BAYI YANG KUBAWA DARI KOTA
" Usir! usir! teriak warga yang berkerumun di depan rumahku."Hei, keluar kau Amira! Jangan membuat malu di kampung kita! teriak Bu Mirna sembari menabuh ember yang membuat suasana semakin ribut.Ibu-ibu lain yang terprovokasi juga ikut meneriakiku. Mereka berbondong-bondong mendatangi rumahku. Badanku panas dingin, belum pernah merasakan ketakutan sehebat ini.Kudekap erat bayi dalam gendonganku, berjalan mondar-mandir memikirkan langkah apa yang harus kuambil. Kusibak tirai jendela untuk melihat kondisi di luar, ternyata kerumunan warga semakin banyak.Kampung yang dulu terkenal dengan warganya yang ramah, mendadak beringas setelah mendengar berita kepulanganku. Seakan mata hati mereka sudah tertutup untuk melihat diriku dari sisi yang lain.Sementara itu Safira, bayi mungil dalam gendonganku semakin menggeliat tak nyaman. Sepertinya dia tahu dengan apa yang aku rasakan. Apalagi bayi mungil itu sempat demam semalam, sesaat setelah sampai di kampung ini.Mungkin pengaruh cuaca yang berbeda hingga tubuh mungilnya perlu beradaptasi dengan cuaca dingin di kampungku.Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, karena untuk menjelaskan pada merekapun sepertinya tidak berguna. Emosi sudah benar-benar menguasai pikiran mereka. Apalagi ditambah provokasi dari ibu-ibu yang lain.Keadaan semakin kacau, botol bekas, kerikil, bahkan ada juga yang nekat melempari kaca rumahku dengan batu.Ketakutan dan kepanikan semakin merajai, namun aku tak bisa bersembunyi seperti ini terus menerus. Mereka harus kuhadapi, apapun yang terjadi.Kalau hanya menyakitiku, itu bukan masalah karena tubuh ini sudah akrab dengan rasa sakit sejak kecil. Namun kalau mereka sampai berani menyakiti Safira, aku tak bisa tinggal diam.Kuberanikan diri keluar untuk menghadapi mereka. Sementara Safira kuletakkan di atas tempat tidur. Sebenarnya tak tega meletakkan bayi mungil itu di sana, tempatnya masih berdebu karena belum sempat kubersihkan.Baru saja aku membuka pintu, teriakan warga mulai terdengar riuh lagi. Bahkan ada seorang Ibu yang nekat hendak menjambakku. Untunglah Pak RT segera datang melerai sehingga tak terjadi hal yang lebih buruk.Setelah bernegosiasi dengan warga namun tak ada titik temu, akhirnya hari itu juga aku harus meninggalkan lagi kampung halamanku.Sebenarnya aku tak terima diperlakukan seperti ini, setidaknya mereka mau memberi kesempatan kepadaku untuk menjelaskan semuanya. Namun apa boleh buat, keputusan sudah diambil, aku harus pergi dari kampung ini.Namaku Amira, gadis yatim piatu yang merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Beruntung di Jakarta aku berhasil mendapat pekerjaan di sebuah pabrik yang gajinya lumayan besar menurutku.Di tempat itu pula aku mengenal Wildan kekasih yang sangat aku sayangi. Dia berjanji untuk menikahiku dan siap menerimaku apa adanya. Pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi, namun sebuah kecelakaan yang terjadi malam itu, menyebabkan semuanya hancur berantakan. Meski aku tak bisa menyalahkan Wildan sepenuhnya, namun rasa percayaku sudah hilang sejak peristiwa itu terjadi.Bersamaan dengan peristiwa kecelakaan itu, lahirlah seorang bayi mungil ke dunia ini. Aku yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa itu, tak bisa meninggalkannya begitu saja, apalagi ibunya telah tiada.Aku yang memang terlahir menjadi yatim sejak kecil, tergerak untuk merawat bayi tersebut. Namun tanpa kuduga sebelumnya, ternyata Wildan tak menyukai anak kecil hingga memberiku dua pilihan yang sulit. Membesarkan Safira seorang diri atau menikah dengan Wildan namun harus menyerahkan Safira pada orang lain.Kebimbangan melanda hingga pernah berusaha menyerahkan Safira pada sebuah panti asuhan. Namun saat hendak kutinggalkan, kulihat air mata meleleh dari kedua sudut mata bayi mungil itu, seakan tak rela kutinggalkan.Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, membayangkan betapa beratnya hidup tanpa seorang ibu seperti yang pernah kurasakan. Tak ingin bayi mungil itu mengalami hal yang sama, segera kugendong lagi tubuh mungil tersebut.Keputusan sudah kuambil, meski harus batal menikah dengan Wildan yang penting bayi ini tetap bersamaku.Ketika aku bekerja, Safira kutitipkan pada tetangga yang bersedia membantuku. Setiap malam aku begadang demi menjaga Safira sementara siang harinya aku harus tetap bekerja.Akibat kelelahan dan kurang tidur, aku sering di tegur atasan karena kinerjaku menurun. Bahkan pernah aku sampai ketiduran di tempat kerja hingga kesekian kalinya dan hari itu juga aku di pecat.Karena tak lagi punya pekerjaan, kumantapkan hati untuk pulang ke kampung halaman dengan membawa Safira bersamaku. Setidaknya kalau di kampung, aku tak perlu memikirkan biaya sewa rumah, karena rumah itu peninggalan kedua orang tuaku. Sedangkan untuk makan sehari-hari, aku bisa bercocok tanam di kebun belakang rumah. Namun ekspektasi tak selalu sesuai dengan realita, karena kenyataannya aku justru diusir dari rumahku sendiri ketika baru saja sampai di kampung ini. Kemana aku harus pergi?Tiba-tiba aku teringat dengan temanku yang tinggal di Jogja. Biarlah sementara waktu aku akan minta ijin untuk tinggal di sana. Setidaknya dengan keluar dari kampung ini, tak akan ada yang tahu tentang kehidupanku di masa lalu.Rintik hujan semakin deras, kuselimuti bayi mungilku dengan kain tipis yang belum sempat kuganti sejak semalam.Biarlah hari ini aku menderita, semoga suatu hari nanti akan kutemui bahagia bersama Safira.Aku terus melangkah gontai menyusuri jalanan becek sisa hujan semalam. Untunglah Safira masih tertidur pulas dalam gendongan."Amira, ayo naik!"Aku terkejut mendengar suara seseorang memanggilku. Rupanya itu suara Rani, tetangga rumahku yang sengaja menyusulku."Kenapa kamu mau membantuku?" tanyaku pada Rani masih penasaran."Sudah jangan banyak tanya. Ayo naiklah, kemana tujuanmu?" tanya Rani lagi."Tolong antar aku ke terminal Tidar!" Kusebutkan nama terminal di kotaku, yaitu Magelang, Jawa Tengah.Beberapa menit kemudian, sampailah aku di terminal. Tujuanku adalah Yogyakarta, kota yang tidak begitu jauh dari kotaku sendiri."Sudah sampai Amira, kamu hati-hati ya. Jaga anakmu baik-baik!" Rani memelukku dengan erat, sembari menyelipkan dua lembar uang berwarna merah ke tanganku."Terima kasih Ran, kamu sudah sangat membantuku." kataku tulus.Rupanya Rani disuruh Ibunya untuk menyusulku. Karena hanya mereka berdualah yang masih peduli kepadaku. Namun mereka tak berani membantuku terang-terangan saat aku diusir warga tadi, takut menjadi sasaran warga katanya.Setelah mendapatkan bus yang hendak kunaiki, aku segera mencari tempat duduk yang nyaman. Untunglah bus masih banyak yang kosong sehingga bisa leluasa memilih tempat duduk.Pantatku terasa penat setelah semalam naik bus dari Jakarta-Magelang dan kini harus naik bus lagi dari Magelang-Yogyakarta."Jombor ... Jombor ..." teriak kernet angkot yang mengejutkanku.Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku.Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini.Bersambung....Bayi yang Kubawa dari KotaPart 2Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku. Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini. Ingin bertanya pada orang lain juga tidak mungkin, karena kebanyakan penumpang sudah turun dan berganti dengan penumpang yang lain. Untunglah tadi sudah membayar ongkos bus terlebih dulu, sehingga tak perlu malu karena tak bisa membayar. Dengan langkah gontai aku keluar dari area terminal Jombor. Tak tahu lagi kemana arah tujuanku, apalagi ponsel satu-satunya ikut raib di dalam tas itu. Safira mulai menangis, pasti bayiku itu lapar dan haus. Segera aku menuju penjual angkringan yang mangkal di daerah situ untuk meminta air panas guna menyeduh susu. Untunglah Ibu penjualnya sangat
Bayi yang Kubawa dari KotaMendengar jawabanku, Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya diam saling pandang. Sementara aku, harap-harap cemas menanti jawaban mereka."Jangan di pikirkan, biarkan saja mereka. Nanti juga diam sendiri, kasihan anakmu kalau harus berpindah pindah terus. Kalau kamu jenuh di rumah, nanti aku carikan pekerjaan yang bisa sambil menjaga anakmu." ujar Bu Ratmi meyakinkanku. Setelah selesai sarapan, Bu Ratmi dan Pak Yanto berangkat bersama sembari mendorong gerobaknya. Safira belum bangun juga, jadi aku punya waktu untuk mandi dan mencuci piring bekas sarapan tadi. "Nduk, ada yang ingin Ibu bicarakan kepadamu." kata Bu Ratmi di depan pintu kamarku malam itu. " Iya Bu," jawabku sembari berjalan meninggalkan kamar. Aku merasa penasaran, karena sepertinya serius sekali. Sebenarnya apa yang ingin Bu Ratmi bicarakan?"Begini Nak, tadi Bapak ketemu teman yang jualan online. Katanya dia lagi butuh tenaga buat masarin dagangannya. Kalau bersedia, kamu bisa ambil peluang itu unt
Bayi yang Kubawa dari KotaKupercepat langkah menuju rumah agar bisa segera merebahkan tubuh di kamarku. Rasanya siang ini semakin panas saja, apalagi setelah mendengar ocehan Bu Yuni tadi. Tak terasa, sampai juga di rumah Bu Ratmi. Niat hati ingin beristirahat, namun aku justru terkejut melihat semua barang barangku sudah berada di ruang tamu. Seketika lututku lemas melihat semua itu. Ya Allah, ada apa lagi ini? Kenapa ada saja yang mengusik ketenanganku. Apakah aku tak berhak bahagia bersama anakku?Lututku terasa lemas, seakan tubuhku tak bertulang. Buliran bening kembali menganak sungai di pelupuk mata. Dengan langkah gontai kumasuki kamar yang biasa aku tempati. Namun di dalam kamar itu tampak Farhan tidur lelap, seiring suara dengkurannya yang semakin keras. Rupanya dia marah karena kamarnya aku tempati bersama Safira.Biarlah aku yang mengalah, toh kamar itu memang miliknya jadi dia berhak menempatinya kembali. Perlahan kuletakkan bayiku di atas ayunan dari kain jarik yan
Bayi yang Kubawa dari KotaUsia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara. Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya. Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan. Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak. Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang
Bayi yang Kubawa dari KotaRupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal. "Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta. "Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah. Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah. Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia. Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan. Set
Bayi yang Kubawa dari Kota"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku. Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal. "Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu. Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing. "Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk. Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin. "Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis. Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya. Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengam
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..