"Pesan aja makanannya, nanti kita belanja besok!" perintah ibu mertua.Dia melangkah mendekat seraya merebut Lia dariku. Gadis kecil itu dibaringkan di pahanya, lalu memanggilku untuk mendekat tepat di karpet merah marun."Bagaimana perasaanmu, Tyas? Ibu rasa kamu memendam sesuatu."Aku menunduk berusaha menahan tetes air mata sekalipun pipi berubah hangat. Luka dalam hati kembali menganga hingga bibir tak lagi mampu mengeluarkan sepatah kata pun.Terlalu berat masalah rumah tangga yang menimpa hingga melibatkan perkara haram dalam agama. Aku duduk di sini, berselimut dosa mengharap ampunan dari Tuhan."Katakan saja, Tyas. Itu jika kamu masih menganggap ibu sebagai mertua setelah semua kejahatan yang ibu lakukan. Kamu juga sudah tahu kalau ibu ini bukan ibu kandung Zaki," lanjut ibu berhasil mengiris hati yang memang sudah berdarah-darah."Justru karena ibu, aku memberi maaf padamu. Ibu memang memaksaku bekerja sebagai istri simpanan dulu, tetapi bisikan hati memintaku memberi maaf ka
Satu tahun sudah aku terkurung di rumah Tuan Edbert dengan banyaknya rintangan karena Nyonya Aluma sering berkunjung ke sini. Sudah berpuluh kali pula aku hampir meregang nyawa oleh beberapa pelayan yang merupakan suruhan iblis itu.Lia sudah punya adik, dia laki-laki dan sangat mirip Tuan Edbert. Umurnya sudah empat bulan. Entah kenapa aku enggan menganggapnya anak, tetapi masih menyusui laiknya seorang ibu."Dia tidak salah, anakmu harus mendapat haknya!" imbuh ibu mertua dulu ketika aku terus menolak melihatnya.Abel Addison nama anak itu. Rambutnya kecokelatan dengan kulit putih kemerah-merahan. Sekalipun tampan seperti diciptakan sesuai keinginannya, tetap saja aku lebih menyayangi Lia.Saat kelahiran Abel, Tuan Edbert langsung menghadiahiku mobil pajero. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya, juga tidak mau menerima dan menganggap itu hadiah untuk anak sendiri.Besok Mas Zaki sudah tiba di bandara, aku harus segera pergi dari sini. Masalah Abel biar saja diurus sama baby sit
"Tyas, kamu tidak membawa Abel? Dia butuh ASI kamu!" Tuan Edbert mencekal lenganku ketika sibuk mengemas pakaian. "Tidak!" Aku menarik tangan kasar. "Abel biar diurus sama baby sitter, aku sudah memintanya datang ke sini jika Mas Zaki sudah pulang. Ingat, anak itu tidak boleh muncul di hadapan suamiku, Ed." "Bagaimana jika aku melarangmu?" "Tidak ada yang bisa melarangku!" pungkasku kembali melanjutkan aktivitas. Ponsel berdering, aku langsung mengangkat telepon itu. Rupanya Zara. Dia sudah izin pada orangtuanya dan segera menuju ke sini untuk mengurus Abel. Sekilas aku melihat pada bayi mungil yang sedang terlelap itu. Entah kenapa jiwa keibuanku bangkit, segera aku mendekat. Akan tetapi, bisikan lain memintaku menjauh atau rumah tanggaku akan hancur. Jika Abel Addison aku bawa ke rumah, maka amarah Mas Zaki bisa bangkit lagi karena bulan kemarin saat kami teleponan, aku mengaku selama ini ada di rumah bersama Lia dan juga ibu. "Utami, Pak Damar sudah siap?" tanyaku begitu sele
Ponsel sejak kemarin ini tidak aku aktifkan karena sibuk mengobati rindu, sekarang pun berkutat di dapur memasak makanan kesukaan Mas Zaki. Katanya dia sudah sangat rindu dengan masakan istri tercinta. Sayur asem memang menjadi kesukaan suamiku sejak dulu, tetapi kali ini aku memasak opor ayam. Makanan yang tidak ada duanya bagi Mas Zaki. Setelah selesai, aku duduk di samping kirinya dan menempatkan nasi di piring serta mendekatkan semangkuk besar opor itu biar dia sendiri yang menakar sesuai keinginannya. "Makan yang banyak biar kuat nanti malem!" bisikku membuat Mas Zaki mengacungkan jempol. Dia pun makan dengan sangat lahap seperti orang lapar selama sebulan. Sementara ibu dan Lia sibuk dengan dunianya sendiri. Hanya butuh waktu lima menit, Mas Zaki sudah kembali menyodorkan piring minta nambah nasi. Aku hanya geleng-geleng kepala lantas meletakkan nasi yang mengepul itu. "Lia Sayang, makan yang banyak juga ya biar cepet besar. Nanti kita ke mall beli boneka besar sama baju ba
"Kapan kamu daftar kerja, Mas?" tanyaku basa-basi begitu melihat Mas Zaki keluar dari kamar mandi.Aroma sabun menguar dalam rongga hidung. Aku sampai tergoda, tetapi berusaha menahan. Apalagi baru selesai melahirkan empat bulan kemarin.Untung saja Mas Zaki bukan tipe laki-laki yang tahan sampai dua jam, jadi aku tidak terlalu mengeluh dibuatnya. Lagian dia juga pengertian dan tidak pernah memaksa."Bulan depan saja. Mas mau istirahat dulu bareng kamu yang penting kan ada makan. Nanti mas ngasih modal juga. Intinya kita mulai kerja bulan depan karena harus mesra-mesraan dulu setelah lama LDR," jawab Mas Zaki menaik-turunkan alisnya.Aku hanya senyum-senyum masam melihat tingkahnya yang seperti pengantin baru saja. Mas Zaki sudah selesai mengenakan kaos dan celana bahan, kemudian duduk di dekatku. Kebiasaan kami selama ini adalah saling membantu. Jadi, kalau Mas Zaki selesai keramas, maka aku akan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Sayang sekali alat itu belum ada di sini, jad
Hari beranjak siang, kami sudah duduk di cafe dekat rumah. Konon tempat ini adalah milik teman Mas Zaki, tetapi karena bangkrut akhirnya dipindah tangan kepada orang lain.Tak kusangka cafe yang pernah bangkrut kini kembali berdiri dengan tampilan mewah dan pelayanan yang super sempurna. Tersedia pula makanan china di sini, salah satunya fuyunghai."Dia akan datang?""Iya, Mas. Mungkin sebentar lagi sampai." Aku mengulum senyum, kemudian melirik ke pintu. "Nah, itu Bu Yola," lanjutku seraya mengangkat tangan.Bu Yola melangkah santai mendekati kami, penampilannya kini jauh lebih berwibawa. Walau sudah setengah abad, dia tetap saja terlihat muda sepuluh tahun dari usia aslinya.Saat sudah tiba, dia langsung menatap sendu pada Mas Zaki. Di matanya terpancar binar kerinduan hingga kelopak indah itu berkedip beberapa kali."Bu Yola, ini Mas Zaki.""Benar kamu ini Zaki?""Iya, aku Muhammad Zaki Abdullah," jawab Zaki sekenanya.Aku merasa suamiku itu masih belum terlalu menerima kehadiran B
Sore hari kami baru tiba di rumah, tetapi aku sedikit terkejut melihat sandal perempuan di teras depan. Jika diperhatikan, sandal itu sangat tidak asing.Mas Zaki memicingkan mata, ternyata bukan aku hanya fokus pada sandal tsrsebut. Genggaman tangannya terlepas, kemudian mendekat ke pintu."Hallo, Zaki!"Tiba-tiba Nyonya Aluma muncul dari dalam rumah dengan senyum merekah sempurna. Bibirnya merah semerah delima itu bergerak perlahan tanpa suara, matanya menatap remeh penuh arti.Perempuan itu mengikis jarak masih dengan senyum merekahnya. Tidak dapat disangkal, jantung bertalu cepat karena khawatir rahasia dikuak saat ini juga padahal malam nanti kami harus dinas."Zaki, rupanya kamu sudah bisa berdiri tanpa bantuan tongkat. Aku ucapkan selamat!" Nyonya Aluma mengulurkan tangan kanannya yang seputih pualam.Bukannya menerima uluran tangan itu, Mas Zaki malah menepisnya kasar, lalu tersenyum sinis. "Tentu saja.""Bagaimana kalau kita mengobrol di dalam? Tidak enak dilihat tetangga kal
POV Bayu Pukul satu dini hari aku masih belum terlelap juga apalagi tenggelam dalam dunia mimpi. Pikiran yang menerawang jauh menyebabkan aku sulit memejamkan mata. Sejak bekerja di sini, ada banyak yang membuatku tidak betah. Selain pisah kamar dengan Utami juga harus melakukan banyak pekerjaan. Termasuk pekerjaan paling berat dan enggan aku tekuni adalah menjadi suruhan Nyonya Aluma. Ya, dia selalu mengajakku kerja sama selama satu tahun ini. Berulang kali aku harus melakukan percobaan pembunuhan. "Bayu, kamu mau membantu aku, kan?" tanya Nyonya Aluma saat itu ketika aku baru selesai memangkas tanaman menggantikan tugas Ramli karena dia tengah sakit. "Membantu apa, Nyonya?" "Mencelakai Tyas. Nanti aku membayarmu seribu USD untuk satu tugas. Bagaimana?" Aku berpikir keras karena sedang butuh uang banyak. Satu tugas sama dengan 14,938,000 IDR, maka berarti aku bisa menabung dan bebas dari sini dalam waktu singkat. Tuan Edbert butuh ganti rugi, jadi jika sudah memiliki tabungan