"Kalau tahu jadi dewasa seribet ini, mending balik bocil aja nggak, sih?" Aku memutar bola mata saat mendengar Roy kembali berceloteh saat kami tengah menata snack ke dalam kotak hampers untuk acara sore nanti."Kenapa, sih?" tanyaku pada Roy."Lu banyangin aja, jadi bocil nggak akan ada beban, nggak perlu pusing mikirin angsuran, atau sakitnya ditinggal pas lagi bener-bener sayang. Kerjaan mereka cuma makan, main, jajan, agak gedean tibang berangkat sekolah doang. Belum lagi bisa minta duit seenak udel tanpa tahu susahnya nyari duit sampai keluar keringet dari ujung pala sampe belahan silit. Tiap lebaran THR bejibun lagi, baru aja gue liat tuh bocil dua nggak ada saingan, amplopnya bahkan lebih tebel dari gaji karyawan sebulan!"Refleks aku tertawa mendengar ceritanya yang selalu menggebu-gebu seperti biasa. Belum lagi diikuti dengan bibir menyon-menyon khas orang julit."Masa?" Aku mengejek setelah berhasil meredam tawa."Iye. Btw, tuh beban bedua di ruang tamu nggak akan bantu? En
H+2 Lebaran sebenarnya kami sudah ada rencana liburan, tapi karena kedatangan Roy juga pekerjaan mendadak yang tak bisa Bang Khalid tinggalkan, akhirnya kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah.Tak ada drama berarti saat Bang Khalid pamit untuk pergi pagi tadi. Lagi pula aku tahu pasti banyak pekerjaan terbengkalai saat dia menghabiskan lebih dari seminggu WFH hanya untuk membantuku mengurus rumah tangga dan anak-anak. Sebenarnya aku bisa tenang walau dia pergi masih di suasana lebaran, karena memang asisten pribadinya yang datang sendiri, bukan si Grace Ulet Bulu.Beralih dari Bang Khalid kita kembali ke si cerewet. Setelah menginap semalam, dia mulai menagih house tour yang sempat kunjanjikan saat kami video call beberapa waktu lalu. Daripada telinga panas mendengar ocehannya, aku memulainya dari ruang keluarga."Ini tempat kaporit gue, Bang Khalid sama anak-anak," kataku sambil menunjuk sofa empuk berbentuk setengah lingkaran yang tengahnya dipenuhi mainan.Roy melihat ke
Kehadiran Roy sangat membantu, kemampuannya untuk mendengar dan memberi pendapat tak pernah membuatku ragu. Meski seringkali tajam dan penuh candaan, tapi obrolannya selalu bermutu. Di saat-saat seperti ini memang dia orang yang paling kubutuhkan lebih daripada siapapun. Entah karena bergantung, atau memang aku yang terlalu terbiasa dengan kehadirannya dibandingkan kehadiran suamiku.Terhitung sudah empat hari dia di sini, setiap harinya terasa begitu cepat berlalu. Meskipun kecerewetannya terkadang membuatku kepalaku bertalu-talu, tapi sekali lagi dia benar-benar membantu.Dari arah dapur aku bahkan bisa melihatnya tengah menemani anak-anak bermain lego. Sesekali kudengar tawa mereka yang membuat perasaanku menghangat tapi juga sesak di waktu yang bersamaan. Mungkin akan terasa sangat menyenangkan seandainya aku yang menjadi alasan tawa anak-anak itu."Jadi mau bawa anak-anak piknik, Nin?"Kehadiran Bang Khalid menginterupsi. Kutatap kotak bekal yang akan dibawa piknik nanti. Tak ba
Mobil yang Roy kemudikan memasuki kawasan parkir Kebun Stroberi. Ini adalah Kebun Stroberi terbesar di Batam, pusat Kota Batam. Aku membawa anak-anak ke sini berdasarkan rekomendasi Bang Khalid agar Fatin dan Alid bisa merasakan pengalaman menyenangkan dengan memetik stroberi langsung dari pusatnya.Kebun Stroberi ini memiliki area yang luas dengan banyak tanaman stroberi yang subur. Mereka biasanya memberikan keranjang atau wadah khusus untuk kami gunakan saat memetik stroberi. Selain memetik stroberi, di kebun ini juga terdapat fasilitas lain seperti restoran atau kafe yang menyajikan makanan dan minuman yang terbuat dari stroberi segar. Selain itu kami juga bisa menikmati suasana yang nyaman sambil menikmati pemandangan Kebun Stroberi dari balik gazebo-gazebo yang memang sediakan untuk yang berniat piknik.Karena tempat ini selalu padat di musim-musim liburan seperti ini, sebelumnya Bang Khalid memang sudah melakukan reservasi, hingga saat di dalam nanti, kami tak akan kesulitan m
Matahari terbenam perlahan di ufuk barat, memancarkan warna jingga keemasan yang mempercantik langit senja. Di ruang keluarga yang sepi, aku duduk sendirian di sofa setelah mengantar anak-anak masuk ke kamar untuk mengaji bersama Bang Khalid sampai maghrib nanti.Tiba-tiba, pintu kamar tamu yang berada di seberang tempat dudukku terbuka, dan Roy muncul dari baliknya menyeret koper dengan setelan rapinya."Nin." Roy berdiri di hadapan. "Gue balik sekarang, ya?""Beneran sekarang? Malem-malem begini? Nggak bisa gitu nunggu sampe nanti pagi?" Meski tahu jawaban sama akan didapati, tapi aku tetap berusaha menahannya pergi. Setidaknya sampai Neli benar-benar di sini."Jadwal pesawatnya malam ini, Bestie. Gue udah kadung pesen dari jauh-jauh hari. Dah, ah. Gue ke sini kan buat mastiin kalau lu mampu beradaptasi. Jadi setelah liat lu sama Alid baik-baik aja, gue jadi lebih tenang ninggalin kalian di sini."Aku menghela napas, mencoba ikhlas walau berat hati melepasnya pergi. Jarak dari Jawa
Dari atas balkon aku melihat mobil Bang Khalid masuk pelataran, jam masih menunjukkan pukul 4 sore, jauh lebih awal dari biasanya dia pulang.Aku duduk menunggu sembari sesekali melirik minuman dan snack di nampan yang sudah disiapkan. Namun, sampai sepuluh menit kemudian dia tak kunjung datang. Akhirnya kuputuskan untuk menghampirinya ke lantai dasar.Tiba di ruang tamu, kulihat Bang Khalid duduk bersandar, matanya terpejam, tapi kuyakin dia tak sepenuhnya terlelap.Kuletakkan nampan di meja, lalu beralih untuk melepas sepatu yang masih melekat di kakinya."Eh, Nin!" Setengah tersentak Bang Khalid langsung menegakkan tubuhnya.Aku tersenyum, lalu mendorong bahunya agar kembali bersandar. "Nggak apa-apa. Kalau cape banget istirahat aja dulu, baru nanti ganti baju." Kulonggarkan dasi yang masih bertengger manis di lehernya, lalu menyodorkan minuman dingin dari gelas berkaki di atas nampan."Ini apa? Seger banget," tanyanya setelah menenggak dua kali minuman segar yang dipadu dengan bua
Kapalku mulai berlayar. Bahtera cinta kami tak lagi timpang, awaknya seimbang. Kini, tiap perjalanan mampu kunikmati di pelabuhan manapun nahkoda memberhentikan kapal sebagai tempat persinggahan.Sudah dua tahun sejak aku menginjakkan kaki kembali di Batam, kota kenangan, kota di mana semuanya dimulai. Aku belajar banyak hal, tentang menjadi istri juga ibu, tentang menjadi anak juga menantu. Karena memang beradaptasi dalam lingkungan baru itu perlu waktu.Menjadi ibu rumah tangga ternyata tak buruk dan semembosankan yang kukira, semua mulai terasa nikmatnya. Nikmat menghadapati kehebohan tiap senin pagi, nikmatnya menjalani kehidupan sebagai seorang istri dari suami yang selalu sibuk hampir setiap hari, juga nikmatnya mengurusi semuanya sendiri saat Neli sedang pergi. Karena sampai detik ini, alhamdulillah aku merasa cukup hanya dengan bantuan Neli. Selebihnya masih bisa ku-handle sendiri. Sebab untuk saat ini aku memang tak punya anak bayi."Denger-denger ada yang baru dapet pengharg
"Pokoknya saya nggak mau oleh-oleh yang lain, maunya dedek baluuu. Setuju anak-anak?""Setujuuu ...."Aku hanya bisa geleng-geleng melihat Neli yang menghasut kedua anakku saat mengantar kami di pelataran rumah.Tak terasa, weekend akhirnya tiba, dan rencana untuk berlibur berdua benar-benar terlaksana nyaris tanpa kendala."Nggak usah ngomporin, Neli!" Aku melotot sembari mencubit pinggang wanita yang kini berjilbab itu."Doa baik cukup di-aamiin, Mbak'e. Apa salahnya nambah 1, 2, atau 3 lagi? Menurut saya kalian mam-pu!" Neli nyengir yang membuatku memutar bola mata apalagi mendengar kata terakhirnya."Gampang sekali mulut Andah berkata. Mampu secara finansial belum tentu mampu secara mental, Neliii." "Ada apa, nih?" Bang Khalid tiba-tiba kembali setelah membawa beberapa barang yang tertinggal di dalam."Ini, nih, Bang. Si Ne--""Udah, ah cape debat sama Mbak Nindi. Pokoknya saya percayakan semuanya sama Pak Khalid. Cemungut, ya, Pak." Neli kedip-kedip macam orang keremian yang me