Bayi yang Kubawa dari Kota
Rupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal."Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta."Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah.Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah.Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia.Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan.Setelah berkeliling beberapa gang, akhirnya kutemukan sebuah kontrakan yang bisa dibayar perbulan. Memang itulah yang aku cari. Alasannya kalau kita tidak nyaman di tempat itu, kita bisa pindah tanpa harus menghabiskan kontrak setahun.Pilihanku jatuh pada sebuah rumah bercat hijau dengan ukuran yang pas menurutku. Setelah negosiasi harga dan menemukan titik temu, akhirnya aku membayar uang sewa untuk satu bulan ke depan. Setelah selesai, aku segera pulang untuk membereskan barang-barangku.Sesampainya di rumah, ternyata Pak Yanto dan Bu Ratmi sudah pulang. Mereka sedang duduk di ruang tamu, ngobrol bersama sang calon menantu.Sekalian saja aku bergabung dan mengutarakan keinginanku untuk pindah ke kontrakan. Meski awalnya berat, namun akhirnya Pak Yanto dan Bu Ratmi mengijinkanku untuk pindah setelah kukatakan terlanjur membayar uang sewa.Pagi harinya, dengan menyewa mobil bak terbuka aku resmi pindah dari rumah Pak Yanto dan Bu Ratmi. Mereka juga ikut membantu membereskan barang-barang bahkan ikut sampai kontrakan yang baru.Setelah semuanya selesai, aku segera memandikan Safira, dan mengajaknya pergi ke warung terdekat untuk membeli makanan."Neng, itu anaknya ya?" tanya Ibu penjual nasi."Iya Bu, ini anak saya." jawabku singkat."Eneng warga baru ya di sini, kok baru lihat?" tanya pembeli lain yang juga ikut mengantri."Iya, saya baru tadi siang pindah ke sini." jawabku apa adanya."Mari Bu, saya duluan." kataku sebelum mereka bertanya lebih jauh.Bukan tak mau bergaul, hanya membatasi diri agar tak terjadi hal-hal yang tidak baik. Apalagi di tempat seperti ini kalau ada warga baru sudah pasti menarik perhatian warga sekitar. Aku tak ingin mereka mengusik tentang masa laluku, itu saja.Sebisa mungkin akan kututup masa laluku yang kelam dengan lembaran baru yang lebih membahagiakan.Esok paginya, aku sengaja belanja sayur mentah karena Safira sudah bisa makan nasi. Jadi aku berusaha memasak sendiri makanannya, karena lebih terjamin menurutku."Eh ... lihat tuh, itukan warga baru yang tinggal di kontakan Blok D?" ujar seorang Ibu berdaster ungu sembari menyikut lengan lawan bicaranya."Iyakah, kok baru tahu aku?" tanya Si Ibu berdaster oren."Iya, denger-denger dia tak punya suami lho," sahut Ibu berdaster ungu lagi."Masak sih, jangan sok tahu deh!" ujar Ibu berdaster oren."Iyalah, kemarin aku lihat sendiri pindahannya. Gak ada tuh suaminya, yang ada malah kakek sam neneknya tuh bocah!" sahut Ibu daster ungu seraya menunjuk Safira."Jendes dong," sahut Ibu berdaster oren."Kali iya. Makanya, jagain suami kita-kita biar kagak diembat tuh jendes?" ujar Ibu berdaster ungu lagi.Meski berdiri agak jauh, namun aku masih bisa mendengar semuanya dengan jelas. Hatiku memanas mendengar obrolan mereka. Mungkin aku memang bukan orang baik, tapi tak bisakah mereka bersikap baik kepadaku? Setidaknya cukup ketika di depanku.Tak ingin terus mendengar cibiran mereka, aku segera membayar belanjaanku sebelum amarahku mendidih dan membuat keributan. Aku cukup sadar diri sebagai orang baru di sini.Sepanjang perjalanan aku terus beristighfar untuk mendinginkan panas hatiku. Tak ingin terpengaruh ucapan mereka yang bisa membuatku terpuruk.Sesampainya di rumah aku segera memasak karena kami memang belum sarapan. Kali ini sengaja memilih menu yang praktis agar lebih cepat matang yaitu sayur sop plus tempe goreng.Untunglah Safira tipe anak yang mudah diasuh, dia tak pernah rewel ketika aku sedang mengerjakan sesuatu. Cukup ada mainan dan cemilan sudah membuatnya asyik meski tanpa teman bermain.Ketika sedang menyuapi Safira, terdengar ketukan di pintu depan. Gegas aku berdiri untuk melihat siapa yang datang."Dedeknya lagi sarapan ya?" tanya Mbok Nah, pemilik kontrakan yang aku tempati."Iya Mbok, mari masuk dulu!" kataku seraya membuka pintu lebih lebar."Tak usah Nak, ini ada bayam hasil panen kebun belakang. Kalau sewaktu-waktu butuh, kamu bisa petik sendiri tanpa perlu ijin dariku." kata Mbok Nah sembari menunjuk kebun belakang yang memang terdapat kebun bayam di sana."Terima kasih banyak ya Mbok," jawabku tulus."Sama-sama Nak. Oh ya, kalau ada orang yang berani macam-macam sama kamu, bilang aja ke Simbok ya? Jangan terlalu didengerin omongan mereka." kata Mbok Nah panjang lebar sebelum akhirnya pamit pulang.Aku bersyukur meski banyak orang yang mencibir, namun masih ada juga orang yang baik terhadapku. Semoga aku betah tinggal di kontrakan ini.Hari ini adalah ulang tahun Bu Alma, pemilik toko online yang memberi pekerjaan kepadaku. Semua orang yang berhubungan dengan Bu Alma diundang, termasuk aku.Acaranya diadakan sore hari sehingga tidak mengganggu jam tidur Safira. Gadis kecilku itu sudah cantik dengan dres pink, serasi dengan sepatu dan bandonya. Sedangkan aku memakai dres warna salem dengan sepatu warna senada juga.Dengan memesan ojek online, sampailah aku di rumah mewah Bu Alma. Aku sangat penasaran seperti apa wajah orang yang telah memberi pekerjaan kepadaku.Rupanya aku datang terlambat, karena di rumah itu sudah penuh sesak dengan tamu undangan. Kebanyakan mereka datang bersama keluarganya yang memang sengaja diundang untuk menghadiri acara tersebut.Safira sedikit rewel karena tak biasa berada dikerumunan banyak orang. Aku yang kesulitan menenangkan Safira akhirnya mundur mencari tempat yang sedikit lebih longgar. Namun sayang, ketika hendak berbalik tak sengaja aku menabrak pelayan yang hendak mengantarkan minuman."Pyar ...." Nampan berisi gelas tersebut jatuh berserakan dan mengundang perhatian banyak orang.Safira yang ikut terkejut langsung menangis ketakutan. Semua mata tertuju kepadaku dan Safira hingga tak sedikit dari orang-orang itu mencibir kecerobohanku."Maaf, aku tak sengaja," Kataku kepada pelayan tadi yang menatapku dengan pandangan kesal.Tak mau menghiraukan cibiran mereka, aku segera berlari keluar hendak pulang saja. Malu rasanya karena sudah membuat kekacauan diacara orang lain.Lagi-lagi aku ceroboh, karena tak hati-hati hampir saja aku terjatuh saat tak sengaja kakiku menendang pot besar di halaman rumah itu. Untung saja sebelum aku rubuh ke tanah, ada sebuah tangan kekar yang memegangi tubuhku dari belakang."Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku.Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal."Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu.Bersambung.....Bayi yang Kubawa dari Kota"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku. Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal. "Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu. Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing. "Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk. Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin. "Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis. Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya. Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengam
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..
Bayi yang Kubawa dari Kota"Papa ... Papa ...." terdengar suara rintihan Safira mengigau malam itu. Spontan aku terbangun dan meraba kening Safira, yang terasa sangat panas. Anak itu demam, entah apa yang harus aku lakukan, otakku buntu tak bisa memikirkan sesuatu. Kompres, hanya itu yang terpikir. Mau minta bantuan pada tetangga juga tak mungkin karena di luar hujan cukup deras. Kulihat jam dinding, tepat jam tiga pagi. Kalaupun di bawa ke dokter, belum ada yang praktek jam segini. Apalagi aku tak punya kendaraan untuk membawa Safira ke dokter. Mungkinkah Safira sangat merindukan ayahnya, hingga dalam tidurpun dia masih mencarinya? Hatiku perih, merasa bersalah karena sampai kini Safira belum pernah bertemu dengan ayahnya. Setelah kukompres, perlahan panasnya mulai turun, namun dia menjadi rewel. Kugendong, kemudian kuayun dengan pelan agar dia kembali tertidur. Setelah Safira terlelap, akupun ikut berbaring di sampingnya, karena mataku juga masih sangat mengantuk.Belum sempat
Bayi yang Kubawa dari KotaSeketika wajah Bu Alma berubah sendu setelah aku mengatakan tentang asal-usul liontin tersebut. Seakan ada kerinduan yang terpendam di mata teduhnya. Siapa Bu Alma sebenarnya?"Ibumu adalah sahabatku Sayang, sahabat yang selama ini kucari-cari." kata Bu Alma seraya memelukku erat. "Dulu kami berjanji setelah menikah akan tetap menjadi saudara, bahkan jika anak kami nanti mau dijodohkan, kami akan menjadi besan. Namun semenjak aku pindah bersama keluargaku, ibumu sudah tak bisa dihubungi lagi. Aku kehilangan jejak ibumu." kata Bu Alma panjang lebar. "Pantas saja sejak pertama melihatmu, aku merasa tak asing dengan wajahmu. Karena kamu benar-benar mirip dengan ibumu. Kemarin waktu aku mengajakmu bertemu, sebenarnya ingin menanyakan kebenaran ini dan sekarang sudah terjawab semuanya." kata Bu Alma panjang lebar. Kini giliran aku yang shock mendengar pernyataan Bu Alma, aku tak percaya. Pasti semua ini hanya mimpi, batinku berkali-kali. Mana mungkin ibuku ya
POV Yusuf 1Sejak pertama kali melihat Amira di toko waktu itu, rasanya hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini sebelumnya, bahkan kepada Safitri sekalipun. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang pasti sejak kejadian itu, bayangan Amira selalu berkelebat memenuhi isi kepala.Namun, pantaskah aku menyukainya, sedangkan status pernikahanku saja sampai saat ini masih belum jelas. Aku memang pernah menikah, karena dijodohkan kedua orang tua. Meski awalnya tak ada rasa, namun seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta itu mulai tumbuh untuk Safitri, istriku.Tak dapat dipungkiri, aku mulai menyayanginya hingga tumbuh benih cinta di rahim istriku. Namun karena kesalahpahaman diantara kami, Safitri pergi meninggalkanku di saat bunga cinta mulai bersemi. Ya, Safitri pergi di saat dia sedang mengandung buah cinta kami. Safitri memang bukan gadis satu daerah denganku. Aceh, itulah tanah kelahirannya. Berbagai cara telah k
Bayi yang Kubawa dari KotaPov Yusuf 2Melihat kepedulian Mama terhadap Amira dan Safira, aku merasa tak terima karena mereka yang telah membuat Mama seperti ini. Entahlah, pikiranku mendadak berubah seperti anak kecil, aku takut mereka mengambil kasih sayang Mama dariku. Mungkin karena sejak kecil selalu menjadi pusat perhatian mama dan papa, hingga membuatku tak suka bila ada orang lain berada di posisiku.Apalagi semenjak papa tiada, otomatis kasih sayang yang kudapat hanya dari mama. Tanggung jawab papa juga berpindah kepadaku untuk selalu menjaga Mama. Rasanya tak rela kalau sampai ada orang lain yang membuat hatinya terluka. Apalagi setelah sampai di kamar Safira, terang-terangaan Mama menyuruhku untuk keluar dari sana. Sebenarnya, apa yang mereka sembunyikan dariku, membuatku makin penasaran saja."Suf, mulai hari ini, Amira dan Safira akan tinggal bersama dengan kita." Entah ada angin apa, tiba-tiba saja mama meminta Amira tinggal bersama kami."Tinggal dengan kita, tapi kena
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 14Setelah tiga hari dirawat, hari ini Safira sudah boleh pulang. Mama sengaja datang bersama Mas Yusuf untuk menjemput kami. Mama terlihat bahagia hari ini, begitu juga dengan Mas Yusuf. Dia kembali ramah seperti sebelumnya, mungkin kemarin salah minum obat jadi bawaannya kaku kaya kanebo kering, he ... he ....Awalnya Mama mengajakku untuk pulang ke rumahnya, namun sebisa mungkin kutolak dengan halus. Aku tak ingin kedatanganku di rumah itu justru menjadi bahan gunjingan tetangga. Meski awalnya aku sudah setuju, namun setelah kupikir-pikir sepertinya lebih baik aku menolak permintaan Mama. Apalagi status Mas Yusuf masih suami orang, bisa jadi aku dicap sebagai pelakor kalau tiba-tiba tinggal di rumah itu. Sesampainya di kontrakan, para tetangga yang biasa julidin aku heboh melihatku turun dari mobil mewah. Apalagi setelah melihat Mama dan Mas Yusuf turut mengantarkanku. Siapa sih yang tak kenal dengan mereka, orang terkaya nomor lima di Jogja. Mere
Bayi yang Kubawa dari Kota'Tidak! Itu tak boleh terjadi, kakiku baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki, namun usahaku sia-sia. Kedua kakiku tetap diam tak bergerak. Mama dan Mas Yusuf tampak saling pandang melihat usahaku yang sia-sia. Perlahan kulihat kaca-kaca bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mata Mama. Apa yang aku lihat, sudah mewakilkan penjelasan yang tidak mereka katakan. Hatiku hancur seketika, takut membayangkan kedepannya bagaimana caraku hidup dengan kedua kaki yang lumpuh. "Tida ... ak!" Seketika aku kalap, tak bisa mengendalikan emosiku sendiri. Kuraih apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Mama terlihat panik dan segera memelukku erat, aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, merutuki nasib buruk yang seolah selalu akrab denganku. Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku Ya Tuhan? Rasanya aku sudah tak punya semangat lagi untuk hidup, bayanga
Bayi yang Kubawa dari Kota Part 26Setelah pembagian selesai, kami pamit berziarah ke makam keluargaku untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Sesampainya di makam, kutumpahkan segala kerinduan pada keluargaku yang berada di bawah batu nisan itu. Kusirami makam itu dengan air do'a dan taburan bunga. Mama ikut terharu melihatku menangis di atas pusara keluargaku. Gerimis mulai turun ketika kami selesai berdo'a. Mas Yusuf dengan sigap berlari mengambil payung dan mengajak kami segera memasuki mobil. Hatiku berbunga-bunga melihat perhatian yang ditunjukkannya. Perlahan mobil yang kami tumpangi keluar dari area pemakaman. Setelah berhenti di restoran untuk makan siang, mobil yang kami tumpangi kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sementara itu, hujan semakin deras mengguyur sepanjang jalan, sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati. Mas Yusuf duduk di depan bersama sopir, sementara aku berada di bangku belakang bersama Mama dan Safira. Mungkin karena kelelahan, anak itu sudah
Bayi yang Kubawa dari KotaMeskipun sekarang sudah berjilbab, namun tetanggaku tetap bisa mengenaliku. Mereka berbisik-bisik mengetahui kepulanganku. "Masih punya nyali untuk pulang ya, atau karena sudah tak punya muka jadi hilang rasa malunya?" Spontan aku menoleh pada sebuah suara yang sangat aku kenal.Tak kuhiraukan cibirannya, aku terus berjalan melewatinya begitu saja. "Ee ... di tanya kok malah pergi, dasar bocah tak tahu malu. Amit-amit dah punya mantan warga kayak kamu!" teriaknya lagi semakin membuatku emosi. Sebisa mungkin kutahan amarahku agar tak lagi membuat kekacauan di kampung ini. Aku hanya ingin hidupku tenteram, tak ingin lagi ada amarah apalagi dendam. Namun semakin dibiarkan, sepertinya ibu satu itu semakin kelewatan. "Ibu-ibu, sini deh! Lihat tuh, Si Amira pulang lagi ke kampung kita. Pasti dia mau bikin ulah lagi di kampung ini!" teriak Bu Mirna, kembali memprovokasi warga. Satu persatu tetanggaku keluar, mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Bu Mirna.
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 24Setelah menerima panggilan dari Mak Ijah, Mama meminta sopir untuk memutar balik mobilnya dan pulang ke rumah. Entah apa yang terjadi, karena Mama tak mengatakan alasannya. Selama perjalanan pulang, kami semua hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali hanya menyahuti celotehan Safira yang tak bosan menanyakan apa yang dilihatnya. Sesampainya di rumah, tampak dua orang berseragam dealer sedang menunggu kami. Mereka duduk di teras rumah ditemani Mak Ijah. Melihat kami turun, mereka segera menghampiri Mama dan Mas Yusuf. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat mereka pergi setelah menyerahkan sebuah kunci mobil kepada Mama. Setelah mereka pergi, Mama datang menghampiriku dan mengajakku untuk menuju garasi. Di dalam sana, tampak tiga buah mobil berjajar rapi. Aku penasaran untuk apa Mama membeli mobil baru, bukankah sudah ada dua buah sebelumnya? Satu untuk Mas Yusuf bekerja dan satunya untuk Mama. "Amira, karena sebentar lagi kamu a
Bayi yang Kubawa dari KotaSafira yang menjadi rebutan Papa dan Omanya justru berlari ke arahku. Anak itu minta dimandikan dan memakai baju baru. Segera kuturuti permintaan Safira, berharap dengan menghilang dari pandangan Mas Yusuf akan sedikit bisa menetralkan degup jantungku. Namun aku salah, kemanapun aku pergi bayangannya tak juga menghilang dari ingatanku. Menempel di dinding seperti cicak, berenang di air seperti bebek bahkan di wajah Safira juga ada bayangan Mas Yusuf. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta?Setelah mandi dan berganti baju, Safira kembali menggelayut di paha Mas Yusuf. Anak itu seakan tak mau lepas dari papanya. "Horee__ aku punya Papa sama Mama seperti Icha. Sekarang dia tak akan bisa mengejekku tak punya Papa." celoteh Safira kegirangan menceritakan teman bermainnya dulu sewaktu di kontrakan. Mendengar celotehan Safira, Mama kembali menitikkan air mata. Mungkin sedih membayangkan kondisi kami sebelumnya. "Oma kenapa nangis? Oh ya, tadi Safira mimpi ketemu
Bayi yang Kubawa dari KotaDemi memantapkan pilihan, kucoba menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, meski berat namun aku akan berusaha untuk kuat. Ketika bayi itu hendak kutinggalkan, kukecup sekali lagi bayi tak berdosa itu. Tanpa kusadari, air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tangannya bergerak gerak seakan mencegah kepergianku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya kembali bersamaku?Hatiku hancur membayangkan seandainya hal itu terjadi kepadaku. Dicampakkan dari satu tangan ke tangan lainnya demi untuk mendapatkan belas kasihan orang. Sungguh aku tak rela itu terjadi kepadanya. Cukup aku saja yang mengalami pedihnya hidup tanpa orang tua, tanpa kasih sayangnya hingga semakin akrab dengan derita dan duka lara. Kuambil kembali bayi mungil itu, kudekap erat di dadaku. Kami menangis bersama, dalam hati aku berjanji tak akan lagi meninggalkannya apapun yang terjadi. Wildan marah besar setelah aku mengatakan untuk tetap merawat bayi itu. Secara sepihak dia memutu
Bayi yang Kubawa dari KotaWanita itu terus menjerit menahan sakit, hingga tak lama kemudian lahirlah bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan. Atas inisiatif warga, maka di panggillah seorang bidan terdekat untuk menangani perempuan itu dan bayinya. Wanita itu tampak tersenyum melihat bayi mungilnya, begitupun denganku yang langsung jatuh cinta begitu melihatnya. "Dek, siapapun kamu, tolong rawat anak ini baik-baik ya? Aku minta sama kamu, apapun yang terjadi jangan berikan bayi ini pada siapapun. Kamu orang baik, karena itu aku percaya kepadamu." kata wanita itu dengan suara serak. Aku tak percaya mendengar permintaannya. Bukankah bayi itu miliknya, kenapa harus diserahkan padaku? Sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya waktu itu. Haruskah aku menerima permintaannya?Tak bisa kubayangkan bagaimana caraku merawat bayi mungil itu. Menikah saja belum, apalagi merawat bayi seorang diri, pasti akan banyak resiko yang harus aku tanggung nantinya. Setelah mengatakan itu, perlahan
Bayi yang Kubawa dari KotaKali ini semua mata tertuju padaku, sedangkan aku sendiri tak tahu apa maksud dari ucapannya itu. "Apa maksud dari ucapanmu, jelaskan sekarang!" Bentak Mas Yusuf marah. "Sampai kapanpun, aku tak akan memberitahumu. Satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa anakmu masih hidup. Silakan cari sendiri keberadaannya ha ... ha ...ha ...." Kali ini tawa Safitri terdengar sangat menyebalkan, bahkan membuat Mas Yusuf mengepalkan kedua tangannya. Kalau bukan seorang perempuan, mungkin orang itu sudah habis di hajarnya. "Sudah Pak, saya serahkan mereka kepada kalian. Hukum mereka sesuai perbuatannya!" kata Mas Yusuf kepada polisi untuk mengakhiri perdebatan. Setelah itu, Mas Yusuf mengajak kami pulang. Safira sudah sejak tadi tertidur dalam gendonganku. Mungkin anak itu kelelahan dan tertekan selama dalam penculikan. Karena itu kini dia tertidur pulas saat sudah merasa aman. Selama dalam perjalanan, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri belum menger
Bayi yang Kubawa dari KotaMalam harinya, aku benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayanganku terus berkelana, memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Safira. Bagaimana jika anak itu menangis mencariku? Biasanya dia tidur dalam dekapanku, bangun tengah malam minta susu. Lalu sekarang, siapa yang akan membuatkannya? Hingga azan Subuh berkumandang, mata ini tetap tak mau terpejam. Segera aku bangkit mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku. Dalam sujudku, tak lupa teriring do'a untuk Safira, di manapun dia berada, semoga Allah selalu menjaganya. Pagi itu, Mama sengaja datang ke rumahku untuk mengantar sarapan juga memberi suport kepadaku. Untuk saat ini, memang itulah yang sangat aku butuhkan. Hidupku terasa hampa tanpa Safira, seakan separuh jiwaku pergi bersamanya. Berulang kali Mama membujukku untuk sarapan, namun selalu aku tolak. Rasa laparku seakan menguap entah ke mana. Padahal perutku belum terisi apapun sejak Safira menghilang. "Ayo Nak, makanlah