganasnya alam, ada bahaya besar yang setiap saat bisa merenggut nyawa kita."
Gadis-gadis itu kelihatan tegang. Mereka berpandangan dengan perasaan cemas menyelimuti hati. Mereka tidak mau mati di hutan terkutuk ini!
Raka menjelaskan. "Aku sempat bertemu dengan beberapa orang asing yang mencurigakan."
"Mencurigakan bagaimana?" selidik Kirei. "Belum kenal belum apa sudah curiga duluan. Orang asing biasanya pintar-pintar, apalagi orang Italia, gampang diminta bantuan."
"Sampai segitunya bela pacar," sambar Oldi sinis. "Ngakunya pendukung NKRI. Cintai dong produk dalam negeri."
"Awalnya aku ingin minta bantuan," kata Raka sabar. "Tapi tidak jadi."
"Kenapa?" buru Kirei penasaran. "Gengsi kesasar di negeri sendiri?"
Oldi geram. "Semua ini gara-gara kebegoan kamu. Ingat itu."
"Mereka keburu jadi mayat," sahut Raka tenang. "Jelas aku gengsi minta bantuan ke mayat."
Gadis-gadis itu kaget. Wajah mereka pucat seketika.
"Mereka dibantai oleh makhluk yang tidak biasa, bukan manusia bukan binatang, dan lebih ganas dari setan gentayangan."
Perasaan ngeri membersit di wajah ketiga gadis itu. Oldi juga cukup terpengaruh nyalinya. Sementara Jonan cuma menoleh sekilas.
"Aku sama Jo akan membawa kalian keluar dari hutan ini. Sekarang siap-siap."
Bergegas mereka ambil tas masing-masing. Oldi mengeluarkan semua pakaian, ganti memasukkan makanan dan minuman sampai full. Kirei bengong.
"Sesuai kebutuhan," senyum Oldi.
Inara dan Maysha sibuk memasukkan peralatan kosmetik dan barang-barang pribadi lainnya.
"Bawa makanan dan minuman saja secukupnya," tegur Raka.
Inara menoleh. "Kosmetik juga?"
"Pikirkan saja nyawa kamu."
"Nanti cantikku hilang?"
Oldi menatap keki. "Pilih mana? Cantik apa nyawa hilang?"
"Cantikmu kelihatan alamiah kalau tanpa make up," puji Raka.
Inara segera mengeluarkan lagi barang-barang pribadinya. Hatinya senang mendapat pujian itu sekalipun nadanya biasa-biasa saja. Raka terkenal pelit memuji.
"CD-nya sekalian keluarkan," sindir Maysha. "Kan cantiknya tidak hilang biar tidak pakai CD."
"Nah, itu cocoknya kamu," sambar Jonan konyol. "Cantikmu alamiah kalau tanpa sehelai benangpun."
"Aku tidak mau jadi tontonan binatang."
"Binatang pasti lari ketakutan."
"Rajanya ada di depanku."
"Otakku masih waras. Aku suka wanita bukan betina."
Jonan memeriksa senjata otomatis dan magazine cadangan untuknya yang diletakkan Raka di atas meja.
"Senjata ini mengingatkan aku ke Gunung Altay."
"Itu yang ingin aku selidiki. Keberadaan tentara bayaran di pulau tak bernama tentunya bukan untuk berlibur."
Mereka bangkit mengambil carrier.
Sebuah dahan kering tampak patah menggantung. Dahan itu berpangkal pada pohon tua yang tumbuh menyendiri di tepi jurang. Ada dua dahan lagi di atasnya berdaun jarang. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Makhluk itu berada di dahan kedua. Daun bergerak searah secara halus tertiup hembusan nafasnya. Seekor serigala muncul dari sebuah rumpun semak. Dia menggeram dengan mata mencorong tajam ke dahan itu, lalu kepalanya mendongak ke langit dan melolong panjang. Makhluk tak kasat mata itu merasa terusik. Dia mengerang marah dengan suara yang sangat menyeramkan. Kemudian turun dari atas pohon dengan menggelosorkan tubuh. Kulit batang berkelupasan dan berjatuhan ke jurang. Makhluk itu berkelebat melintasi rerumputan memburu serigala. Rumput hijau itu bergerak searah secara bergelombang terkena sambaran angin pergerakannya. Serigala berlari sekencang-kencangnya berusaha meloloskan diri dari perburuan. Makhluk i
Jonan dan Raka menggenggam senjata siap tembak sambil berjalan agak cepat. Mata kedua pemuda itu mengamati sekeliling dengan waspada. Mereka berada di daerah terbuka, terdapat sedikit semak-semak. Ancaman bisa datang dari berbagai penjuru. Mereka harus melewati wilayah ini secepatnya. Gadis-gadis metropolis itu mulai kelelahan, keringat membasahi wajah, nafas sengal-sengal. Kaki mereka sudah lemas. Kirei kelihatan paling parah. Dia berjalan gontai. "Aku tidak kuat lagi." Kirei duduk di akar pohon yang menonjol panjang di permukaan tanah, Maysha dan Inara juga. Mereka mengatur nafas yang terengah-engah. "Istirahat sesukanya," kata Raka dengan mata mengawasi ke setiap penjuru. "Terima kasih." "Sesukanya pula makhluk itu menyantap kamu kapan saja." "Katanya dia ada di lereng selatan," sahut Maysha. "Sekarang tiba-tiba saja ada di lereng utara, sebenarnya di mana dia tinggal?" "Tanya sendiri sana alamatnya di mana," sambar
Perjalanan ini jadi lambat karena gadis-gadis metropolis itu. Raka tidak bisa memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat. Mereka belum terbiasa menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Biasa naik-turun mobil. Perjalanan semakin lambat karena medan yang dilalui cukup sulit. Padahal bahaya tidak bisa menunggu. Raka terpaksa harus berani mengambil risiko memilih jalur yang tidak banyak rintangan, berjalan di area terbuka. Dia memasang kelima inderanya baik-baik untuk menghadapi ancaman yang sewaktu-waktu datang dari segala arah. Sungguh situasi yang tidak menyenangkan. Mereka berada di bawah perlindungannya, tapi tidak dapat melaksanakan strategi yang diterapkan karena keterbatasan fisik. Dia berharap keberuntungan menaungi mereka. Inara dapat memahami situasi pelik ini. "Aku tidak ingin jadi beban. Kamu lakukan apa yang kamu bisa. Seandainya aku harus kehilangan nyawa di hutan ini, jangan jadi penyesalan di kemudian hari." "Aku tidak akan membiarkan itu
Daerah ini merupakan kawasan pepohonan dengan akar bersembulan di permukaan tanah dan tidak banyak ditumbuhi semak. Malam sudah mulai turun. Tapi masih kelihatan jalan yang dilalui. Raka berjalan sambil mencari lokasi yang cukup aman untuk bermalam. Mereka tidak mungkin melakukan perjalanan di malam hari, risikonya terlalu besar. Lagi pula mereka butuh istirahat. Inara sekali-sekali melihat kompas yang tergantung di leher. Jarum kompas bergerak normal mencari arah kutub. Manusia plasma berarti tidak berada di sekitar mereka. Tapi bukan berarti mengurangi kewaspadaan. Kompas itu akan menjadi kenangan terindah yang mengisi lemari koleksi seandainya mereka diberi kesempatan untuk pulang ke rumah dengan nyawa melekat di badan. Inara selalu menyimpan pemberian Raka sekecil apapun. Dia yang membeli kompas itu, tapi menjadi kenangan manis karena pemuda itu yang mengalungkan ke lehernya. Dia tidak akan mengganti tambang kecil dengan kalung berlian karena just
Bulan purnama menerangi sungai yang dipenuhi batu besar. Bayangan bulan terombang-ambing di permukaan air yang mengalir deras lewat sela-sela bebatuan, suaranya bergemuruh. Sungai itu berada di antara dua tebing curam. Di atas tebing, seekor serigala berdiri pada batu karang yang menonjol tinggi dengan pandangan terarah ke hilir sungai. Kemudian binatang itu mendongak ke langit dan melolong panjang dengan suara yang sangat menyeramkan. Sesosok makhluk tinggi besar muncul dari hilir sungai. Sosok itu begitu aneh, terdiri dari sekumpulan cahaya. Bentuknya tidak kelihatan jelas karena bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat hanya silhouette yang melompat dari satu batu ke batu lain seperti belalang. Serigala di atas batu karang sekali lagi melolong panjang meningkahi gemuruhnya air sungai. Suara lolongan itu pertanda adanya bahaya bagi kawanan binatang itu, dan terdengar jauh sehingga mendapat sambutan dari beberapa tempat yang berbeda. Inara dan M
Permukaan tanah di kawasan ini tertutup daun mati yang tebal dan lembab, sedikit sekali rumpun tanaman perdu dan semak. Kaki Inara menginjak daun itu dengan hati-hati sambil menjinjing dua tas daypack, berjalan mengendap-endap mendekati tempat manusia plasma berada. Karena cintanya, Inara rela jadi umpan dan timbul keberanian untuk mengarungi jalan yang gelap ini seorang diri. Di rumah listrik padam saja panik, padahal cuma sekian menit karena generator bermasalah, seisi rumah heboh. Inara tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena akan berakibat fatal, kematian. Dia sebenarnya takut, kegelapan membuat pikiran berfantasi sehingga langkah sedikit bergetar. Dia belum pernah merasakan situasi yang menegangkan begini di dunia gemerlapnya. Inara berusaha mengendalikan rasa takut. Dia percaya Raka mengawasi setiap langkahnya. Pemuda itu pasti tidak membiarkan kalau terjadi sesuatu dengan dirinya. Ada dorongan kuat datang dari cinta untuk membukti
Kirei bangun bukan pada waktu yang tepat. Di saat-saat genting begini gadis itu malah membuat kekacauan. Begitu terbangun, dia kalap dan berontak turun. "Kurang ajar!" Kirei menampar muka Jonan. "Sengaja ya cari-cari kesempatan?" "Kamu tertidur," sahut Jonan menahan kesal. "Terus kamu mesti aku seret?" "Alasan! Kamu sengaja memisahkan aku sama Nick! Kamu pasti iri sama aku karena bisa bertemu pacarku! Kamu tidak bisa! Pacarmu kabur ke Lombok! Atau kamu suka sama aku?" "Sejak kapan aku ada selera sama sapu lidi?" "Brengsek!" maki Kirei geram. "Kamu pikir pacarmu kecakepan banget apa berani menghinaku?" Jonan seolah sengaja ingin membuat Kirei tambah marah. "Pacarku tidak ada yang secantik kamu. Badannya tidak ada yang setipis kamu. Papan tripleks atau apa? Susah dibedakan mana depan mana belakang." "Kurang ajar!" sergah Kirei murka. "Kamu sudah memisahkan aku dengan Nick! Sekarang kamu berani menghinaku! Kamu bajingan! Jahanam!"
Inara tertidur di gendongan Raka. Hembusan nafasnya yang lembut terasa hangat di leher. Laki-laki kebanyakan mungkin tidak tahan bersentuhan dengan wajah halus yang terkulai itu. Ada dua perempuan yang pernah berada dalam gendongan sepanjang hidupnya. Mereka sama-sama mempesona. Raka sering menggendong gorila jantan di masa anak-anak saat mendapat pendidikan keras dari ayahnya. Dia berlari keliling perumahan sehingga menjadi tontonan orang yang jalan-jalan sore. Lola adalah perempuan pertama yang pernah merasakan nyamannya berada dalam gendongan Raka, dalam sebuah perjalanan panjang dari puncak Gunung Jayawijaya sampai Posko Tim SAR. Dia memanfaatkan situasi dengan alasan traumatic experience terjebak di ngarai selama sehari semalam. Tubuhnya lemah tidak kuat berjalan. Anak-anak Mapala sampai berpikiran negatif melihat bagaimana dinginnya Raka terhadap perempuan yang begitu menggoda yang tak pernah lep
Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s
Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan
Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi
Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal
Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu
Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or
Ketika alat pelacak tidak dapat mendeteksi, maka insting yang digunakan. Raka tahu di kamar ini banyak menyimpan teka-teki. Dia berpikir keras mencari tahu jawaban dari teka-teki itu. Raka berjalan lambat-lambat memeriksa isi kamar. Matanya kelihatan betah sekali mengamati barang-barang antik yang ada. Inara memperhatikan setiap gerak-gerik Raka sambil berbaring tengkurap di tempat tidur. "Ngapain periksa-periksa? Orangnya sudah tidak ada." "Tahu dari mana orangnya sudah tidak ada?" "Nyatanya tidak muncul-muncul." "Bukan berarti sudah tidak ada." "Kamar ini adalah kamar pimpinan tertinggi kastil. Semua benda dan perabotan yang ada sangat eksklusif dan bernilai seni tinggi, berbeda dengan kamar lain. Sepasang insan berbeda usia pada dua lukisan itu adalah pemiliknya. Mereka pasti sudah tewas dalam kontak senjata di dekat perairan internasional." Pemi
Kirei benar-benar dongkol. Rencananya dia dan Maysha tidur satu kamar. Mereka memilih kamar ujung yang view-nya bagus. Jonan masuk lebih dulu untuk memastikan kamar itu aman. Padahal buat apa diperiksa? Orang-orangnya sudah ditangkap. Ketika Kirei menyusul masuk, tiba-tiba Maysha mengunci pintu dari luar. Tentu saja Kirei gelagapan. Percuma teriak-teriak, Maysha mendadak tuli. Lagi pula kamar itu kedap suara. Akhirnya Jonan kena tumpahan kejengkelan Kirei. "Kamu lagi pakai periksa kamar segala. Cari pembalut bekas?" "Orang-orangnya sudah tidak ada bukan berarti tidak ada ancaman," sahut Jonan santai. "Makanya jadi orang jangan suka iseng." "Kalau Ara memang ingin satu kamar sama Raka," dalih Kirei. Jonan mendengus sinis. "Terus menurutmu aku ingin satu kamar sama kamu? Malahan aku curiga ini settingan biar kamu bisa satu kamar sama aku." "Pede banget sih kamu?"
Kamar itu terletak di lantai empat, sangat luas dan sangat mewah, dengan interior perpaduan abad pertengahan dan abad modern, terdapat beberapa jendela besar menghadap ke hutan dan Samudera Hindia. Beberapa lukisan kuno naturalisme gotik bernilai seni tinggi terpampang di dinding, pesona dinding bertambah indah dengan lukisan besar berupa potret pemilik kamar bergaya ala Ratu Pantai Selatan, di sebelah lukisan lelaki tua menunggang kuda bertopi cowboy. Perabotan yang sangat berkelas dan antik tertata rapi dan menarik. Kamar mandi berdinding kaca bening dengan bathtub dan shower beratap serta bertirai tipis keemasan. Meja rias berlapiskan emas dengan model unik. Televisi layar datar berukuran besar berpadu serasi di dinding. Di setiap sudut kamar terdapat guci sebagai pot bunga matahari dan bakung emas yang tumbuh tinggi, tampak alami dan segar. Tempat tidur berukuran big dan berlapiskan emas terletak di tengah kamar. Di kasur yang sangat empuk tergolek tubuh