“Nyonya, bangunlah!” Mala menggoyang pelan pundak Tania membangunkan ia dari tidurnya.Perlahan Tania membuka mata dilihatnya Mala berdiri di samping ranjang. “Jam berapa ini?” Tanya Tania, sambil bangun dari berbaringnya.Mala dengan sopan mengatakan, kalau sekarang sudah pukul satu siang. Ia mengatakan kepada Tania, kalau makan siang untuknya sudah siap.Tania menanyakan kepada Mala, apakah suaminya sudah berada di meja makan? Karena ia tidak mau membuat suaminya itu menunggu dirinya.Dengan kepala tertunduk, karena tidak ingin melihat Nyonya-nya menjadi kecewa. “Tuan Ryan, sudah pergi sejak pagi tadi, tetapi ia tidak mengatakan pergi kemana. Tuan hanya berpesan kepada saya untuk mengingatkan Anda, agar jangan lupa makan dan meminum obat.Raut wajah kecewa tidak bisa disembunyikan Tania. “Saya akan segera turun sebentar lagi. Saya hendak mencuci muka dahulu.”Mala berjalan keluar dari kamar, tersebut. Ia akan menunggu Tania di ruang makan. Ia akan mencoba untuk membuat Tania tidak t
Syarif mengusap bibir yang berdarah, karena terkena tamparan Ryan. “Saya jadi semakin yakin untuk merebut Tania dari pria kasar, sepertimu! Ia berada dalam bahaya, kalau terus bersama dengan pria pemarah dan kasar.”Ryan hampir saja menyerang Syarif, tetapi Robby dengan cepat menangkp lengannya. Ia tidak mau sahabatnya itu semakin brutal saja dan akan membawanya ke dalam masalah.“Sudahlah, Ryan! Kita pergi saja dan biarkan pria ini memikirkan ancamanmu kepadanya.” Robby menepuk pelan pundak Ryan meminta kepada sahabatnya itu untuk keluar dari apartemen, tersebut.Ryan melayangkan tatapan mengintimidasi, sebelum ia menyetujui ajakan Robby untuk keluar dari apartemen itu.Selang beberapa menit, kemudian keduanya sudah berada dalam mobil yang disewa Ryan. Mereka tidak langsung pulang ke Indonesia Ryan ingin beristirahat terlebih dahulu.Sesampainya di kamar hotel Ryan memesan layanan kamar saja, karena ia tidak ingin bertemu dengan orang lain di saat dirinya sedang dalam keadaan emosi.
Tidakk terdengar suara dari balik pintu kamar mandi. Robby pun membaringkan badan kembali menunggu pesanannya datang. “Ryan! Apa kamu tidak akan membelikan hadiah untuk Istrimu?” Tanya Robby lagi.Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah Ryan. Yang hanya memakai handuk membalut pinggang dan busa sampo di kepalanya. “Kamu cerewet sekali, Rob, seperti wanita yang sedang PMS saja!”Robby tidak menduga Ryan akan keluar dari kamar mandi dalam keadaan begitu. Dengan santai sama sekali tidak takut kepada Ryan yang sedang marah. Ia mengatakan, kalau Ryan begitu sensitif mendapat pertanyaan sederhana saja emosi.Ia mengatakan, kalau Ryanlah yang bertingkah, seperti wanita. Mudah tersulut emosi, karena ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Seharusnya, Ryan merasa senang ada ia yang selalu mengingatkannya. Dan menjaganya, agar tidak membuat kehancuran pada dirinya sendiri.Ryan mendengus dengan kasar, ia masuk kembali kamar mandi. Didengarnya suara tawa nyaring Robby. Sahabatnya it
Sontak saja wanita yang tengah memegang infus Tania menjadi terkejut, tetapi ia dengan cepat dapat mengusai dirinya kembali. “Halo, Ryan! Kamu mengejutkan saya saja. Saya sedang mempercepat aliran cairan infus Tania, karena tadi tidak keluar.”Ades menunjuk ke arah tabung infus yang tergantung pada tempatnya. Ia berjalan mundur mempersilakan kepada Ryan untuk mendekat.Wajah Ryan terlihat garang dengan tatapan mata yang tajam. Ia terlihat curiga kepada Ades, tetapi ia tidak mempunyai bukti, kalau wanita itu berniat mencelakai Tania.“Keluarlah, Ades! Kehadiranmu sama sekali tidak diharapkan oleh saya dan Istri saya.” Ryan menunjuk pintu dengan dingin.Ades memasang wajah kecewa, ia bergeming di tempatnya berdiri. “Ayolah, Ryan! Tidak bisakah kamu memberikan saya kesempatan untuk berubah? Saya sudah menyadari semua kesalahan yang saya buat.”Ryan memasang wajah sinis, ia tidak akan mudah terpedaya dengan mulut manis dan wajah memelas Ades. Wanita itu tidak dapat dipercaya dan ia sudah
Ryan dan Robby saling pandang tampak raut terkejut di wajah keduanya. “Tania, apakah kamu lupa, kalau saya adalah suamimu?” Tanya Ryan.Tania memandang Ryan dengan tatapan menyelidik, ia memejamkan mata mencoba untuk mengingat siapa pria yang berdiri di hadapannya ini dan mengapa ia sampai berbaring di ranjang rumah sakit.Dipijatnya keningnya yang terasa berdenyut nyeri kilasan bayangan apa yang terjadi pun bermain di kepalanya. Di bukanya kembali mata dan menatap tepat mata Ryan.“Saya dapat mengingat, kalau kamu adalah suami saya. Dan saya juga dapat mengingat mengapa saya sampai terjatuh dari tangga,” sahut Tania dengan suara lemah.Ekspresi lega terpancar di wajah Ryan, karena Tania bisa mengingat dirinya. Itu merupakan hal yang utama bagi Ryan, ia tidak mau dirinya dilupakan oleh Tania.Ryan mengambil jemari Tania yang terpasang jarum infus, lalu mengecupnya dengan rasa sayang. “Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat hal yang lain. Kamu harus banyak beristirahat dulu b
Tania sudah hendak membuka mulut menyahut apa yang dikatakan oleh Ryan, saat ia mendengar pintu kamar rawatnya diketuk dari luar. Ia menutup mulut dan memejamkan mata membiarkan Ryan yang menyahut seseorang berada pintu kamarnya.“Silakan, masuk!” seru Ryan.Seorang pria dengan name tag dokter Alan memasuki kamar rawat Tania. Diikuti oleh dua orang perawat yang membawa peralatan medis di tangan mereka.“Selamat sore, Bu Tania! Maaf, mengganggu istirahat Ibu. Kami ingin melakukan pemeriksaan kepada Ibu, karena kami dengar Ibu sempat lupa sesuatu,” ucap dokter yang datang, tersebut.Tania membuka mata, ia melihat dokter yang akan memeriksa. Diberikannya senyuman tipis kepada dokter, tersebut. “Silakan, dok! Saya tidak mengalami amnesia hanya saya memang sengaja melakukannya.”Ryan diam mendengar apa yang diucapkan Tania. Dalam hati ia menjadi geram, karena Tania berpura-pura tidak mengenalinya. Sebegitu bencikah ia sekarang ini? Sampai-sampai ia hendak melupakan dirinya.Selang beberapa
Tania membuka mulut, lalu menutup kembali dengan cepat. Matanya terbuka mendengar permintaan Ryan. Selama sesaat yang singkat ia terdiam, kemudian dengan suara pelan ia menyahut, “Kenapa kamu begitu bersikeras saya memberikan kesempatan kedua untuk Ades dan Susi?”Ryan mengangkat pundak, ia melepaskan pegangannya pada badan Tania dan berjalan kembali menaiki tangga meninggalkan Tania.Tania memandangi punggung Ryan dengan perasaan terluka. Matanya berkaca-kaca hendak tumpah. Ia menaiki tangga dengan langkah pelan, seakan tidak ingin sampai ke atas.Dimasukinya kamar di mana sudah ada Ryan yang terlihat berdiri di depan kaca jendela. Dengan posisi membelakangi pintu, sehingga ia tidak dapat melihat Tania masuk tetapi dirinya dapat mendengar suara langkah kakinya.“Saya hendak pergi ke makam Ayah nanti sore. Apakah engkau akan mengijinkan?” Tanya Tania pelan.“Silakan! Kau akan pergi ditemani sopir, karena saya tidak percaya kepadamu. Bisa saja kamu sudah membuat janji dengan lelaki itu
Sontak saja Ryan menjadi marah dengan suara menggeram ia berkata, “Saya akan menemui orang itu!”“Baik, Tuan!” sahut sopir Ryan.Setelah menutup pintu kamar Ryan berjalan kembali ke tempat tidur. Ia berdiri di depan ranjang dengan pandangan tidak lepas dari mata Tania.“Pria bodoh itu hanya mencari masalah saja dengan datang ke sini dan mencarimu! Apakah kamu yang memberitahukan kepadanya alamat rumah kita?” Tanya Ryan dengan suara tertahan meredam emosi.Tania menggelengkan kepala dengan suara lirih ia menyahut, “Saya tidak mengetahui mengapa ia bisa mengetahui alamat rumah ini. Bisa saja ia mengikuti kamu dan Robby untuk mengetahui di mana saya tinggal.”Ryan mendengus nyaring, ia melangkah menuju kamar kecil. Berdiri di depan wastafel Ryan menyalakan keran dengan suhu air dingin dan digunakannya untuk mencuci muka.Beberapa saat berselang Ryan keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang terlhat jauh lebih segar. “Kamu tetap di kamar! Saya tidak mengijinkan bagimu bertemu dengan