Hari beranjak siang, kami sudah duduk di cafe dekat rumah. Konon tempat ini adalah milik teman Mas Zaki, tetapi karena bangkrut akhirnya dipindah tangan kepada orang lain.Tak kusangka cafe yang pernah bangkrut kini kembali berdiri dengan tampilan mewah dan pelayanan yang super sempurna. Tersedia pula makanan china di sini, salah satunya fuyunghai."Dia akan datang?""Iya, Mas. Mungkin sebentar lagi sampai." Aku mengulum senyum, kemudian melirik ke pintu. "Nah, itu Bu Yola," lanjutku seraya mengangkat tangan.Bu Yola melangkah santai mendekati kami, penampilannya kini jauh lebih berwibawa. Walau sudah setengah abad, dia tetap saja terlihat muda sepuluh tahun dari usia aslinya.Saat sudah tiba, dia langsung menatap sendu pada Mas Zaki. Di matanya terpancar binar kerinduan hingga kelopak indah itu berkedip beberapa kali."Bu Yola, ini Mas Zaki.""Benar kamu ini Zaki?""Iya, aku Muhammad Zaki Abdullah," jawab Zaki sekenanya.Aku merasa suamiku itu masih belum terlalu menerima kehadiran B
Sore hari kami baru tiba di rumah, tetapi aku sedikit terkejut melihat sandal perempuan di teras depan. Jika diperhatikan, sandal itu sangat tidak asing.Mas Zaki memicingkan mata, ternyata bukan aku hanya fokus pada sandal tsrsebut. Genggaman tangannya terlepas, kemudian mendekat ke pintu."Hallo, Zaki!"Tiba-tiba Nyonya Aluma muncul dari dalam rumah dengan senyum merekah sempurna. Bibirnya merah semerah delima itu bergerak perlahan tanpa suara, matanya menatap remeh penuh arti.Perempuan itu mengikis jarak masih dengan senyum merekahnya. Tidak dapat disangkal, jantung bertalu cepat karena khawatir rahasia dikuak saat ini juga padahal malam nanti kami harus dinas."Zaki, rupanya kamu sudah bisa berdiri tanpa bantuan tongkat. Aku ucapkan selamat!" Nyonya Aluma mengulurkan tangan kanannya yang seputih pualam.Bukannya menerima uluran tangan itu, Mas Zaki malah menepisnya kasar, lalu tersenyum sinis. "Tentu saja.""Bagaimana kalau kita mengobrol di dalam? Tidak enak dilihat tetangga kal
POV Bayu Pukul satu dini hari aku masih belum terlelap juga apalagi tenggelam dalam dunia mimpi. Pikiran yang menerawang jauh menyebabkan aku sulit memejamkan mata. Sejak bekerja di sini, ada banyak yang membuatku tidak betah. Selain pisah kamar dengan Utami juga harus melakukan banyak pekerjaan. Termasuk pekerjaan paling berat dan enggan aku tekuni adalah menjadi suruhan Nyonya Aluma. Ya, dia selalu mengajakku kerja sama selama satu tahun ini. Berulang kali aku harus melakukan percobaan pembunuhan. "Bayu, kamu mau membantu aku, kan?" tanya Nyonya Aluma saat itu ketika aku baru selesai memangkas tanaman menggantikan tugas Ramli karena dia tengah sakit. "Membantu apa, Nyonya?" "Mencelakai Tyas. Nanti aku membayarmu seribu USD untuk satu tugas. Bagaimana?" Aku berpikir keras karena sedang butuh uang banyak. Satu tugas sama dengan 14,938,000 IDR, maka berarti aku bisa menabung dan bebas dari sini dalam waktu singkat. Tuan Edbert butuh ganti rugi, jadi jika sudah memiliki tabungan
"Bu, apa benar Tyas bermalam di rumah Tuan Edbert selama aku di Jerman? Jika ya, apa alasannya, Bu?" cecar Mas Zaki.Aku yang sedang menemani Lia bermain boneka memasang telinga baik-baik agar bisa mendengar pembicaraan mereka. Jarak kami juga lumayan, sekitar dua meteran."E ... itu ...." Ibu mertua menatap padaku seolah meminta jawaban. Akan tetapi, aku hanya diam takut Mas Zaki mendapati kami dan semakin mengurangi kepercayaannya. "Benar.""Alasannya?""Tuan Edbert selalu datang ke sini, dia mengancam akan memisahkan Tyas dari Lia kalau tidak menuruti perintahnya," jawab ibu terdengar ragu.Aku mengembus napas lega begitu mendengar jawaban ibu karena tidak berbanding jauh dengan alasan yang aku beri. Mas Zaki mengangguk berharap benar-benar percaya."Jika sudah ibu yang bilang, maka aku percaya," tukas Mas Zaki."Benarkah, Mas? Jadi selama ini kamu gak percaya sama aku saka sekali? Apa lupa kalau ibu pernah bohongin kamu demi maksa aku kerja di rumah Tuan Edbert? Bukan aku berusaha
Bu Yola pergi setelah puas bermain dengan Lia. Dia terus mengatakan bahwa hanya dia lah cucu satu-satunya. Namun, kalimat itu mengingatkanku pada Abel.Tadi malam saja aku bermimpi sedang menyusui dan menimangnya penuh cinta. Anak itu menangis dalam dekapanku, tetapi tidak lama kemudian kami berpisah."Dek, malam tadi kamu meneriakkan nama Abel lagi saat tidur. Siapa dia?" tanya Mas Zaki seolah tahu apa yang sedang mengusik pikiran."Entahlah, Mas. Aku juga bingung siapa Abel itu," bohongku."Memangnya seperti apa mimpimu?""Tidak jelas, Mas. Aku gak bisa menceritakannya karena hanya berupa bayangan." Lagi dan lagi aku berbohong.Mas Zaki mengangguk, lalu izin duduk di depan rumah karena katanya bosan dalam kamar terus. Tentu saja aku setuju karena membenarkan kalimatnya.Siapa pun akan bosan jika hanya duduk dalam rumah. Tidak ada suasana baru atau burung berkicauan. Bagai dipenjara padahal bisa ke mana saja.Ponsel Mas Zaki yang tergeletak di tempat tidur mengusik perhatian. Aku lan
POV AUTHORSatu purnama telah Zaki lalui, dia berencana untuk mendaftar kembali di perusahaaan tempatnya bekerja minggu depan. Ketika dia duduk di depan rumah karena lelah mengurus usaha yang akan dirintis istrinya, tiba-tiba Nyonya Aluma datang."Zaki, kamu harus ikut aku!" tegasnya."Kenapa aku harus ikut kamu?""Bawa dia!" perintah Nyonya membuat Zaki celingak-celinguk.Tanpa dia duga, dua laki-laki bertubuh kekar ke luar dari tempat persembunyian tepat di belakang mobil Zaki yang diparkir sepuluh menit lalu. Dia dicekal, lalu diseret ke mobil.Lelaki malang itu sudah berteriak meminta tolong, tetapi takdir berkata lain. Di belakang pintu rumah memang ada Tyas, posisinya sedang menggendong Lia. Jadi, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa."Ke mana? Kamu mau membawaku ke mana?!" Zaki geram, apalagi sekarang hanya berdua dengan perempuan licik itu."Ke tempat yang seharusnya!" jawab Nyonya Aluma terkikik geli. Dia menambah kecepatan ketika memasuki tol.Zaki pusing ketika mobi
POV TYASTerlampau macet, akhirnya aku turun di jalan karena jarak rumah sakit sudah sangat dekat, tinggal beberapa meter saja. Kendaraan semua aku terobos apalagi kalau hanya ribuan manusia yang berdiri di tepi jalan.Aku tidak peduli makian dan sumpah serapah mereka karena tujuan utama kali ini adalah bertemu Mas Zaki. Di pikiranku hanya diselimuti rasa khawatir dan cara cepat untuk sampai.Gedung bertingkat tiga sudah ada di depan mata. Aku memindai sekitar berusaha menemukan petunjuk apalagi baru kali ini ke rumah sakit. Aku paling anti dengan gedung ini sejak dulu karena suka teringat pada sosok perempuan paruh baya yang menganggapku anak.Dia hidup mewah tanpa keturunan, saat itu dia yang kecopetan berteriak meminta tolong. Aku membantunya dengan melempar high heels ke kepala pencuri tersebut. Sejak saat itulah kami dekat hingga dia meregang nyawa di ruang ICU."Sus, ada pasien atas nama Muhammad Zaki Abdullah? Dia korban kecelakaan." Aku bertanya pada perempuan yang memakai pak
"Sepertinya kamu begitu terkejut, Tyas!" Meyra tiba-tiba berdiri di sisi kananku. Mata itu menyalak tajam sekalipun dalam pantulan cermin."Terkejut? Tidak, kamu salah." Aku menjawab setelah mengumpulkan kekuatan. Mendung di wajah harus bisa diusir atau akan dianggap kalah dan cemburu."Suami kita sepertinya perlu dimanja. Andai saja tahu kalau dia sakit begitu, Fatah akan aku bawa tadi. Anakku itu sangat mirip ayahnya.""Suami kita?" Aku membeo ucapan Meyra.Hati terus berbisik untuk melawan karena masalah fisik, sepertinya aku lebih menang. Begitu kaki berusaha mengikis jarak, Meyra mundur dua langkah. Aku senang melihat orang ketakutan seperti itu."Benar, Mas Zaki perlu dimanja. Hanya saja setelah kamu meregang nyawa." Aku melirik apda high hels yang dikenakan, kemudian menatap penuh kebencian padanya."Suami kita." Aku tersenyum miring, tangan kananku mencengkram kera bajunya. "Sekali lagi kamu mengulang kalimat itu, maka enyahlah dari dunia ini.""Wow! Kelihatannya kamu semakin