Fela menyeringai kala ia berhasil memegang dasi Karan. Hanya sekali tarik saja maka Karan akan jatuh pada dirinya.Bugh!Tas branded berwarna hitam yang cukup berat mendarat mengenai kepala Fela. Cengkraman tangannya pada dasi karan pun terlepas begitu saja."Wanita s*al*n!" Umpat Arcelia seraya melempar bingkisan makanan yang telah ia beli, gadis itu melangkah lebar menghampiri Fela yang tengah merasa kesakitan seraya memegangi kepalanya.Grep!Tidak perduli dengan Fela yang masih kesakitan, jemari Arcelia lantas menjambak kasar rambut bergelombang Fela."Sakit! Lepaskan!" Denyut sakit akibat kepala yang terhantam tas saja masih belum reda kini malah dikombinasi dengan jambakan yang terasa pedas. Sungguh Fela merasakan kepalanya sangat pusing.Semakin brutal, Arcelia merariknya dengan keras hingga Fela bergerak turun dari atas meja mengikuti gerakan jemari Arcelia yang terus menarik rambutnya."Jika kamu gatal maka menikahlah, bukannya menggoda suami orang!" Bentak Arcelia masih belu
Karan yang awalnya tengah membujuk Arcelia supaya tidak marah lagi, kini jadi memasang wajah datar nan dingin."Atas dasar apa, Tante marah-marah? Tante tidak punya kuasa untuk urusan kantor."Mona semakin tidak terima, wanita itu melangkah mendekat dengan wajah yang memerah padam."Fela adalah karyawan yang berada di bawah naungan mas Budi. Kamu tidak berhak memecatnya!""Kalau begitu bawa saja kembali dia ke temat papa," ujar Karan santai."Tidak bisa! Dia harus tetap di sini!"Arcelia yang sudah muak pun beranjak dari duduknya. "Biarkan wanita dan wanita yang berbicara," katanya pada Karan."Apakah Tante mertua takut kalau Fela akan menggoda papa mertua kalau dipindah ke sana?" Tanya Arcelia menohok."Apa maksudmu?" Mona berpura-pura tidak tahu."Harusnya aku yang bertanya, mengapa Tante mertua semarah itu Fela dipecat?" Ingat sisa kemarahan Arcelia masih ada, melampiaskan untuk berdebat adalah cara yang sangat menyenangkan."Karena dia kompeten dalam bekerja, perusahaan ini memerl
Seperti tidak memiliki pekerjaan, Ethan tetap berada di kantor Karan hingga sore hari.Sepasang mata Karan terus mengawasi Ethan yang duduk di depan Arcelia, keduanya memang tidak berdekatan. Tetapi, dapat Karan lihat Ethan terus mengajak istrinya berbicara. Membuatnya tidak konsentrasi bekerja."Arche, ada apa denganmu? Mengapa aku merasa seperti virus yang harus dijauhi? Apa karena gosip kurang ajar itu?" Ethan bertanya dengan wajah sedih. Sebab Arcelia terus mengambil jarak darinya."Tidak seperti itu, Kak. Mana mungkin aku akan terus menempel pada Kak Ethan seperti saat masih kecil," jelas Arcelia.Karena hal buruk yang dilakukan Bryan, Arcelia jadi risih berdekatan dengan laki-laki lain. Meski ia mengenal Ethan sedari kecil, tetapi tetap saja mereka tidak memiliki aliran darah yang sama.Sejenak Ethan terdiam, ia menangkap sesuatu yang tidak biasa. Menghela napas berat, laki-laki bule itu kemudian melirik sinis pada Karan. "Pasti gara-gara dia," dumelnya."Urusan kita sudah seles
"Alena!" Noah mencekal pergelangan tangan Alena. Sebab gadis itu berjalan celat mengejar Karan. Keduanya kini sudah keluar dari dalam privat room."Lepas! Aku mau ikut kak Karan, siapa yang berani mengganggu waktunya sampai dia pergi tidak perduli denganku!" Marahnya dengan mata yang berkaca-kaca.Harapannya agar bisa terlihat sebagai wanita dewasa, tidak dianggap sebagai adik seakan gugur begitu saja.Menghela napas berat, Noah tidak melepaskan Alena. "Karan memiliki kehidupan pribadi, tidak seharusnya aku maupun kamu perlu mengetahuinya. Sekarang kita pulang.""Tidak! Aku tidak mau pulang kalau kak Karan tidak ikut!"'Tidak ada cara lain selain bermain drama, dasar bocah merepotkan!' Dumel Noah dalam hati.Noah lantas melepaskan pergelangan tangan Alena, ia menatap kecewa pada gadis itu. "Jadi seperti itu, ya? Kamu hanya menganggap Karan? Kamu tidak menganggap keberadaanku?" "Kak Noah, bukan seperti itu." Alena jadi merasa bersalah. Dibanding Karan, memang Noah yang lebih banyak m
Karan sesaat terdiam, ia butuh sedikit waktu berpikir untuk menjawab pertanyaan Arcelia. Apa lagi mengingat saat Arcelia menggila menyerang Fela. Ia jadi khawatir Arcelia akan marah padanya jika sang istri tau ia telah meninggalkannya untuk menemui Alena. Meski ia hanya menganggap Alena adik saja."Dia perempuan, masih kecil. Adik sahabatku yang meninggal itu.""Harusnya anak kecil jangan dibiarkan pergi sendiri, itu berbahaya," ujar Arcelia. Mengira Alena sekecil itu.Berdehem pelan, Karan bingung menjelaskannya. "Saat ini Noah menjaganya. Em, Arche, bagaimana kalau kita pulang ke rumah saja. Di apartemen pun sepertinya kurang aman," ujarnya."Mau di rumah juga tidak aman," gumam Arcelia.Karan mendesahkan napas berat, ia bimbang. Mau keluar dari rumah juga berat.---Brak!Pyar!"Mona, kita sedang tidak berada dalam keadaan harta yang yang melimpah ruah untuk kamu merusak hiasan rumah ini dengan harga yang fantastis!"Menoleh pada asal suara, Mona menatap sang suami dengan pandanga
Arcelia memberikan kotak makan miliknya pada kakek. "Aku tidak tahu Kakek akan kemari. Jadi aku masak seadanya dan hanya membawa sedikit. Semoga Kakek suka," katanya khawatir kakek tidak cocok dengan menu yang ia buat.Melihat hanya tersisa satu kotak, kakek kemudian bertanya, "Karan tidak ada waktu untuk makan bersama?"Arcelia mengangguk dengan senyum tipis, meski sebenarnya ada sedikit rasa kecewa. Ia sempat merasa senang saat Karan membalas pesannya yang katanya hendak makan siang dengannya, tetapi tiba-tiba malah membatalkannya."Jadwalnya sedang sangat padat, Kek," ujar Arcelia. Jemarinya membuka box berwarna biru itu yang awalnya untuk Karan, kini ia makan sendiri.Mendengar itu membuat Azka mendekat, remaja itu menyerobot satu suap sendok yang tadinya hendak Arcelia makan sendiri."Wah, ini lebih enak," kata anak itu tidak tahu diri."Astaga! Kamu sudah makan satu porsi besar, Azka!" Arcelia segera menjauhkan box makan siang itu dari Azka.Sepasang mata Azka menatap penuh mina
Denting ponsel berturut-turut pertanda pesan masuk membuat fokus ke dua orang yang tengah menikmati makan siang itu melirik Karan."Kak Karan sangat sibuk, ya. Waktu untuk makan siang saja mereka tetap mengganggu," gumam Alena."Dia manusia super sibuk," sahut Noah.Karan sendiri tengah memeriksa ponselnya, gerakan mulut yang tadinya sedang memproses makanan supaya lembut kini terhenti kala menatap kedua foto yang dikirim oleh Azka.Hanya melihat foto saja sudah dapat memancing emosinya. Dilanjutkan dengan membaca pesan dari Azka.Duar! Kemarahan Karan menyala sudah."S*than!" Umpatnya tanpa sadar."Ada apa?" Tanya Noah panik. Mereka tadi dibuntuti oleh orang dan kini wajah Karan terlihat dipenuhi oleh Emosi. Noah khawatir.Alena pun jadi ikut panik."Si S*than berulah!" Noah menghela napas lega, jika itu Ethan maka berarti hanya urusan kecemburuan. Noah tidak lagi berminat untuk bertanya lebih dalam, laki-laki itu memilih untuk melanjutkan acara makan dengan damai."Ada sesuatu? Ora
"Sayang, aku kembali," ucap Karan kala baru saja membuka pintu.Meski bibirnya berucap manis, sejurus kemudian kedua mata sipitnya menatap penuh permusuhan pada Ethan.Melewati Ethan tanpa menyapa, Karan lantas menghampiri Arcelia. Laki-laki itu melabuhkan kecupan pada pucuk kepala sang istri.Melihat itu, Azka tersenyum miring. 'Poin sekian. Dia sepertinya benar-benar bucin,' batinnya.Ethan yang berada di dekat Azka pun lantas berbisik. "Jangan tertipu dengan sikapnya. Dia belum lolos uji coba. Awasi dia, kemarin aku menemukan hal janggal, tapi aku sudah menyerahkan pada ahlinya."Sementara itu, kakek tersenyum bahagia. Rasa rindu dan khawatirnya seketika terobati."Kapan kalian akan kembali ke rumah?" Tanya kakek."Kami akan mempertimbangkan dulu, Kek. Tinggal di apartemen aku merasa suasana baru yang cukup nyaman," sahut Karan."Memang di rumah tidak nyaman?" Celetuk Azka."Bukan begitu. Kamu akan mengerti jika sudah menikah. Ah, tidak. Sekarang saja kamu tidak betah di rumah, kan