Karan masih berbincang dengan seseorang menggunakan ponsel Noah, sementara Noah sendiri sudah tertidur di sofa."Sudah malam, sebaiknya kamu tidur," kata Karan berniat mengakhiri telefon."Kamu sangat kejam, Kak. Kita baru saja mengobrol setelah sekian lama meskipun dari tadi hanya aku saja yang bercerita."Menghela napas berat, Karan kembali mendengarkan celotehan orang di balik telfon itu.Sementara itu di dalam kamar, Arcelia tengah ketakutan setengah mati karena perbuatan Bryan."Sangat menyedihkan bukan? Didalam mimpi pun aku harus memaksamu." Jemari Bryan mengusap bulir bening yang terus keluar dari sudut mata Arcelia.Gerakan yang pelan, namun sangat menakutkan. Sedikit pun Bryan tidak membiarkan Arcelia bergerak."Bryan, jangan ...." Selama mengenal Bryan, Arcelia belum pernah melihat kegilaan Bryan yang seperti ini.Meski tahu tahu Bryan yang tengah mengalami patah hati, akan tetapi Arcelia tidak menyangka Bryan akan melakukan hal semacam ini padanya."Sttt ... jangan menangi
"Ambil sekarang juga, Karan." Arcelia mengulang permintaannya. Sorot matanya menunjukkan keputusan asaan.Karan tertegun, sebagai laki-laki dewasa Karan memang menginginkan hal itu."Arche, aku tahu perasaanmu sedang kacau. Sebaiknya kamu istirahat, ya. Tenanglah, tidak akan terjadi sesuatu yang buruk, kedepannya aku akan menjagamu lebih hati-hati. Bila perlu aku akan memakai jasa bodyguard.""Kamu tidak mau? Kamu pasti j*j*k padaku, kan?" tanyanya dengan air mata yang kembali mengalir.Perasaan Arcelia benar-benar terguncang, takut, merasa bersalah pada Karan. Mati-matian dirinya menolak Karan untuk tidak menyentuhnya lebih dulu.Tetapi ia malah tidak bisa melindungi diri dari pria lain. Untuk kedua kalinya, Karan menyelamatkan kehormatannya. Karan yang menjaganya, menjaga sesuatu yang memang sudah seharusnya menjadi milik Karan.Arcelia kira dirinya tidak trauma, ternyata salah, ketakutan yang mengerikan itu tidak berlaku jika berada di dekat Karan. Sentuhan Karan tidak membuatnya
Pagi hari saat matahari masih belum sepenuhnya terbit, Karan menemui Bryan dikamar laki-laki itu."Maaf, Kak. Aku memang pantas mendapatkan ini," kata Bryan sembari menunduk.Wajah yang lembam semakin memancarkan kesedihan dan penyesalan Bryan.Meski sesungguhnya Karan ingin kembali memukul Bryan, tetapi Karan menahan diri."Kamu pikir kata maaf bisa menyembuhkan trauma? Dimana otak dan akhlak baikmu yang selalu papa banggakan, Bryan?" Sinis Karan."Apa yang aku lakukan memang sangat tidak benar, Kak. Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku, ditambah dengan pengaruh alkohol, aku salah. Maaf, karena sebenarnya selama ini aku menyimpan rasa terhadap Arcelia," terangnya.Bryan menatap wajah Karan, menunggu respon laki-laki itu atas kejujurannya, tetapi Karan sama sekali tidak terkejut. "Tidak ada orang yang bisa melarang perasaan seseorang, tetapi kamu harus sadar diri, Bryan. Sekarang Arcelia istriku, aku rasa kamu cukup waras untuk menyadari hal itu dan mengerti tentang batasan yang t
Saat ini Karan sudah siap dengan setelan kerjanya, laki-laki itu tengah membujuk Arcelia agar tetap di rumah. "Di rumah aja? Kamu bisa mengajak temanmu untuk menemani di sini. Nanti aku akan berusaha pulang lebih cepat," ujar Karan.Sedari tadi Arcelia mengatakan ingin ikut ke kantor, tetapi melihat keadaan sang istri yang masih kurang baik, membuat Karan merasa tidak tega. Andai tidak ada pertemuan penting, Karan akan lebih memilih untuk tidak berangkat kerja."Kamu nggak mau aku ikut?" Tuduh Arcelia dengan ekspresi wajah yang ditekuk.Karan lupa jika Arcelia masih dalam periode datang bulan yang artinya mood Arcelia mudah sekali jungkir balik.Segera Karan menggelengkan kepalanya serta menggerakkan kedua telapak tangan seraya tersenyum tipis, pertanda jika Arcelia salah paham. "Bukan seperti itu, nanti kamu bakal sendirian di ruang kerja, apa nggak apa-apa?""Aku sudah biasa kamu tinggal keluar, kan?" Sahut Arcelia masih dengan wajah yang tidak bersahabat.Masalahnya adalah, Karan k
Untuk pertemuan dengan klien terakhir, kali ini Arcelia ikut, pertmuan berakhir tepat jam lima sore. Saat ini keduanya berjalan menuju lobi, di sana mereka berpapasan dengan seseorang."Sial, mau ngumpet udah tanggung banget, mereka liat muka gue nggak, ya?" Laki-laki itu menutup wajahnya menggunakan map yang ia bawa."Azka," panggil Karan."Ketahuan," gumamnya seraya menurunkan map, lalu memberikan senyum lebar. "Hallo, Kakak ipar, lama tidak bertemu."Karan diam, laki-laki itu memperhatikan penampilan Azka yang tidak seperti biasanya. Remaja itu mengenakan stelan formal yang jelas terlihat mahal."Baik. Apa kamu sedang magang, bukannya kamu masih SMA?" tanya Karan.Tersenyum kikuk, Azka pun berjalan lebih mendekat. "Hutangku banyak, jadi aku latihan bekerja, Kak, lumayan lah untuk tambahan uang saku," katanya berbisik."Hutang?" Karan bertanya dengan satu alis yang terangkat. Ia semakin curiga dengan keluarga Arcelia."Aku merusak banyak mobil, itu hanya salah satu kecerobohanku. Ja
Sekuat jiwa dan raga Karan berusaha mengurung hasratnya, apa lagi mengingat kejadian mengenaskan kemarin malam. Kini karan memilih mengangkat Arcelia ke atas pangkuanya dengan posisi Arcelia yang membelakanginya. Laki-laki itu kemudian menjatuhkan dagunya pada bahu sang istri."Dongeng time," katanya sebelum memulai bercerita.Dalam diam, Arcelia mengamati pergerakan Karan. Dirinya baru menyadari jika Karan tergolong sedikit romantis dan manis meski terkadang berakhir konyol dan kacau."Hm, cepat ceritakan.""Aku tidak mengerti mama dan papa menikah berdasarkan karena apa. Yang aku tau, papa berhianat dari mama. Papa menjalin hubungan dengan tante mona hingga menghasilkan Bryan.""Jadi dia adik tirimu, makanya kamu membencinya?""Aku tidak membencinya," sanggah Karan."Tidak membencinya tapi ingin melihatnya hancur," cibir Arcelia.Sejenak Karan terdiam, ia berpikir sejak kapan ia jadi kesala pada Bryan, sungguh niat awalnya mengambil Arcelia untuk membuat Mona dan sang papa sakit ha
Suasana makan malam terasa sangat hening meski di ruang makan yang terlihat mewah itu dihuni oleh empat orang.Jemari lentik Mona meraih gelas berisi air putih, guna menghilangkan rasa hasu nan resah, tidak jauh berbeda dengan Budi yang sama resahnya.Hanya kakek yang terlihat tenang menikmati makanan, sementara Bryan masih diliputi rasa bersalah atas dirinya yang melakukan hal tidak benar terhadap Arcelia, laki-laki itu menikmati makanan dengan sangat enggan.Apa lagi baik Arcelia dan Karan saat tidak terlihat di ruangan yang sama, hal itu semakin membuat Bryan merasa sangat buruk."Apa makananya tidak enak? Mengapa kalian terlihat tidak berselera?" tanya kakek.Suara kakek yang tiba-tiba menambah rasa gundah bagi Budi dan Mona."Tidak. Makananya enak seperti biasa, hanya saja." Budi menjeda ucapannya, pandangannya sesaat mengarah pada Bryan, sejurus kemudian kembali menatap kakek.Mengerti dengan hal itu, kakek kembali berucap, "Nikmati makan malamnya. Kamu bisa berbicara dengan aya
"Jangan selalu menyalahkan ayah, Mona. Sudah baik beliau tidak-ah sudahlah." Budi menghentikan ucapannya tidak sanggup untuk melanjutkan kata menyangkut kejadian mengenaskan itu.Mona masih menatap Budi dengan pandangan tidak percaya. "Mengapa kamu tiba-tiba berubah? Bukankah kamu tahu jika itu aku lakukan demi apa? Apa sekarang kamu juga mau membela Karan?"Budi diam, pria itu berjalan menuju lemari berniat mengambil baju ganti untuk tidur."Jawab Budi, apa kamu mau membela anak sialan itu!" Teriak Mona marah."Dia juga anakku, Mona," balasnya seraya mengambil satu stel piyama."Oh, jadi kamu mau mengasingkan Bryan karena dia tidak bisa mengambil simpati ayah? Memang lebih baik aku kirim anak itu bersama ibunya!"Brak!Budi menutup pintu lemari secara kasar, ia menatap tajam pada sang istri. "Sudah aku bilang berhenti melakukan hal tidak baik," geram Budi.Menatap nyalang, Mona seolah menantang. "Akan aku lakukan apa pun demi putraku. Tidak akan aku biarkan sedikitpun Bryan mengalami