"Ya, aku lebih pantas menjadi suami Kenanga!" sergah Devano.
Dion mengerutkan bibir geram, lalu sekuat tenaga mendorong tubuh security yang memeganginya. Melihat kemarahan Dion, Devano justru tertawa mengejek. "Brengsek kamu, Devano!" "Kamu lebih brengsek dariku, Dion. Menyesal aku mengenalkanmu pada Kenanga." Devano mendekati Dion dan menunjuk wajah temannya itu. Dion menepis kasar tangan Devano, lalu tersenyum mengejek. "Hah, tidak usah munafik, Dev! Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku mendekati Kenanga untuk memenangkan taruhan itu?" balasnya. Devano terbelalak. Laki-laki itu reflek mengangkat tangannya yang terkepal kuat. Dion tidak mundur, tetapi justru tertawa mengejek melihat kepanikan di wajah Devano. "Kenanga adalah bahan taruhan kita, sadarilah itu, Dev! Dan akulah pemenangnya, bukan kamu! Bukan kamu Devano Rayyan Samudra!" teriak Dion. "Shut up! Tutup mulutmu, Dion! Tidak ada yang membuatnya tar--" "Taruhan? Taruhan apa, Kak?" tanya Kenanga dengan tatapan nanar dari teras. Dion segera mendekati Kenanga dan hendak memeluk istrinya itu. Namun, Kenanga segera mendorong tubuh Dion hingga terhuyung ke belakang. Tatapan Kenanga beralih pada Devano yang masih berdiri kaku di tempatnya. "Ken, masuklah!" titah Devano tanpa berani menatap Kenanga. "Taruhan apa, Kak? Dion? Jawab aku!" teriak Kenanga pada keduanya. Devano dan Dion saling pandang dengan sinis. Kenanga mengetatkan bibirnya yang bergetar menahan tangis. Ternyata kedua laki-laki yang memiliki ikatan emosional dengannya itu menyimpan rahasia. Taruhan? "Taruhan? Apa maksudnya? Taruhan ..." Kenanga terus mengulang kata itu sambil tertawa sumbang. Kenanga memegangi kepalanya yang berdenyut pusing. Pandangan wanita itu berkunang-kunang. Devano dan Dion tersentak ketika tiba-tiba tubuh Kenanga limbung. Beruntung Devano yang lebih dekat dengan sigap menangkapnya. "Jangan sentuh istriku!" cegah Dion sembari berusaha menepis tangan Devano. "Jangan banyak bicara! Sebaiknya kamu pergi, Dion!" usir Devano dingin. "Aku akan bawa Kenanga pulang. Lepaskan dia, Dev!" sergah Dion lagi. "Tidak usah mimpi. Pak, usir orang ini!" perintah Devano tanpa memperdulikan Dion. Security segera mencegah Dion yang berusaha mengambil alih Kenanga dari gendongan Devano. Dion tidak berkutik dan hanya bisa menatap geram pada Devano yang seenaknya membawa Kenanga. Sesampai di ambang pintu, Devano menoleh dan menyunggingkan senyum kemenangan pada Dion. "Cih!" Dion meludah sambil menunjuk wajah Devano. "Jangan merasa menang, Dev! Aku akan panggil polisi karena kamu telah berselingkuh dengan istriku!" ancamnya. "Simpan saja uangmu yang tidak seberapa itu. Bukankah Risma butuh nafkah darimu?" balas Devano mengejek, lalu menutup pintu dengan tumitnya. "Devanoooo! Awas kamu!" teriak Dion lagi. "Jangan membuat keributan, Pak! Sebaiknya Anda pergi, atau Mas Devano bertindak lebih kasar!" tegur security sembari menggelandang Dion menuju ke mobil. Diiringi sumpah serapah, Dion melajukan mobil meninggalkan depan rumah megah Devano. Namun, sesaat Dion menghentikan laju mobil ketika teringat kehamilan Kenanga. Laki-laki itu menjentikkan jarinya di atas setir seolah menemukan ide cemerlang. Dion segera mengambil handphone dan mengetik sebuah pesan singkat untuk Devano. Sejenak, laki-laki berbadan tegap itu pun tersenyum satu sudut. "Kamu tidak bisa memiliki Kenanga, Dev. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" ucap Dion sembari tersenyum penuh arti. Memang dia gagal membawa pulang Kenanga. Namun, Dion tidak akan menyerah karena yakin Kenanga tidak bisa menggugat cerai dirinya. * Devano menarik napas panjang berkali-kali saat menatap Kenanga yang masih berbaring lemah. Devano menoleh pada Bi Ina dan meminta wanita itu segera memanggil dokter. "Tidak perlu memanggil dokter, Bi! Saya baik-baik saja!" cegah Kenanga sembari berusaha duduk. Bi Ina bergegas membantu Kenanga bersandar di kepala ranjang. Devano menoleh ketika seorang ART mendekat sembari membawa teh hangat dan semangkuk kecil bubur ayam. Devano segera mengambil alih nampan dari tangan ART dan duduk di samping Kenanga. "Kamu harus sarapan, Ken!" pinta Devano sembari menyodorkan cangkir pada Kenanga. Kenanga menatap datar Devano dan gelas itu bergantian. Dia tidak berniat mengambil cangkir yang berisi teh hangat beraroma harum itu. Melihat sikap datar Kenanga, Devano terkekeh pelan. "Aku tidak menaruh apa pun di dalam teh ini. Dari semalam kamu belum makan apa-apa, kan?" tanya laki-laki tampan berkulit putih itu sambil mendekatkan cangkir ke arah Kenanga. "Bisa jelaskan tentang taruhan itu, Kak? Maksud kalian apa?" tanya Kenanga sambil meraih cangkir dari tangan Devano. Devano menatap Kenanga penuh arti, lalu menggeleng pelan. Berlama-lama menatap mata wanita cantik di depannya itu, membuatnya tidak punya keberanian untuk jujur. Devano takut jika Kenanga akan menjauh dan membencinya. "Kenapa diam, Kak? Aku dijadikan alat taruhan kalian, begitu?" desak Kenanga lagi. "Em, sebaiknya kamu sarapan dulu, Ken. Jangan sampai kamu sakit!" elak Devano lirih. Kenanga menyunggingkan senyum kaku, lalu mendengus lirih. "Baiklah, kalau Kakak tidak mau jujur. Aku akan cari tahu dari Dion!" ucapnya lalu melengos. Devano menelan ludah. Laki-laki itu lantas mengusap dahinya dengan gusar. Kenanga melirik Devano lalu mendengus lirih. "Kak, tolong jawab!" desak Kenanga tidak sabar lagi. "Baiklah, aku akan jelaskan, tapi kamu harus sarapan!" ucap Devano lalu mengambil mangkuk dan mengulurkan sendok ke arah bibir Kenanga. Kenanga justru membuang muka. "Aku bisa sendiri," tolaknya sembari menahan tangan Devano. "Sekali saja, setelah itu kamu makan sendiri!" Devano tersenyum manis, tetapi justru terlihat menyebalkan bagi Kenanga. "Kakak ingat, aku masih istri orang, jangan aneh-aneh! Lagi pula, Kakak kan sudah punya calon istri. Tidak usah genit!" sembur Kenanga mulai kesal. Devano terkekeh pelan. "Aku senang kamu sudah mulai cerewet, Ken," sahutnya santai. Kenanga mencebikkan bibir mendengarnya. Karena Devano terus memaksa, tidak ada pilihan bagi Kenanga selain membuka mulut. Beberapa detik Kenanga menunggu dengan tidak sabar penjelasan dari Devano. "Maafkan aku," ucap Devano pada akhirnya. "Apa yang dikatakan Dion benar. Awalnya kami taruhan. Jika dia mendapatkanmu, maka aku memenangkan uang dua ratus juta. Namun, jika dia tidak berhasil mendapatkanmu, maka aku yang harus membayarnya," jelasnya lalu menunduk dalam. Kenanga menggigit bibirnya menahan tangis dan kecewa. "Kenapa kalian lakukan ini?" tanyanya dengan suara bergetar. "Aku punya alasan kuat melakukan itu, Ken! Aku tidak asal memberikanmu pada Dion. Apa kamu pikir aku rela, hah?" "Tapi kenapa, Kak? Apa alasanmu melakukan ini? Aku yakin ini bukan tentang uang, kan?" kejar Kenanga sambil menangis. "Memang bukan tentang uang semata. Tapi tentang ..." Devano memejamkan mata menahan air yang mulai mengambang. "Jahat banget kalian." "Ken, jika aku berkata jujur apa kamu masih bisa berkata begitu?" ****"Jika aku mengatakan yang sejujurnya, apa kamu menerima alasan itu, Ken?" ulang Devano dengan tatapan menuntut jawaban.Kenanga justru memalingkan wajah dari laki-laki berwajah tampan itu. Menurutnya, apa pun alasan mereka telah menjadikan taruhan adalah sesuatu yang murahan. Dia bukanlah barang yang bisa dijadikan alat taruhan. Bi Ina yang tidak ingin terlibat pembicaraan dengan kedua anak muda itu, memberi isyarat keluar dari kamar. Kenanga menatap langkah Bi Ina, lalu berpaling pada Devano dengan tatapan sinis."Kenapa diam, Ken? Aku melakukan itu karena aku ..." "Karena kamu dan Dion sama saja, Kak! Aku mengenalmu dari kita sama-sama kecil, tapi setelah kamu berteman dengan Dion, lantas mengabaikan pertemanan kita!" "Kenangaaaa ... bukan itu alasannya!" Devano menekan suaranya."Aku tidak butuh alasan, Kak. Jadi, biarkan aku pergi dari sini. Aku benci kalian berdua!" sentak Kenanga sembari bangkit.Devano ikut bangkit seraya meletakkan mangkuk ke atas meja. Laki-laki itu segera
"Ya, tanpa campur tangan Devano, Dion tidak mungkin menikahimu, Ken. Kamu tahu, siapa orang yang paling terluka atas pernikahan kalian?" Risma tersenyum mengejek sembari memindai Kenanga dari ujung kaki sampai ujung kepala.Rasanya senang sekali melihat kepanikan di wajah Devano dan Dion. Juga kebingungan di wajah Kenanga. Risma tidak ingin pura-pura baik lagi pada adik tiri yang begitu dibencinya itu.Dion mendekati Risma, lalu membisikkan sesuatu di telinga wanita itu, "Jangan katakan apa pun padanya, Risma! Setidaknya sampai aku tahu siapa ayah dari bayi dalam kandungan Kenanga."Risma melotot mengetahui kehamilan Kenanga. "Apa kamu bilang? Dia hamil, lalu kamu tidak jadi menceraikan dia?" sahutnya dengan tatapan berkaca-kaca."Aku harus bica--""Jangan khawatir, tanpa Dion menceraikanku, aku sendiri yang akan menggugatnya!" sergah Kenanga dengan suara bergetar. "Ha ha ha!" ejek Risma lagi. "Baguslah jika kamu sadar diri, Kenanga! Sudah saatnya kamu kembalikan Dion padaku. Setahun
"Kenapa pura-pura kaget? Oh, ya, itu kan keahlianmu yang pura-pura polos, Ken!" Risma belum puas melihat Kenanga syok. "Anak pelacur akan menurunkan anak sepertimu!""Diam kamu, Kak!" Air mata Kenanga mengalir tak terbendung. Kenanga masih bisa menerima jika dirinya yang dihina. Namun, bukan orang tuanya. Apalagi ibu Kenanga sudah meninggal beberapa tahun lalu."Kamu jangan keterlaluan, Ris! Bagaimanapun Kenanga adikmu!" lerai Dion sambil mendekati Kenanga. Namun, Kenanga justru mundur menjauhi Dion. "Kalian tidak diundang ke sini. Sebaiknya pergi! Dan untuk hubunganku dengan Kak Devano, itu urusanku. Kurasa tidak perlu persetujuan dari kalian, kan? Bukankah kalian selingkuh juga tidak minta persetujuanku?" Suara Kenanga bergetar karena tangis.Risma justru tertawa mengejek. "Siapa bilang kami selingkuh? Kamu yang merebut Dion dariku, Ken! Dan itu karena ulahnya!" teriaknya sembari menunjuk pada Devano."Ris, kita pulang!" ajak Dion sambil menarik tangan istri keduanya itu. Risma m
Bi Ina menatap sedih kepergian Devano. Namun, laki-laki tampan yang diasuhnya dari kecil itu terus bergegas menuju lantai atas dan tanpa menoleh lagi. Bi Ina menunduk, pandangan mata tua itu berganti pada botol kecil di tangannya. Rupanya, patah hati yang dialami Devano membuat dia tidak peduli akan kesehatan. Dulu, Devano meminta Dion menjaga Kenanga sebagai wujud cintanya pada wanita itu. Nyatanya, hati Devano tidak sekuat ucapan kala itu. Seiring berjalannya waktu, Devano justru semakin sulit melupakan Kenanga. "Mas Dev, sampai kapan kamu akan seperti ini? Bukankah kamu sendiri yang meminta Kenanga menikah dengan Dion?" Bi Ina bergumam. "Apa perlu kita katakan yang sebenarnya pada Neng Kenanga, Bi?" Tiba-tiba Ayu, ART rekan kerja Bi Ina memberi ide. Pasalnya dia juga tidak tega melihat Devano yang berubah menjadi laki-laki dingin selama dua tahun terakhir. Bi Ina menghela napas panjang, kemudian mendongak begitu mendengar suara pintu ditutup. Tidak berapa lama, muncul Deva
"Ken, ralat ucapanmu!" sentak Dion marah.Dion tidak ingin Kenanga berbuat nekad. Meskipun dia telah membuat kesalahan fatal, anak dalam kandungan Kenanga adalah darah dagingnya yang tidak boleh ikut menanggung luka. Mendengar bentakan Dion, Kenanga menyeringai kecil.Wanita itu mengusap air mata yang sialnya terlanjur keluar. Dion hendak kembali memegang tangan Kenanga, tetapi lagi-lagi wanita itu menepisnya. "Ken, aku mohon jangan lakukan itu, Sayang! Anak itu tidak bersalah. Dia berhak hidup dan mendapatkan kasih sayang utuh dari kita!" Dion lantas berlutut di hadapan Kenanga."Ah, kasih sayang utuh? Apa kamu sedang berhalusinasi, Dion? Di luar sana ada anak lain dari rahim wanita yang kamu cintai! Kamu akan mengutamakan mereka. Jadi, untuk apa dia hidup, ha?""Ken, jangan bicara begitu, Sayang!" Dion segera memeluk lutut Kenanga dan menenggelamkan wajah di perut istrinya itu.Kenanga menggigit bibir kuat, berusaha meredam tangisnya. Seharusnya, dia bahagia dengan kehadiran janin
Devano mengusap bibirnya yang berdarah. Laki-laki itu segera bangkit sembari memijat dahinya. Bukannya kasihan melihat luka di wajah Devano, Dion justru mendorong tubuh sahabatnya itu hingga nyaris membentur tembok."Jangan cari kesempatan, Dev!" sentak Dion hendak kembali melayangkan pukulan."Dion, sudah! Tolong!" teriak Kenanga berusaha bangkit untuk melerai.Devano tidak menggubris rasa pening di kepalanya. Dia segera mendekati Kenanga, tetapi segera dicegah oleh Dion."Jangan dekati Kenanga lagi!" "Dokter! Anda terluka!" Seorang perawat mendekati Devano dan mengulurkan tisu pada laki-laki itu.Devano mengambil selembar tisu untuk mengusap bibirnya. Devano tertegun ketika merasakan darah hangat keluar dari hidungnya."Kak Dev, hidungmu berdarah. Dion kamu keterlaluan!" hardik Kenanga sambil melempar bantal ke arah Dion."Oh, kamu lebih membela dia daripada suamimu, Ken?""Iya, karena aku tidak suka kekerasan. Apalagi sampai membuat orang lain terluka.""Ken, aku tidak apa-apa. Te
"Oh, Dion, aku tidak percaya kalau kita bisa melakukannya di sini. Kamu gila," desah Risma di antara deru napasnya.Dion tersenyum dan semakin mempercepat permainannya karena khawatir Kenanga bangun, lalu memergoki aksi mereka. Tentu hal itu akan membuat Kenanga sulit memaafkannya. Dion mencengkeram bahu Risma erat ketika merasakan mencapai puncak. Risma tertunduk lunglai sembari berpegangan erat pada wastafel. "Kita harus menyudahi ini dan kembali ke sofa sebelum Kenanga bangun, Sayang! Kita akan lanjutkan nanti ketika Kenanga sudah pulang dari rumah sakit," bisik Dion lalu mencium tengkuk istri keduanya itu.Risma mengangguk pasrah lalu membalikkan badan menatap Dion yang tengah membetulkan resleting celananya. Dengan kerlingan menggoda, Risma justru memegang area bawah Dion."Jangan lakukan itu lagi, Sayang!" ucap Dion sembari memegang tangan Risma."Aku hanya menggodamu. Ternyata kamu lebih mudah tertarik denganku.""Tentu saja. Aku lebih mengenalmu dari beberapa tahun lalu, kan
"Ya, Kenanga harus tahu ini," ucap Dion merasa menang melihat wajah panik Devano.. Kenanga langsung mendongak menatap tidak mengerti pada Devano dan Dion yang sedang berdebat. Dia merasa ada hal penting yang disembunyikan oleh mereka. Sedangkan Risma tersenyum mengejek melihat kebingungan di wajah Kenanga. "Tutup mulutmu, Yon. Siapa yang mengizinkanmu jadi pencabut nyawaku?" "Tanpa aku lakukan itu, kamu tidak lebih dari manusia sekarat yang mengemis perhatian istriku!" "Diam!" sentak Devano tidak tahan lagi. "Hentikan omong kosongmu ini!" Dion menyeringai, lalu terkekeh mengejek. "Ha ha ha! Omong kosong kamu bilang? Aku bicara fakta, Dev!" "Diam, stop! Apa yang kalian bicarakan, ha?" lerai Kenanga. "Jangan berlagak bodoh, Kenanga. Apa kamu menyesal sudah kepergok kami? Mana istri dan putri sholeha yang selama ini dibanggakan oleh Papa?" "Masalah ini tidak ada hubungannya dengan Papa. Memangnya aku perlu persetujuan dari kalian, sedangkan kalian sendiri bagaimana? Hh, ja
“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
"Kak, aku takut.”Lingkaran tangan Kenanga semakin kencang saja. Devano membuka mata, lalu berbalik dan memeluk wanita itu.“Apa yang kamu lakukan di sini? Ada masalah?” tanya Devano mulai cemas meskipun tidak meragukan kredibilitas dokter Hendra.Kenanga mendongak karena memang tinggi Kenanga hanya sebatas bahu Devano. Lalu, pandangan Kenanga tertuju pada pakaian yang digunakan Devano. Buru-buru Kenanga melepaskan diri dari pelukan Devano.“Kak Dev habis operasi, ya?” tanyanya.“Bukan, Sayang. Tapi membantu ibu-ibu lahiran!” jawab Devano jujur.Seketika, raut wajah Kenanga menjadi masam. Membayangkan apa yang dilakukan Devano ketika menolong ibu-ibu yang melahirkan. Selanjutnya di benak Kenanga dipenuhi pertanyaan.Mengapa harus menjadi dokter obgyn? Bukankah masih banyak jurusan yang lain? Kenanga lantas menghembuskan napas kasar yang membuat alis Devano naik sebelah.Tak! Kenanga meringis sambil melotot ketika Devano menjentikkan jarinya di kening.“Sakit tahu!”“Lagian dibilang ha
“Dokter Hendra, apa maksudnya?” tanya Kenanga pada dirinya sendiri.Bi Sumi yang ada di sebelahnya, hanya terdiam sembari menatap kepergian Dion. Dalam hati wanita itu mengutuk Dion yang selalu saja memanfaatkan situasi demi keinginannya. “Jangan dengarkan, Pak Dion dan Risma akan selalu mencari cara menjatuhkan Mas Dev. Kalau Mas Devano tidak serius denganmu, mana mungkin dia selalu ada untukmu, Neng!” Tampak Kenanga mengangguk kecil meskipun dalam hati penasaran dengan dokter Hendra. Apalagi, Kenanga pernah bertemu dokter senior itu sedang berbicara sesuatu yang aneh pada Devano.“Bi, apakah Kak Devano ada masalah di rumah sakit, ya? Apa dia punya cewek dan …”“Ah, mulai berprasangka buruk, kan? Jangan termakan omongan Pak Dion, Neng!” sergah Bi Sumi tidak suka. “Untuk lebih jelasnya tanya saja sama Mas Devano nanti!” “Iya, Bi, tapi kalau aku tanya nanti Kak Dev akan ngamuk sama Dion.”“Biarkan saja, itu kan harga yang harus dibayar Pak Dion punya mulut lemes. Lagian kalian itu s
“Ehm, malah melamun. Tadi Kak Risma datang kasih surat apa, Kak?” tanya Kenanga membuyarkan lamunan Devano.“Ehem, akh!” Devano pura-pura terbatuk. “Kok dingin ya, em itu dia kasih surat …”“Sudahlah, aku sudah trauma berurusan dengannya, Kak. Dendamnya ke aku begitu besar. Bukan gara-gara Dion saja, tapi karena Tante Evi meninggal dikira Mama penyebabnya!”Devano menghembuskan napas lega, lalu bangkit dan memutar kursi roda. “Dia akan mencari gara-gara terus. Makanya aku berharap kamu bisa lawan dia. Kasihan banget sebenarnya, dia lagi hamil, tapi tidak tobat juga! Aku tidak nyangka jika sifatnya akan sebar-bar itu, Ken.”“Kak, apakah aku mampu memimpin Chis Garment?” tanya Kenanga ragu.“Mampu saja dan harus mampu, Ken! Kamu kan punya basic usaha sendiri. Beda dengan aku yang tidak mungkin terjun ke dunia bisnis. Yang ada otakku malah lemot. Aku sudah bahagia menjadi dokter, Ken!”“Dokter malah rumit, harus genius baru bisa jadi dokter.”“Berarti aku genius, ya? Baru sadar!” sahut D
"Berapa harga yang harus kubayarkan? Aku yakin, kamu butuh uang banyak karena posisi Dion di Chis Garment tidak aman lagi sekarang!” sahut Devano.Risma mengerutkan bibir marah, refleks dia mengayunkan tangan ke arah Devano. Namun, Devano segera menangkap tangan Risma dan menurunkannya“Jangan paksa aku kasar pada perempuan, Ris. Selama ini aku sabar dengan semua tingkahmu, tapi jika kamu terus mengusik hidup kami, aku tidak akan diam lagi!” Devano menekan suara serendah mungkin, tidak ingin orang lain mendengar perdebatan mereka.Risma menyunggingkan senyum satu sudut. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dev. Kenanga memang pantas mendapatkan semua kesengsaraan ini!” desisnya sembari menunjuk ke arah kamar.Devano menaikkan sebelah alis sambil tersenyum mengejek. “Kamu pikir aku akan mengizinkan? Kenanga sekarang tanggung jawabku. Jadi, ketika kalian mengusik dia lagi berarti berhadapan denganku. Sudahlah, lebih baik fokus pada keluargamu, Ris. Bukankah Kenanga sudah mengalah terlalu banyak pa
“Berapa persen, Mas?” ulang Bi Sumi sedih.Devano menarik napas pelan, lalu mengajak wanita tua itu duduk. Devano menoleh kanan kiri memastikan keadaan di situ aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Saya tidak ingin berhitung, Bi. Perkiraan manusia dan kehendak Allah itu berbeda. Doain saja, umur saya panjang, membahagiakan Kenanga hingga kami menua bersama.”“Mas Dev, kenapa harus Mas Dev yang begini? Kenapa bukan Pak Dion atau perempuan licik itu?”Devano menggeleng tegas. “Ssstt, Bibi tidak boleh bicara seperti itu. Saya ikhlas menerimanya. Yang saya sesalkan saat ada penyakit ini di tubuh saya, Mama meninggal karena syok. Makanya, saya tidak siap jika Kenanga menjauhi saya karena ini, Bi. Bertahun-tahun saya mencintai Kenanga dalam diam, merasakan sakit dan cemburu sendirian. Dan sekarang impian menikahi wanita paling saya cintai hampir terlaksana. Tapi bersamaan dengan ketakutan jika Kenanga pergi, Bi.” Devano mengusap sudut matanya yang memanas, lalu terkekeh pelan
"Dokter Devano memang jagonya bikin meleleh!” seru seorang perawat pada Devano di ambang pintu.Devano melirik ke arah kamar Kenanga. “Iya, dong. Harus itu! Oke, terima kasih, ya, Sus!”Di dalam sana Kenanga menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Memaki dalam hati sikap Devano yang terlalu akrab dengan para wanita. Tidak disangkal, daya tarik Devano memang kuat. Wajar saja banyak yang ingin menjadi kekasih dokter tampan itu. Kenanga mendengus, lalu memejamkan mata berusaha tidak mendengar pembicaraan di depan pintu.Perawat itu tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan paper bag dan bucket pada dokter Devano. Devano mencium bunga mawar merah bercampur lili itu, lalu kembali ke dekat Kenanga.Devano tersenyum jahil saat melihat Kenanga meringkuk dengan mata terpejam. Niatnya membuat Kenanga cemburu tidak sia-sia. “Selamat malam, Bu. Saya tensi dulu, ya!” suara seorang perawat dengan ramah menyentuh lengan Kenanga.Kenanga mengangguk, lalu membetulkan posisi berbaring. Dia sempat m
Dokter muda yang kebetulan kenal baik dengan Devano itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu Devano.“Karena kaget yang membuat Nyonya Devano pingsan. Tulang dekat mata kaki retak, mungkin butuh beberapa hari untuk sembuh total. Beruntung benturan itu tidak keras. Luka di pelipisnya hanya luka ringan. Mungkin itu saja, Dok!”Devano tersenyum lega. “Boleh aku lihat?” tanyanya.“Tentu saja. Makanya, punya pacar itu dijaga, Dok. Jangan sampai terluka!” jawab dokter itu lagi, kemudian berlalu.Devano menatap laki-laki di sebelahnya. “Bapak tidak usah khawatir. Kekasih saya baik-baik saja. Kalau Bapak ingin bertemu, silakan!” ajaknya yang langsung diangguki laki-laki itu.Setelah dipastikan tidak mengalami luka serius, Kenanga dipindahkan ke ruang perawatan. Kenanga tidak berani membalas tatapan tajam Devano yang seolah menghukumnya.Masih dengan raut wajah datar, Devano duduk di samping brankar. Sesekali dia menarik napas lelah hingga membuat Kenanga menatapnya takut.“Siapa yang bawa aku
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand