Mata Nayla menatap penuh rasa takut ketika melihat makhluk itu menyeringai. Mulutnya terus tertawa sembari mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Aroma busuk seketika menguar tajam menusuk hidung Nayla.Nayla sontak berteriak. Dia berlari sekuat tenaga menghindari makhluk itu. Namun, seberapapun dia berlari seolah makhluk itu selalu berada di dekat, meski Nayla tak lagi menemukan sosoknya.“Jangan ganggu saya!” Nayla terus berlari tak tentu arah. Entah ke mana dirinya menuju. Bahkan, dia sadar jika jalan itu bukan jalan menuju rumah Mak Munah.“Sejauh apapun kamu berlari, tetap saja bayi itu akan menjadi milikku.” Terdengar suara lengkingan dari makhluk itu.“Aw ….”Nayla meringis kesakitan saat kakinya tersandung akar pohon besar. Ia menoleh ke belakang, takada siapapun. Suara burung gagak terdengar beterbangan. Suasana semakin mencekam ketika tiba-tiba kepulan asap memenuhi tempat itu.Nayla akan bersiap berlari, tetapi urung dia lakukan ketika menyadari sesuatu meleleh dari bag
Nayla memegang dahinya, rasa nyeri masih menguasai kepala wanita itu. Perlahan matanya terbuka ketika mendengar suara dari dapur.Baru saja Nayla akan turun dari ranjang yang terbuat dari bilah bambu, dia dikejutkan dengan kedatangan seseorang.“Istirahat saja. Kau tidak odelia banyak bergerak.” Seseorang membuka tirai, kemudian berjalan ke arah Nayla dengan membawa sebuah baki pada tangannya.“Aku sudah di rumah, Mak?” Nayla merasa lega ketika melihat di mana dirinya kini. Langit-langit yang dilihatnya seperti langit rumah Mak Munah, bukan lagi langit-langit yang dipenuhi pepohonan rindang yang sangat menyeramkan.“Berkat bantuan warga, mereka membantu membawamu pulang. Untung saja masih keburu sebelum hari benar-benar gelap.”“Apa makhluk itu sudah benar-benar pergi?” Nayla memastikan.“Seharusnya begitu, karena kau sudah berada di tempat yang aman.”“Perutku sudah tidak sakit, Mak. Apa yang terjadi?” tanya wanita itu bingung.“Semuanya sudah aman. Bayimu hampir saja dibawa ruhnya o
Samsir membawa Nayla dengan paksa. Wanita hamil itu terus meronta sembari memindai seisi rumah Mak Munah, dia terus mencari ke mana perginya wanita itu.Salah satu tangan Nayla gunakan untuk memegangi perutnya agar tidak terlalu banyak mendapat guncangan. Namun, tetap saja akibat wanita itu yang tak fokus menatap ke depan, kaki atau bahkan perutnya terkantuk meja ataupun dinding kayu yang menghalangi.“Lepaskan saya! Saya mau dibawa ke mana?” raung Nayla berusaha melepaskan cengkeraman tangan Samsir dari pergelangan tangannya.“Diam! Kau tak akan pernah aku lepaskan. Tujuanku menemui Munah adalah untuk bisa membawamu.” Samsir tertawa setelah berkata demikian.“Apa yang kau inginkan dari saya? Saya bahkan tidak mengenal, Anda.”“Sebentar lagi kau akan tau siapa aku sebenarnya. Kau akan menjadi keberuntungan untukku malam ini, Wanita Asing.” Samsir kembali tertawa pada hari yang telah sempurna berganti malam itu.Di tengah malam yang sunyi, Nayla terus saja meraung. Desa itu benar-benar
"Kamu ada di sini?” Senyum Nayla mengembang ketika melihat orang yang dia kenal kini berada dalam satu rumah dengannya.“Hah?” Orang yang disapa terkejut sembari mengucek matanya yang mulai mengantuk.“Lira ….” Nayla berdiri dari duduknya.Wanita yang dipanggil Lira itu masih mengerjakan matanya. Ruangan dengan cahaya temaram itu sangat sulit membantunya melihat, ditambah lagi sisa debu yang kemungkinan memasuki bola matanya.Perlahan mata wanita itu kembali normal. Diraihnya lampu sentir–lampu tembok berbahan bakar minyak tanah–yang menempel pada paku dinding. Matanya mulai menatap lekat seseorang di dalam kamar itu yang rupanya mengenali dirinya.“Kamu, Nayla?” Lira bertanya setelah jarak di antara mereka semakin dekat. Wanita itu masih memastikan siapa orang di depannya.“Ya, aku Nayla.” Nayla tampak semringah kemudian memeluk Lira erat.Hampir saja Lira terhuyung akibat tindakan Nayla yang tiba-tiba. Wanita itu kesusahan ketika memegang lampu sentir.“Pelan-pelan, Nay. Lampunya ma
Setelah membersihkan diri, kondisi tubuh Nayla terasa semakin segar. Wanita hamil dengan balutan baju terusan selutut itu memberikan rambut panjang sepunggungnya tergerai, akibat keramas tadi membuat Nayla enggan mengingatnya.Di kamar itu sudah tidak ada Lira, mungkin saja dia sudah lebih dulu menuju meja makan tanpa menunggunya terlebih dahulu. Huh, dasar tak setia kawan!Setelah membereskan dipan tempatnya dan Lira tidur, Nayla berapa keluar, mencari keberadaan sang sahabat serta Mak Munah.“Ayo, sini makan dulu, Nayla!” Terdengar seruan Mak Munah membuat Nayla menoleh ke sumber suara.Dilihatnya, Lira bersama dengan Mak Munah sudah duduk di depan makan. Lira tampak senyum-senyum ketika melihat penampilan Nayla.“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Nayla sinis.“Nggak kenapa-kenapa. Cuma lucu aja, kamu yang biasa modis kini pake daster bekas bibi. Tapi, tetep keliatan cantik kok,” tukas wanita muda yang barusaja menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.Kening Nayla kembali mengerut memi
Nayla dan Lira berhasil keluar dari desa Mak Munah. Keduanya menuju terminal bus menggunakan sebuah deoman. Desa yang sangat terpencil itu tidak memungkinkan kendaraan roda empat bisa masuk ke sana. Jalanan masih tanah, jika hujan tiba, jalan tersebut akan berubah menjadi lumpur atau bahkan akan tertutup banjir.Nayla sebenarnya masih betah berada di desa ini. Jika saja kejadian-kejadian mengerikan tidak menghantuinya, tentu saja wanita itu akan lebih lama lagi tinggal di tempat Mak Munah sembari menenangkan dirinya. Akan tetapi, tidak. Bagaimana dia bisa tenang jika berbagai kejadian magis seolah mengikuti dirinya.Nayla turun dari delman dengan hati-hati dibantu oleh Lira. Suasana terminal yang sangat ramai saat itu membuatbkeduanya kesulitan menemukan nomor bus yang akan membawa mereka ke tempat tujuan Lira.Syukurlah, akhirnya setelah beberapa menit mereka berkeliling, bus biru yang dimaksud dengan plat F itu berhasil mereka temukan.“Kau tidak apa-apa naik kendaraan umum begini?”
Seorang pria duduk pada kursi kebesarannya di sebuah ruang kerja. Wajahnya amat serius mengamati layar komputer jinjingnya.Dia menghentikan kegiatan bekerjanya ketika mendengar suara ketukan pintu dari arah luar.“Masuk!” titahnya tanpa menoleh ke arah pintu yang mulai terbuka menampilkan sosok pria lain dengan penampilan rapi.“Selamat siang, Tuan,” ucapnya sopan.“Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Nayla?” tanya pria itu yang tak lain adalah Alvaro. Jadi telunjuknya amat sibuk menggeser di atas mouse.“Kami belum mendapatkan yang akurat, Tuan. Tapi, dari pengamatan orang tersebut, Nona Nayla tidak jauh perginya dari tempat itu. Sebab, di sekitar daerah tersebut dikelilingi hutan rimbun,” tutur Anjar, orang kepercayaan Alvaro.Alvaro sudah aktif bekerja kembali paska kejadian penculikan. Yang ada dalam pikirannya kini menemukan keberadaan Nayla, serta bertekad akan membalas orang-orang yang telah berbuat curang padanya.Dia tidak bisa melakukan itu jika hanya berdiam diri d
Sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Alvaro meminta Anjar untuk menepikan mobil di pelataran milik rumah tersebut.Sebelumnya Anjar sempat bingung, kenapa sang bos memintanya memilih jalan lain untuk dilalui, sedangkan di daerah sekitar hutan tadi hanya ada satu jalur saja, jika ingin kembali ke kota, sudah pasti harus putar balik, tetapi ini lain. Alvaro memintanya untuk tidak putar arah, dia menunjukkan satu jalan ke suatu tempat yang ingin dia kunjungi.Alvaro turun, lalu menghampiri rumah yang sedikit diselimuti kabut karena hari semakin sore.“Tuan, ini rumah siapa?” Anjar tampak kebingungan ketika hanya melihat satu-satunya bangunan di depannya, sedangkan di rumah-rumah di sekitarnya tampak berjauhan jaraknya.Rumah itu memiliki cahaya remang di bagian luar, sehingga menjadikan bangunan yang sebenarnya tampak asri itu terkesan seram. Di depan rumah itu terdapat sebuah bale-bale yang cocok dijadikan untuk bersantai ditemani semilir angin yang berasal dari pohon mangga se