Saat sedang menata rambut serapi mungkin, Mbak Utami tiba-tiba datang. Dia berdiri di belakangku tanpa seulas senyum. Lantas aku mengangkat kedua alis sebagai isyarat sedang bertanya. Seangkuh ini diriku sekarang karena sedang berusaha membalaskan dendam pada mereka yang dulunya tidak punya belas kasihan. Harga diri diinjak-injak sesuka hati sampai aku terjebak dalam hubungan terlarang. "Ada yang harus kita sepakati, Tyas," kata Mbak Utami. Sekilas aku mengangkat tangan. "Bicara yang formal karena sedang bekerja. Apa yang harus kita sepakati?" Aku memutar kursi menghadapnya. Mbak Utami menghela napas berat, kemudian memaksakan senyum. "Baik, Nona. Jadi Nyonya Aluma mengutus aku ke sini agar Anda bisa menemuinya. Harus ke sana sekarang, dan apakah Anda tahu alasan sebenarnya?" "Apa?" "Nyonya Aluma ingin menyiram wajah Anda dengan air keras." Mbak Utami sekarang tersenyum miring. "Karena aku sudah berbaik hati memberitahu rencana itu, maka Anda harus memberi imbalan!" Aku memutar
"Hotel Melati?" Mbak Utami bertanya pelan.Mas Bayu mengangguk samar, dia semakin menundukkan kepala sementara aku tidak sabar menunggu kalimat selanjutnya. Kalau memang benar itu terjadi, sama saja mereka mendapat karma. Bedanya, Mas Bayu yang mendua."Waktu itu aku dalam keadaan setengah sadar karena ketahuan sudah mengambil uang Zaki, jadi ke bar minum-minum berharap masalah bisa dilupakan. Namun, aku melihat Sarah di jalan tengah menunggu taksi.""Kamu langsung memperkosanya?" potong Mbak Utami."Sabarlah atau aku tidak akan menjelaskan!" balas Mas Bayu. Aku meminta mereka diam, kemudian lelaki itu langsung melanjutkan kalimatnya tadi."Aku ingat kalau dia teman Utami, makanya aku menawarkan pulang bersama. Tiba-tiba hujan deras hingga kami harus berhenti dan hanya ada hotel sebagai tempat berteduh. Karena tidak punya uang, kami memesan satu kamar," jelas Mas Bayu.Dia terlihat menarik napas panjang. Aku tahu lelaki itu tengah menyimpan banyak beban. Sudah dihukum di sini, malah k
POV Author Bayu tidak melanjutkan pekerjaannya, dia malah langsung masuk kamar dan menutup pintu rapat. Lelaki itu merenung menatap langit-langit kamar di tempat tidurnya. Teringat kisah beberapa malam lalu ketika dia berhasil mereguk manisnya madu pada Sarah. Malam yang menurut Bayu sangat indah dan sulit dilupakan Ya, malam itu dia menelepon Sarah untuk bertemu di depan hotel Melati dengan alasan ingin memberi sebuah kejutan padahal hasratnya sedang membuncah sementara Utami sedang masa libur. "Kenapa cuma satu kamar, Mas?" tanya Sarah masih bingung ketika tahu Bayu hanya pesan satu kamar. "Karena hanya sebentar. Kejutan itu ada di sana!" jawab Bayu seraya mengedipkan sebelah matanya. Sarah yang belum mencium gelagat aneh hanya mengangguk. Dia dirangkul Bayu menuju kamar 206. Sesampainya di sana, pintu dikunci dari dalam tanpa sepengetahuan Sarah karena perempuan itu sedang membelakang. Bayu yang sudah tidak sabar ingin menjamah tubuh perempuan itu lantas mendekat, lalu mengun
Pov Tyas AryaniSesampainya di rumah ibu, aku terkejut bukan main karena rumah hangus terbakar tidak menyisakan apa pun. Aku yakin ini pasti kejadian yang sangat disengaja, entah siapa pelakunya.Ibu berdiri di antara tetangga yang menatap nanar rumah itu, sementara sebagian lainnya malah sibuk berbisik seraya menatap sinis. Aku yakin mereka membicarakan kami karena penampilanku yang sangat terkesan mewah bak sultan.Mbak Utami menangis di pelukan Mas Bayu, padahal tadi mereka sempat cekcok sampai main tangan. Bagaimana tidak, ijazah dan surat penting mereka ada di dalam kamar yang kini tinggal kenangan.Aku juga sedih karena kenangan bersama Mas Zaki semua ada di sana sejak awal pernikahan kami. Apalagi Lia yang masih proses pencarian oleh orang suruhan Tuan Edbert."Cantik banget, Tyas. Kok penampilannya sama Utami kayak majikan sama pelayan?" Maya dan tiga orang lainnya menghampiri kami.Bisa-bisanya dia menanyakan masalah penampilan saat kami dalam keadaan berduka. Aku tidak niat
"Hei, apa maksud Anda, Nona?""Tidak usah mengelak, Sarah. Aku tahu kamu yang menculik Lia karena Bayu menghamili kamu, kan? Katakan di mana dia?!" teriakku sangat marah."Aku tidak menculik Lia."Baru saja aku ingin mengancam lagi, tiba-tiba mata menangkap sosok bertubuh mungil dalam gendongan Tuan Edbert. Dia Lia anak yang aku cari-cari."Sarah, aku tutup teleponnya!" kataku tanpa menunggu jawaban.Tuan Edbert membuka pintu mobil, aku lekas ke luar dan merentangkan tangan penuh haru. Lia berlari kecil menyambutku, kami saling memeluk erat.Syukurlah tidak ada lecet ditubuhnya ketika aku cek. Bahkan Lia tidak menangis atau mengadu karena dibentak. Penculik ini sepertinya punya tujuan lain.Setelah Lia masuk mobil dijaga oleh salah satu pelayan yang memang ikut dengan orang suruhan Tuan Edbert, aku melebarkan langkah menuju bangunan itu."Lepaskan aku!""Aluma?""Ya, itu aku. Kenapa?" Walau tangan dalam keadaan diikat di belakang, tetap saja Nyonya Aluma mampu menatap tajam padaku.Ka
"Pesan aja makanannya, nanti kita belanja besok!" perintah ibu mertua.Dia melangkah mendekat seraya merebut Lia dariku. Gadis kecil itu dibaringkan di pahanya, lalu memanggilku untuk mendekat tepat di karpet merah marun."Bagaimana perasaanmu, Tyas? Ibu rasa kamu memendam sesuatu."Aku menunduk berusaha menahan tetes air mata sekalipun pipi berubah hangat. Luka dalam hati kembali menganga hingga bibir tak lagi mampu mengeluarkan sepatah kata pun.Terlalu berat masalah rumah tangga yang menimpa hingga melibatkan perkara haram dalam agama. Aku duduk di sini, berselimut dosa mengharap ampunan dari Tuhan."Katakan saja, Tyas. Itu jika kamu masih menganggap ibu sebagai mertua setelah semua kejahatan yang ibu lakukan. Kamu juga sudah tahu kalau ibu ini bukan ibu kandung Zaki," lanjut ibu berhasil mengiris hati yang memang sudah berdarah-darah."Justru karena ibu, aku memberi maaf padamu. Ibu memang memaksaku bekerja sebagai istri simpanan dulu, tetapi bisikan hati memintaku memberi maaf ka
Satu tahun sudah aku terkurung di rumah Tuan Edbert dengan banyaknya rintangan karena Nyonya Aluma sering berkunjung ke sini. Sudah berpuluh kali pula aku hampir meregang nyawa oleh beberapa pelayan yang merupakan suruhan iblis itu.Lia sudah punya adik, dia laki-laki dan sangat mirip Tuan Edbert. Umurnya sudah empat bulan. Entah kenapa aku enggan menganggapnya anak, tetapi masih menyusui laiknya seorang ibu."Dia tidak salah, anakmu harus mendapat haknya!" imbuh ibu mertua dulu ketika aku terus menolak melihatnya.Abel Addison nama anak itu. Rambutnya kecokelatan dengan kulit putih kemerah-merahan. Sekalipun tampan seperti diciptakan sesuai keinginannya, tetap saja aku lebih menyayangi Lia.Saat kelahiran Abel, Tuan Edbert langsung menghadiahiku mobil pajero. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya, juga tidak mau menerima dan menganggap itu hadiah untuk anak sendiri.Besok Mas Zaki sudah tiba di bandara, aku harus segera pergi dari sini. Masalah Abel biar saja diurus sama baby sit
"Tyas, kamu tidak membawa Abel? Dia butuh ASI kamu!" Tuan Edbert mencekal lenganku ketika sibuk mengemas pakaian. "Tidak!" Aku menarik tangan kasar. "Abel biar diurus sama baby sitter, aku sudah memintanya datang ke sini jika Mas Zaki sudah pulang. Ingat, anak itu tidak boleh muncul di hadapan suamiku, Ed." "Bagaimana jika aku melarangmu?" "Tidak ada yang bisa melarangku!" pungkasku kembali melanjutkan aktivitas. Ponsel berdering, aku langsung mengangkat telepon itu. Rupanya Zara. Dia sudah izin pada orangtuanya dan segera menuju ke sini untuk mengurus Abel. Sekilas aku melihat pada bayi mungil yang sedang terlelap itu. Entah kenapa jiwa keibuanku bangkit, segera aku mendekat. Akan tetapi, bisikan lain memintaku menjauh atau rumah tanggaku akan hancur. Jika Abel Addison aku bawa ke rumah, maka amarah Mas Zaki bisa bangkit lagi karena bulan kemarin saat kami teleponan, aku mengaku selama ini ada di rumah bersama Lia dan juga ibu. "Utami, Pak Damar sudah siap?" tanyaku begitu sele
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku
PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.