Devano mengusap bibirnya yang berdarah. Laki-laki itu segera bangkit sembari memijat dahinya. Bukannya kasihan melihat luka di wajah Devano, Dion justru mendorong tubuh sahabatnya itu hingga nyaris membentur tembok."Jangan cari kesempatan, Dev!" sentak Dion hendak kembali melayangkan pukulan."Dion, sudah! Tolong!" teriak Kenanga berusaha bangkit untuk melerai.Devano tidak menggubris rasa pening di kepalanya. Dia segera mendekati Kenanga, tetapi segera dicegah oleh Dion."Jangan dekati Kenanga lagi!" "Dokter! Anda terluka!" Seorang perawat mendekati Devano dan mengulurkan tisu pada laki-laki itu.Devano mengambil selembar tisu untuk mengusap bibirnya. Devano tertegun ketika merasakan darah hangat keluar dari hidungnya."Kak Dev, hidungmu berdarah. Dion kamu keterlaluan!" hardik Kenanga sambil melempar bantal ke arah Dion."Oh, kamu lebih membela dia daripada suamimu, Ken?""Iya, karena aku tidak suka kekerasan. Apalagi sampai membuat orang lain terluka.""Ken, aku tidak apa-apa. Te
"Oh, Dion, aku tidak percaya kalau kita bisa melakukannya di sini. Kamu gila," desah Risma di antara deru napasnya.Dion tersenyum dan semakin mempercepat permainannya karena khawatir Kenanga bangun, lalu memergoki aksi mereka. Tentu hal itu akan membuat Kenanga sulit memaafkannya. Dion mencengkeram bahu Risma erat ketika merasakan mencapai puncak. Risma tertunduk lunglai sembari berpegangan erat pada wastafel. "Kita harus menyudahi ini dan kembali ke sofa sebelum Kenanga bangun, Sayang! Kita akan lanjutkan nanti ketika Kenanga sudah pulang dari rumah sakit," bisik Dion lalu mencium tengkuk istri keduanya itu.Risma mengangguk pasrah lalu membalikkan badan menatap Dion yang tengah membetulkan resleting celananya. Dengan kerlingan menggoda, Risma justru memegang area bawah Dion."Jangan lakukan itu lagi, Sayang!" ucap Dion sembari memegang tangan Risma."Aku hanya menggodamu. Ternyata kamu lebih mudah tertarik denganku.""Tentu saja. Aku lebih mengenalmu dari beberapa tahun lalu, kan
"Ya, Kenanga harus tahu ini," ucap Dion merasa menang melihat wajah panik Devano.. Kenanga langsung mendongak menatap tidak mengerti pada Devano dan Dion yang sedang berdebat. Dia merasa ada hal penting yang disembunyikan oleh mereka. Sedangkan Risma tersenyum mengejek melihat kebingungan di wajah Kenanga. "Tutup mulutmu, Yon. Siapa yang mengizinkanmu jadi pencabut nyawaku?" "Tanpa aku lakukan itu, kamu tidak lebih dari manusia sekarat yang mengemis perhatian istriku!" "Diam!" sentak Devano tidak tahan lagi. "Hentikan omong kosongmu ini!" Dion menyeringai, lalu terkekeh mengejek. "Ha ha ha! Omong kosong kamu bilang? Aku bicara fakta, Dev!" "Diam, stop! Apa yang kalian bicarakan, ha?" lerai Kenanga. "Jangan berlagak bodoh, Kenanga. Apa kamu menyesal sudah kepergok kami? Mana istri dan putri sholeha yang selama ini dibanggakan oleh Papa?" "Masalah ini tidak ada hubungannya dengan Papa. Memangnya aku perlu persetujuan dari kalian, sedangkan kalian sendiri bagaimana? Hh, ja
Kenanga tidak puas dengan jawaban Devano. Dia yakin laki-laki di depannya itu sengaja menyembunyikan sesuatu. Diperhatikan dengan penuh kecurigaan, Devano terkekeh, lalu menoyor gemas kepala Kenanga."Kamu pikir aku intel yang penuh rahasia, gitu?""Baiklah, kalau Kak Dev tidak mau jujur. Aku yakin, suatu saat pasti mengetahuinya!"Mendengar ucapan itu, lagi-lagi membuat Devano tersenyum. Namun, kali ini justru senyum miris yang dia suguhkan.'Saat kamu mengetahuinya, mungkin aku hanya tinggal kenangan bagimu, Ken. Maafkan aku yang sudah berandil dalam lukamu saat ini, Ken," ucap Devano dalam hati."Ah, aku ...''"Assalamualaikum! Maaf Mas Dev, Neng Kenanga, saya telat datang.""Waalaikumsalam, terima kasih, Yu. Maaf malam ini saya merepotkanmu, Yu!" ucap Devano pada ART-nya itu.Ayu, gadis manis itu tersenyum. "Tidak repot, Mas. Saya justru senang bisa menemani Neng Ken. Oh, ya, saya bawa ini untuk Mas Dev dan Neng!" ucap Ayu sembari mengeluarkan makanan dari dalam paper bag. "Bi Ina
"Apa maksudmu, Dion? Kenanga, apa itu benar?" tanya Setyo tidak percaya. Kenanga terkejut dengan ucapan Dion. Wanita itu tampak begitu kecewa. Tidak pernah disangka jika mulut Dion bisa sejahat itu. Laki-laki yang dulu dikaguminya dan dibanggakan, ternyata tidak lebih dari seekor kalajengking beracun. Rasa marah, kecewa, dan sakit kini menumpuk di hati Kenanga.Tatapan Setyo masih menghujam pada putri dan menantunya bergantian. Kenanga mengerutkan bibir geram, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Faktanya, dia memang tertangkap basah sedang berciuman dengan Devano, meskipun rasa cinta itu masih tetap untuk Dion."Jawab, Kenanga! Apa itu benar?" tuntut Setyo lagi."Tadi malam saya mencari Kenanga di rumah sakit, ternyata dia bersama dengan Devano di lorong tangga. Apa yang kamu lakukan di sana, Sayang? Katakan pada Papa dan aku tidak akan marah!" ucap Dion lalu mendekati Kenanga."Jangan mendekat!" Kenanga segera bangkit dan menunjuk wajah Dion. "Aku tidak melakukan apa pun dengan Kak D
"Talak Risma di depan kami, kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki hubungan kita, Dion!" ucap Kenanga tanpa ragu.Dion segera melepaskan pelukannya, lalu menatap tak percaya pada Kenanga. Akhirnya, laki-laki itu mengangguk pelan. Hal itu justru di luar dugaan Kenanga. Kenanga menatap dalam manik hitam Dion, seolah mencari kejujuran di balik sorot mata suaminya itu."Baik, aku memang harus memilih di antara kalian. Meskipun kami ..." Dion menghentikan ucapan saat mengingat kondisi Risma yang tengah berbadan dua."Karena kamu mencintainya melebihi aku, kan?" tanya Kenanga sinis, lalu menyingkirkan tangan Dion dari bahunya."Bukan begitu, Sayang. Aku harus cari waktu yang tepat, Ken. Aku takut jika Risma benar-benar membuktikan ancamannya. Itu yang kutakutkan sehingga semua ini terjadi!""Ancaman? Ancaman apa?" tanya Kenanga ingin tahu.Raut wajah Dion mendadak pucat. Dia pun terlihat salah tingkah setelah menyadari keceplosan bicara. Dion segera memalingkan pandangan dari Kenanga.'Ti
Membicarakan ancaman, membuat Dion selalu tidak berkutik. Dia menatap tidak percaya pada istri mudanya itu, yang seolah melakukan sebuah kejahatan adalah hal lumrah.Dion tidak ingin Risma semakin masuk ke dalam lembah dendam yang akan membuatnya hancur. Dion berpikir tentang anak dalam kandungan Risma. Laki-laki itu memejamkan mata rapat, sembari memijit pangkal hidungnya.Tidak ada pilihan lagi bagi Dion. Dia harus mengorbankan Risma bersama dendamnya, atau Kenanga. Apalagi jika Kenanga lepas darinya, sudah pasti wanita itu akan bersama Devano. Tidak! Dion tidak ingin sahabatnya itu memiliki Kenanga.Devano sudah menyerahkan Kenanga padanya demi uang 200 juta. Jadi, sekarang Dion harus fokus mencari solusi lain. Tanpa sadar, Dion mengacak rambutnya."Jangan lama-lama memikirkan, Yon! Aku juga tidak memaksa, kok!" seru Risma menyentak lamunan Dion.Laki-laki itu tergagap dan langsung menatap Risma. "Pikirkan anak kita, Ris! Jika kamu terus begini, Kenanga tidak akan diam. Dia dan Dev
Kenanga langsung menutup bibirnya mendengar ucapan Devano. Laki-laki jangkung di depannya itu tampak tenang, bahkan ketika Setyo mendengar pengakuan Devano."Dokter Devano, jangan main-main dengan perasaan!" ucap Setyo di ambang pintu. "Kenanga itu istri Dion, sahabatmu!" lanjutnya dengan tatapan datar.Sebenarnya Setyo sudah menduga hal ini pasti terjadi. Dia sudah curiga dengan gelagat Devano yang langsung menjaga jarak dari Kenanga, semenjak wanita itu menikah. Bahkan, Devano sengaja tidak datang di pernikahan Kenanga walaupun Setyo sendiri yang mengundangnya.Devano segera menurunkan lengan dari sisi tubuh Kenanga. "Maafkan saya, Om. Tapi lebih baik saya jujur dengan perasaan saya," ucapnya tenang.Kenanga segera beranjak dan berdiri di belakang Setyo. "Papa mau jalan-jalan? Ken antar, ya!" ucapnya.Kenanga tidak ingin membahas perasaan Devano padanya. Dia masih belum percaya dengan ungkapan Devano. Setyo mengangguk, membuat Kenanga menarik napas lega karena bisa menghindari Devan
“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
"Kak, aku takut.”Lingkaran tangan Kenanga semakin kencang saja. Devano membuka mata, lalu berbalik dan memeluk wanita itu.“Apa yang kamu lakukan di sini? Ada masalah?” tanya Devano mulai cemas meskipun tidak meragukan kredibilitas dokter Hendra.Kenanga mendongak karena memang tinggi Kenanga hanya sebatas bahu Devano. Lalu, pandangan Kenanga tertuju pada pakaian yang digunakan Devano. Buru-buru Kenanga melepaskan diri dari pelukan Devano.“Kak Dev habis operasi, ya?” tanyanya.“Bukan, Sayang. Tapi membantu ibu-ibu lahiran!” jawab Devano jujur.Seketika, raut wajah Kenanga menjadi masam. Membayangkan apa yang dilakukan Devano ketika menolong ibu-ibu yang melahirkan. Selanjutnya di benak Kenanga dipenuhi pertanyaan.Mengapa harus menjadi dokter obgyn? Bukankah masih banyak jurusan yang lain? Kenanga lantas menghembuskan napas kasar yang membuat alis Devano naik sebelah.Tak! Kenanga meringis sambil melotot ketika Devano menjentikkan jarinya di kening.“Sakit tahu!”“Lagian dibilang ha
“Dokter Hendra, apa maksudnya?” tanya Kenanga pada dirinya sendiri.Bi Sumi yang ada di sebelahnya, hanya terdiam sembari menatap kepergian Dion. Dalam hati wanita itu mengutuk Dion yang selalu saja memanfaatkan situasi demi keinginannya. “Jangan dengarkan, Pak Dion dan Risma akan selalu mencari cara menjatuhkan Mas Dev. Kalau Mas Devano tidak serius denganmu, mana mungkin dia selalu ada untukmu, Neng!” Tampak Kenanga mengangguk kecil meskipun dalam hati penasaran dengan dokter Hendra. Apalagi, Kenanga pernah bertemu dokter senior itu sedang berbicara sesuatu yang aneh pada Devano.“Bi, apakah Kak Devano ada masalah di rumah sakit, ya? Apa dia punya cewek dan …”“Ah, mulai berprasangka buruk, kan? Jangan termakan omongan Pak Dion, Neng!” sergah Bi Sumi tidak suka. “Untuk lebih jelasnya tanya saja sama Mas Devano nanti!” “Iya, Bi, tapi kalau aku tanya nanti Kak Dev akan ngamuk sama Dion.”“Biarkan saja, itu kan harga yang harus dibayar Pak Dion punya mulut lemes. Lagian kalian itu s
“Ehm, malah melamun. Tadi Kak Risma datang kasih surat apa, Kak?” tanya Kenanga membuyarkan lamunan Devano.“Ehem, akh!” Devano pura-pura terbatuk. “Kok dingin ya, em itu dia kasih surat …”“Sudahlah, aku sudah trauma berurusan dengannya, Kak. Dendamnya ke aku begitu besar. Bukan gara-gara Dion saja, tapi karena Tante Evi meninggal dikira Mama penyebabnya!”Devano menghembuskan napas lega, lalu bangkit dan memutar kursi roda. “Dia akan mencari gara-gara terus. Makanya aku berharap kamu bisa lawan dia. Kasihan banget sebenarnya, dia lagi hamil, tapi tidak tobat juga! Aku tidak nyangka jika sifatnya akan sebar-bar itu, Ken.”“Kak, apakah aku mampu memimpin Chis Garment?” tanya Kenanga ragu.“Mampu saja dan harus mampu, Ken! Kamu kan punya basic usaha sendiri. Beda dengan aku yang tidak mungkin terjun ke dunia bisnis. Yang ada otakku malah lemot. Aku sudah bahagia menjadi dokter, Ken!”“Dokter malah rumit, harus genius baru bisa jadi dokter.”“Berarti aku genius, ya? Baru sadar!” sahut D
"Berapa harga yang harus kubayarkan? Aku yakin, kamu butuh uang banyak karena posisi Dion di Chis Garment tidak aman lagi sekarang!” sahut Devano.Risma mengerutkan bibir marah, refleks dia mengayunkan tangan ke arah Devano. Namun, Devano segera menangkap tangan Risma dan menurunkannya“Jangan paksa aku kasar pada perempuan, Ris. Selama ini aku sabar dengan semua tingkahmu, tapi jika kamu terus mengusik hidup kami, aku tidak akan diam lagi!” Devano menekan suara serendah mungkin, tidak ingin orang lain mendengar perdebatan mereka.Risma menyunggingkan senyum satu sudut. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dev. Kenanga memang pantas mendapatkan semua kesengsaraan ini!” desisnya sembari menunjuk ke arah kamar.Devano menaikkan sebelah alis sambil tersenyum mengejek. “Kamu pikir aku akan mengizinkan? Kenanga sekarang tanggung jawabku. Jadi, ketika kalian mengusik dia lagi berarti berhadapan denganku. Sudahlah, lebih baik fokus pada keluargamu, Ris. Bukankah Kenanga sudah mengalah terlalu banyak pa
“Berapa persen, Mas?” ulang Bi Sumi sedih.Devano menarik napas pelan, lalu mengajak wanita tua itu duduk. Devano menoleh kanan kiri memastikan keadaan di situ aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Saya tidak ingin berhitung, Bi. Perkiraan manusia dan kehendak Allah itu berbeda. Doain saja, umur saya panjang, membahagiakan Kenanga hingga kami menua bersama.”“Mas Dev, kenapa harus Mas Dev yang begini? Kenapa bukan Pak Dion atau perempuan licik itu?”Devano menggeleng tegas. “Ssstt, Bibi tidak boleh bicara seperti itu. Saya ikhlas menerimanya. Yang saya sesalkan saat ada penyakit ini di tubuh saya, Mama meninggal karena syok. Makanya, saya tidak siap jika Kenanga menjauhi saya karena ini, Bi. Bertahun-tahun saya mencintai Kenanga dalam diam, merasakan sakit dan cemburu sendirian. Dan sekarang impian menikahi wanita paling saya cintai hampir terlaksana. Tapi bersamaan dengan ketakutan jika Kenanga pergi, Bi.” Devano mengusap sudut matanya yang memanas, lalu terkekeh pelan
"Dokter Devano memang jagonya bikin meleleh!” seru seorang perawat pada Devano di ambang pintu.Devano melirik ke arah kamar Kenanga. “Iya, dong. Harus itu! Oke, terima kasih, ya, Sus!”Di dalam sana Kenanga menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Memaki dalam hati sikap Devano yang terlalu akrab dengan para wanita. Tidak disangkal, daya tarik Devano memang kuat. Wajar saja banyak yang ingin menjadi kekasih dokter tampan itu. Kenanga mendengus, lalu memejamkan mata berusaha tidak mendengar pembicaraan di depan pintu.Perawat itu tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan paper bag dan bucket pada dokter Devano. Devano mencium bunga mawar merah bercampur lili itu, lalu kembali ke dekat Kenanga.Devano tersenyum jahil saat melihat Kenanga meringkuk dengan mata terpejam. Niatnya membuat Kenanga cemburu tidak sia-sia. “Selamat malam, Bu. Saya tensi dulu, ya!” suara seorang perawat dengan ramah menyentuh lengan Kenanga.Kenanga mengangguk, lalu membetulkan posisi berbaring. Dia sempat m
Dokter muda yang kebetulan kenal baik dengan Devano itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu Devano.“Karena kaget yang membuat Nyonya Devano pingsan. Tulang dekat mata kaki retak, mungkin butuh beberapa hari untuk sembuh total. Beruntung benturan itu tidak keras. Luka di pelipisnya hanya luka ringan. Mungkin itu saja, Dok!”Devano tersenyum lega. “Boleh aku lihat?” tanyanya.“Tentu saja. Makanya, punya pacar itu dijaga, Dok. Jangan sampai terluka!” jawab dokter itu lagi, kemudian berlalu.Devano menatap laki-laki di sebelahnya. “Bapak tidak usah khawatir. Kekasih saya baik-baik saja. Kalau Bapak ingin bertemu, silakan!” ajaknya yang langsung diangguki laki-laki itu.Setelah dipastikan tidak mengalami luka serius, Kenanga dipindahkan ke ruang perawatan. Kenanga tidak berani membalas tatapan tajam Devano yang seolah menghukumnya.Masih dengan raut wajah datar, Devano duduk di samping brankar. Sesekali dia menarik napas lelah hingga membuat Kenanga menatapnya takut.“Siapa yang bawa aku
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand