Karan menarik tangan Arcelia agar terus berjalan."Ya. Dan kamu harus berhati-hati dengannya," balas Karan.Arcelia tidak menjawab, di dalam benaknya semakin banyak pertanyaan yang haus akan jawaban."Lalu di mana ibu mertuaku?" tanya Arcelia hati-hati."Ada di surga." Suara Karan tetap terdengar datar meski kata yang baru saja laki-laki itu ucapkan cukup mencubit hatinya."Maaf," lirih Arcelia."Untuk apa? Memang sudah seharusnya kamu tau hal itu."Karan membuka pintu ruang kerja. Dengan satu tangan yang masih memegang pergelangan tangan Arcelia."Karan. Untuk apa aku di sini?" Arcelia tidak ingin hal berbahaya seperti tadi terulang lagi.Ibu jari Karan mengusap lembut punggung tangan Arcelia. Sepasang mata minimalis laki-laki itu menatap intens pada wajah cantik Arcelia."Bagaimana jika melanjutkan kegiatan yang tadi gagal?" Karan membawa telapak tangan Arcelia mendekat pada b*b*rnya. Kemudian mengecup punggung tangan gadis itu cukup lama.Arcelia segera menarik tangannya. Apa yang
"Karan, berhenti atau aku injak kakimu yang terluka!" Pekik Arcelia."Aku bahkan rela dibuat pingsan. Hanya diinjak lagi itu bukan masalah," balas Karan dengan santainya. Laki-laki itu tetap menarik Arcelia."Aku tidak main-main, Karan!" Bukan takut untuk menginjak langsung. Arcelia sendang mempertimbangkan kerugian apa yang akan ia terima jika membuat Karan terluka.Sebab yang sudah-sudah maka akan berakhir dirinya yang dibuat repot."Aku juga tidak main-main. Ayo bersenang-senang. Kita sangat berjodoh, kan? Sama-sama terluka," kekeh Karan."Aku tidak mau bersenang-senang seperti yang kamu pikirkan!""Memang menurutmu bersenang-senang seperti apa yang akan aku lakukan?" tanya Karan menghentikan langkah."Kamu pasti ingin main basah-basahan bersama lalu mengambil keuntungan dalam kesempitan. Aku tahu jalan otakmu, Karan," sinis Arcelia.Karan tertawa. Ia hendak mendekap Arcelia karena gemas, namun Arcelia lebih dulu menghindar. Melihat perut kotak-kotak Karan saja sudah cukup menggoda
"Apa hidup bersamaku sangat tidak bahagia untummu?" tanya Karan. Laki-laki itu bisa melihat kesedihan pada kedua mata Arcelia. Gadis yang selalu melawannya dengan begitu berani kali ini memperlihatkan sisi lain dalam dirinya."Aku lelah, Karan. Hidupku tidak untuk kamu permainkan. Aku juga memiliki impian, harusnya kamu paham tentang itu.""Aku akan mewujudkan impianmu," balas Karan tanpa ragu.Mendengus pelan, Arcelia sama sekali tidak percaya dengan ucapan Karan. "Tidak bisakah kamu berhenti berucap omong kosong?""Katakan saja apa yang kamu inginkan kecuali cerai. Maka aku akan mengabulkannya."Arcelia menggeleng. Jika terus bersama dalam waktu yang lama, gadis itu takut, takut jatuh kembali dalam pesona Karan. Sementara Karan menikahinya untuk tujuan yang Arcelia tidak ketahui. Kehidupan Karan begitu rumit bagi Arcelia."Jika kamu memang menginginkan tubuhku. Aku akan memberikannya. Asal setelah itu lepaskan aku." Arcelia membuat kesepakatan yang sangat berresiko untuk dirinya se
Karan tertawa pelan meski lehernya tercekik, ekspresi Arche yang marah malah terlihat lucu baginya, posisi yang seperti ini juga membuat otak Karan membayangkan hal yang berbau dewasa. "Kamu memang pandai," puji Karan. Keduanya mengabaikan sekertaris Karan yang tadi nyaris saja masuk ke dalam."Musnah saja kamu, Karan! Ucapanmu memang benar-benar berbahaya dan tidak patut dipercaya!" Sewot Arcelia sembari menekan leher Karan karena lagi-lagi gadis itu merasa ditipu.Karan pun terbatuk-batuk akibat leher yang ditekan oleh Arcelia. "Berhenti, Arche. Kamu bisa jadi janda jika membunuhku.""Masa bo*d*h! Aku sudah kehilangan kesabaran mengahadapimu!"Sementara di luar, Bunga yang merupakan sekertaris Karan tengah mencoba mencegah seseorang yang hendak bertamu. "Maaf, Pak. Mungkin siang nanti baru bisa menemui pak Karan. Untuk saat ini, beliau sedang tidak bisa diganggu."Abbas, laki-laki paruh baya itu menggeleng, sebab tadi beliau sempat mendengar perdebatan mereka. "Tapi ini hal yang me
"Minumlah." Arcelia meletakkan satu cup kopi yang ia beli di atas meja kerja Karan.Bukannya mengambil kopi, telapak tangan Karan malah mengambil tangan Arcelia. "Apa setelah tidak berhasil mencekik aku. Kamu menaburkan sesuatu ke dalam kopi itu?" tanya Karan penuh selidik."Aku tidak sepicik itu. Kalau takut tidak usah diminum," sewot Arcelia. Gadis itu mencoba melepaskan tangannya."Bagaimana kalau kamu minum lebih dulu?" "Lepaskan tanganku dulu," pinta Arcelia. Gadis itu tidak mau jatuh pada jebakkan Karan lagi."Apa memegang tangan juga tidak boleh? Aku tidak mau melepaskannya." Karan lantas berdiri, satu tangannya menyuapi Arcelia supaya meminum kopi itu.Arcelia yang lelah berdebat menurut saja. Namun belum sempat gadis itu menelannya, Karan lebih dulu menempelkan b*b*rnya pada b*b*r Arcelia.Kedua mata Arcelia melotot karena terkejut, gadis itu mencoba mendorong d*d* karan. Akan tetapi percuma, Karan dengan tekadnya yang menguasai Arcelia saat ini.Seperti tidak ada puasanya,
"Jika ingin tahu, lakukan hal yang seperti tadi," balas Karan tanpa menoleh."Kamu menantangku?""Iya. Lakukan, goda aku melebihi yang tadi. Dan aku tidak akan berhenti meski kamu memohon," Karan memberi tahu.Arcelia tertawa, ia tidak mungkin mengulang kembali hal berbahaya itu. "Apa ayah meminta agar kamu menceraikan aku?""Tidak."Arcelia pun mengangguk percaya. "Memang tidak mungkin. Dia sangat menyukaimu yang rajin kerja dan memiliki segalanya," ujar Arcelia."Tidak seperti itu juga," timpal Karan."Terserah, aku tau kamu sedang memancing aku agar semakin penasaran lalu melakukan hal seperti tadi."Keduanya kembali diam. Arcelia yang sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Karan tenggelam dalam pekerjaannya. Hingga menjelang waktu makan siang, Bunga masuk untuk memberi tahu jadwal Karan.Usai Bunga keluar, Karan menarik tangan Arcelia yang tengah rebahan. "Bisakah gunakan mulutmu, Karan? Jangan asal menarik orang!" Sewot Arcelia.Karan mendekatkan wajahnya, namun Arcelia sege
"Dia seseorang yang aku anggap kakak. Hanya itu hubungan kami, kakak dan adik," jelas Arcelia.Karan tidak puas dengan jawaban Arcelia. Beberapa detik Karan terdiam mencoba berpikir positif namum tidak bisa, itu tidak masuk akal, Karan tidak bisa mempercayai itu."Karan, obati dulu lukamu," lanjut Arcelia.Karan menggeleng. "Bagaimana bisa kamu mengenal dia?""Iya kenal saja, aku dan kak Ethan teman, emm, bukan aku dianggap adik, makanya dia marah melihat itu. Dia-" Arcelia menghentikan ucapannya."Dia apa, Arche?" Karan menatap Arcelia dengan tatapan menuntut."Apa ini sangat penting bagimu?" tanya Arcelia.Karan pun mengangguk. "Bagaimana bisa seorang suami di hajar laki-laki lain, karena menyentuh istrinya sendiri. Ini tidak masuk akal, bagaimana bisa kamu mengenal orang seperti dia?"Arcelia tersenyum lebar. "Akhirnya kamu merasakan apa yang aku rasakan, Karan.""Apa maksudmu?" tanya Karan bingung."Aku dikejutkan oleh banyaknya kepribadianmu. Kita sama-sama tidak masuk akal bukan
Hari ini pun, Karan tetap membawa Arcelia ke kantor. Meski beresiko, Karan tidak bisa menahan rasa penasarannya tentang siapa Arcelia sebenarnya. Karan, berharap cara ini akan mengungkap siapa Arcelia."Arche, aku ingin makan," pinta Karan."Kamu baru saja sarapan, tidak usah membuatku sibuk dengan cara yang tidak penting, Karan," sinis Arcelia."Aku ingin memakanmu," kekeh Karan."Makan saja itu laptopmu!""Aku sungguh ingin makan, Arche. Bawakan aku cemilan," pintanya memaksa.Arcelia menghela napas berat, inilah pekerjaan yang Karan berikan. Mengurus laki-laki itu seperti mengurus balita. Namun, Karan memberikan bayaran yang sangat besar untuk Arcelia. Yang mana membuat gadis itu seperti merasa bekerja sungguhan."Apa yang mau dimakan?" tanya Arcelia sembari menatap banyaknya cemilan yang tersedia."Apa saja, yang penting enak."Arcelia membawa beberapa bungkus cemilan, kemudian meletakkan di atas meja kerja Karan."Jangan pergi dulu. Aku tidak mungkin bisa makan sendiri, lihat jar