"Apa kamu tidak berniat menceraikan Kenanga, Mas?" ulang Risma lagi.
Dion mengusap kasar wajahnya. Terdengar hembusan napas lelah dari bibir laki-laki itu. "Tolong, jangan bahas perceraian dulu, Risma! Aku harus memperbaiki situasi ini meskipun sangat sulit. Kenanga pasti marah besar padaku dan mungkin tidak akan memaafkanku!" ucapnya. "Situasi tidak akan menjadi baik kecuali kamu memilih salah satu di antara kami, Mas!" sahut Risma mulai kesal. "Ck!" Dion berdecak lirih. "Aku harus kembali ke rumah Kenanga! Kamu cepat tidur!" ucapnya lalu meraih kepala Risma dan menciumnya dengan sayang. Risma mengangguk tak minat. "Baiklah. Tapi jika aku kangen kamu, jangan lupa luangkan waktu ke sini. Tidak ada protes!" sahutnya, lalu bangkit dan memeluk Dion dengan sikap manja. Dion mengangguk. Dia manangkup wajah Risma dan menatapnya lembut. Laki-laki itu tersenyum samar, melhat sikap manja Risma. Risma memang berbeda dengan Kenanga. Istri pertamanya itu justru lebih mandiri. Dion jarang sekali mendengar Kenanga mengeluh. Wanita itu lebih sering memendam masalah pekerjaan ataupun masalah pribadinya seorang diri. Namun, meskipun menjadi wanita mandiri, Kenanga tidak pernah melupakan kodratnya sebagai seorang istri. Dia selalu mendahulukan kepentingan Dion daripada dirinya. Dion juga tidak mengerti karena begitu mudah berpaling dari Kenanga, padahal pernikahan itu baru berjalan satu tahun. Miris, justru wanita spesial lain di hati Dion adalah Risma, kakak iparnya sendiri. "Apa yang kamu pikirkan? Bukankah kamu ingin pulang?" Pertanyaan Risma menyentak lamunan Dion. Dion tersenyum kaku menatap mata Risma yang juga tengah menatapnya dengan kilat manja. Risma mengusap dada bidang Dion yang terbalut t-shirt lengan panjang itu dengan gerakan menggoda. "Jangan menggodaku lagi, Risma! Ya, aku harus pulang sebelum semua menjadi kacau!" tegur Dion sambil memegang pergelangan tangan Risma. "Apa kamu yakin akan pulang sekarang? Ayolah, tidak ada bedanya kamu pulang nanti atau sekarang. Kenanga masih marah sama kamu. Bukankah lebih baik kita mengulang apa yang tadi tertunda?" Risma mengerling manja sambil menelusupkan telapak tangannya ke dalam baju Dion. Dion menelan ludah berperang melawan keinginan untuk menolak dan hasrat yang mulai bangkit di bawah sana. Laki-laki itu pun tersenyum, sambil menaikkan sebelah alis kemudian menyambar bibir Risma dengan lahap. Kini keduanya kembali mengulang adegan panas tadi yang belum tuntas. Bahkan, lebih ganas. Desahan dan lenguhan manja saling bersahutan di ruangan apartemen yang tidak terlalu luas itu. Keduanya tidak terpengaruh dengan peristiwa beberapa jam lalu ketika Kenanga memergoki perselingkuhan mereka. Bahkan, Dion juga seolah lupa jika di tempat berbeda, Kenanga sedang bergumul dengan luka basah yang menganga. "Ah, Sayang. Kamu benar-benar membuatku hilang kewarasan!" desah Dion sambil memeluk erat tubuh istri keduanya itu. "Aku lebih suka begini, tidak ada yang menggangu kita, Sayang!" sahut Risma di antara deru napasnya. "Jadi, apakah kamu tidak akan berubah pikiran?" ulangnya sambil mengusap dagu Dion dengan kerlingan manja. "Maksudmu!?" Risma merebahkan tubuh dan berbaring miring menghadap Dion. "Jika ada yang kamu ceraikan, itu adalah Kenanga, bukan aku, Mas! Ingat, kan, dengan perjanjian kita?" tanyanya seolah mengingatkan, jika perjanjian di antara mereka telah mengikat Dion ke dalam sebuah hubungan terlarang. Dion memejamkan mata dan menarik napas dilema. Sekarang, dia tidak bisa memilih. Rasa cintanya yang besar pada Kenanga sama besarnya dengan ketakutan meninggalkan Risma. Wanita kedua yang kini berada di pelukannya. * Dengan air mata yang terus menetes, Kenanga memasukkan beberapa bajunya asal ke dalam koper. Sesekali telapak tangannya menyeka air bening yang membasahi pipi mulusnya. Gerakan tangan Kenanga terhenti manakala menyentuh sebuah kotak perhiasan. Kotak beludru yang berisi satu set perhiasan hadiah dari Dion kala meminangnya satu tahun lalu. Kenangan indah di hari bahagia itu, dalam sekejap berubah menjadi sebuah luka yang dalam. Kenanga kembali terisak lirih. Sedetik kemudian, dia memejamkan mata dengan wajah mendongak, lalu menarik napas panjang. "Aku tidak akan larut dalam luka ini, demi kamu!" ucap Kenanga sembari tersenyum getir. Lantas, dia kembali menutup pintu lemari ketika dirasa tidak ada lagi yang perlu dibawa. Kenanga juga membiarkan kotak perhiasan itu tetap di sana. "Mau ke mana kamu Sayang? Kita bicara dulu!" ucapan Dion yang sudah berdiri di ambang pintu kamar, menghentikan langkah Kenanga. Wanita cantik itu menatapnya tanpa ekspresi, lalu tersenyum satu sudut. "Kamu datang lagi?" tanyanya datar. Dion mendekat dengan tatapan tak berkedip dari istrinya itu. "Kita perlu bicara, Sayang. Ada sesuatu yang perlu kamu tahu sehingga aku be--" "Berkhianat dengan kakak tiriku sendiri?" sahut Kenanga sinis. "Apa tidak ada perempuan lain selain dia?" lanjutnya dengan suara parau. Dion menelan ludah. Laki-laki itu hendak memegang tangan Kenanga, tetapi dengan cepat ditepisnya. Kenanga lantas mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan dengan tatapan nanar. "Kenanga, duduklah, kita bicara!" pinta Dion lirih. "Berapa jam waktu yang kamu butuhkan untuk mengemasi barang-barangmu, Mas? Satu jam, dua jam? Pastikan besok pagi rumah ini sudah bersih dari benda-benda milikmu daripada aku membuangnya!" Dion tidak menjawab. Dia justru menatap Kenanga dengan dalam. Wanita cantik yang telah terluka karena pengkhianatannya. Kenanga memang berhak mengusirnya. Namun, Dion tidak akan menyerah untuk mendapatkan maaf dari wanita itu. Dion berpikir, saat ini Kenanga tengah terluka dan tidak bisa berpikir jernih. Namun, jika suatu saat nanti setelah mengetahui alasan perselingkuhan itu, mungkin Kenanga akan memaafkannya. Tidak kunjung mendapat jawaban, Kenanga segera beranjak, tetapi Dion segera menyambar tangannya. Kenanga yang sudah merasa jijik dan muak segera menepis tangan Dion. "Baiklah, mungkin kamu perlu waktu untuk menenangkan diri. Tapi jangan pergi! Ini sudah terlalu larut, Kenanga!" "Besok pagi, kunci rumah titipkan pada Pak Satpam! Ingat, jangan ada satu pun yang tertinggal!" ulang Kenanga tidak ingin berlama-lama. Dion kembali menarik napas pelan. "Apa memang harus begitu, Kenanga? Apa tidak ada sedikit pun waktu untuk kita bicara?" tanyanya mulai putus asa. "Tidak! Aku sudah mem--" Tin! Tin! Kenanga lantas menatap ke arah jendela kamar meskipun tidak bisa melihat mobil yang berhenti di depan rumahnya. Tidak ingin membuang waktu, Kenanga segera menarik koper keluar dari kamar tanpa bisa dicegah oleh Dion. Dion yang belum rela istrinya pergi, segera mengejar. Namun, langkahnya terhenti ketika mencapai depan pintu. Sebuah mobil mewah yang pemiliknya begitu dikenal oleh Dion membukakan pintu untuk sang istri sembari tersenyum manis. Lirikan sinis laki-laki bertubuh jangkung itu, seolah menambah sesak dada Dion. "Kamu bodoh, Bro!" ucap laki-laki itu sambil mengedipkan sebelah mata pada Dion yang masih berdiri mematung. **** "Dion menelan saliva menatap kepergian mobil mewah itu dari halaman rumah Kenanga. Cukup lama Dion berdiri di situ. Dia baru beranjak ketika mobil sudah tidak tampak lagi. Langkah Dion gontai kembali ke kamar.Dia menatap sekeliling kamar yang sudah sepi. Tidak ada lagi tawa dan pembicaraan romantis dengan Kenanga. Dion tersenyum miris mengasihi dirinya sendiri. Semua karena ulahnya. Karena ketidakberdayaannya melawan pesona Risma. "Argh!" Dion mengacak rambutnya sendiri.Kedua telapak tangan Dion terkepal di sisi tubuh dengan dada naik turun. Lalu, Dion melangkah ke arah lemari pakaian. Pandangan laki-laki itu berkabut ketika mendapati kotak perhiasan milik Kenanga masih di situ. Tangan Dion segera bergerak mengambil beberapa pakaian miliknya. Dia harus membereskan semua sebelum besok pagi, atau Kenanga akan membuangnya. Gerakan tangan Dion berhenti pada sebuah amplop berlogo klinik yang terselip di bawah tumpukan baju.Dengan penasaran, dibukanya amplop itu. Tatapan Dion nanar dan
Sebelum memasuki kamar tamu, Kenanga sempat menoleh pada Devano dan mendapati laki-laki itu masih berdiri di sana. Kenanga tersenyum simpul, kemudian mengikuti BI Ina memasuki kamar yang cukup luas itu."Silakan istirahat di sini, Nona! Jika perlu bantuan, tolong panggil kami!" ucap Bi Ina sembari meletakkan koper Kenanga di dekat tempat tidur. "Terima kasih, Bibi. Maaf ya, saya merepotkan," ucap Kenanga tidak enak hati."Tidak apa-apa. Sudah tugas kami melayani tamu spesialnya Mas Dev!" sahut Bi Ina sembari tersenyum. "Oh, ya, kamar mandi di situ, semua keperluan di dalamnya masih baru. Boleh dipakai!" lanjut wanita setengah abad itu.Kenanga mengangguk. "Baik, terima kasih Bibi," ucapnya santun.Beberapa menit setelah kepergian Bi Ina, Kenanga tidak juga beranjak dari tempat tidur. Dia justru termenung seolah mencerna peristiwa beberapa jam lalu yang membuat dunianya jungkir balik.Kenanga lantas mengambil handphone yang berdering beberapa kali di dalam tasnya. Wanita itu membuang
"Ya, aku lebih pantas menjadi suami Kenanga!" sergah Devano.Dion mengerutkan bibir geram, lalu sekuat tenaga mendorong tubuh security yang memeganginya. Melihat kemarahan Dion, Devano justru tertawa mengejek."Brengsek kamu, Devano!""Kamu lebih brengsek dariku, Dion. Menyesal aku mengenalkanmu pada Kenanga." Devano mendekati Dion dan menunjuk wajah temannya itu.Dion menepis kasar tangan Devano, lalu tersenyum mengejek. "Hah, tidak usah munafik, Dev! Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku mendekati Kenanga untuk memenangkan taruhan itu?" balasnya.Devano terbelalak. Laki-laki itu reflek mengangkat tangannya yang terkepal kuat. Dion tidak mundur, tetapi justru tertawa mengejek melihat kepanikan di wajah Devano."Kenanga adalah bahan taruhan kita, sadarilah itu, Dev! Dan akulah pemenangnya, bukan kamu! Bukan kamu Devano Rayyan Samudra!" teriak Dion."Shut up! Tutup mulutmu, Dion! Tidak ada yang membuatnya tar--""Taruhan? Taruhan apa, Kak?" tanya Kenanga dengan tatapan nanar dari teras
"Jika aku mengatakan yang sejujurnya, apa kamu menerima alasan itu, Ken?" ulang Devano dengan tatapan menuntut jawaban.Kenanga justru memalingkan wajah dari laki-laki berwajah tampan itu. Menurutnya, apa pun alasan mereka telah menjadikan taruhan adalah sesuatu yang murahan. Dia bukanlah barang yang bisa dijadikan alat taruhan. Bi Ina yang tidak ingin terlibat pembicaraan dengan kedua anak muda itu, memberi isyarat keluar dari kamar. Kenanga menatap langkah Bi Ina, lalu berpaling pada Devano dengan tatapan sinis."Kenapa diam, Ken? Aku melakukan itu karena aku ..." "Karena kamu dan Dion sama saja, Kak! Aku mengenalmu dari kita sama-sama kecil, tapi setelah kamu berteman dengan Dion, lantas mengabaikan pertemanan kita!" "Kenangaaaa ... bukan itu alasannya!" Devano menekan suaranya."Aku tidak butuh alasan, Kak. Jadi, biarkan aku pergi dari sini. Aku benci kalian berdua!" sentak Kenanga sembari bangkit.Devano ikut bangkit seraya meletakkan mangkuk ke atas meja. Laki-laki itu segera
"Ya, tanpa campur tangan Devano, Dion tidak mungkin menikahimu, Ken. Kamu tahu, siapa orang yang paling terluka atas pernikahan kalian?" Risma tersenyum mengejek sembari memindai Kenanga dari ujung kaki sampai ujung kepala.Rasanya senang sekali melihat kepanikan di wajah Devano dan Dion. Juga kebingungan di wajah Kenanga. Risma tidak ingin pura-pura baik lagi pada adik tiri yang begitu dibencinya itu.Dion mendekati Risma, lalu membisikkan sesuatu di telinga wanita itu, "Jangan katakan apa pun padanya, Risma! Setidaknya sampai aku tahu siapa ayah dari bayi dalam kandungan Kenanga."Risma melotot mengetahui kehamilan Kenanga. "Apa kamu bilang? Dia hamil, lalu kamu tidak jadi menceraikan dia?" sahutnya dengan tatapan berkaca-kaca."Aku harus bica--""Jangan khawatir, tanpa Dion menceraikanku, aku sendiri yang akan menggugatnya!" sergah Kenanga dengan suara bergetar. "Ha ha ha!" ejek Risma lagi. "Baguslah jika kamu sadar diri, Kenanga! Sudah saatnya kamu kembalikan Dion padaku. Setahun
"Kenapa pura-pura kaget? Oh, ya, itu kan keahlianmu yang pura-pura polos, Ken!" Risma belum puas melihat Kenanga syok. "Anak pelacur akan menurunkan anak sepertimu!""Diam kamu, Kak!" Air mata Kenanga mengalir tak terbendung. Kenanga masih bisa menerima jika dirinya yang dihina. Namun, bukan orang tuanya. Apalagi ibu Kenanga sudah meninggal beberapa tahun lalu."Kamu jangan keterlaluan, Ris! Bagaimanapun Kenanga adikmu!" lerai Dion sambil mendekati Kenanga. Namun, Kenanga justru mundur menjauhi Dion. "Kalian tidak diundang ke sini. Sebaiknya pergi! Dan untuk hubunganku dengan Kak Devano, itu urusanku. Kurasa tidak perlu persetujuan dari kalian, kan? Bukankah kalian selingkuh juga tidak minta persetujuanku?" Suara Kenanga bergetar karena tangis.Risma justru tertawa mengejek. "Siapa bilang kami selingkuh? Kamu yang merebut Dion dariku, Ken! Dan itu karena ulahnya!" teriaknya sembari menunjuk pada Devano."Ris, kita pulang!" ajak Dion sambil menarik tangan istri keduanya itu. Risma m
Bi Ina menatap sedih kepergian Devano. Namun, laki-laki tampan yang diasuhnya dari kecil itu terus bergegas menuju lantai atas dan tanpa menoleh lagi. Bi Ina menunduk, pandangan mata tua itu berganti pada botol kecil di tangannya. Rupanya, patah hati yang dialami Devano membuat dia tidak peduli akan kesehatan. Dulu, Devano meminta Dion menjaga Kenanga sebagai wujud cintanya pada wanita itu. Nyatanya, hati Devano tidak sekuat ucapan kala itu. Seiring berjalannya waktu, Devano justru semakin sulit melupakan Kenanga. "Mas Dev, sampai kapan kamu akan seperti ini? Bukankah kamu sendiri yang meminta Kenanga menikah dengan Dion?" Bi Ina bergumam. "Apa perlu kita katakan yang sebenarnya pada Neng Kenanga, Bi?" Tiba-tiba Ayu, ART rekan kerja Bi Ina memberi ide. Pasalnya dia juga tidak tega melihat Devano yang berubah menjadi laki-laki dingin selama dua tahun terakhir. Bi Ina menghela napas panjang, kemudian mendongak begitu mendengar suara pintu ditutup. Tidak berapa lama, muncul Deva
"Ken, ralat ucapanmu!" sentak Dion marah.Dion tidak ingin Kenanga berbuat nekad. Meskipun dia telah membuat kesalahan fatal, anak dalam kandungan Kenanga adalah darah dagingnya yang tidak boleh ikut menanggung luka. Mendengar bentakan Dion, Kenanga menyeringai kecil.Wanita itu mengusap air mata yang sialnya terlanjur keluar. Dion hendak kembali memegang tangan Kenanga, tetapi lagi-lagi wanita itu menepisnya. "Ken, aku mohon jangan lakukan itu, Sayang! Anak itu tidak bersalah. Dia berhak hidup dan mendapatkan kasih sayang utuh dari kita!" Dion lantas berlutut di hadapan Kenanga."Ah, kasih sayang utuh? Apa kamu sedang berhalusinasi, Dion? Di luar sana ada anak lain dari rahim wanita yang kamu cintai! Kamu akan mengutamakan mereka. Jadi, untuk apa dia hidup, ha?""Ken, jangan bicara begitu, Sayang!" Dion segera memeluk lutut Kenanga dan menenggelamkan wajah di perut istrinya itu.Kenanga menggigit bibir kuat, berusaha meredam tangisnya. Seharusnya, dia bahagia dengan kehadiran janin
“Iya, betul. Anakku cakep, lulusan luar negeri, berpendidikan. Mau dilamar pilot saja tidak mau, takut diselingkuhi karena sering LDR. Cocoknya ya, dapat dokter atau pengusaha gitu!” cerocos salah satu ibu sambil memperhatikan cincin yang bertebaran di empat jarinya.Ucapan itu diangguki ketiga temannya. Mereka lantas tertawa cekikikan di situ. Devano segera mengajak Kenanga mencari tempat duduk yang masih kosong. Namun, Kenanga justru bergeming.“Memang benar ya, jaman sekarang itu banyak laki-laki maunya dapat janda supaya lebih pengalaman!”Brak! Kenanga tidak tahan lagi, lalu menggebrak meja. Sontak, beberapa orang langsung melihat ke arah Devano dan Kenanga.Devano pun terkejut, lalu meraih kepala Kenanga ke dadanya. Kenanga segera menyingkirkan lengan Devano pelan, lalu berdiri di depan ke-empat ibu tadi.Tanpa basa-basi, Kenanga segera meraih gelas berisi air es teh dan menyiramkan pada keempat ibu rempong itu.Byur!“Dasar perempuan gila!” maki salah satu dari mereka sambil me
"Kak, aku takut.”Lingkaran tangan Kenanga semakin kencang saja. Devano membuka mata, lalu berbalik dan memeluk wanita itu.“Apa yang kamu lakukan di sini? Ada masalah?” tanya Devano mulai cemas meskipun tidak meragukan kredibilitas dokter Hendra.Kenanga mendongak karena memang tinggi Kenanga hanya sebatas bahu Devano. Lalu, pandangan Kenanga tertuju pada pakaian yang digunakan Devano. Buru-buru Kenanga melepaskan diri dari pelukan Devano.“Kak Dev habis operasi, ya?” tanyanya.“Bukan, Sayang. Tapi membantu ibu-ibu lahiran!” jawab Devano jujur.Seketika, raut wajah Kenanga menjadi masam. Membayangkan apa yang dilakukan Devano ketika menolong ibu-ibu yang melahirkan. Selanjutnya di benak Kenanga dipenuhi pertanyaan.Mengapa harus menjadi dokter obgyn? Bukankah masih banyak jurusan yang lain? Kenanga lantas menghembuskan napas kasar yang membuat alis Devano naik sebelah.Tak! Kenanga meringis sambil melotot ketika Devano menjentikkan jarinya di kening.“Sakit tahu!”“Lagian dibilang ha
“Dokter Hendra, apa maksudnya?” tanya Kenanga pada dirinya sendiri.Bi Sumi yang ada di sebelahnya, hanya terdiam sembari menatap kepergian Dion. Dalam hati wanita itu mengutuk Dion yang selalu saja memanfaatkan situasi demi keinginannya. “Jangan dengarkan, Pak Dion dan Risma akan selalu mencari cara menjatuhkan Mas Dev. Kalau Mas Devano tidak serius denganmu, mana mungkin dia selalu ada untukmu, Neng!” Tampak Kenanga mengangguk kecil meskipun dalam hati penasaran dengan dokter Hendra. Apalagi, Kenanga pernah bertemu dokter senior itu sedang berbicara sesuatu yang aneh pada Devano.“Bi, apakah Kak Devano ada masalah di rumah sakit, ya? Apa dia punya cewek dan …”“Ah, mulai berprasangka buruk, kan? Jangan termakan omongan Pak Dion, Neng!” sergah Bi Sumi tidak suka. “Untuk lebih jelasnya tanya saja sama Mas Devano nanti!” “Iya, Bi, tapi kalau aku tanya nanti Kak Dev akan ngamuk sama Dion.”“Biarkan saja, itu kan harga yang harus dibayar Pak Dion punya mulut lemes. Lagian kalian itu s
“Ehm, malah melamun. Tadi Kak Risma datang kasih surat apa, Kak?” tanya Kenanga membuyarkan lamunan Devano.“Ehem, akh!” Devano pura-pura terbatuk. “Kok dingin ya, em itu dia kasih surat …”“Sudahlah, aku sudah trauma berurusan dengannya, Kak. Dendamnya ke aku begitu besar. Bukan gara-gara Dion saja, tapi karena Tante Evi meninggal dikira Mama penyebabnya!”Devano menghembuskan napas lega, lalu bangkit dan memutar kursi roda. “Dia akan mencari gara-gara terus. Makanya aku berharap kamu bisa lawan dia. Kasihan banget sebenarnya, dia lagi hamil, tapi tidak tobat juga! Aku tidak nyangka jika sifatnya akan sebar-bar itu, Ken.”“Kak, apakah aku mampu memimpin Chis Garment?” tanya Kenanga ragu.“Mampu saja dan harus mampu, Ken! Kamu kan punya basic usaha sendiri. Beda dengan aku yang tidak mungkin terjun ke dunia bisnis. Yang ada otakku malah lemot. Aku sudah bahagia menjadi dokter, Ken!”“Dokter malah rumit, harus genius baru bisa jadi dokter.”“Berarti aku genius, ya? Baru sadar!” sahut D
"Berapa harga yang harus kubayarkan? Aku yakin, kamu butuh uang banyak karena posisi Dion di Chis Garment tidak aman lagi sekarang!” sahut Devano.Risma mengerutkan bibir marah, refleks dia mengayunkan tangan ke arah Devano. Namun, Devano segera menangkap tangan Risma dan menurunkannya“Jangan paksa aku kasar pada perempuan, Ris. Selama ini aku sabar dengan semua tingkahmu, tapi jika kamu terus mengusik hidup kami, aku tidak akan diam lagi!” Devano menekan suara serendah mungkin, tidak ingin orang lain mendengar perdebatan mereka.Risma menyunggingkan senyum satu sudut. “Kamu tidak tahu apa-apa, Dev. Kenanga memang pantas mendapatkan semua kesengsaraan ini!” desisnya sembari menunjuk ke arah kamar.Devano menaikkan sebelah alis sambil tersenyum mengejek. “Kamu pikir aku akan mengizinkan? Kenanga sekarang tanggung jawabku. Jadi, ketika kalian mengusik dia lagi berarti berhadapan denganku. Sudahlah, lebih baik fokus pada keluargamu, Ris. Bukankah Kenanga sudah mengalah terlalu banyak pa
“Berapa persen, Mas?” ulang Bi Sumi sedih.Devano menarik napas pelan, lalu mengajak wanita tua itu duduk. Devano menoleh kanan kiri memastikan keadaan di situ aman, tidak ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Saya tidak ingin berhitung, Bi. Perkiraan manusia dan kehendak Allah itu berbeda. Doain saja, umur saya panjang, membahagiakan Kenanga hingga kami menua bersama.”“Mas Dev, kenapa harus Mas Dev yang begini? Kenapa bukan Pak Dion atau perempuan licik itu?”Devano menggeleng tegas. “Ssstt, Bibi tidak boleh bicara seperti itu. Saya ikhlas menerimanya. Yang saya sesalkan saat ada penyakit ini di tubuh saya, Mama meninggal karena syok. Makanya, saya tidak siap jika Kenanga menjauhi saya karena ini, Bi. Bertahun-tahun saya mencintai Kenanga dalam diam, merasakan sakit dan cemburu sendirian. Dan sekarang impian menikahi wanita paling saya cintai hampir terlaksana. Tapi bersamaan dengan ketakutan jika Kenanga pergi, Bi.” Devano mengusap sudut matanya yang memanas, lalu terkekeh pelan
"Dokter Devano memang jagonya bikin meleleh!” seru seorang perawat pada Devano di ambang pintu.Devano melirik ke arah kamar Kenanga. “Iya, dong. Harus itu! Oke, terima kasih, ya, Sus!”Di dalam sana Kenanga menutup telinga dengan kedua telapak tangan. Memaki dalam hati sikap Devano yang terlalu akrab dengan para wanita. Tidak disangkal, daya tarik Devano memang kuat. Wajar saja banyak yang ingin menjadi kekasih dokter tampan itu. Kenanga mendengus, lalu memejamkan mata berusaha tidak mendengar pembicaraan di depan pintu.Perawat itu tersenyum sekali lagi, lalu mengulurkan paper bag dan bucket pada dokter Devano. Devano mencium bunga mawar merah bercampur lili itu, lalu kembali ke dekat Kenanga.Devano tersenyum jahil saat melihat Kenanga meringkuk dengan mata terpejam. Niatnya membuat Kenanga cemburu tidak sia-sia. “Selamat malam, Bu. Saya tensi dulu, ya!” suara seorang perawat dengan ramah menyentuh lengan Kenanga.Kenanga mengangguk, lalu membetulkan posisi berbaring. Dia sempat m
Dokter muda yang kebetulan kenal baik dengan Devano itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu Devano.“Karena kaget yang membuat Nyonya Devano pingsan. Tulang dekat mata kaki retak, mungkin butuh beberapa hari untuk sembuh total. Beruntung benturan itu tidak keras. Luka di pelipisnya hanya luka ringan. Mungkin itu saja, Dok!”Devano tersenyum lega. “Boleh aku lihat?” tanyanya.“Tentu saja. Makanya, punya pacar itu dijaga, Dok. Jangan sampai terluka!” jawab dokter itu lagi, kemudian berlalu.Devano menatap laki-laki di sebelahnya. “Bapak tidak usah khawatir. Kekasih saya baik-baik saja. Kalau Bapak ingin bertemu, silakan!” ajaknya yang langsung diangguki laki-laki itu.Setelah dipastikan tidak mengalami luka serius, Kenanga dipindahkan ke ruang perawatan. Kenanga tidak berani membalas tatapan tajam Devano yang seolah menghukumnya.Masih dengan raut wajah datar, Devano duduk di samping brankar. Sesekali dia menarik napas lelah hingga membuat Kenanga menatapnya takut.“Siapa yang bawa aku
"Mama, mak–maksudnya gimana, Pak?” ulang Kenanga masih bingung. “Saya juga tidak tahu maksudnya, Bu. Hanya itu yang Pak Dion katakan, lalu pergi!” jawab pengacara keluarga Kenanga itu dari seberang sana. Kenanga mengatupkan bibir. Dia masih belum mengerti urusan apa yang dibicarakan oleh Dion. Jika itu mengenai perusahaan, seharusnya Dion berbicara dengannya secara langsung. Kenanga urung memasukkan handphone ke dalam tas ketika benda pipih itu kembali berdering. Kali ini bukan dari pengacara keluarga, tetapi sebuah nomor yang tidak disave. Raut wajah Kenanga mendadak pucat karena ternyata itu dari pihak bank. Mereka memberi waktu jatuh tempo satu minggu lagi. “Saya akan usahakan, Pak. Tolong beri waktu, ya!” pinta Kenanga. Kembali ingatan Kenanga tertuju pada kuasa hukum Devano yang waktu itu memintanya bertemu. Kenanga mendengus lirih karena tidak menemukan nomor yang dimaksud. Maka, dia memberanikan diri menghubungi Devano. Namun, sampai beberapa panggilan ternyata nada hand