Ah, dua parasit itu menjengkelkan! Mereka terus saja mencari muka di depan Bang Khalid, tapi di depanku bersikap sangat arogan seolah rumah ini adalah milik mereka. Terlebih Grace memang sekretarisnya selalu saja menggunakan dalih pekerjaan sebagai benteng agar Bang Khalid melunak.Mungkin mereka memang sepupu, tapi tidak sepantasnya bertingkah seperti itu apalagi di rumah orang lain. Semakin berkobar saja niatku untuk mengusir mereka dari rumah ini. Ketika sedang memasak, sebuah ide brilian tiba-tiba muncul. Aku langsung teringat dengan sesuatu, sepertinya ini sangat ampuh untuk mengusir mereka dari rumah. Bukan, aku tidak berencana untuk meracuni makanan mereka dengan racun tikus kok. Ya, meski rasanya meracuni mereka jauh lebih menguntungkan. Sengaja aku memanaskan minyak dalam wajan, dan mulai menggoreng ikan asin bersama sambal terasi, aromanya cukup menusuk hidung. Mereka pasti tidak tahan dengan makanan merakyat ini, lihat saja nanti. “Nin, kamu masak apa ini? Bau banget!”
"Maaf kalau Grace sama Tante Luna bikin kamu nggak nyaman selama mereka di sini." Bang Khalid menarik bangku dari meja kerjanya dan menghampiriku yang tengah mematut diri, mengoles berbagai jenis skincare pada wajah malam ini."Nggak apa-apa, Bang. Santai aja kali. Lagian kalaupun mereka salah, pasti tetep kamu bela, kan?" Aku menjawab sekenanya dengan pandangan yang belum beralih.Agak miris rasanya sepanjang tiga hari mereka menginap di sini hanya ongkang-ongkang kaki, sementara Bang Khalid yang tahu seperti tak ada niat menegur, karena mungkin tak enak dengan ikatan persaudaraan di antara mereka. Ya, walaupun setelahnya sedikit-sedikit dia membantu, meski bantuannya tak cukup berarti."Nin ...." Aku menghela napas, ketika nada suaranya sudah berubah lirih, tak ada pilihan selain mengalah."Udahlah, nggak usah diperpanjang, toh mereka udah pergi." Aku beranjak dari meja rias menuju ranjang. Kurebahkan diri tanpa menoleh ke arahnya lagi."Setidaknya saat Tante Luna sama Grace di sin
"Jadi, aku bantu apa nih?" Ce Velly ternyata sudah memakai celemek yang aku gantung di dekat lemari pendingin. "Duh maaf, ya, Ce malah ngerepotin. Niatnya mau main malah ikut di dapur." Aku menangkupkan kedua tangan di depan dada."Udah nggak apa-apa. Santai aja kali, IRT kayak kita udah biasa di dapur, walaupun lebih sering di kasur karena ada ART." Lusy--wanita seumuranku yang sama-sama chindo itu juga entah sejak kapan sudah memakai celemek yang satunya. Kami bertiga berada dalam satu klub yang sama, yaitu klub pilates yang diinstrukturi oleh Sis Melly, tempat perkumpulan kami masih ada di kompleks perumahan ini dan satu lokasi dengan tempat gym yang biasa Bang Khalid sambangi saat weekend. Tak jarang beberapa kali setelah latihan, kami nongkrong di cafe, mereka juga tak keberatan saat kuminta mengantar untuk menjemput anak-anak di day care saat ada jadwal pertemuan, karena tahu mobil-mobil yang berderet di garasi tak satu pun bisa kukendari. Sementara motor tak bisa seenaknya ju
Hari kemenangan akhirnya tiba setelah sebulan penuh umat muslim menunaikan ibadah puasa, menahan dahaga, lapar, haus dan nafsu dunia.Lebaran kali ini mungkin akan terasa tak sama dengan tahun-tahun sebelumnya, tak ada Roy atau Tante Lala, Pakle maupun Ainun atau nikmatnya bertukar kudapan dengan tetangga. Di perumahan elite ini bahkan hanya ada beberapa orang yang merayakan. Jadi, suasananya memang sangat berbeda."Sini, Nak. Mama pasangin kerudungnya!" Kulambaikan tangan ke arah Fatina yang berdiri di samping Bang Khalid yang tengah mengancingkan baju kokonya.Namun, bocah itu menggeleng dan justru semakin merapatkan tubuh pada Papanya. "Papa aja," sahutnya.Aku tertegun menatap bapak dan anak itu bergantian. Sejak bangun subuh tadi aku memang bergegas menghangatkan tumis, opor, serta gulai, lalu mandi dan salat subuh. Saat kembali, anak-anak sudah rapi Bang Khalid tangani, bahkan lelaki itu bisa dengan rapi mengikat rambut Fatina."Nggak apa-apa, Nin. Biar aku aja." Bang Khalid ter
Tiba di depan gerbang, aku dan Bang Khalid berpandangan saat melihat sebuah mobil sudah terparkir di pelataran."Mama sama Papa, ya?" Aku memastikan yang langsung Bang Khalid iyakan.Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, aku langsung sadar. Mereka memang sudah ada janji akan datang berkunjung selepas salat ied, tak menyangka keduanya ternyata akan datang sedini ini. Untung semua makanan sudah sempat kuhangatkan.Setelah salam-salaman dan maaf-maafan di depan gerbang. Aku membuka pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Sedikit kesal sebenarnya karena menyadari bukan hanya kedua mertuaku saja yang datang, tapi Tante Luna dan Grace juga.Alid dan Fatina menuntun nenek dan kakeknya masuk dan langsung duduk di sofa. Sementara aku ke kamar untuk menaruh mukena dan sajadah yang baru dikenakan.Terdengar gurauan dan tawa dari arah ruang tamu. Yang suaranya menggelegar siapa lagi kalau bukan Tante Luna. Sebelum kembali menghampiri mereka, aku lebih dulu ke dapur membuatkan minuman.
"Assalamualaikum--""Roy!" Refleks aku langsung meninggalkan Mama dan mengikuti Alid memeluk tubuh lelaki itu. Namun, baru saja merentangkan tangan, telunjuknya yang menahan dahi ini, langsung membuatku tersadar."Tahan, Bestie! Liat sekeliling lu, kita bukan mahram." Roy senyam-senyum ke arah Papa, Mama, Bang Khalid, dan dua tamu yang tak diharapkan. "Eh, iya. Maaf." Aku membungkuk sungkan ke arah Mama dan Papa. Karena terlalu senang sampai tak sadar situasi. "Kapan dateng?""Ya, ini pan baru dateng." Aku memutar bola mata mendapati jawabannya yang selalu di luar nalar."Maksud gue dari Lumanjangnya, Kimoci!" Aku meluruskan."Oh, yang spesifik, dong kalau nanya--Subuh tadi, terus ikut salat ied di sekitar bandara, lanjut dah perjalanan ke sini."Senyumku mengembang, jujur aku benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa senang. Kalau tak ada dua mertuaku dan dua benalu serta suamiku, mungkin tubuh Roy sudah habis kucubiti saking gemasnya."Kenapa pas banget hari H, nya, sih?" Tak mampu
"Kalau tahu jadi dewasa seribet ini, mending balik bocil aja nggak, sih?" Aku memutar bola mata saat mendengar Roy kembali berceloteh saat kami tengah menata snack ke dalam kotak hampers untuk acara sore nanti."Kenapa, sih?" tanyaku pada Roy."Lu banyangin aja, jadi bocil nggak akan ada beban, nggak perlu pusing mikirin angsuran, atau sakitnya ditinggal pas lagi bener-bener sayang. Kerjaan mereka cuma makan, main, jajan, agak gedean tibang berangkat sekolah doang. Belum lagi bisa minta duit seenak udel tanpa tahu susahnya nyari duit sampai keluar keringet dari ujung pala sampe belahan silit. Tiap lebaran THR bejibun lagi, baru aja gue liat tuh bocil dua nggak ada saingan, amplopnya bahkan lebih tebel dari gaji karyawan sebulan!"Refleks aku tertawa mendengar ceritanya yang selalu menggebu-gebu seperti biasa. Belum lagi diikuti dengan bibir menyon-menyon khas orang julit."Masa?" Aku mengejek setelah berhasil meredam tawa."Iye. Btw, tuh beban bedua di ruang tamu nggak akan bantu? En
H+2 Lebaran sebenarnya kami sudah ada rencana liburan, tapi karena kedatangan Roy juga pekerjaan mendadak yang tak bisa Bang Khalid tinggalkan, akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah.Tak ada drama berarti saat Bang Khalid pamit untuk pergi pagi tadi. Lagi pula aku tahu pasti banyak pekerjaan terbengkalai saat dia menghabiskan lebih dari seminggu WFH hanya untuk membantuku mengurus rumah tangga dan anak-anak. Sebenarnya aku bisa tenang walau dia pergi masih di suasana lebaran, karena memang asisten pribadinya yang datang sendiri, bukan si Grace Ulet Bulu.Beralih dari Bang Khalid kita kembali ke si cerewet. Setelah menginap semalam, dia mulai menagih house tour yang sempat kunjanjikan saat kami video call beberapa waktu lalu. Daripada telinga panas mendengar ocehannya, aku memulainya dari ruang keluarga."Ini tempat kaporit gue, Bang Khalid sama anak-anak," kataku sambil menunjuk sofa empuk berbentuk setengah lingkaran yang tengahnya dipenuhi mainan.Roy melihat ke
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce