Suasana makan malam terasa sangat hening meski di ruang makan yang terlihat mewah itu dihuni oleh empat orang.Jemari lentik Mona meraih gelas berisi air putih, guna menghilangkan rasa hasu nan resah, tidak jauh berbeda dengan Budi yang sama resahnya.Hanya kakek yang terlihat tenang menikmati makanan, sementara Bryan masih diliputi rasa bersalah atas dirinya yang melakukan hal tidak benar terhadap Arcelia, laki-laki itu menikmati makanan dengan sangat enggan.Apa lagi baik Arcelia dan Karan saat tidak terlihat di ruangan yang sama, hal itu semakin membuat Bryan merasa sangat buruk."Apa makananya tidak enak? Mengapa kalian terlihat tidak berselera?" tanya kakek.Suara kakek yang tiba-tiba menambah rasa gundah bagi Budi dan Mona."Tidak. Makananya enak seperti biasa, hanya saja." Budi menjeda ucapannya, pandangannya sesaat mengarah pada Bryan, sejurus kemudian kembali menatap kakek.Mengerti dengan hal itu, kakek kembali berucap, "Nikmati makan malamnya. Kamu bisa berbicara dengan aya
"Jangan selalu menyalahkan ayah, Mona. Sudah baik beliau tidak-ah sudahlah." Budi menghentikan ucapannya tidak sanggup untuk melanjutkan kata menyangkut kejadian mengenaskan itu.Mona masih menatap Budi dengan pandangan tidak percaya. "Mengapa kamu tiba-tiba berubah? Bukankah kamu tahu jika itu aku lakukan demi apa? Apa sekarang kamu juga mau membela Karan?"Budi diam, pria itu berjalan menuju lemari berniat mengambil baju ganti untuk tidur."Jawab Budi, apa kamu mau membela anak sialan itu!" Teriak Mona marah."Dia juga anakku, Mona," balasnya seraya mengambil satu stel piyama."Oh, jadi kamu mau mengasingkan Bryan karena dia tidak bisa mengambil simpati ayah? Memang lebih baik aku kirim anak itu bersama ibunya!"Brak!Budi menutup pintu lemari secara kasar, ia menatap tajam pada sang istri. "Sudah aku bilang berhenti melakukan hal tidak baik," geram Budi.Menatap nyalang, Mona seolah menantang. "Akan aku lakukan apa pun demi putraku. Tidak akan aku biarkan sedikitpun Bryan mengalami
Fela menyeringai kala ia berhasil memegang dasi Karan. Hanya sekali tarik saja maka Karan akan jatuh pada dirinya.Bugh!Tas branded berwarna hitam yang cukup berat mendarat mengenai kepala Fela. Cengkraman tangannya pada dasi karan pun terlepas begitu saja."Wanita s*al*n!" Umpat Arcelia seraya melempar bingkisan makanan yang telah ia beli, gadis itu melangkah lebar menghampiri Fela yang tengah merasa kesakitan seraya memegangi kepalanya.Grep!Tidak perduli dengan Fela yang masih kesakitan, jemari Arcelia lantas menjambak kasar rambut bergelombang Fela."Sakit! Lepaskan!" Denyut sakit akibat kepala yang terhantam tas saja masih belum reda kini malah dikombinasi dengan jambakan yang terasa pedas. Sungguh Fela merasakan kepalanya sangat pusing.Semakin brutal, Arcelia merariknya dengan keras hingga Fela bergerak turun dari atas meja mengikuti gerakan jemari Arcelia yang terus menarik rambutnya."Jika kamu gatal maka menikahlah, bukannya menggoda suami orang!" Bentak Arcelia masih belu
Karan yang awalnya tengah membujuk Arcelia supaya tidak marah lagi, kini jadi memasang wajah datar nan dingin."Atas dasar apa, Tante marah-marah? Tante tidak punya kuasa untuk urusan kantor."Mona semakin tidak terima, wanita itu melangkah mendekat dengan wajah yang memerah padam."Fela adalah karyawan yang berada di bawah naungan mas Budi. Kamu tidak berhak memecatnya!""Kalau begitu bawa saja kembali dia ke temat papa," ujar Karan santai."Tidak bisa! Dia harus tetap di sini!"Arcelia yang sudah muak pun beranjak dari duduknya. "Biarkan wanita dan wanita yang berbicara," katanya pada Karan."Apakah Tante mertua takut kalau Fela akan menggoda papa mertua kalau dipindah ke sana?" Tanya Arcelia menohok."Apa maksudmu?" Mona berpura-pura tidak tahu."Harusnya aku yang bertanya, mengapa Tante mertua semarah itu Fela dipecat?" Ingat sisa kemarahan Arcelia masih ada, melampiaskan untuk berdebat adalah cara yang sangat menyenangkan."Karena dia kompeten dalam bekerja, perusahaan ini memerl
Seperti tidak memiliki pekerjaan, Ethan tetap berada di kantor Karan hingga sore hari.Sepasang mata Karan terus mengawasi Ethan yang duduk di depan Arcelia, keduanya memang tidak berdekatan. Tetapi, dapat Karan lihat Ethan terus mengajak istrinya berbicara. Membuatnya tidak konsentrasi bekerja."Arche, ada apa denganmu? Mengapa aku merasa seperti virus yang harus dijauhi? Apa karena gosip kurang ajar itu?" Ethan bertanya dengan wajah sedih. Sebab Arcelia terus mengambil jarak darinya."Tidak seperti itu, Kak. Mana mungkin aku akan terus menempel pada Kak Ethan seperti saat masih kecil," jelas Arcelia.Karena hal buruk yang dilakukan Bryan, Arcelia jadi risih berdekatan dengan laki-laki lain. Meski ia mengenal Ethan sedari kecil, tetapi tetap saja mereka tidak memiliki aliran darah yang sama.Sejenak Ethan terdiam, ia menangkap sesuatu yang tidak biasa. Menghela napas berat, laki-laki bule itu kemudian melirik sinis pada Karan. "Pasti gara-gara dia," dumelnya."Urusan kita sudah seles
"Alena!" Noah mencekal pergelangan tangan Alena. Sebab gadis itu berjalan celat mengejar Karan. Keduanya kini sudah keluar dari dalam privat room."Lepas! Aku mau ikut kak Karan, siapa yang berani mengganggu waktunya sampai dia pergi tidak perduli denganku!" Marahnya dengan mata yang berkaca-kaca.Harapannya agar bisa terlihat sebagai wanita dewasa, tidak dianggap sebagai adik seakan gugur begitu saja.Menghela napas berat, Noah tidak melepaskan Alena. "Karan memiliki kehidupan pribadi, tidak seharusnya aku maupun kamu perlu mengetahuinya. Sekarang kita pulang.""Tidak! Aku tidak mau pulang kalau kak Karan tidak ikut!"'Tidak ada cara lain selain bermain drama, dasar bocah merepotkan!' Dumel Noah dalam hati.Noah lantas melepaskan pergelangan tangan Alena, ia menatap kecewa pada gadis itu. "Jadi seperti itu, ya? Kamu hanya menganggap Karan? Kamu tidak menganggap keberadaanku?" "Kak Noah, bukan seperti itu." Alena jadi merasa bersalah. Dibanding Karan, memang Noah yang lebih banyak m
Karan sesaat terdiam, ia butuh sedikit waktu berpikir untuk menjawab pertanyaan Arcelia. Apa lagi mengingat saat Arcelia menggila menyerang Fela. Ia jadi khawatir Arcelia akan marah padanya jika sang istri tau ia telah meninggalkannya untuk menemui Alena. Meski ia hanya menganggap Alena adik saja."Dia perempuan, masih kecil. Adik sahabatku yang meninggal itu.""Harusnya anak kecil jangan dibiarkan pergi sendiri, itu berbahaya," ujar Arcelia. Mengira Alena sekecil itu.Berdehem pelan, Karan bingung menjelaskannya. "Saat ini Noah menjaganya. Em, Arche, bagaimana kalau kita pulang ke rumah saja. Di apartemen pun sepertinya kurang aman," ujarnya."Mau di rumah juga tidak aman," gumam Arcelia.Karan mendesahkan napas berat, ia bimbang. Mau keluar dari rumah juga berat.---Brak!Pyar!"Mona, kita sedang tidak berada dalam keadaan harta yang yang melimpah ruah untuk kamu merusak hiasan rumah ini dengan harga yang fantastis!"Menoleh pada asal suara, Mona menatap sang suami dengan pandanga
Arcelia memberikan kotak makan miliknya pada kakek. "Aku tidak tahu Kakek akan kemari. Jadi aku masak seadanya dan hanya membawa sedikit. Semoga Kakek suka," katanya khawatir kakek tidak cocok dengan menu yang ia buat.Melihat hanya tersisa satu kotak, kakek kemudian bertanya, "Karan tidak ada waktu untuk makan bersama?"Arcelia mengangguk dengan senyum tipis, meski sebenarnya ada sedikit rasa kecewa. Ia sempat merasa senang saat Karan membalas pesannya yang katanya hendak makan siang dengannya, tetapi tiba-tiba malah membatalkannya."Jadwalnya sedang sangat padat, Kek," ujar Arcelia. Jemarinya membuka box berwarna biru itu yang awalnya untuk Karan, kini ia makan sendiri.Mendengar itu membuat Azka mendekat, remaja itu menyerobot satu suap sendok yang tadinya hendak Arcelia makan sendiri."Wah, ini lebih enak," kata anak itu tidak tahu diri."Astaga! Kamu sudah makan satu porsi besar, Azka!" Arcelia segera menjauhkan box makan siang itu dari Azka.Sepasang mata Azka menatap penuh mina