Permukaan tanah di kawasan ini tertutup daun mati yang tebal dan lembab, sedikit sekali rumpun tanaman perdu dan semak.
Kaki Inara menginjak daun itu dengan hati-hati sambil menjinjing dua tas daypack, berjalan mengendap-endap mendekati tempat manusia plasma berada.
Karena cintanya, Inara rela jadi umpan dan timbul keberanian untuk mengarungi jalan yang gelap ini seorang diri. Di rumah listrik padam saja panik, padahal cuma sekian menit karena generator bermasalah, seisi rumah heboh.
Inara tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun karena akan berakibat fatal, kematian. Dia sebenarnya takut, kegelapan membuat pikiran berfantasi sehingga langkah sedikit bergetar. Dia belum pernah merasakan situasi yang menegangkan begini di dunia gemerlapnya.
Inara berusaha mengendalikan rasa takut. Dia percaya Raka mengawasi setiap langkahnya. Pemuda itu pasti tidak membiarkan kalau terjadi sesuatu dengan dirinya. Ada dorongan kuat datang dari cinta untuk membukti
Kirei bangun bukan pada waktu yang tepat. Di saat-saat genting begini gadis itu malah membuat kekacauan. Begitu terbangun, dia kalap dan berontak turun. "Kurang ajar!" Kirei menampar muka Jonan. "Sengaja ya cari-cari kesempatan?" "Kamu tertidur," sahut Jonan menahan kesal. "Terus kamu mesti aku seret?" "Alasan! Kamu sengaja memisahkan aku sama Nick! Kamu pasti iri sama aku karena bisa bertemu pacarku! Kamu tidak bisa! Pacarmu kabur ke Lombok! Atau kamu suka sama aku?" "Sejak kapan aku ada selera sama sapu lidi?" "Brengsek!" maki Kirei geram. "Kamu pikir pacarmu kecakepan banget apa berani menghinaku?" Jonan seolah sengaja ingin membuat Kirei tambah marah. "Pacarku tidak ada yang secantik kamu. Badannya tidak ada yang setipis kamu. Papan tripleks atau apa? Susah dibedakan mana depan mana belakang." "Kurang ajar!" sergah Kirei murka. "Kamu sudah memisahkan aku dengan Nick! Sekarang kamu berani menghinaku! Kamu bajingan! Jahanam!"
Inara tertidur di gendongan Raka. Hembusan nafasnya yang lembut terasa hangat di leher. Laki-laki kebanyakan mungkin tidak tahan bersentuhan dengan wajah halus yang terkulai itu. Ada dua perempuan yang pernah berada dalam gendongan sepanjang hidupnya. Mereka sama-sama mempesona. Raka sering menggendong gorila jantan di masa anak-anak saat mendapat pendidikan keras dari ayahnya. Dia berlari keliling perumahan sehingga menjadi tontonan orang yang jalan-jalan sore. Lola adalah perempuan pertama yang pernah merasakan nyamannya berada dalam gendongan Raka, dalam sebuah perjalanan panjang dari puncak Gunung Jayawijaya sampai Posko Tim SAR. Dia memanfaatkan situasi dengan alasan traumatic experience terjebak di ngarai selama sehari semalam. Tubuhnya lemah tidak kuat berjalan. Anak-anak Mapala sampai berpikiran negatif melihat bagaimana dinginnya Raka terhadap perempuan yang begitu menggoda yang tak pernah lep
Raka dan kawan-kawan keluar dari rerumpunan tanaman perdu. Berondongan tembakan para penghadang manusia plasma semakin sengit, bahkan terdengar dentuman bazoka. Peristiwa penghadangan itu secara tidak langsung membantu mereka untuk meloloskan diri dari perburuan manusia plasma. Mereka berkumpul di padang rumput yang sempit. Raka menurunkan Inara dari gendongan. Di hadapan mereka terdapat celah besar di antara dua tebing karang. Bongkahan batu besar dan kecil bergeletakan di celah itu. Daerah ini merupakan kawasan bukit karang. Hanya sedikit pepohonan yang tumbuh. Mendaki bukit berarti memasuki daerah terbuka dan sangat berisiko terhadap ancaman. Raka mesti berani memasuki celah itu untuk perlindungan sementara menunggu situasi aman. Mereka mesti kembali ke hutan untuk melanjutkan perjalanan. "Kita bersembunyi di balik bebatuan itu," kata Raka. "Setelah para penghadang selesai dengan misinya, kita
Ruangan itu cukup terang diselimuti cahaya kemerahan yang entah berasal dari mana. Barangkali menggunakan sumber cahaya abadi, atau sebuah sirkuit yang tersembunyi di atap. Raka masuk ke dalam ruangan. Dia melihat banyak jejak kaki berukuran besar di lantai berdebu. "Injak lantai yang agak bersih. Jangan sampai makhluk itu mengetahui kedatangan kita." Mereka menginjak lantai bekas tapak kaki manusia plasma karena cuma area itu yang kelihatan agak bersih. Pintu berornamen bunga matahari secara otomatis bergeser menutup saat Jonan yang berjalan paling belakang masuk ke dalam ruangan. Di pintu bagian dalam terdapat ornamen dan relief yang sama. Oldi memandang teman-temannya dengan khawatir. "Kita terkurung. Bagaimana kalau pintu itu tidak bisa dibuka?" "Berarti kita tunggu kedatangan makhluk manis itu untuk membuka pintu," sahut Jonan ringan. "Sederhana saja, kan?" Oldi terbelalak. "Menu
Raka dan teman-temannya masuk ke dalam ruangan. Pintu bakung emas secara otomatis menutup kembali. Suasana jadi gelap gulita. Di ruangan itu tidak ada penerangan cahaya. Raka menyorotkan senter. Di pintu bagian dalam ada relief bakung emas berwarna kusam. Kondisi ruangan itu sangat parah. Barang-barang yang terdapat di situ adalah instrumentasi fisika dengan kondisi hancur berkeping-keping, hanya sedikit sekali peralatan yang bisa dikenali, seperti pernah terjadi ledakan dahsyat. "Ruangan ini adalah bekas laboratorium fisika dilihat dari sisa-sisa peralatan yang ada," komentar Raka. "Barangkali ada random error dalam eksperimen fusi sehingga terjadi ledakan yang menghancurkan semua peralatan." "Manusia plasma adalah korban dari ledakan itu," sambung Jonan. "Dugaanku dia lagi meracik formula obat kuat yang unik dengan sistem penyinaran tertentu, lalu terjadi random error dan meledak." Inara menatap keki
Manusia plasma berdiri di belakang pintu bunga matahari dengan tarikan nafas ganjil yang lambat sehingga terdengar lebih menyeramkan. Matanya menyisir ruangan. Tempat tidur berkelambu penuh sawang dan sarang laba-laba, lemari pakaian kusam berdebu, kamar mandi berdinding kaca sangat kotor, meja rias dengan cermin berantakan.... Semua terlihat seperti biasa, tidak ada bekas sentuhan manusia. Berarti kawanan penghadang itu tidak berhasil masuk ke kamar tidur. Mereka pergi tanpa hasil. Hanya pujangga cinta yang bisa lolos dari pemindaian. Anak muda penipu itu bersembunyi di mana? Dia tidak menemukan mereka di sekitar hutan. Tidak mungkin kabur jauh. Mereka pasti berada di sekitar bukit karang. Dia ingin menunda perburuan sampai esok hari. Mata manusia plasma tertuju pada relief bakung emas. Dia seakan mencurigai sesuatu. Kakinya berjalan menghampiri secara perlahan. Sampai di depan bakung emas, matanya menyisir lambat-lambat sulur bunga yang melengkung.
Api dari bahan karet masih menyala-nyala menerangi ruangan. Raka melihat jam handphone. Sudah lewat tengah malam. Saatnya mereka berangkat. Raka sebenarnya tidak tega membangunkan gadis-gadis metropolis itu untuk menempuh perjalanan di malam hari. Keluar masuk hutan dalam keadaan gelap sangat berat bagi mereka. Mereka biasa kelayapan malam-malam dalam gelimang cahaya lampu kota, dan tidak berjalan kaki. Raka menyentuh bahu Inara yang tidur terkulai di dadanya. "Bangun." "Hm," sahut Inara dengan mata terpejam. "Malam sudah menjelang dini hari," kata Raka. "Kita lanjutkan perjalanan." Tidak ada jawaban. Raka menengok. Tiba-tiba Inara mengecup bibirnya. Pemuda itu tidak sempat mengelak. Inara kembali berebahan di dadanya. "Terima kasih sudah membangunkan aku. Aku ngantuk berat, tunggu sebentar lagi." "Apa ucapan terima kasihmu begitu kepada setiap lelaki?" tanya Raka. "Pengen tahu aja," jawab Inara. Gadis itu tidur lagi.
Pintu bakung emas terbuka lebar secara perlahan. Jonan keluar dengan senapan submesin siap tembak. Dia mengamati sekitar beberapa saat. Kemudian memberi isyarat agar teman-temannya keluar dari ruangan bekas laboratorium fisika. Dia berdiri dengan waspada di dekat peti besi tempat manusia plasma beristirahat. Raka keluar paling akhir sambil memegang pistol. Mereka langsung menuju ke pintu bunga matahari. Telinga Raka yang peka mendengar ada gerakan halus di belakang. Serentak dia membalikkan badan dengan pistol siap tembak ke arah peti besi. Oldi dan ketiga gadis metropolis itu menunggu dengan tegang. Mereka berlindung di belakang Raka dan Jonan. Gerendel peti besi secara perlahan bergerak membuka satu per satu seolah manusia plasma hendak keluar secara sembunyi-sembunyi. Kemudian tutup peti terangkat lambat-lambat. Mereka semakin tegang menunggu. Mata Raka tak berkedip memandang pergerakan tutup peti d
Oldi menginginkan Elena dimakamkan di lokasi di mana perempuan itu tewas. Tenaga medis yang datang bersama Bernard tidak keberatan memenuhi permintaan itu. Tapi mereka tidak membawa peralatan untuk prosesi pemakaman, sedangkan peralatan yang ada di kastil rusak berantakan. Permasalahan baru teratasi setelah dua helikopter jenis angkut militer mendarat di sekitar kastil membawa sebuah peti dan perlengkapan lain untuk prosesi penguburan sesuai permintaan Jonan. Tidak lama pengurusan jenazah berlangsung, satu jam kemudian Oldi sudah menaburi gundukan tanah merah dengan bunga matahari. Air mata Oldi berderai saat berjongkok dekat batu nisan berupa bongkahan puing yang mengakhiri hidup Elena. Kalung berlian dan tas mungil tergantung di ujung bongkahan yang runcing. "Di sini aku pertama kali menemukan cintaku," isak Oldi pilu. "Di sini pula aku kehilangan cintaku. Hari-hari begitu singkat bagi kita. Tapi namamu akan terukir s
Jonan terbujur tidak bergerak di atas daun-daun mati. Pistol tergeletak di sisinya. Perlahan-lahan jari tangannya bergerak. Matanya terbuka sedikit. Pemandangan di sekitar rumpun semak kelihatan blur, kemudian berangsur kelihatan semakin jelas, asap hitam pekat sudah lenyap. Jonan mencoba bangkit sambil menekap luka di dada. Tapi akhirnya tidak kuat dan kembali terkulai. Raka datang membantu dan membawanya ke pohon terdekat, disandarkan ke batang. Raka merobek kaos bagian dada, lukanya cukup dalam. Diarahkan pandang matanya ke sekitar dan berjalan ke tanaman perdu berdaun kecil. Dia ambil beberapa tangkai. Di sehelai daun tanaman perdu ada cairan kental berwarna coklat kekuning-kuningan cukup banyak, Raka petik daun itu. Sambil lewat diraihnya carrier yang tergeletak di tanah. Daun yang ada cairannya dia serahkan ke Jonan dan langsung disantapnya. Daun-daun kecil dia kunyah, hasil kunyahan dibalurkan ke dada temannya. Raka melakukan hal itu sampai luka Jonan
Raka melangkah di jalan marmer taman bunga matahari dengan pistol terselip di belakang pinggang. Jaring berisi bola basket diikat di pinggang. Jonan berjalan di sampingnya, menggendong ransel berisi bowling pin kecil dan besar, dua pucuk pistol terselip di perut."Aku biarkan mereka membodohi kita supaya teman kita tidak kenapa-napa," kata Raka. "Mereka terlindung dari kebejatan mafia dengan jadi sandera. Jumlah mafia yang tersisa mungkin lebih dari itu.""Ada saatnya teman kita kenapa-napa, pada saat Doktor Chiara menghabisi kita dengan senjata ballpoint," sahut Jonan. "Aku tahu senjata itu tidak cuma satu. Yang itu sudah dirusak tombolnya.""Berapapun senjata yang dimiliki, dia tetap perempuan.""Doktor itu memiliki senjata laser yang paling hebat dari ciptaan makhluk di bumi.""Jangan memuji setinggi langit hasil ciptaan manusia.""Aku hanya waspada.""Aku tidak percaya kamu bisa mati di tangan perempuan.""Tapi aku tidak bi
Oldi merasa cinta karena fisik ternyata cuma seumur jagung. Dia mulanya terhanyut oleh pesona kecantikan Elena. Setelah mereguk secawan kenikmatan, semua jadi biasa saja. Tidak ada yang istimewa pada perempuan itu. Oldi tidak peduli saat Elena marah atas perbuatan kurang ajarnya pada Doktor Chiara. Mereka mestinya tahu simpati itu untuk perempuan yang bagaimana. Jangan mentang-mentang satu gender main bela saja. Oldi membiarkan saja Elena pergi ke kamar Inara. Entah kenapa. Saat dia terlalu gampang mendapatkan apa yang diinginkan, dia bukannya senang, malah kecewa. Barangkali dia perlu lebih banyak belajar tentang cinta. Sebenarnya ada rasa gentar di hati Oldi untuk mengarungi hidup bersama Elena. Terakhir perempuan itu jadi simpanan orang besar yang dia tahu memiliki banyak body guard. Tentu orang itu tidak tinggal diam. Dia bisa jadi bulan-bulanan body guard itu. Dia merasa hidupnya tidak bakal nyaman. "Semua perempuan jadi kelihatan biasa kal
Dengan ketus Inara menaiki anak tangga ke atap menara bundar. Di sampingnya menemani Raka, wajahnya kelihatan tenang. Maysha, Kirei, dan Elena mengikuti di belakang. Sore ini Inara ingin pulang sebagai bentuk protes atas investigasi yang menyebalkan itu. "Teman kamu brengsek," dengus Inara muak. "Mempermainkan perempuan seenaknya." "Itu tugas hidupnya," sahut Raka santai. "Jadi sulit berhenti." "Kamu juga?" "Jangan pukul rata." Inara menoleh dengan sinis. "Orang asyik nonton. Tidak ditelanjangi saja sekalian." "Maunya si Jo begitu," kata Raka seolah sengaja ingin membuat Inara tambah marah. "Tapi apa bisa Doktor Chiara cerita sambil telanjang?" "Seneng kali." "Biar lagi marah gak hilang cakepnya." "Sebel." "Senang betul?" sambar Kirei asal. "Jadi kamu
Bangunan itu terletak di bawah tanah. Berlantai dua di sepanjang sisinya. Belasan pria asing berjaga-jaga di lantai atas dengan senjata otomatis di tangan. Mereka mengawasi beberapa pekerja di lantai bawah yang sibuk melakukan packaging. Hasil packaging diangkut oleh forklift ke sebuah ruangan besar di mana kapal selam sudah menunggu. Mesin berukuran raksasa bising beroperasi memproduksi opium duplo. Tabung silinder besar berisi ekstrak komposit bunga matahari dan bakung emas berputar kencang dan hasil penyulingan mengalir melalui sistem yang rumit ke tabung vertikal sebagai penampung, yang selanjutnya mengucur lewat outlet untuk dimasukkan pada bola di sirkuit cakram, bola yang sudah terisi menggelinding ke bagian packaging. Di sebuah ruangan di lantai dua, berkumpul para petinggi kastil. Mereka duduk di sofa lingkar. Doktor Chiara duduk di sofa tunggal, seorang perempuan berwajah pribumi keturunan, sangat cantik dan seksi. Dia tengah memberi instruksi kepada dua or
Ketika alat pelacak tidak dapat mendeteksi, maka insting yang digunakan. Raka tahu di kamar ini banyak menyimpan teka-teki. Dia berpikir keras mencari tahu jawaban dari teka-teki itu. Raka berjalan lambat-lambat memeriksa isi kamar. Matanya kelihatan betah sekali mengamati barang-barang antik yang ada. Inara memperhatikan setiap gerak-gerik Raka sambil berbaring tengkurap di tempat tidur. "Ngapain periksa-periksa? Orangnya sudah tidak ada." "Tahu dari mana orangnya sudah tidak ada?" "Nyatanya tidak muncul-muncul." "Bukan berarti sudah tidak ada." "Kamar ini adalah kamar pimpinan tertinggi kastil. Semua benda dan perabotan yang ada sangat eksklusif dan bernilai seni tinggi, berbeda dengan kamar lain. Sepasang insan berbeda usia pada dua lukisan itu adalah pemiliknya. Mereka pasti sudah tewas dalam kontak senjata di dekat perairan internasional." Pemi
Kirei benar-benar dongkol. Rencananya dia dan Maysha tidur satu kamar. Mereka memilih kamar ujung yang view-nya bagus. Jonan masuk lebih dulu untuk memastikan kamar itu aman. Padahal buat apa diperiksa? Orang-orangnya sudah ditangkap. Ketika Kirei menyusul masuk, tiba-tiba Maysha mengunci pintu dari luar. Tentu saja Kirei gelagapan. Percuma teriak-teriak, Maysha mendadak tuli. Lagi pula kamar itu kedap suara. Akhirnya Jonan kena tumpahan kejengkelan Kirei. "Kamu lagi pakai periksa kamar segala. Cari pembalut bekas?" "Orang-orangnya sudah tidak ada bukan berarti tidak ada ancaman," sahut Jonan santai. "Makanya jadi orang jangan suka iseng." "Kalau Ara memang ingin satu kamar sama Raka," dalih Kirei. Jonan mendengus sinis. "Terus menurutmu aku ingin satu kamar sama kamu? Malahan aku curiga ini settingan biar kamu bisa satu kamar sama aku." "Pede banget sih kamu?"
Kamar itu terletak di lantai empat, sangat luas dan sangat mewah, dengan interior perpaduan abad pertengahan dan abad modern, terdapat beberapa jendela besar menghadap ke hutan dan Samudera Hindia. Beberapa lukisan kuno naturalisme gotik bernilai seni tinggi terpampang di dinding, pesona dinding bertambah indah dengan lukisan besar berupa potret pemilik kamar bergaya ala Ratu Pantai Selatan, di sebelah lukisan lelaki tua menunggang kuda bertopi cowboy. Perabotan yang sangat berkelas dan antik tertata rapi dan menarik. Kamar mandi berdinding kaca bening dengan bathtub dan shower beratap serta bertirai tipis keemasan. Meja rias berlapiskan emas dengan model unik. Televisi layar datar berukuran besar berpadu serasi di dinding. Di setiap sudut kamar terdapat guci sebagai pot bunga matahari dan bakung emas yang tumbuh tinggi, tampak alami dan segar. Tempat tidur berukuran big dan berlapiskan emas terletak di tengah kamar. Di kasur yang sangat empuk tergolek tubuh