Dion menelan saliva menatap kepergian mobil mewah itu dari halaman rumah Kenanga. Cukup lama Dion berdiri di situ. Dia baru beranjak ketika mobil sudah tidak tampak lagi. Langkah Dion gontai kembali ke kamar.
Dia menatap sekeliling kamar yang sudah sepi. Tidak ada lagi tawa dan pembicaraan romantis dengan Kenanga. Dion tersenyum miris mengasihi dirinya sendiri. Semua karena ulahnya. Karena ketidakberdayaannya melawan pesona Risma. "Argh!" Dion mengacak rambutnya sendiri. Kedua telapak tangan Dion terkepal di sisi tubuh dengan dada naik turun. Lalu, Dion melangkah ke arah lemari pakaian. Pandangan laki-laki itu berkabut ketika mendapati kotak perhiasan milik Kenanga masih di situ. Tangan Dion segera bergerak mengambil beberapa pakaian miliknya. Dia harus membereskan semua sebelum besok pagi, atau Kenanga akan membuangnya. Gerakan tangan Dion berhenti pada sebuah amplop berlogo klinik yang terselip di bawah tumpukan baju. Dengan penasaran, dibukanya amplop itu. Tatapan Dion nanar dan berkabut saat membaca beberapa baris kalimat. Tangannya pun gemetar, lalu tanpa sadar bibirnya melengkung tipis. "Kenanga hamil?" tanyanya pada diri sendiri. "Kenanga hamil? Ya Tuhan, aku akan jadi seorang ayah!" pekiknya bahagia. Surat kehamilan milik Kenanga membuat hati Dion membuncah bahagia. Namun, sedetik kemudian, Dion teringat akan Risma. Wanita itu juga tengah mengandung anaknya. Lantas, ingatan Dion tertuju pada laki-laki yang tadi membawa Kenanga pergi. Devano! Laki-laki yang mengenalkanya pada Kenanga itu membuat isi kepala Dion dipenuhi beberapa pertanyaan. Berbagai pikiran berkecamuk di sana. Marah, cemburu, dan tentang kehamilan Kenanga yang dirahasiakan. "Sial! Aku harus cari tahu anak siapa yang dikandung oleh Kenanga!" desis Dion kemudian melipat kembali kertas di tangannya dan memasukkan ke dalam amplop. Sambil mengemasi barang-barangnya, pikiran Dion masih tertuju pada surat kehamilan Kenanga. Dia tidak yakin jika Kenanga akan membalas dendam dengan cara mengkhianatinya. Di saat yang sama, Devano terus melajukan mobil menjauhi komplek tempat tinggal Kenanga. Laki-laki itu melirik sekilas pada Kenanga yang masih diam dengan tatapan kosong pada kegelapan di luar sana. "Ehem!" Devano berdehem lirih. "Jadi, kita mau ke mana, Ken?" tanyanya hati-hati. Kenanga menoleh sekilas, lalu menggeleng lemah. "Aku tidak tahu, Kak. Aku hanya kepikiran Papa!" jawabnya lirih. Devano mengangguk pelan meskipun Kenanga tidak melihatnya. "Apa kamu ingin ke rumah Om?" "Ah? Apa keadaanku seperti ini pantas menampakkan diri di depan Papa? Ini sudah jam satu, Kak!" "Nah, makanya itu aku bingung sekarang. Apa aku harus membawamu ke rumahku?" tanya Devano meminta persetujuan. Kenanga semakin bingung. Meskipun dia dan Dion akan segera bercerai, tetapi menginap di rumah laki-laki lain sangatlah tidak etis. Kenanga tahu, Devano laki-laki yang baik dan tidak tinggal sendiri di rumahnya. "Begini saja, kalau kamu bingung. Malam ini kamu kubawa ke rumahku. Kamu butuh waktu berpikir, Ken. Tidak mungkin, kan, kamu pergi dalam keadaan lelah? Di rumah ada Bibi dan dua orang ART, kita tidak hanya berdua, kan?" "Ta-tapi, aku akan merepotkanmu, Kak. Apa tidak sebaiknya aku tidur di hotel saja?" Devano terkekeh pelan mendengar ucapan ragu Kenanga. Laki-laki itu menoleh sekilas, lalu pandangannya kembali lurus ke jalan yang mulai lengang di depan sana. "Tidur di hotel? Aku tidak setuju. Di hotel tidak ada yang menjagamu, Ken! Malam ini tidur saja di rumahku. Aku juga sudah lelah, Ken, ngantuk!" dalih Devano sambil tersenyum. Kenanga merasa tidak enak hati mendengar ucapan Devano. Dia melirik ke arah laki-laki yang masih fokus mengemudi itu. Devano selalu datang di saat yang dibutuhkan. Kenanga heran dengan sikap Devano yang berubah dingin pada wanita dan tidak tertarik dengan pernikahan. Padahal, dulu semasa masih sekolah, Devano tergolong playboy. Kini, usia Devano sudah memasuki angka 28. Usia yang cukup bagi seorang laki-laki untuk menjalin hubungan serius. Merasa diperhatikan, Devano menoleh dan bertemu pandang dengan Kenanga. "Kenapa? Apa kamu baru sadar jika kakak kelasmu ini ganteng, Ken?" tanya Devano sembari menaikkan sebelah alis. "Ah, ak-aku hanya berpikir em ..." "Berpikir kenapa aku belum menikah dan tidak punya pacar, kan?" sahut Devano seolah mengetahui isi kepala Kenanga. Kenanga semakin grogi mendengar tebakan jitu dari sahabatnya itu. Dia pun segera memalingkan wajah dengan pipi bersemu merah. Melihat tingkah lucu Kenanga, Devano tersenyum sekilas. "Sebentar lagi sampai. Kamu tidak boleh berpikir aneh-aneh!" Devano membelokkan setir menuju komplek perumahan elite. Terlihat sekilas, pemandangan di sisi kanan mobil berjejer rumah-rumah megah berlantai dua. Meskipun berteman lama dengan Devano, Kenanga belum pernah datang ke rumah laki-laki itu. Jadi, Kenanga hanya bisa menduga-duga di mana letak istana Devano. Pada akhirnya, SUV berwarna hitam itu pun berhenti di depan pintu pagar besi yang menjulang tinggi. Seorang security dengan sigap membuka pintu dan mengangguk hormat pada bosnya. Pemandangan di depan sana sungguh menakjubkan. Ternyata Devano tinggal di rumah megah. Devano menoleh pada Kenanga yang masih menatap ke depan sana. "Ayo, turun! Kamu tidak berniat tidur di dalam mobil, kan?" tanyanya santai, lalu tersenyum. Sontak, Kenanga tergagap. "Eh, em ... iya. Ini rumahmu?" tanyanya gugup. Sekali lagi Devano tersenyum sekilas. "Titipan. Ini rumah calon istriku yang tidak pernah kumiliki," jawabnya, lalu buru-buru membuka pintu mobil. Kenanga mengikuti dan berdiri canggung di depan mobil. Seorang ART segera mendekat dan menurunkan koper Kenanga. Kenanga hendak mengambil alih benda itu, tetapi dicegah oleh Devano. "Terima kasih. Tapi apakah aku tidak apa-apa tinggal di sini untuk malam ini?" "Maksudmu?" tanya balik Devano dengan alis terangkat sebelah. "Apa calon istrimu tidak cemburu kamu membawa perempuan lain ke rumahmu?" tanya Kenanga tidak enak hati, lalu menunduk dalam. Devano menarik napas pelan, lalu tersenyum penuh arti. "Sebenarnya aku senang jika dia cemburu. Sayangnya, itu tidak mungkin karena kami tidak bisa bersatu!" jawabnya dengan suara berat. "Oh, maaf. Maafkan aku, Kak!" "Maaf untuk apa?" tanya Devano lalu mengajak Kenanga memasuki rumah. "Maaf sudah bertanya begitu. Aku rasa ini ..." "Ah, lupakan! Kupikir kamu meminta maaf untuk apa. Ya, sudah, kamu ikuti Bi Ina, beliau yang akan mengantarmu ke kamar. Selamat istirahat, Kenanga!" ucap Devano mengalihkan pembicaraan ketika melihat seorang ART yang sudah berumur mendekati mereka. Kenanga mengangguk, lalu meninggalkan Devano yang masih berdiri di tempatnya. Laki-laki itu menatap punggung Kenanga dengan tatapan tak terbaca. "Jangan minta maaf karena sudah merepotkanku, Kenanga. Tapi minta maaflah atas situasi yang tidak kuinginkan ini," batin Devano sembari tersenyum miring. ****Sebelum memasuki kamar tamu, Kenanga sempat menoleh pada Devano dan mendapati laki-laki itu masih berdiri di sana. Kenanga tersenyum simpul, kemudian mengikuti BI Ina memasuki kamar yang cukup luas itu."Silakan istirahat di sini, Nona! Jika perlu bantuan, tolong panggil kami!" ucap Bi Ina sembari meletakkan koper Kenanga di dekat tempat tidur. "Terima kasih, Bibi. Maaf ya, saya merepotkan," ucap Kenanga tidak enak hati."Tidak apa-apa. Sudah tugas kami melayani tamu spesialnya Mas Dev!" sahut Bi Ina sembari tersenyum. "Oh, ya, kamar mandi di situ, semua keperluan di dalamnya masih baru. Boleh dipakai!" lanjut wanita setengah abad itu.Kenanga mengangguk. "Baik, terima kasih Bibi," ucapnya santun.Beberapa menit setelah kepergian Bi Ina, Kenanga tidak juga beranjak dari tempat tidur. Dia justru termenung seolah mencerna peristiwa beberapa jam lalu yang membuat dunianya jungkir balik.Kenanga lantas mengambil handphone yang berdering beberapa kali di dalam tasnya. Wanita itu membuang
"Ya, aku lebih pantas menjadi suami Kenanga!" sergah Devano.Dion mengerutkan bibir geram, lalu sekuat tenaga mendorong tubuh security yang memeganginya. Melihat kemarahan Dion, Devano justru tertawa mengejek."Brengsek kamu, Devano!""Kamu lebih brengsek dariku, Dion. Menyesal aku mengenalkanmu pada Kenanga." Devano mendekati Dion dan menunjuk wajah temannya itu.Dion menepis kasar tangan Devano, lalu tersenyum mengejek. "Hah, tidak usah munafik, Dev! Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku mendekati Kenanga untuk memenangkan taruhan itu?" balasnya.Devano terbelalak. Laki-laki itu reflek mengangkat tangannya yang terkepal kuat. Dion tidak mundur, tetapi justru tertawa mengejek melihat kepanikan di wajah Devano."Kenanga adalah bahan taruhan kita, sadarilah itu, Dev! Dan akulah pemenangnya, bukan kamu! Bukan kamu Devano Rayyan Samudra!" teriak Dion."Shut up! Tutup mulutmu, Dion! Tidak ada yang membuatnya tar--""Taruhan? Taruhan apa, Kak?" tanya Kenanga dengan tatapan nanar dari teras
"Jika aku mengatakan yang sejujurnya, apa kamu menerima alasan itu, Ken?" ulang Devano dengan tatapan menuntut jawaban.Kenanga justru memalingkan wajah dari laki-laki berwajah tampan itu. Menurutnya, apa pun alasan mereka telah menjadikan taruhan adalah sesuatu yang murahan. Dia bukanlah barang yang bisa dijadikan alat taruhan. Bi Ina yang tidak ingin terlibat pembicaraan dengan kedua anak muda itu, memberi isyarat keluar dari kamar. Kenanga menatap langkah Bi Ina, lalu berpaling pada Devano dengan tatapan sinis."Kenapa diam, Ken? Aku melakukan itu karena aku ..." "Karena kamu dan Dion sama saja, Kak! Aku mengenalmu dari kita sama-sama kecil, tapi setelah kamu berteman dengan Dion, lantas mengabaikan pertemanan kita!" "Kenangaaaa ... bukan itu alasannya!" Devano menekan suaranya."Aku tidak butuh alasan, Kak. Jadi, biarkan aku pergi dari sini. Aku benci kalian berdua!" sentak Kenanga sembari bangkit.Devano ikut bangkit seraya meletakkan mangkuk ke atas meja. Laki-laki itu segera
"Ya, tanpa campur tangan Devano, Dion tidak mungkin menikahimu, Ken. Kamu tahu, siapa orang yang paling terluka atas pernikahan kalian?" Risma tersenyum mengejek sembari memindai Kenanga dari ujung kaki sampai ujung kepala.Rasanya senang sekali melihat kepanikan di wajah Devano dan Dion. Juga kebingungan di wajah Kenanga. Risma tidak ingin pura-pura baik lagi pada adik tiri yang begitu dibencinya itu.Dion mendekati Risma, lalu membisikkan sesuatu di telinga wanita itu, "Jangan katakan apa pun padanya, Risma! Setidaknya sampai aku tahu siapa ayah dari bayi dalam kandungan Kenanga."Risma melotot mengetahui kehamilan Kenanga. "Apa kamu bilang? Dia hamil, lalu kamu tidak jadi menceraikan dia?" sahutnya dengan tatapan berkaca-kaca."Aku harus bica--""Jangan khawatir, tanpa Dion menceraikanku, aku sendiri yang akan menggugatnya!" sergah Kenanga dengan suara bergetar. "Ha ha ha!" ejek Risma lagi. "Baguslah jika kamu sadar diri, Kenanga! Sudah saatnya kamu kembalikan Dion padaku. Setahun
"Kenapa pura-pura kaget? Oh, ya, itu kan keahlianmu yang pura-pura polos, Ken!" Risma belum puas melihat Kenanga syok. "Anak pelacur akan menurunkan anak sepertimu!""Diam kamu, Kak!" Air mata Kenanga mengalir tak terbendung. Kenanga masih bisa menerima jika dirinya yang dihina. Namun, bukan orang tuanya. Apalagi ibu Kenanga sudah meninggal beberapa tahun lalu."Kamu jangan keterlaluan, Ris! Bagaimanapun Kenanga adikmu!" lerai Dion sambil mendekati Kenanga. Namun, Kenanga justru mundur menjauhi Dion. "Kalian tidak diundang ke sini. Sebaiknya pergi! Dan untuk hubunganku dengan Kak Devano, itu urusanku. Kurasa tidak perlu persetujuan dari kalian, kan? Bukankah kalian selingkuh juga tidak minta persetujuanku?" Suara Kenanga bergetar karena tangis.Risma justru tertawa mengejek. "Siapa bilang kami selingkuh? Kamu yang merebut Dion dariku, Ken! Dan itu karena ulahnya!" teriaknya sembari menunjuk pada Devano."Ris, kita pulang!" ajak Dion sambil menarik tangan istri keduanya itu. Risma m
Bi Ina menatap sedih kepergian Devano. Namun, laki-laki tampan yang diasuhnya dari kecil itu terus bergegas menuju lantai atas dan tanpa menoleh lagi. Bi Ina menunduk, pandangan mata tua itu berganti pada botol kecil di tangannya. Rupanya, patah hati yang dialami Devano membuat dia tidak peduli akan kesehatan. Dulu, Devano meminta Dion menjaga Kenanga sebagai wujud cintanya pada wanita itu. Nyatanya, hati Devano tidak sekuat ucapan kala itu. Seiring berjalannya waktu, Devano justru semakin sulit melupakan Kenanga. "Mas Dev, sampai kapan kamu akan seperti ini? Bukankah kamu sendiri yang meminta Kenanga menikah dengan Dion?" Bi Ina bergumam. "Apa perlu kita katakan yang sebenarnya pada Neng Kenanga, Bi?" Tiba-tiba Ayu, ART rekan kerja Bi Ina memberi ide. Pasalnya dia juga tidak tega melihat Devano yang berubah menjadi laki-laki dingin selama dua tahun terakhir. Bi Ina menghela napas panjang, kemudian mendongak begitu mendengar suara pintu ditutup. Tidak berapa lama, muncul Deva
"Ken, ralat ucapanmu!" sentak Dion marah.Dion tidak ingin Kenanga berbuat nekad. Meskipun dia telah membuat kesalahan fatal, anak dalam kandungan Kenanga adalah darah dagingnya yang tidak boleh ikut menanggung luka. Mendengar bentakan Dion, Kenanga menyeringai kecil.Wanita itu mengusap air mata yang sialnya terlanjur keluar. Dion hendak kembali memegang tangan Kenanga, tetapi lagi-lagi wanita itu menepisnya. "Ken, aku mohon jangan lakukan itu, Sayang! Anak itu tidak bersalah. Dia berhak hidup dan mendapatkan kasih sayang utuh dari kita!" Dion lantas berlutut di hadapan Kenanga."Ah, kasih sayang utuh? Apa kamu sedang berhalusinasi, Dion? Di luar sana ada anak lain dari rahim wanita yang kamu cintai! Kamu akan mengutamakan mereka. Jadi, untuk apa dia hidup, ha?""Ken, jangan bicara begitu, Sayang!" Dion segera memeluk lutut Kenanga dan menenggelamkan wajah di perut istrinya itu.Kenanga menggigit bibir kuat, berusaha meredam tangisnya. Seharusnya, dia bahagia dengan kehadiran janin
Devano mengusap bibirnya yang berdarah. Laki-laki itu segera bangkit sembari memijat dahinya. Bukannya kasihan melihat luka di wajah Devano, Dion justru mendorong tubuh sahabatnya itu hingga nyaris membentur tembok."Jangan cari kesempatan, Dev!" sentak Dion hendak kembali melayangkan pukulan."Dion, sudah! Tolong!" teriak Kenanga berusaha bangkit untuk melerai.Devano tidak menggubris rasa pening di kepalanya. Dia segera mendekati Kenanga, tetapi segera dicegah oleh Dion."Jangan dekati Kenanga lagi!" "Dokter! Anda terluka!" Seorang perawat mendekati Devano dan mengulurkan tisu pada laki-laki itu.Devano mengambil selembar tisu untuk mengusap bibirnya. Devano tertegun ketika merasakan darah hangat keluar dari hidungnya."Kak Dev, hidungmu berdarah. Dion kamu keterlaluan!" hardik Kenanga sambil melempar bantal ke arah Dion."Oh, kamu lebih membela dia daripada suamimu, Ken?""Iya, karena aku tidak suka kekerasan. Apalagi sampai membuat orang lain terluka.""Ken, aku tidak apa-apa. Te
“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
"Kak, aku takut.”Lingkaran tangan Kenanga semakin kencang saja. Devano membuka mata, lalu berbalik dan memeluk wanita itu.“Apa yang kamu lakukan di sini? Ada masalah?” tanya Devano mulai cemas meskipun tidak meragukan kredibilitas dokter Hendra.Kenanga mendongak karena memang tinggi Kenanga hanya sebatas bahu Devano. Lalu, pandangan Kenanga tertuju pada pakaian yang digunakan Devano. Buru-buru Kenanga melepaskan diri dari pelukan Devano.“Kak Dev habis operasi, ya?” tanyanya.“Bukan, Sayang. Tapi membantu ibu-ibu lahiran!” jawab Devano jujur.Seketika, raut wajah Kenanga menjadi masam. Membayangkan apa yang dilakukan Devano ketika menolong ibu-ibu yang melahirkan. Selanjutnya di benak Kenanga dipenuhi pertanyaan.Mengapa harus menjadi dokter obgyn? Bukankah masih banyak jurusan yang lain? Kenanga lantas menghembuskan napas kasar yang membuat alis Devano naik sebelah.Tak! Kenanga meringis sambil melotot ketika Devano menjentikkan jarinya di kening.“Sakit tahu!”“Lagian dibilang ha
“Dokter Hendra, apa maksudnya?” tanya Kenanga pada dirinya sendiri.Bi Sumi yang ada di sebelahnya, hanya terdiam sembari menatap kepergian Dion. Dalam hati wanita itu mengutuk Dion yang selalu saja memanfaatkan situasi demi keinginannya. “Jangan dengarkan, Pak Dion dan Risma akan selalu mencari cara menjatuhkan Mas Dev. Kalau Mas Devano tidak serius denganmu, mana mungkin dia selalu ada untukmu, Neng!” Tampak Kenanga mengangguk kecil meskipun dalam hati penasaran dengan dokter Hendra. Apalagi, Kenanga pernah bertemu dokter senior itu sedang berbicara sesuatu yang aneh pada Devano.“Bi, apakah Kak Devano ada masalah di rumah sakit, ya? Apa dia punya cewek dan …”“Ah, mulai berprasangka buruk, kan? Jangan termakan omongan Pak Dion, Neng!” sergah Bi Sumi tidak suka. “Untuk lebih jelasnya tanya saja sama Mas Devano nanti!” “Iya, Bi, tapi kalau aku tanya nanti Kak Dev akan ngamuk sama Dion.”“Biarkan saja, itu kan harga yang harus dibayar Pak Dion punya mulut lemes. Lagian kalian itu s
“Ehm, malah melamun. Tadi Kak Risma datang kasih surat apa, Kak?” tanya Kenanga membuyarkan lamunan Devano.“Ehem, akh!” Devano pura-pura terbatuk. “Kok dingin ya, em itu dia kasih surat …”“Sudahlah, aku sudah trauma berurusan dengannya, Kak. Dendamnya ke aku begitu besar. Bukan gara-gara Dion saja, tapi karena Tante Evi meninggal dikira Mama penyebabnya!”Devano menghembuskan napas lega, lalu bangkit dan memutar kursi roda. “Dia akan mencari gara-gara terus. Makanya aku berharap kamu bisa lawan dia. Kasihan banget sebenarnya, dia lagi hamil, tapi tidak tobat juga! Aku tidak nyangka jika sifatnya akan sebar-bar itu, Ken.”“Kak, apakah aku mampu memimpin Chis Garment?” tanya Kenanga ragu.“Mampu saja dan harus mampu, Ken! Kamu kan punya basic usaha sendiri. Beda dengan aku yang tidak mungkin terjun ke dunia bisnis. Yang ada otakku malah lemot. Aku sudah bahagia menjadi dokter, Ken!”“Dokter malah rumit, harus genius baru bisa jadi dokter.”“Berarti aku genius, ya? Baru sadar!” sahut D
"Berapa harga yang harus kubayarkan? Aku yakin, kamu butuh uang banyak karena posisi Dion di Chis Garment tidak aman lagi sekarang!” sahut Devano.Risma mengerutkan bibir marah, refleks dia mengayunkan tangan ke arah Devano. Namun, Devano segera menangkap tangan Risma dan menurunkannya“Jangan paksa aku kasar pada perempuan, Ris. Selama ini aku sabar dengan semua tingkahmu, tapi jika kamu terus mengusik hidup kami, aku tidak akan diam lagi!” Devano menekan suara serendah mungkin, tidak ingin orang lain mendengar perdebatan mereka.Risma menyunggingkan senyum satu sudut. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dev. Kenanga memang pantas mendapatkan semua kesengsaraan ini!” desisnya sembari menunjuk ke arah kamar.Devano menaikkan sebelah alis sambil tersenyum mengejek. “Kamu pikir aku akan mengizinkan? Kenanga sekarang tanggung jawabku. Jadi, ketika kalian mengusik dia lagi berarti berhadapan denganku. Sudahlah, lebih baik fokus pada keluargamu, Ris. Bukankah Kenanga sudah mengalah terlalu banyak pa
“Berapa persen, Mas?” ulang Bi Sumi sedih.Devano menarik napas pelan, lalu mengajak wanita tua itu duduk. Devano menoleh kanan kiri memastikan keadaan di situ aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Saya tidak ingin berhitung, Bi. Perkiraan manusia dan kehendak Allah itu berbeda. Doain saja, umur saya panjang, membahagiakan Kenanga hingga kami menua bersama.”“Mas Dev, kenapa harus Mas Dev yang begini? Kenapa bukan Pak Dion atau perempuan licik itu?”Devano menggeleng tegas. “Ssstt, Bibi tidak boleh bicara seperti itu. Saya ikhlas menerimanya. Yang saya sesalkan saat ada penyakit ini di tubuh saya, Mama meninggal karena syok. Makanya, saya tidak siap jika Kenanga menjauhi saya karena ini, Bi. Bertahun-tahun saya mencintai Kenanga dalam diam, merasakan sakit dan cemburu sendirian. Dan sekarang impian menikahi wanita paling saya cintai hampir terlaksana. Tapi bersamaan dengan ketakutan jika Kenanga pergi, Bi.” Devano mengusap sudut matanya yang memanas, lalu terkekeh pelan
"Dokter Devano memang jagonya bikin meleleh!” seru seorang perawat pada Devano di ambang pintu.Devano melirik ke arah kamar Kenanga. “Iya, dong. Harus itu! Oke, terima kasih, ya, Sus!”Di dalam sana Kenanga menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Memaki dalam hati sikap Devano yang terlalu akrab dengan para wanita. Tidak disangkal, daya tarik Devano memang kuat. Wajar saja banyak yang ingin menjadi kekasih dokter tampan itu. Kenanga mendengus, lalu memejamkan mata berusaha tidak mendengar pembicaraan di depan pintu.Perawat itu tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan paper bag dan bucket pada dokter Devano. Devano mencium bunga mawar merah bercampur lili itu, lalu kembali ke dekat Kenanga.Devano tersenyum jahil saat melihat Kenanga meringkuk dengan mata terpejam. Niatnya membuat Kenanga cemburu tidak sia-sia. “Selamat malam, Bu. Saya tensi dulu, ya!” suara seorang perawat dengan ramah menyentuh lengan Kenanga.Kenanga mengangguk, lalu membetulkan posisi berbaring. Dia sempat m
Dokter muda yang kebetulan kenal baik dengan Devano itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu Devano.“Karena kaget yang membuat Nyonya Devano pingsan. Tulang dekat mata kaki retak, mungkin butuh beberapa hari untuk sembuh total. Beruntung benturan itu tidak keras. Luka di pelipisnya hanya luka ringan. Mungkin itu saja, Dok!”Devano tersenyum lega. “Boleh aku lihat?” tanyanya.“Tentu saja. Makanya, punya pacar itu dijaga, Dok. Jangan sampai terluka!” jawab dokter itu lagi, kemudian berlalu.Devano menatap laki-laki di sebelahnya. “Bapak tidak usah khawatir. Kekasih saya baik-baik saja. Kalau Bapak ingin bertemu, silakan!” ajaknya yang langsung diangguki laki-laki itu.Setelah dipastikan tidak mengalami luka serius, Kenanga dipindahkan ke ruang perawatan. Kenanga tidak berani membalas tatapan tajam Devano yang seolah menghukumnya.Masih dengan raut wajah datar, Devano duduk di samping brankar. Sesekali dia menarik napas lelah hingga membuat Kenanga menatapnya takut.“Siapa yang bawa aku
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand