"Ada apa denganmu, Sayang? Bukannya tadi malam kamu memaksaku datang untuk jujur pada Zaki?" Tuan Edbert ingin menggigit jari telunjukku kalau saja tidak cepat aku tarik kembali."Kebohongan apa lagi ini?" sindirku sinis.Tuan Edbert malah tertawa keras. Dia menjauh dari kami kemudian duduk di tempat semula."Sehari ketika kamu pergi ke Jerman, Tyas datang ke rumahku. Kami kembali tidur bersama dan melakukan hubungan suami istri. Bagaimana pun juga, setiap orang pasti menginginkan hal itu sementara kamu jauh dari jangkauannya." Tuan Edbert menjeda kalimat sejenak ketika tersenyum manis padaku. Mata nakalnya malah berkedip pelan."Setahun kepergianmu tentu membuat Tyas kesepian, maka aku mencoba untuk menolongnya menuntaskan hasrat. Hari-hari yang dilalui biasanya nampak murung, tetapi setelah bercinta denganku dia kembali ceria. Senyumnya semringah, bahkan setiap hari menyapa ramah para pelayan.""Tyas itu selalu memberi pelayanan terbaik padaku, Zaki. Dia tidak pernah menolak ketika
Tidak usah pura-pura benci padaku di hadapan Zaki, Sayang!" cebik Tuan Edbert, lalu menunjuk Abel. "Lihat buah cinta kita. Bukankah kamu menikmati malam-malam itu?""Pergi dari sini!" usirku frustrasi.Tuan Edbert terkeleh pelan dengan tatapan mengejek. Dia mencondongkan tubuhnya padaku. "Apa kamu lupa siapa yang membeli rumah ini?""Aku tahu Anda yang membelinya. Kalau begitu Anda dan Bu Yola tetap tinggal sementara aku sekeluarga akan pergi dari sini.""Tunggu!" pinta Tuan Edbert begitu aku hendak memutar badan. "Lalu apa kamu lupa siapa yang berperan penting agar Zaki bisa berdiri?""Tentu saja Anda, Tuan. Tetapi apa Tuan Edbert lupa siapa yang telah menabrak suamiku sampai dia lumpuh?"Bu Yola langsung menarik tangan Tuan Edbert. Dia pasti menanggung malu melihat putranya bertingkah seperti anak kecil. Aku tidak peduli melainkan langsung meminta Mas Zaki kembali ke kamar bersamaan dengan azan dzuhur.***Sampai tiga minggu berlalu, Tuan Edbert tidak pernah kembali memunculkan bata
Maksud Bu Armi masa lalu apa?""Kamu pikir kami gak tahu kalau kamu pernah jadi istri simpanan orang kaya? Hanya demi uang aja kamu rela jual diri, mana suami lagi lumpuh!" cibir Bu Armi.Aku sama sekali tidak menyangka dia bisa bersikap demikian karena selama ini ketika bertemu dengannya secara sengaja atau tidak, dia selalu tersenyum ramah.Ya, selama ini aku mengenalnya sebagai sosok tetangga paling ogah mengurusi hidup orang lain apalagi sampai menyebar berita bohong. Rumah kami memang tidak lagi sedekat dulu, tetapi tetap saja aku tidak pernah mendapatinya kumpul bersama pakar gosip sedunia."Bahkan melahirkan anak untuknya," tambah Maya."Kalian tidak usah mengungkit masa lalu. Kedatangan kalian ke sini untuk memastikan aku gibahin Megi apa enggak, kan? Wallahi, aku sama sekali gak pernah bahas Megi. Tadi aja Maya sengaja mancing, tapi gak aku gubris!" jelasku dengan napas tersengal masih berusaha meredam amarah.Dua ibu-ibu itu saling pandang kemudian menertawakan diri ini, sem
Selesai bermunajat pada Tuhan, aku langsung mencium punggung tangan Mas Zaki, tetapi kening tidak dicium seperti biasa. Aku merasa sedih, sejak kabar Abel sampai di telinga kami, Mas Zaki mendadak berubah.Aku ingin meminta izin untuk ke rumah sakit enggan apalagi sampai minta ditemani. Mungkin lelaki mana pun akan cemburu mengingat istrinya pernah melahirkan anak untuk orang lain.Kecuali jika ego ditepikan demi sosok mungil tak bersalah. Namun, apakah mampu jika aku yang ada di posisi Mas Zaki atau malah berteriak histeris? Jangankan punya anak dengan perempuan lain, dia dekat dengan teman kantor saja aku merajuk dua hari dua malam."Mas ...." Aku mencoba mengumpulkan keberanian berharap Mas Zaki mau mengerti. Mata teduh itu menatapku lekat. "Apa aku boleh menjenguk Abel?""Tentu saja. Bukankah dia anak kamu juga?" Mas Zaki melepas kopiah yang dikenakan, juga baju kokoh menyisakan kaos oblong."Sekali aja, Mas.""Sepuluh kali juga gak apa-apa. Gimana pun Abel tetap anak kamu, dia be
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep