"Hotel Melati?" Mbak Utami bertanya pelan.Mas Bayu mengangguk samar, dia semakin menundukkan kepala sementara aku tidak sabar menunggu kalimat selanjutnya. Kalau memang benar itu terjadi, sama saja mereka mendapat karma. Bedanya, Mas Bayu yang mendua."Waktu itu aku dalam keadaan setengah sadar karena ketahuan sudah mengambil uang Zaki, jadi ke bar minum-minum berharap masalah bisa dilupakan. Namun, aku melihat Sarah di jalan tengah menunggu taksi.""Kamu langsung memperkosanya?" potong Mbak Utami."Sabarlah atau aku tidak akan menjelaskan!" balas Mas Bayu. Aku meminta mereka diam, kemudian lelaki itu langsung melanjutkan kalimatnya tadi."Aku ingat kalau dia teman Utami, makanya aku menawarkan pulang bersama. Tiba-tiba hujan deras hingga kami harus berhenti dan hanya ada hotel sebagai tempat berteduh. Karena tidak punya uang, kami memesan satu kamar," jelas Mas Bayu.Dia terlihat menarik napas panjang. Aku tahu lelaki itu tengah menyimpan banyak beban. Sudah dihukum di sini, malah k
POV Author Bayu tidak melanjutkan pekerjaannya, dia malah langsung masuk kamar dan menutup pintu rapat. Lelaki itu merenung menatap langit-langit kamar di tempat tidurnya. Teringat kisah beberapa malam lalu ketika dia berhasil mereguk manisnya madu pada Sarah. Malam yang menurut Bayu sangat indah dan sulit dilupakan Ya, malam itu dia menelepon Sarah untuk bertemu di depan hotel Melati dengan alasan ingin memberi sebuah kejutan padahal hasratnya sedang membuncah sementara Utami sedang masa libur. "Kenapa cuma satu kamar, Mas?" tanya Sarah masih bingung ketika tahu Bayu hanya pesan satu kamar. "Karena hanya sebentar. Kejutan itu ada di sana!" jawab Bayu seraya mengedipkan sebelah matanya. Sarah yang belum mencium gelagat aneh hanya mengangguk. Dia dirangkul Bayu menuju kamar 206. Sesampainya di sana, pintu dikunci dari dalam tanpa sepengetahuan Sarah karena perempuan itu sedang membelakang. Bayu yang sudah tidak sabar ingin menjamah tubuh perempuan itu lantas mendekat, lalu mengun
Pov Tyas AryaniSesampainya di rumah ibu, aku terkejut bukan main karena rumah hangus terbakar tidak menyisakan apa pun. Aku yakin ini pasti kejadian yang sangat disengaja, entah siapa pelakunya.Ibu berdiri di antara tetangga yang menatap nanar rumah itu, sementara sebagian lainnya malah sibuk berbisik seraya menatap sinis. Aku yakin mereka membicarakan kami karena penampilanku yang sangat terkesan mewah bak sultan.Mbak Utami menangis di pelukan Mas Bayu, padahal tadi mereka sempat cekcok sampai main tangan. Bagaimana tidak, ijazah dan surat penting mereka ada di dalam kamar yang kini tinggal kenangan.Aku juga sedih karena kenangan bersama Mas Zaki semua ada di sana sejak awal pernikahan kami. Apalagi Lia yang masih proses pencarian oleh orang suruhan Tuan Edbert."Cantik banget, Tyas. Kok penampilannya sama Utami kayak majikan sama pelayan?" Maya dan tiga orang lainnya menghampiri kami.Bisa-bisanya dia menanyakan masalah penampilan saat kami dalam keadaan berduka. Aku tidak niat
"Hei, apa maksud Anda, Nona?""Tidak usah mengelak, Sarah. Aku tahu kamu yang menculik Lia karena Bayu menghamili kamu, kan? Katakan di mana dia?!" teriakku sangat marah."Aku tidak menculik Lia."Baru saja aku ingin mengancam lagi, tiba-tiba mata menangkap sosok bertubuh mungil dalam gendongan Tuan Edbert. Dia Lia anak yang aku cari-cari."Sarah, aku tutup teleponnya!" kataku tanpa menunggu jawaban.Tuan Edbert membuka pintu mobil, aku lekas ke luar dan merentangkan tangan penuh haru. Lia berlari kecil menyambutku, kami saling memeluk erat.Syukurlah tidak ada lecet ditubuhnya ketika aku cek. Bahkan Lia tidak menangis atau mengadu karena dibentak. Penculik ini sepertinya punya tujuan lain.Setelah Lia masuk mobil dijaga oleh salah satu pelayan yang memang ikut dengan orang suruhan Tuan Edbert, aku melebarkan langkah menuju bangunan itu."Lepaskan aku!""Aluma?""Ya, itu aku. Kenapa?" Walau tangan dalam keadaan diikat di belakang, tetap saja Nyonya Aluma mampu menatap tajam padaku.Ka
"Pesan aja makanannya, nanti kita belanja besok!" perintah ibu mertua.Dia melangkah mendekat seraya merebut Lia dariku. Gadis kecil itu dibaringkan di pahanya, lalu memanggilku untuk mendekat tepat di karpet merah marun."Bagaimana perasaanmu, Tyas? Ibu rasa kamu memendam sesuatu."Aku menunduk berusaha menahan tetes air mata sekalipun pipi berubah hangat. Luka dalam hati kembali menganga hingga bibir tak lagi mampu mengeluarkan sepatah kata pun.Terlalu berat masalah rumah tangga yang menimpa hingga melibatkan perkara haram dalam agama. Aku duduk di sini, berselimut dosa mengharap ampunan dari Tuhan."Katakan saja, Tyas. Itu jika kamu masih menganggap ibu sebagai mertua setelah semua kejahatan yang ibu lakukan. Kamu juga sudah tahu kalau ibu ini bukan ibu kandung Zaki," lanjut ibu berhasil mengiris hati yang memang sudah berdarah-darah."Justru karena ibu, aku memberi maaf padamu. Ibu memang memaksaku bekerja sebagai istri simpanan dulu, tetapi bisikan hati memintaku memberi maaf ka
Satu tahun sudah aku terkurung di rumah Tuan Edbert dengan banyaknya rintangan karena Nyonya Aluma sering berkunjung ke sini. Sudah berpuluh kali pula aku hampir meregang nyawa oleh beberapa pelayan yang merupakan suruhan iblis itu.Lia sudah punya adik, dia laki-laki dan sangat mirip Tuan Edbert. Umurnya sudah empat bulan. Entah kenapa aku enggan menganggapnya anak, tetapi masih menyusui laiknya seorang ibu."Dia tidak salah, anakmu harus mendapat haknya!" imbuh ibu mertua dulu ketika aku terus menolak melihatnya.Abel Addison nama anak itu. Rambutnya kecokelatan dengan kulit putih kemerah-merahan. Sekalipun tampan seperti diciptakan sesuai keinginannya, tetap saja aku lebih menyayangi Lia.Saat kelahiran Abel, Tuan Edbert langsung menghadiahiku mobil pajero. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya, juga tidak mau menerima dan menganggap itu hadiah untuk anak sendiri.Besok Mas Zaki sudah tiba di bandara, aku harus segera pergi dari sini. Masalah Abel biar saja diurus sama baby sit
"Tyas, kamu tidak membawa Abel? Dia butuh ASI kamu!" Tuan Edbert mencekal lenganku ketika sibuk mengemas pakaian. "Tidak!" Aku menarik tangan kasar. "Abel biar diurus sama baby sitter, aku sudah memintanya datang ke sini jika Mas Zaki sudah pulang. Ingat, anak itu tidak boleh muncul di hadapan suamiku, Ed." "Bagaimana jika aku melarangmu?" "Tidak ada yang bisa melarangku!" pungkasku kembali melanjutkan aktivitas. Ponsel berdering, aku langsung mengangkat telepon itu. Rupanya Zara. Dia sudah izin pada orangtuanya dan segera menuju ke sini untuk mengurus Abel. Sekilas aku melihat pada bayi mungil yang sedang terlelap itu. Entah kenapa jiwa keibuanku bangkit, segera aku mendekat. Akan tetapi, bisikan lain memintaku menjauh atau rumah tanggaku akan hancur. Jika Abel Addison aku bawa ke rumah, maka amarah Mas Zaki bisa bangkit lagi karena bulan kemarin saat kami teleponan, aku mengaku selama ini ada di rumah bersama Lia dan juga ibu. "Utami, Pak Damar sudah siap?" tanyaku begitu sele
Ponsel sejak kemarin ini tidak aku aktifkan karena sibuk mengobati rindu, sekarang pun berkutat di dapur memasak makanan kesukaan Mas Zaki. Katanya dia sudah sangat rindu dengan masakan istri tercinta. Sayur asem memang menjadi kesukaan suamiku sejak dulu, tetapi kali ini aku memasak opor ayam. Makanan yang tidak ada duanya bagi Mas Zaki. Setelah selesai, aku duduk di samping kirinya dan menempatkan nasi di piring serta mendekatkan semangkuk besar opor itu biar dia sendiri yang menakar sesuai keinginannya. "Makan yang banyak biar kuat nanti malem!" bisikku membuat Mas Zaki mengacungkan jempol. Dia pun makan dengan sangat lahap seperti orang lapar selama sebulan. Sementara ibu dan Lia sibuk dengan dunianya sendiri. Hanya butuh waktu lima menit, Mas Zaki sudah kembali menyodorkan piring minta nambah nasi. Aku hanya geleng-geleng kepala lantas meletakkan nasi yang mengepul itu. "Lia Sayang, makan yang banyak juga ya biar cepet besar. Nanti kita ke mall beli boneka besar sama baju ba