"Kamu ada di sini?” Senyum Nayla mengembang ketika melihat orang yang dia kenal kini berada dalam satu rumah dengannya.“Hah?” Orang yang disapa terkejut sembari mengucek matanya yang mulai mengantuk.“Lira ….” Nayla berdiri dari duduknya.Wanita yang dipanggil Lira itu masih mengerjakan matanya. Ruangan dengan cahaya temaram itu sangat sulit membantunya melihat, ditambah lagi sisa debu yang kemungkinan memasuki bola matanya.Perlahan mata wanita itu kembali normal. Diraihnya lampu sentir–lampu tembok berbahan bakar minyak tanah–yang menempel pada paku dinding. Matanya mulai menatap lekat seseorang di dalam kamar itu yang rupanya mengenali dirinya.“Kamu, Nayla?” Lira bertanya setelah jarak di antara mereka semakin dekat. Wanita itu masih memastikan siapa orang di depannya.“Ya, aku Nayla.” Nayla tampak semringah kemudian memeluk Lira erat.Hampir saja Lira terhuyung akibat tindakan Nayla yang tiba-tiba. Wanita itu kesusahan ketika memegang lampu sentir.“Pelan-pelan, Nay. Lampunya ma
Setelah membersihkan diri, kondisi tubuh Nayla terasa semakin segar. Wanita hamil dengan balutan baju terusan selutut itu memberikan rambut panjang sepunggungnya tergerai, akibat keramas tadi membuat Nayla enggan mengingatnya.Di kamar itu sudah tidak ada Lira, mungkin saja dia sudah lebih dulu menuju meja makan tanpa menunggunya terlebih dahulu. Huh, dasar tak setia kawan!Setelah membereskan dipan tempatnya dan Lira tidur, Nayla berapa keluar, mencari keberadaan sang sahabat serta Mak Munah.“Ayo, sini makan dulu, Nayla!” Terdengar seruan Mak Munah membuat Nayla menoleh ke sumber suara.Dilihatnya, Lira bersama dengan Mak Munah sudah duduk di depan makan. Lira tampak senyum-senyum ketika melihat penampilan Nayla.“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Nayla sinis.“Nggak kenapa-kenapa. Cuma lucu aja, kamu yang biasa modis kini pake daster bekas bibi. Tapi, tetep keliatan cantik kok,” tukas wanita muda yang barusaja menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.Kening Nayla kembali mengerut memi
Nayla dan Lira berhasil keluar dari desa Mak Munah. Keduanya menuju terminal bus menggunakan sebuah deoman. Desa yang sangat terpencil itu tidak memungkinkan kendaraan roda empat bisa masuk ke sana. Jalanan masih tanah, jika hujan tiba, jalan tersebut akan berubah menjadi lumpur atau bahkan akan tertutup banjir.Nayla sebenarnya masih betah berada di desa ini. Jika saja kejadian-kejadian mengerikan tidak menghantuinya, tentu saja wanita itu akan lebih lama lagi tinggal di tempat Mak Munah sembari menenangkan dirinya. Akan tetapi, tidak. Bagaimana dia bisa tenang jika berbagai kejadian magis seolah mengikuti dirinya.Nayla turun dari delman dengan hati-hati dibantu oleh Lira. Suasana terminal yang sangat ramai saat itu membuatbkeduanya kesulitan menemukan nomor bus yang akan membawa mereka ke tempat tujuan Lira.Syukurlah, akhirnya setelah beberapa menit mereka berkeliling, bus biru yang dimaksud dengan plat F itu berhasil mereka temukan.“Kau tidak apa-apa naik kendaraan umum begini?”
Seorang pria duduk pada kursi kebesarannya di sebuah ruang kerja. Wajahnya amat serius mengamati layar komputer jinjingnya.Dia menghentikan kegiatan bekerjanya ketika mendengar suara ketukan pintu dari arah luar.“Masuk!” titahnya tanpa menoleh ke arah pintu yang mulai terbuka menampilkan sosok pria lain dengan penampilan rapi.“Selamat siang, Tuan,” ucapnya sopan.“Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Nayla?” tanya pria itu yang tak lain adalah Alvaro. Jadi telunjuknya amat sibuk menggeser di atas mouse.“Kami belum mendapatkan yang akurat, Tuan. Tapi, dari pengamatan orang tersebut, Nona Nayla tidak jauh perginya dari tempat itu. Sebab, di sekitar daerah tersebut dikelilingi hutan rimbun,” tutur Anjar, orang kepercayaan Alvaro.Alvaro sudah aktif bekerja kembali paska kejadian penculikan. Yang ada dalam pikirannya kini menemukan keberadaan Nayla, serta bertekad akan membalas orang-orang yang telah berbuat curang padanya.Dia tidak bisa melakukan itu jika hanya berdiam diri d
Sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Alvaro meminta Anjar untuk menepikan mobil di pelataran milik rumah tersebut.Sebelumnya Anjar sempat bingung, kenapa sang bos memintanya memilih jalan lain untuk dilalui, sedangkan di daerah sekitar hutan tadi hanya ada satu jalur saja, jika ingin kembali ke kota, sudah pasti harus putar balik, tetapi ini lain. Alvaro memintanya untuk tidak putar arah, dia menunjukkan satu jalan ke suatu tempat yang ingin dia kunjungi.Alvaro turun, lalu menghampiri rumah yang sedikit diselimuti kabut karena hari semakin sore.“Tuan, ini rumah siapa?” Anjar tampak kebingungan ketika hanya melihat satu-satunya bangunan di depannya, sedangkan di rumah-rumah di sekitarnya tampak berjauhan jaraknya.Rumah itu memiliki cahaya remang di bagian luar, sehingga menjadikan bangunan yang sebenarnya tampak asri itu terkesan seram. Di depan rumah itu terdapat sebuah bale-bale yang cocok dijadikan untuk bersantai ditemani semilir angin yang berasal dari pohon mangga se
“Besok pagi saja. Sekarang hari sudah beranjak malam. Masyarakat desa itu sangat tertutup, mereka tidak akan menerima ketukan pintu tamu di malam hari,” saran Dini. Wanita itu baru saja meletakkan jamuan kecil untuk kedua tamunya itu.“Bos, apa tidak sebaiknya kita pulang dulu dan akan kembali esok hari?” Anjar mendekati telinga Alvaro, kemudahan berucap setengah berbisik pada pria yang sedari dia temani.“Kau diam saja. Aku akan mencarinya sampai tak kenal waktu. Jika kau ingin pulang, silakan bersama para ajudan itu.”Anjar hanya terdiam. Dia tak berani menanggapi perintah Alvaro yang terkesan mengusirnya. Dia tidak akan tega meninggalkan bosnya seorang diri di daerah terpencil hampir memasuki hutan.Alvaro terbaring bersama Anjar di ruang tamu, sedangkan Dini tidur di dalam kamarnya. Pria itu menatap langit rumah yang terbuat dari asbes, saudara gerimis di luar dapat didengar olehnya.Ingatannya kembali pada satu bulan lalu ketika dia baru saja diselamatkan oleh Dini. Gadis yatim p
Alvaro berjalan tergesa melewati jalan yang ditunjukkan oleh pria peruh baya tadi. Saking tidak sabarnya, dia mendahului Anjar yang sedari tadi berseru untuk menunggunya.Anjar menubruk tubuh besar Alvaro yang tiba-tiba saja berhenti tanpa aba-aba.“Kenapa, Bos?” tanya Anjar menjadi segan setelah tanpa sengaja menubruk tubuh kekar bosnya. Dia mengira bosnya itu akan memarahinya karena sikap keteledoran.Namun, tidak. Alvaro justru bergeming di tempatnya. Dia menatap tanpa arti sebuah rumah kayu yang berada di hadapannya.Meski bukan daerah pegunungan, tetapi desa ini selalu diselimuti kabut khas daerah yang berada di dataran tinggi.“Sepertinya ini rumahnya.” Anjar meluruskan pandangan setelah mendengar celetukan Alvaro.Pria itu kembali mengingat petunjuk yang diberikan oleh Pak Tua yang mereka temui di tengah hutan tadi.“Akan saya pastikan, Bos.” Anjar berjalan melewati Alvaro guna mengetahui siapa pemilik rumah.“Assalamu'alaikum!” Anjar berseru seraya mengetuk pintu.Sekali dua k
Mak Munah menceritakan semua kejadian yang menimpa Nayla selama tinggal bersamanya. Bagaimana wanita tua itu dengan sangat berusaha melindungi Nayla serta nyawa calon anak yang ada dalam kandungan wanita cantik itu.Mendengar hal itu, bukan hanya Anjar yang menjadi sedih, melainkan Alvaro yang jauh lebih terenyuh. Pria yang selalu mengaku jika anak dalam kandungan Nayla adalah anaknya itu tiba-tiba merasa hatinya seperti diremas. Alvaro terus membayangkan bagaimana perjuangan Nayla untuk bisa keluar dari tempat mengerikan seperti desa ini.“Apa dia bisa selamat, Nek? Lalu, di mana keberadaan dia sekarang?” tanya Alvaro dengan raut wajah cemas.Mak Munah menatap Alvaro lekat, dia mengembuskan napas kasar lalu berkata, “beberapa waktu lalu cucu saya yang dari kota pulang. Untuk membuat Nayla merasa aman, saya berinisiatif untuk mengikutkan Nayla pada cucu saya itu.*“Lalu di kota mana cucu Nenek tinggal,” sambar Anjar dengan cepat.“Untuk tempatnya saya tidak tahu. Dia tidak pernah meng