BAYI YANG KUBAWA DARI KOTA
" Usir! usir! teriak warga yang berkerumun di depan rumahku."Hei, keluar kau Amira! Jangan membuat malu di kampung kita! teriak Bu Mirna sembari menabuh ember yang membuat suasana semakin ribut.Ibu-ibu lain yang terprovokasi juga ikut meneriakiku. Mereka berbondong-bondong mendatangi rumahku. Badanku panas dingin, belum pernah merasakan ketakutan sehebat ini.Kudekap erat bayi dalam gendonganku, berjalan mondar-mandir memikirkan langkah apa yang harus kuambil. Kusibak tirai jendela untuk melihat kondisi di luar, ternyata kerumunan warga semakin banyak.Kampung yang dulu terkenal dengan warganya yang ramah, mendadak beringas setelah mendengar berita kepulanganku. Seakan mata hati mereka sudah tertutup untuk melihat diriku dari sisi yang lain.Sementara itu Safira, bayi mungil dalam gendonganku semakin menggeliat tak nyaman. Sepertinya dia tahu dengan apa yang aku rasakan. Apalagi bayi mungil itu sempat demam semalam, sesaat setelah sampai di kampung ini.Mungkin pengaruh cuaca yang berbeda hingga tubuh mungilnya perlu beradaptasi dengan cuaca dingin di kampungku.Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, karena untuk menjelaskan pada merekapun sepertinya tidak berguna. Emosi sudah benar-benar menguasai pikiran mereka. Apalagi ditambah provokasi dari ibu-ibu yang lain.Keadaan semakin kacau, botol bekas, kerikil, bahkan ada juga yang nekat melempari kaca rumahku dengan batu.Ketakutan dan kepanikan semakin merajai, namun aku tak bisa bersembunyi seperti ini terus menerus. Mereka harus kuhadapi, apapun yang terjadi.Kalau hanya menyakitiku, itu bukan masalah karena tubuh ini sudah akrab dengan rasa sakit sejak kecil. Namun kalau mereka sampai berani menyakiti Safira, aku tak bisa tinggal diam.Kuberanikan diri keluar untuk menghadapi mereka. Sementara Safira kuletakkan di atas tempat tidur. Sebenarnya tak tega meletakkan bayi mungil itu di sana, tempatnya masih berdebu karena belum sempat kubersihkan.Baru saja aku membuka pintu, teriakan warga mulai terdengar riuh lagi. Bahkan ada seorang Ibu yang nekat hendak menjambakku. Untunglah Pak RT segera datang melerai sehingga tak terjadi hal yang lebih buruk.Setelah bernegosiasi dengan warga namun tak ada titik temu, akhirnya hari itu juga aku harus meninggalkan lagi kampung halamanku.Sebenarnya aku tak terima diperlakukan seperti ini, setidaknya mereka mau memberi kesempatan kepadaku untuk menjelaskan semuanya. Namun apa boleh buat, keputusan sudah diambil, aku harus pergi dari kampung ini.Namaku Amira, gadis yatim piatu yang merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Beruntung di Jakarta aku berhasil mendapat pekerjaan di sebuah pabrik yang gajinya lumayan besar menurutku.Di tempat itu pula aku mengenal Wildan kekasih yang sangat aku sayangi. Dia berjanji untuk menikahiku dan siap menerimaku apa adanya. Pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi, namun sebuah kecelakaan yang terjadi malam itu, menyebabkan semuanya hancur berantakan. Meski aku tak bisa menyalahkan Wildan sepenuhnya, namun rasa percayaku sudah hilang sejak peristiwa itu terjadi.Bersamaan dengan peristiwa kecelakaan itu, lahirlah seorang bayi mungil ke dunia ini. Aku yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa itu, tak bisa meninggalkannya begitu saja, apalagi ibunya telah tiada.Aku yang memang terlahir menjadi yatim sejak kecil, tergerak untuk merawat bayi tersebut. Namun tanpa kuduga sebelumnya, ternyata Wildan tak menyukai anak kecil hingga memberiku dua pilihan yang sulit. Membesarkan Safira seorang diri atau menikah dengan Wildan namun harus menyerahkan Safira pada orang lain.Kebimbangan melanda hingga pernah berusaha menyerahkan Safira pada sebuah panti asuhan. Namun saat hendak kutinggalkan, kulihat air mata meleleh dari kedua sudut mata bayi mungil itu, seakan tak rela kutinggalkan.Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, membayangkan betapa beratnya hidup tanpa seorang ibu seperti yang pernah kurasakan. Tak ingin bayi mungil itu mengalami hal yang sama, segera kugendong lagi tubuh mungil tersebut.Keputusan sudah kuambil, meski harus batal menikah dengan Wildan yang penting bayi ini tetap bersamaku.Ketika aku bekerja, Safira kutitipkan pada tetangga yang bersedia membantuku. Setiap malam aku begadang demi menjaga Safira sementara siang harinya aku harus tetap bekerja.Akibat kelelahan dan kurang tidur, aku sering di tegur atasan karena kinerjaku menurun. Bahkan pernah aku sampai ketiduran di tempat kerja hingga kesekian kalinya dan hari itu juga aku di pecat.Karena tak lagi punya pekerjaan, kumantapkan hati untuk pulang ke kampung halaman dengan membawa Safira bersamaku. Setidaknya kalau di kampung, aku tak perlu memikirkan biaya sewa rumah, karena rumah itu peninggalan kedua orang tuaku. Sedangkan untuk makan sehari-hari, aku bisa bercocok tanam di kebun belakang rumah. Namun ekspektasi tak selalu sesuai dengan realita, karena kenyataannya aku justru diusir dari rumahku sendiri ketika baru saja sampai di kampung ini. Kemana aku harus pergi?Tiba-tiba aku teringat dengan temanku yang tinggal di Jogja. Biarlah sementara waktu aku akan minta ijin untuk tinggal di sana. Setidaknya dengan keluar dari kampung ini, tak akan ada yang tahu tentang kehidupanku di masa lalu.Rintik hujan semakin deras, kuselimuti bayi mungilku dengan kain tipis yang belum sempat kuganti sejak semalam.Biarlah hari ini aku menderita, semoga suatu hari nanti akan kutemui bahagia bersama Safira.Aku terus melangkah gontai menyusuri jalanan becek sisa hujan semalam. Untunglah Safira masih tertidur pulas dalam gendongan."Amira, ayo naik!"Aku terkejut mendengar suara seseorang memanggilku. Rupanya itu suara Rani, tetangga rumahku yang sengaja menyusulku."Kenapa kamu mau membantuku?" tanyaku pada Rani masih penasaran."Sudah jangan banyak tanya. Ayo naiklah, kemana tujuanmu?" tanya Rani lagi."Tolong antar aku ke terminal Tidar!" Kusebutkan nama terminal di kotaku, yaitu Magelang, Jawa Tengah.Beberapa menit kemudian, sampailah aku di terminal. Tujuanku adalah Yogyakarta, kota yang tidak begitu jauh dari kotaku sendiri."Sudah sampai Amira, kamu hati-hati ya. Jaga anakmu baik-baik!" Rani memelukku dengan erat, sembari menyelipkan dua lembar uang berwarna merah ke tanganku."Terima kasih Ran, kamu sudah sangat membantuku." kataku tulus.Rupanya Rani disuruh Ibunya untuk menyusulku. Karena hanya mereka berdualah yang masih peduli kepadaku. Namun mereka tak berani membantuku terang-terangan saat aku diusir warga tadi, takut menjadi sasaran warga katanya.Setelah mendapatkan bus yang hendak kunaiki, aku segera mencari tempat duduk yang nyaman. Untunglah bus masih banyak yang kosong sehingga bisa leluasa memilih tempat duduk.Pantatku terasa penat setelah semalam naik bus dari Jakarta-Magelang dan kini harus naik bus lagi dari Magelang-Yogyakarta."Jombor ... Jombor ..." teriak kernet angkot yang mengejutkanku.Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku.Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini.Bersambung....Bayi yang Kubawa dari KotaPart 2Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku. Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini. Ingin bertanya pada orang lain juga tidak mungkin, karena kebanyakan penumpang sudah turun dan berganti dengan penumpang yang lain. Untunglah tadi sudah membayar ongkos bus terlebih dulu, sehingga tak perlu malu karena tak bisa membayar. Dengan langkah gontai aku keluar dari area terminal Jombor. Tak tahu lagi kemana arah tujuanku, apalagi ponsel satu-satunya ikut raib di dalam tas itu. Safira mulai menangis, pasti bayiku itu lapar dan haus. Segera aku menuju penjual angkringan yang mangkal di daerah situ untuk meminta air panas guna menyeduh susu. Untunglah Ibu penjualnya sangat
Bayi yang Kubawa dari KotaMendengar jawabanku, Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya diam saling pandang. Sementara aku, harap-harap cemas menanti jawaban mereka."Jangan di pikirkan, biarkan saja mereka. Nanti juga diam sendiri, kasihan anakmu kalau harus berpindah pindah terus. Kalau kamu jenuh di rumah, nanti aku carikan pekerjaan yang bisa sambil menjaga anakmu." ujar Bu Ratmi meyakinkanku. Setelah selesai sarapan, Bu Ratmi dan Pak Yanto berangkat bersama sembari mendorong gerobaknya. Safira belum bangun juga, jadi aku punya waktu untuk mandi dan mencuci piring bekas sarapan tadi. "Nduk, ada yang ingin Ibu bicarakan kepadamu." kata Bu Ratmi di depan pintu kamarku malam itu. " Iya Bu," jawabku sembari berjalan meninggalkan kamar. Aku merasa penasaran, karena sepertinya serius sekali. Sebenarnya apa yang ingin Bu Ratmi bicarakan?"Begini Nak, tadi Bapak ketemu teman yang jualan online. Katanya dia lagi butuh tenaga buat masarin dagangannya. Kalau bersedia, kamu bisa ambil peluang itu unt
Bayi yang Kubawa dari KotaKupercepat langkah menuju rumah agar bisa segera merebahkan tubuh di kamarku. Rasanya siang ini semakin panas saja, apalagi setelah mendengar ocehan Bu Yuni tadi. Tak terasa, sampai juga di rumah Bu Ratmi. Niat hati ingin beristirahat, namun aku justru terkejut melihat semua barang barangku sudah berada di ruang tamu. Seketika lututku lemas melihat semua itu. Ya Allah, ada apa lagi ini? Kenapa ada saja yang mengusik ketenanganku. Apakah aku tak berhak bahagia bersama anakku?Lututku terasa lemas, seakan tubuhku tak bertulang. Buliran bening kembali menganak sungai di pelupuk mata. Dengan langkah gontai kumasuki kamar yang biasa aku tempati. Namun di dalam kamar itu tampak Farhan tidur lelap, seiring suara dengkurannya yang semakin keras. Rupanya dia marah karena kamarnya aku tempati bersama Safira.Biarlah aku yang mengalah, toh kamar itu memang miliknya jadi dia berhak menempatinya kembali. Perlahan kuletakkan bayiku di atas ayunan dari kain jarik yan
Bayi yang Kubawa dari KotaUsia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara. Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya. Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan. Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak. Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang
Bayi yang Kubawa dari KotaRupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal. "Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta. "Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah. Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah. Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia. Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan. Set
Bayi yang Kubawa dari Kota"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku. Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal. "Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu. Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing. "Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk. Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin. "Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis. Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya. Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengam
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..
Bayi yang Kubawa dari Kota'Tidak! Itu tak boleh terjadi, kakiku baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki, namun usahaku sia-sia. Kedua kakiku tetap diam tak bergerak. Mama dan Mas Yusuf tampak saling pandang melihat usahaku yang sia-sia. Perlahan kulihat kaca-kaca bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mata Mama. Apa yang aku lihat, sudah mewakilkan penjelasan yang tidak mereka katakan. Hatiku hancur seketika, takut membayangkan kedepannya bagaimana caraku hidup dengan kedua kaki yang lumpuh. "Tida ... ak!" Seketika aku kalap, tak bisa mengendalikan emosiku sendiri. Kuraih apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Mama terlihat panik dan segera memelukku erat, aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, merutuki nasib buruk yang seolah selalu akrab denganku. Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku Ya Tuhan? Rasanya aku sudah tak punya semangat lagi untuk hidup, bayanga
Bayi yang Kubawa dari Kota Part 26Setelah pembagian selesai, kami pamit berziarah ke makam keluargaku untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Sesampainya di makam, kutumpahkan segala kerinduan pada keluargaku yang berada di bawah batu nisan itu. Kusirami makam itu dengan air do'a dan taburan bunga. Mama ikut terharu melihatku menangis di atas pusara keluargaku. Gerimis mulai turun ketika kami selesai berdo'a. Mas Yusuf dengan sigap berlari mengambil payung dan mengajak kami segera memasuki mobil. Hatiku berbunga-bunga melihat perhatian yang ditunjukkannya. Perlahan mobil yang kami tumpangi keluar dari area pemakaman. Setelah berhenti di restoran untuk makan siang, mobil yang kami tumpangi kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sementara itu, hujan semakin deras mengguyur sepanjang jalan, sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati. Mas Yusuf duduk di depan bersama sopir, sementara aku berada di bangku belakang bersama Mama dan Safira. Mungkin karena kelelahan, anak itu sudah
Bayi yang Kubawa dari KotaMeskipun sekarang sudah berjilbab, namun tetanggaku tetap bisa mengenaliku. Mereka berbisik-bisik mengetahui kepulanganku. "Masih punya nyali untuk pulang ya, atau karena sudah tak punya muka jadi hilang rasa malunya?" Spontan aku menoleh pada sebuah suara yang sangat aku kenal.Tak kuhiraukan cibirannya, aku terus berjalan melewatinya begitu saja. "Ee ... di tanya kok malah pergi, dasar bocah tak tahu malu. Amit-amit dah punya mantan warga kayak kamu!" teriaknya lagi semakin membuatku emosi. Sebisa mungkin kutahan amarahku agar tak lagi membuat kekacauan di kampung ini. Aku hanya ingin hidupku tenteram, tak ingin lagi ada amarah apalagi dendam. Namun semakin dibiarkan, sepertinya ibu satu itu semakin kelewatan. "Ibu-ibu, sini deh! Lihat tuh, Si Amira pulang lagi ke kampung kita. Pasti dia mau bikin ulah lagi di kampung ini!" teriak Bu Mirna, kembali memprovokasi warga. Satu persatu tetanggaku keluar, mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Bu Mirna.
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 24Setelah menerima panggilan dari Mak Ijah, Mama meminta sopir untuk memutar balik mobilnya dan pulang ke rumah. Entah apa yang terjadi, karena Mama tak mengatakan alasannya. Selama perjalanan pulang, kami semua hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali hanya menyahuti celotehan Safira yang tak bosan menanyakan apa yang dilihatnya. Sesampainya di rumah, tampak dua orang berseragam dealer sedang menunggu kami. Mereka duduk di teras rumah ditemani Mak Ijah. Melihat kami turun, mereka segera menghampiri Mama dan Mas Yusuf. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat mereka pergi setelah menyerahkan sebuah kunci mobil kepada Mama. Setelah mereka pergi, Mama datang menghampiriku dan mengajakku untuk menuju garasi. Di dalam sana, tampak tiga buah mobil berjajar rapi. Aku penasaran untuk apa Mama membeli mobil baru, bukankah sudah ada dua buah sebelumnya? Satu untuk Mas Yusuf bekerja dan satunya untuk Mama. "Amira, karena sebentar lagi kamu a
Bayi yang Kubawa dari KotaSafira yang menjadi rebutan Papa dan Omanya justru berlari ke arahku. Anak itu minta dimandikan dan memakai baju baru. Segera kuturuti permintaan Safira, berharap dengan menghilang dari pandangan Mas Yusuf akan sedikit bisa menetralkan degup jantungku. Namun aku salah, kemanapun aku pergi bayangannya tak juga menghilang dari ingatanku. Menempel di dinding seperti cicak, berenang di air seperti bebek bahkan di wajah Safira juga ada bayangan Mas Yusuf. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta?Setelah mandi dan berganti baju, Safira kembali menggelayut di paha Mas Yusuf. Anak itu seakan tak mau lepas dari papanya. "Horee__ aku punya Papa sama Mama seperti Icha. Sekarang dia tak akan bisa mengejekku tak punya Papa." celoteh Safira kegirangan menceritakan teman bermainnya dulu sewaktu di kontrakan. Mendengar celotehan Safira, Mama kembali menitikkan air mata. Mungkin sedih membayangkan kondisi kami sebelumnya. "Oma kenapa nangis? Oh ya, tadi Safira mimpi ketemu
Bayi yang Kubawa dari KotaDemi memantapkan pilihan, kucoba menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, meski berat namun aku akan berusaha untuk kuat. Ketika bayi itu hendak kutinggalkan, kukecup sekali lagi bayi tak berdosa itu. Tanpa kusadari, air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tangannya bergerak gerak seakan mencegah kepergianku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya kembali bersamaku?Hatiku hancur membayangkan seandainya hal itu terjadi kepadaku. Dicampakkan dari satu tangan ke tangan lainnya demi untuk mendapatkan belas kasihan orang. Sungguh aku tak rela itu terjadi kepadanya. Cukup aku saja yang mengalami pedihnya hidup tanpa orang tua, tanpa kasih sayangnya hingga semakin akrab dengan derita dan duka lara. Kuambil kembali bayi mungil itu, kudekap erat di dadaku. Kami menangis bersama, dalam hati aku berjanji tak akan lagi meninggalkannya apapun yang terjadi. Wildan marah besar setelah aku mengatakan untuk tetap merawat bayi itu. Secara sepihak dia memutu
Bayi yang Kubawa dari KotaWanita itu terus menjerit menahan sakit, hingga tak lama kemudian lahirlah bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan. Atas inisiatif warga, maka di panggillah seorang bidan terdekat untuk menangani perempuan itu dan bayinya. Wanita itu tampak tersenyum melihat bayi mungilnya, begitupun denganku yang langsung jatuh cinta begitu melihatnya. "Dek, siapapun kamu, tolong rawat anak ini baik-baik ya? Aku minta sama kamu, apapun yang terjadi jangan berikan bayi ini pada siapapun. Kamu orang baik, karena itu aku percaya kepadamu." kata wanita itu dengan suara serak. Aku tak percaya mendengar permintaannya. Bukankah bayi itu miliknya, kenapa harus diserahkan padaku? Sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya waktu itu. Haruskah aku menerima permintaannya?Tak bisa kubayangkan bagaimana caraku merawat bayi mungil itu. Menikah saja belum, apalagi merawat bayi seorang diri, pasti akan banyak resiko yang harus aku tanggung nantinya. Setelah mengatakan itu, perlahan
Bayi yang Kubawa dari KotaKali ini semua mata tertuju padaku, sedangkan aku sendiri tak tahu apa maksud dari ucapannya itu. "Apa maksud dari ucapanmu, jelaskan sekarang!" Bentak Mas Yusuf marah. "Sampai kapanpun, aku tak akan memberitahumu. Satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa anakmu masih hidup. Silakan cari sendiri keberadaannya ha ... ha ...ha ...." Kali ini tawa Safitri terdengar sangat menyebalkan, bahkan membuat Mas Yusuf mengepalkan kedua tangannya. Kalau bukan seorang perempuan, mungkin orang itu sudah habis di hajarnya. "Sudah Pak, saya serahkan mereka kepada kalian. Hukum mereka sesuai perbuatannya!" kata Mas Yusuf kepada polisi untuk mengakhiri perdebatan. Setelah itu, Mas Yusuf mengajak kami pulang. Safira sudah sejak tadi tertidur dalam gendonganku. Mungkin anak itu kelelahan dan tertekan selama dalam penculikan. Karena itu kini dia tertidur pulas saat sudah merasa aman. Selama dalam perjalanan, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri belum menger
Bayi yang Kubawa dari KotaMalam harinya, aku benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayanganku terus berkelana, memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Safira. Bagaimana jika anak itu menangis mencariku? Biasanya dia tidur dalam dekapanku, bangun tengah malam minta susu. Lalu sekarang, siapa yang akan membuatkannya? Hingga azan Subuh berkumandang, mata ini tetap tak mau terpejam. Segera aku bangkit mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku. Dalam sujudku, tak lupa teriring do'a untuk Safira, di manapun dia berada, semoga Allah selalu menjaganya. Pagi itu, Mama sengaja datang ke rumahku untuk mengantar sarapan juga memberi suport kepadaku. Untuk saat ini, memang itulah yang sangat aku butuhkan. Hidupku terasa hampa tanpa Safira, seakan separuh jiwaku pergi bersamanya. Berulang kali Mama membujukku untuk sarapan, namun selalu aku tolak. Rasa laparku seakan menguap entah ke mana. Padahal perutku belum terisi apapun sejak Safira menghilang. "Ayo Nak, makanlah