"Kita harus bulan madu ke Amerika, Tyas. Aku heran kenapa sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa dirimu sudah hamil!" seru Tuan Edbert setelah dua bulan lebih berlalu.Aku hanya bisa menunduk karena memikirkan tamu bulanan yang sudah lama alpa apalagi saat disuruh ke salon malah melepas IUD dan memilih konsumsi pil KB karena perut sering merasa nyeri. Napas berembus berat, perjalanan ke Amerika nanti sama saja mengikis jarak pada neraka jahannam.Niat untuk taubat masih kuat bahkan setelah melakukan tugas, aku selalu menangis memohon ampun pada Tuhan. Pernah juga menyampaikan penolakan pada Tuan Edbert, tetapi nyawa nyaris lenyap."Mungkin belum waktunya, Ed," jawabku kemudian sambil merapal doa dalam hati agar kehamilan itu tidak pernah terjadi.Kami bahkan pernah memeriksa kesuburan pada dokter spesialis, katanya tidak ada masalah. Beruntung saat itu IUD sudah lepas atau Tuan Edbert akan semakin murka."Tidak, ini salah! Mungkin karena kita jarang melakukannya karena sedikit wa
"Katakan, perempuan seperti apa?" tantangku. Biar saja jika semua terungkap, aku tidak lagi peduli.Akan tetapi, Nyonya Aluma hanya tersenyum. Dia menggerakkan jemari lentik itu di wajah Tuan Edbert. Napas lelaki itu seketika memburu, wajahnya merah entah karena apa."Bahkan kamu tidak berubah setelah punya istri simpanan, Ed. Aku tahu hasratmu seketika membuncah," cibirnya berhasil membuat Tuan Edbert memalingkan wajah.Pasti ada sesuatu di antara mereka sehingga Tuan Edbert yang terkenal dingin dan terkadang tidak punya hati bisa berubah lemah seperti itu. Entah karena istrinya jauh lebih kaya atau pernikahan itu terjadi sebab perjodohan.Tanganku terkepal kuat ketika cincin Nyonya Aluma dilempar mengenai wajahku. Dia sengaja melakukan itu, tetapi motifnya aku belum tahu. Padahal cincin yang dilempar bukan emas melainkan permata.Mata itu benar-benar menampilkan aura jahat. Kakiku melangkah mundur mewanti-wanti terkena tendangan bebas. Toh bisa saja sekalipun dia cantik, tidak menut
Senyum di wajah yang sempat merekah indah bagai bunga di musim semi seketika pudar laiknya daun kering yang jatuh meninggalkan pohon. Bukan tanpa sebab, semua terjadi karena Maria.Dia melanjutkan kalimat tadi, "tetapi Anda jangan langsung senang dulu, Nona. Kita belum bisa memastikan kapan waktunya untuk membawa Anda keluar dari sini.""Kenapa?""Bertindak ceroboh sama saja menusuk belati di jantung sendiri."Sekalipun memutar otak memaksa untuk paham, aku tidak bisa. Kaki melangkah cepat menghampiri Maria dan membawanya ke ruangan kosong tempatku dikurung dulu atau Nyonya Aluma akan mendengar pembicaraan kami jika dia kembali.Setelah sampai, aku memaksa Maria menjelaskan apa maksudnya ingin membantu, tetapi belum tahu kapan akan bergerak."Anda tidak merasakan aura Nyonya Aluma?""Aku merasakannya. Memang ada apa?""Dia bisa membunuh Anda kapan saja. Nyonya Aluma perempuan yang berani bertindak tanpa rasa takut bahkan ketika Tuan Edbert selingkuh dengan anak seorang pejabat, Nyonya
Louis kembali masuk dengan Nyonya Aluma, aku terkesiap khawatir terjadi sesuatu. Dalam keadaan sekarang, tidak ada yang bisa dilakukan selain tunduk patuh padanya. "Jambak rambutnya!" perintah Nyonya Aluma. Louis langsung menarik rambutku ke kanan, lalu kiri secara bergantian. Ingin rasanya aku muntah apalagi sejak tadi perut belum terisi makanan. Sakit semakin mendominasi ketika Louis menendangku hingga tersungkur ke belakang bersama kursi. Lengan pastilah lebam karena terbentur kasar di lantai. Nyonya Aluma tertawa puas. "Bagus! Aku suka cara kerjamu. Sekarang panggil Maria ke sini!" "Baik, Nyonya!" Nyonya Aluma mendekat, matanya menyalak tajam. Di sana seperti ada semburan api yang siap melahap habis diriku. Tidak ada seulas senyum di bibir manisnya. "Selama ini kamu menikmati uang Edbert, tetapi bukan itu yang membuatku marah!" ketusnya, lalu melempari wajahku dengan uang yang diambil dari tas mahal yang dibawanya. "Uang sebanyak itu cukup untuk membelimu. Pergilah dari sin
"Apa yang sudah terjadi?""Nyonya Aluma memaksa kami untuk mengikat Nona Tyas di ruang bawah tanah, Tuan," jawab Maria cepat."Lalu malam nanti para pelayan diminta untuk meniduri Nona Tyas satu per satu. Kami tidak tahu harus berbuat apa karena takut melawan, makanya aku meminta Maria mengabari Anda," tambah Louis.Pergerakan tangannya begitu lincah melepas tali yang mengikatku di kursi. Rasa sakit akibat ditendang dan dijambak tadi masih terasa, tetapi aku tidak menyimpan dendam pada mereka berdua.Di luar dugaan ternyata niat membantu hanya saja posisinya di rumah ini lemah untuk seorang Nyonya Aluma. Mereka berani sekali mengambil resiko bahkan tidak mengabariku lebih dulu, mungkin agar aktingnya terlihat alami.Perfect! pujiku dalam hati.Sialnya Tuan Edbert malah membawaku dalam pelukannya. Jantung lelaki itu bertalu cepat sekali, hanya saja aku lebih fokus pada Maria yang seketika membuang pandangan."Ed." Aku berusaha melepas pelukannya. Nihil, malah semakin erat."Biarkan sep
"Dia siapa, Ed?!" desakku tidak sabaran. Lelaki itu mematung beberapa saat dengan tatapan kosong. Pekerjaan yang memuakkan adalah apabila menunggu jawaban, tetapi zonk. "Dia Aluma." Tebakanku rupanya benar. Tentu saja perempuan itu yang mengirim foto Verial dan William agar lelaki idamannya percaya. Sekarang aku juga yakin kalau kejadian itu adalah jebakan dan tentang perselingkuhan hanya tuduhan palsu. "Sekarang rahasiamu sudah terbongkar, Ed. Aku pun tidak bisa lagi menyembunyikan rahasiaku lebih lama. Namun, sebelum itu aku ingin bertanya lagi." Tuan Edbert diam. "Apa kamu menyadari bahwa Maria adalah Verial?" "Tentu saja. Tepat pada hari di mana Maria memelukku dari belakang, cerita dan juga tuduhannya di ruang kerjaku. Selama ini aku memang merasa familiar dengan wajahnya, ketika ingatan itu pulih aku semakin sadar, tetapi lebih baik dianggap mati!" "Dia tidak selingkuh, aku bisa menjamin itu. Kedatangannya ke sini dan bekerja sebagai pelayan adalah untuk mencari tahu tent
Setelah kembali berpakaian, aku duduk termangu di tepi tempat tidur. Sejak tadi takut mengeluarkan suara karena Tuan Edbert juga diam. Amarah yang memuncak ternyata bisa merubah kita jadi singa kelaparan.Dosa ini semoga menjadi kali terakhir dalam hidupku. Tuan Edbert awalnya tidak kusalahkan karena mengira aku adalah miliknya. Akan tetapi, setelah kejadian tadi ... dia juga mementingkan ego demi kepuasan sendiri."Temani aku menemui Maria. Dia harus mendapat penjelasan."Aku mengangkat wajah. "Benarkah?"Tuan Edbert yang memang sejak tadi berdiri di depanku mengangguk. Dia mensejajarkan wajah kami hingga kecupan lembut kembali mendarat di dahiku.Kami melangkah beriringan mencari Maria. Tidak terlalu lama karena dia berdiri di dekat tangga. Tuan Edbert mendekat, aku mengekor di belakang."Ikut aku!" perintahnya.Kaki bergerak cepat menuruni anak tangga satu per satu. Tepat di ruang kerja Tuan Edbert, perempuan itu ditarik dalam pelukannya seolah aku tidak melihat mereka."Maafkan ak
"Apa?" Suara Mas Zaki terdengar lirih. Aku menggenggam tangannya, tetapi ditampik kasar."Kamu jangan salah paham, Zaki. Sungguh ini di luar kehendak Nona Tyas. Ada banyak masalah yang dia alami si sana, jadi tolong jangan langsung menuduhnya yang tidak-tidak." Maria menghela napas. "Aku Maria, pelayan yang selalu mendengarkan keluh kesah Nona Tyas. Kalau kamu minta, bisa aku–""Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku hanya ingin bertanya, benar Tyas itu bekerja sebagai istri simpanan Tuan Edbert?" Mas Zaki menatap tajam padaku. Di bola mata itu ada luka yang sangat dalam."Benar." Tuan Edbert yang menjawab. Mas Zaki menunduk dalam, aku memberi kode pada ibu mertua untuk membawa Lia ke kamar."Baik Edbert atau pun istri kamu, semuanya tidak bisa disalahkan karena mereka berdua tertipu. Kamu tahu, Bayu bahkan hadir di hari pernikahannya. Edbert mengira Tyas adalah adik kalian ternyata bukan," jelas Maria."Stop!" Mas Zaki mengangkat tangan, lalu bertanya dengan ketus, "kamu yakin dirimu s
Mas Bayu sudah dibawa oleh pihak berwajib kemarin sementara Tuan Edbert baru saja dimakamkan. Aku tidak tega melihat Nyonya Aluma terus menangis di atas gundukan tanah itu.Akan tetapi, lebih menyakitkan lagi melihat Maria yang tersenyum padahal matanya menampilkan binar luka. Aku tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini."Aku harus kembali ke Detroit untuk memulai lembaran baru. Tenang saja, Islam sudah ada dalam hatiku, aku tidak akan melakukan hal yang dilarang dalam agama," tutur Maria.Mendengar itu aku langsung memeluknya penuh haru. Rasa rindu seketika menyeruak dalam dada padahal aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan Maria. Dia perempuan baik, mungkin itu yang bisa menjadi alasan."Terimakasih atas bantuan kamu selama ini, Maria!" balasku.Perempuan itu tersenyum, kemudian menaiki mobil alphard hitam dan meninggalkan lokasi pemakaman yang sudah mulai sepi. Mbak Utami tidak ada di sini karena dia pulang ke rumah orangtuanya mengadu nasib di sana.Sementara ibu m
"Ya, dia ibu kita, Zaki.""Kenapa ibu seperti itu?""Aku menyandranya di rumah ini karena sudah menduga banyak kemungkinan. Andai kamu tahu dalam beberapa hari saja dia sudah serusak itu karena aku terus menyuntikkan racun dalam tubuhnya yang tua itu!""Apa?""Sekarang kamu harus memilih antara menyelamatkan ibu kandungmu atau melepas Tyas untukku!" Tuan Edbert melipat kedua tangan di depan dada.Setelah itu matanya memberi isyarat yang tidak kami mengerti pada Mas Bayu. Di detik yang sama lelaki yang menjadi suami Mbak Utami itu mengeluarkan pistol dan mengarahkannya di kepala Bu Yola.Kami semua tercengang. Aku ingin melarang, tetapi bibir terlalu kaku untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Bukan hanya aku, bahkan Mbak Utami pun hanya bisa melotot sembari membekap mulut dengan kedua tangannya."Tidak ada hakmu untuk melakukan ini, Ed! Bu Yola adalah ibumu sementara Tyas adalah istri dari kakak kandung kamu!" sentak Maria dengan emosi yang meluap-luap."Kenapa aku tidak memiliki hak? K
"Tidak, kamu salah! Aluma sendiri yang tidak pernah menginginkan anak dariku makanya aku sampai mencari istri simpanan," elak Tuan Edbert."Bagaimana mungkin dia tidak menginginkan anak dari lelaki yang dia cintai, Ed. Apa kamu lupa kalau Aluma merebut kamu dariku?""Dia hanya menginginkan aku, tetapi tidak sampai memiliki anak.""Dia menginginkan anak darimu, Ed. Aluma tidak ingin perempuan lain melahirkan anakmu," selaku.Tuan Edbert membuang pandangan. Dia bersikukuh kalau Nyonya Aluma sama sekali tidak mau melahirkan anak karena bisa merusak postur tubuhnya yang indah.Sementara itu aku terus menentang karena yakin Nyonya Aluma sebenarnya ingin, tetapi Tuan Edbert yang selalu menolak. Bagaimana pun lelaki itu tidak pernah mencintai istrinya.Padahal memang bagus mencintai lelaki yang memikat hati, tetapi lebih bagus lagi mencintai lelaki yang telah menikahi kita. Cinta itu agung dan luas maknanya, tidak boleh disalahgunakan oleh mereka yang hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka
Kembali aku merasa lega ketika Tuan Edbert kembali ke kamar utamanya. Dia pasti bahagia karena sudah melakukan permainan selama dua jam lebih menurut cerita Nyonya Aluma yang kini bersembunyi di kamar sebelah.Dia mengaku lelah dan lekas tidur, untung saja tadi malam dia tidak ketiduran sampai pagi atau Tuan Edbert akan marah besar. Aku kasihan karena ternyata perempuan itu menunggu fajar.Untung saja Tuan Edbert tidak banyak bertanya ketika melihatku sudah duduk di meja rias padahal baru pukul enam pagi. Aku tidak mandi melainkan hanya mencuci muka saja karena khawatir dia menyusul dan mengulangi permainan tadi malam."Nona, ada seseorang yang mencari Anda!" kata salah seorang pelayan."Siapa?""Aku melihat Maria, Utami dan seorang lelaki, Nona." Pelayan itu menjawab dengan suara pelan.Aku langsung beranjak dari tempat duduk untuk menemui mereka. Tidak butuh waktu lama karena aku menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Mas Zaki sepertinya rindu berat sehingga langsung membawaku
PoV Tyas AryaniBahkan hingga matahari sudah berada di ufuk barat pun aku tetap tidak menemukan ide untuk pergi dari sini. Terutama karena Mbak Utami sudah tidak bekerja sebagai pelayan. Ingin mengobrol dengan Mas Bayu juga enggan.Entah Tuan Edbert ada di mana karena sejak tadi aku menolak ke luar kamar ketika dipanggil pelayan untuk makan siang. Mereka malah langsung membawa makanan itu ketika aku perintahkan.Rasa malas beranjak menguasai jiwa. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan. Akan tetapi, ketukan di pintu berhasil membuatku terusik."Pergi atau kuhabisi kau!" teriakku penuh emosi."Keluar jika kamu berani!" sentak suara itu.Aku terkejut bukan main. Ternyata Nyonya Aluma kembali datang padahal aku berharap dia sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke sini begitu menganggu, dengan cepat aku beranjak melangkah cepat menujunya.Mata kami saling beradu. Kini tidak ada rasa takut dalam jiwa ketika bertemu Nyonya Aluma. Sekalipun dia tetap sekeji dulu, aku tidak akan mundur walau sel
Setelah kepergian Zaki, Utami lekas membuka pintu kamar itu dan menyambar ponsel yang tergeletak manja di nakas. Dia mulai mengotak-atik kontak mencari nama Maria di sana. Tidak lama karena hanya ada sedikit kontak, itu pun tertera dengan nama Veriel Maria. Untung saja nama itu pernah didengar langsung oleh Utami. Dia menyalin kontak Maria ke dalam ponselnya, kemudian melakukan panggilan telepon. Hanya berdering, tanpa ada jawaban. Namun, Utami tidak ingin putus asa sehingga dia terus menelepon. "Halo?" sapa Maria di balik telepon setelah panggilan ke delapan. "Ini Maria, kan? Aku Utami." "Ada apa?" "Kamu harus membantuku menemukan Tyas. Apa kamu bisa ke sini sekarang? Aku tidak bisa menjelaskannya via telepon. Aku mohon." "Ke mana?" "Rumah ibu mertuaku." Sedikit lama mereka berbincang sebelum akhirnya menutup telepon. Utami bernapas lega begitu Maria setuju akan membantu sampai menemukan titik terang. Dua jam menunggu dengan gamang, akhirnya Maria datang juga. Dia cantik sep
PoV AUTHORBahkan sudah tengah malam, Haura masih terus berbalas pesan dengan Tyas. Dia memaksa perempuan itu keluar rumah untuk membicarakan hal penting.Awalnya Tyas menolak karena takut diculik, tetapi Haura bilang datang seorang diri diantar Pak Damar. Akhirnya, perempuan malang itu keluar juga.Mereka bertemu di depan rumah, Haura terus mengalihkan perhatian Tyas agar tidak melihat seorang pelayan perempuan menyelinap masuk rumah menuju kamar dan meletakkan secarik kertas di sana.Setelah pelayan itu keluar, Haura tersenyum ramah. "Baiklah, jadi aku harus bilang pada Edbert kalau kamu belum mendapat izin suami?""Betul. Katakan seperti itu saja.""Baiklah. Kalau begitu aku pamit." Haura masuk ke mobil, kemudian meninggalkan Tyas seorang diri.Perempuan itu tersenyum lega, tetapi hanya sesaat karena kini tangannya dicekal kuat oleh seseorang sementara mulutnya dibekap. Dia ingin meminta tolong, tetapi sudah pingsan oleh obat bius.Mereka membawa Tyas pergi dari sana dan tentu saja
Mbak, aku gak bisa mengkhianati Mas Zaki untuk kedua kalinya. Kita harus menemukan cara lain untuk bisa lepas dari sini. Kebohongan seapik gimana pun kita sembunyikan, tetap saja akan ketahuan nantinya.""Tidak jika Tuan Edbert campur tangan!""Bagaimana dengan Abel, Mbak? Bukannya kemarin Tuan Edbert campur tangan, kemudian dia sendiri yang membeberkan hal itu pada Mas Zaki? Aku sudah mendapatkan ridha dan kepercayaannya, mana mungkin mau merusak lagi.""Kalau begitu ... kita coba berpikir cara lain. Jika aku bisa membantumu, maka kamu harus membantuku keluar dari sini. Gimana?""Oke."Mbak Utami memutar otak sementara aku merebahkan diri di tempat tidur. Ingin mengabari Mas Zaki, tetapi ponsel tertinggal di rumah. Memang bisa meminjam, tetapi prasangka lain kembali hadir.Kalau aku mengabari Mas Zaki bahwa kemarin itu orang suruhan Tuan Edbert, tentu dia akan semakin marah dan bisa jadi mengira aku telah bersekongkol dengan mereka.Sementara matahari sudah semakin dekat ke peraduan,
Sesampainya di rumah sakit, Haura tidak pernah melepas cekalan tangannya. Untung saja tadi aku sempat berganti pakaian sekalipun hanya memakai sandal rumahan. Kami menuju ke ruang perawatan bayi. Beberapa orang melirik kami, mungkin menyangka aku perempuan yang kurang waras karena belum mandi juga tidak menyisir rambut. "Tyas!" Tuan Edbert langsung menarikku dari Haura dan membawa tubuh ini dalam pelukannya. Aku ingin melepaskan pelukan itu, tetapi Tuan Edbert menangis pilu. Rasa iba menyeruak dalam dada hingga aku balas memeluk berusaha menenangkannya. Memang sedikit risih dan takut karena kembali berkhianat, tetapi Tuan Edbert membutuhkan pelukanku. Dia sedang rapuh melihat anak kami sedang dirawat. "Abel sakit apa, Ed?" tanyaku setelah dia mengurai pelukan. Mata yang biasa menyalak tajam itu berubah teduh. Bulir bening tidak berhenti mengalir di sana. Aku bisa merasakan bagaiman sakitnya hati Tuan Edbert kini. "Meningitis," jawabnya pelan. Kedua mataku membola mendengar itu.