"Sepertinya kamu begitu terkejut, Tyas!" Meyra tiba-tiba berdiri di sisi kananku. Mata itu menyalak tajam sekalipun dalam pantulan cermin."Terkejut? Tidak, kamu salah." Aku menjawab setelah mengumpulkan kekuatan. Mendung di wajah harus bisa diusir atau akan dianggap kalah dan cemburu."Suami kita sepertinya perlu dimanja. Andai saja tahu kalau dia sakit begitu, Fatah akan aku bawa tadi. Anakku itu sangat mirip ayahnya.""Suami kita?" Aku membeo ucapan Meyra.Hati terus berbisik untuk melawan karena masalah fisik, sepertinya aku lebih menang. Begitu kaki berusaha mengikis jarak, Meyra mundur dua langkah. Aku senang melihat orang ketakutan seperti itu."Benar, Mas Zaki perlu dimanja. Hanya saja setelah kamu meregang nyawa." Aku melirik apda high hels yang dikenakan, kemudian menatap penuh kebencian padanya."Suami kita." Aku tersenyum miring, tangan kananku mencengkram kera bajunya. "Sekali lagi kamu mengulang kalimat itu, maka enyahlah dari dunia ini.""Wow! Kelihatannya kamu semakin
Sepulang dari rumah sakit, Bu Yola datang menjenguk padahal sudah lima hari berlalu bahkan Mas Zaki semakin membaik dari sebelumnya. Tidak ada alasan khusus yang diutarakan pada kami.Sebenarnya tidak mengapa, hanya saja yang membuatku merasa dongkol itu karena dia membawa Tuan Edbert sekalian. Ingin kuusir mereka karena lelaki dingin itu menggendong Abel putra kami."Silakan masuk!" Aku menyilakan mereka tanpa senyum.Bu Yola yang sejak tadi berwajah ceria berubah murung. Mungkin karena melihat perubahan yang ada di wajahku pula begitu mengetahui dia datang bertiga. Ah, rasa malas sungguh menguasai jiwa."Zaki mana?""Istirahat di kamar, Bu," jawabku sekenanya tanpa mau mencoba memanggil Mas Zaki.Jam sudah menunjuk angkat sebelas siang dan semoga Mas Zaki benar-benar terlelap seperti hari sebelumnya. Aku tidak habis pikir dengan keributan yang akan terjadi jika sampai mengetahui Abel adalah anak yang lahir dari rahimku."Panggil, Tyas. Ada yang ingin aku bicarakan pada Zaki!" perint
"Ada apa denganmu, Sayang? Bukannya tadi malam kamu memaksaku datang untuk jujur pada Zaki?" Tuan Edbert ingin menggigit jari telunjukku kalau saja tidak cepat aku tarik kembali."Kebohongan apa lagi ini?" sindirku sinis.Tuan Edbert malah tertawa keras. Dia menjauh dari kami kemudian duduk di tempat semula."Sehari ketika kamu pergi ke Jerman, Tyas datang ke rumahku. Kami kembali tidur bersama dan melakukan hubungan suami istri. Bagaimana pun juga, setiap orang pasti menginginkan hal itu sementara kamu jauh dari jangkauannya." Tuan Edbert menjeda kalimat sejenak ketika tersenyum manis padaku. Mata nakalnya malah berkedip pelan."Setahun kepergianmu tentu membuat Tyas kesepian, maka aku mencoba untuk menolongnya menuntaskan hasrat. Hari-hari yang dilalui biasanya nampak murung, tetapi setelah bercinta denganku dia kembali ceria. Senyumnya semringah, bahkan setiap hari menyapa ramah para pelayan.""Tyas itu selalu memberi pelayanan terbaik padaku, Zaki. Dia tidak pernah menolak ketika
Tidak usah pura-pura benci padaku di hadapan Zaki, Sayang!" cebik Tuan Edbert, lalu menunjuk Abel. "Lihat buah cinta kita. Bukankah kamu menikmati malam-malam itu?""Pergi dari sini!" usirku frustrasi.Tuan Edbert terkeleh pelan dengan tatapan mengejek. Dia mencondongkan tubuhnya padaku. "Apa kamu lupa siapa yang membeli rumah ini?""Aku tahu Anda yang membelinya. Kalau begitu Anda dan Bu Yola tetap tinggal sementara aku sekeluarga akan pergi dari sini.""Tunggu!" pinta Tuan Edbert begitu aku hendak memutar badan. "Lalu apa kamu lupa siapa yang berperan penting agar Zaki bisa berdiri?""Tentu saja Anda, Tuan. Tetapi apa Tuan Edbert lupa siapa yang telah menabrak suamiku sampai dia lumpuh?"Bu Yola langsung menarik tangan Tuan Edbert. Dia pasti menanggung malu melihat putranya bertingkah seperti anak kecil. Aku tidak peduli melainkan langsung meminta Mas Zaki kembali ke kamar bersamaan dengan azan dzuhur.***Sampai tiga minggu berlalu, Tuan Edbert tidak pernah kembali memunculkan bata
Maksud Bu Armi masa lalu apa?""Kamu pikir kami gak tahu kalau kamu pernah jadi istri simpanan orang kaya? Hanya demi uang aja kamu rela jual diri, mana suami lagi lumpuh!" cibir Bu Armi.Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bersikap demikian karena selama ini ketika bertemu dengannya secara sengaja atau tidak, dia selalu tersenyum ramah.Ya, selama ini aku mengenalnya sebagai sosok tetangga paling ogah mengurusi hidup orang lain apalagi sampai menyebar berita bohong. Rumah kami memang tidak lagi sedekat dulu, tetapi tetap saja aku tidak pernah mendapatinya kumpul bersama pakar gosip sedunia."Bahkan melahirkan anak untuknya," tambah Maya."Kalian tidak usah mengungkit masa lalu. Kedatangan kalian ke sini untuk memastikan aku gibahin Megi apa enggak, kan? Wallahi, aku sama sekali gak pernah bahas Megi. Tadi aja Maya sengaja mancing, tapi gak aku gubris!" jelasku dengan napas tersengal masih berusaha meredam amarah.Dua ibu-ibu itu saling pandang kemudian menertawakan diri ini, sem
Selesai bermunajat pada Tuhan, aku langsung mencium punggung tangan Mas Zaki, tetapi kening tidak dicium seperti biasa. Aku merasa sedih, sejak kabar Abel sampai di telinga kami, Mas Zaki mendadak berubah.Aku ingin meminta izin untuk ke rumah sakit enggan apalagi sampai minta ditemani. Mungkin lelaki mana pun akan cemburu mengingat istrinya pernah melahirkan anak untuk orang lain.Kecuali jika ego ditepikan demi sosok mungil tak bersalah. Namun, apakah mampu jika aku yang ada di posisi Mas Zaki atau malah berteriak histeris? Jangankan punya anak dengan perempuan lain, dia dekat dengan teman kantor saja aku merajuk dua hari dua malam."Mas ...." Aku mencoba mengumpulkan keberanian berharap Mas Zaki mau mengerti. Mata teduh itu menatapku lekat. "Apa aku boleh menjenguk Abel?""Tentu saja. Bukankah dia anak kamu juga?" Mas Zaki melepas kopiah yang dikenakan, juga baju kokoh menyisakan kaos oblong."Sekali aja, Mas.""Sepuluh kali juga gak apa-apa. Gimana pun Abel tetap anak kamu, dia be
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,