Bayi yang Kubawa dari Kota
Rupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal."Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta."Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah.Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah.Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia.Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan.Setelah berkeliling beberapa gang, akhirnya kutemukan sebuah kontrakan yang bisa dibayar perbulan. Memang itulah yang aku cari. Alasannya kalau kita tidak nyaman di tempat itu, kita bisa pindah tanpa harus menghabiskan kontrak setahun.Pilihanku jatuh pada sebuah rumah bercat hijau dengan ukuran yang pas menurutku. Setelah negosiasi harga dan menemukan titik temu, akhirnya aku membayar uang sewa untuk satu bulan ke depan. Setelah selesai, aku segera pulang untuk membereskan barang-barangku.Sesampainya di rumah, ternyata Pak Yanto dan Bu Ratmi sudah pulang. Mereka sedang duduk di ruang tamu, ngobrol bersama sang calon menantu.Sekalian saja aku bergabung dan mengutarakan keinginanku untuk pindah ke kontrakan. Meski awalnya berat, namun akhirnya Pak Yanto dan Bu Ratmi mengijinkanku untuk pindah setelah kukatakan terlanjur membayar uang sewa.Pagi harinya, dengan menyewa mobil bak terbuka aku resmi pindah dari rumah Pak Yanto dan Bu Ratmi. Mereka juga ikut membantu membereskan barang-barang bahkan ikut sampai kontrakan yang baru.Setelah semuanya selesai, aku segera memandikan Safira, dan mengajaknya pergi ke warung terdekat untuk membeli makanan."Neng, itu anaknya ya?" tanya Ibu penjual nasi."Iya Bu, ini anak saya." jawabku singkat."Eneng warga baru ya di sini, kok baru lihat?" tanya pembeli lain yang juga ikut mengantri."Iya, saya baru tadi siang pindah ke sini." jawabku apa adanya."Mari Bu, saya duluan." kataku sebelum mereka bertanya lebih jauh.Bukan tak mau bergaul, hanya membatasi diri agar tak terjadi hal-hal yang tidak baik. Apalagi di tempat seperti ini kalau ada warga baru sudah pasti menarik perhatian warga sekitar. Aku tak ingin mereka mengusik tentang masa laluku, itu saja.Sebisa mungkin akan kututup masa laluku yang kelam dengan lembaran baru yang lebih membahagiakan.Esok paginya, aku sengaja belanja sayur mentah karena Safira sudah bisa makan nasi. Jadi aku berusaha memasak sendiri makanannya, karena lebih terjamin menurutku."Eh ... lihat tuh, itukan warga baru yang tinggal di kontakan Blok D?" ujar seorang Ibu berdaster ungu sembari menyikut lengan lawan bicaranya."Iyakah, kok baru tahu aku?" tanya Si Ibu berdaster oren."Iya, denger-denger dia tak punya suami lho," sahut Ibu berdaster ungu lagi."Masak sih, jangan sok tahu deh!" ujar Ibu berdaster oren."Iyalah, kemarin aku lihat sendiri pindahannya. Gak ada tuh suaminya, yang ada malah kakek sam neneknya tuh bocah!" sahut Ibu daster ungu seraya menunjuk Safira."Jendes dong," sahut Ibu berdaster oren."Kali iya. Makanya, jagain suami kita-kita biar kagak diembat tuh jendes?" ujar Ibu berdaster ungu lagi.Meski berdiri agak jauh, namun aku masih bisa mendengar semuanya dengan jelas. Hatiku memanas mendengar obrolan mereka. Mungkin aku memang bukan orang baik, tapi tak bisakah mereka bersikap baik kepadaku? Setidaknya cukup ketika di depanku.Tak ingin terus mendengar cibiran mereka, aku segera membayar belanjaanku sebelum amarahku mendidih dan membuat keributan. Aku cukup sadar diri sebagai orang baru di sini.Sepanjang perjalanan aku terus beristighfar untuk mendinginkan panas hatiku. Tak ingin terpengaruh ucapan mereka yang bisa membuatku terpuruk.Sesampainya di rumah aku segera memasak karena kami memang belum sarapan. Kali ini sengaja memilih menu yang praktis agar lebih cepat matang yaitu sayur sop plus tempe goreng.Untunglah Safira tipe anak yang mudah diasuh, dia tak pernah rewel ketika aku sedang mengerjakan sesuatu. Cukup ada mainan dan cemilan sudah membuatnya asyik meski tanpa teman bermain.Ketika sedang menyuapi Safira, terdengar ketukan di pintu depan. Gegas aku berdiri untuk melihat siapa yang datang."Dedeknya lagi sarapan ya?" tanya Mbok Nah, pemilik kontrakan yang aku tempati."Iya Mbok, mari masuk dulu!" kataku seraya membuka pintu lebih lebar."Tak usah Nak, ini ada bayam hasil panen kebun belakang. Kalau sewaktu-waktu butuh, kamu bisa petik sendiri tanpa perlu ijin dariku." kata Mbok Nah sembari menunjuk kebun belakang yang memang terdapat kebun bayam di sana."Terima kasih banyak ya Mbok," jawabku tulus."Sama-sama Nak. Oh ya, kalau ada orang yang berani macam-macam sama kamu, bilang aja ke Simbok ya? Jangan terlalu didengerin omongan mereka." kata Mbok Nah panjang lebar sebelum akhirnya pamit pulang.Aku bersyukur meski banyak orang yang mencibir, namun masih ada juga orang yang baik terhadapku. Semoga aku betah tinggal di kontrakan ini.Hari ini adalah ulang tahun Bu Alma, pemilik toko online yang memberi pekerjaan kepadaku. Semua orang yang berhubungan dengan Bu Alma diundang, termasuk aku.Acaranya diadakan sore hari sehingga tidak mengganggu jam tidur Safira. Gadis kecilku itu sudah cantik dengan dres pink, serasi dengan sepatu dan bandonya. Sedangkan aku memakai dres warna salem dengan sepatu warna senada juga.Dengan memesan ojek online, sampailah aku di rumah mewah Bu Alma. Aku sangat penasaran seperti apa wajah orang yang telah memberi pekerjaan kepadaku.Rupanya aku datang terlambat, karena di rumah itu sudah penuh sesak dengan tamu undangan. Kebanyakan mereka datang bersama keluarganya yang memang sengaja diundang untuk menghadiri acara tersebut.Safira sedikit rewel karena tak biasa berada dikerumunan banyak orang. Aku yang kesulitan menenangkan Safira akhirnya mundur mencari tempat yang sedikit lebih longgar. Namun sayang, ketika hendak berbalik tak sengaja aku menabrak pelayan yang hendak mengantarkan minuman."Pyar ...." Nampan berisi gelas tersebut jatuh berserakan dan mengundang perhatian banyak orang.Safira yang ikut terkejut langsung menangis ketakutan. Semua mata tertuju kepadaku dan Safira hingga tak sedikit dari orang-orang itu mencibir kecerobohanku."Maaf, aku tak sengaja," Kataku kepada pelayan tadi yang menatapku dengan pandangan kesal.Tak mau menghiraukan cibiran mereka, aku segera berlari keluar hendak pulang saja. Malu rasanya karena sudah membuat kekacauan diacara orang lain.Lagi-lagi aku ceroboh, karena tak hati-hati hampir saja aku terjatuh saat tak sengaja kakiku menendang pot besar di halaman rumah itu. Untung saja sebelum aku rubuh ke tanah, ada sebuah tangan kekar yang memegangi tubuhku dari belakang."Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku.Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal."Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu.Bersambung.....Bayi yang Kubawa dari Kota"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku. Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal. "Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu. Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing. "Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk. Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin. "Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis. Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya. Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengam
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..
Bayi yang Kubawa dari Kota"Papa ... Papa ...." terdengar suara rintihan Safira mengigau malam itu. Spontan aku terbangun dan meraba kening Safira, yang terasa sangat panas. Anak itu demam, entah apa yang harus aku lakukan, otakku buntu tak bisa memikirkan sesuatu. Kompres, hanya itu yang terpikir. Mau minta bantuan pada tetangga juga tak mungkin karena di luar hujan cukup deras. Kulihat jam dinding, tepat jam tiga pagi. Kalaupun di bawa ke dokter, belum ada yang praktek jam segini. Apalagi aku tak punya kendaraan untuk membawa Safira ke dokter. Mungkinkah Safira sangat merindukan ayahnya, hingga dalam tidurpun dia masih mencarinya? Hatiku perih, merasa bersalah karena sampai kini Safira belum pernah bertemu dengan ayahnya. Setelah kukompres, perlahan panasnya mulai turun, namun dia menjadi rewel. Kugendong, kemudian kuayun dengan pelan agar dia kembali tertidur. Setelah Safira terlelap, akupun ikut berbaring di sampingnya, karena mataku juga masih sangat mengantuk.Belum sempat
Bayi yang Kubawa dari KotaSeketika wajah Bu Alma berubah sendu setelah aku mengatakan tentang asal-usul liontin tersebut. Seakan ada kerinduan yang terpendam di mata teduhnya. Siapa Bu Alma sebenarnya?"Ibumu adalah sahabatku Sayang, sahabat yang selama ini kucari-cari." kata Bu Alma seraya memelukku erat. "Dulu kami berjanji setelah menikah akan tetap menjadi saudara, bahkan jika anak kami nanti mau dijodohkan, kami akan menjadi besan. Namun semenjak aku pindah bersama keluargaku, ibumu sudah tak bisa dihubungi lagi. Aku kehilangan jejak ibumu." kata Bu Alma panjang lebar. "Pantas saja sejak pertama melihatmu, aku merasa tak asing dengan wajahmu. Karena kamu benar-benar mirip dengan ibumu. Kemarin waktu aku mengajakmu bertemu, sebenarnya ingin menanyakan kebenaran ini dan sekarang sudah terjawab semuanya." kata Bu Alma panjang lebar. Kini giliran aku yang shock mendengar pernyataan Bu Alma, aku tak percaya. Pasti semua ini hanya mimpi, batinku berkali-kali. Mana mungkin ibuku ya
POV Yusuf 1Sejak pertama kali melihat Amira di toko waktu itu, rasanya hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini sebelumnya, bahkan kepada Safitri sekalipun. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang pasti sejak kejadian itu, bayangan Amira selalu berkelebat memenuhi isi kepala.Namun, pantaskah aku menyukainya, sedangkan status pernikahanku saja sampai saat ini masih belum jelas. Aku memang pernah menikah, karena dijodohkan kedua orang tua. Meski awalnya tak ada rasa, namun seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta itu mulai tumbuh untuk Safitri, istriku.Tak dapat dipungkiri, aku mulai menyayanginya hingga tumbuh benih cinta di rahim istriku. Namun karena kesalahpahaman diantara kami, Safitri pergi meninggalkanku di saat bunga cinta mulai bersemi. Ya, Safitri pergi di saat dia sedang mengandung buah cinta kami. Safitri memang bukan gadis satu daerah denganku. Aceh, itulah tanah kelahirannya. Berbagai cara telah k
Bayi yang Kubawa dari KotaPov Yusuf 2Melihat kepedulian Mama terhadap Amira dan Safira, aku merasa tak terima karena mereka yang telah membuat Mama seperti ini. Entahlah, pikiranku mendadak berubah seperti anak kecil, aku takut mereka mengambil kasih sayang Mama dariku. Mungkin karena sejak kecil selalu menjadi pusat perhatian mama dan papa, hingga membuatku tak suka bila ada orang lain berada di posisiku.Apalagi semenjak papa tiada, otomatis kasih sayang yang kudapat hanya dari mama. Tanggung jawab papa juga berpindah kepadaku untuk selalu menjaga Mama. Rasanya tak rela kalau sampai ada orang lain yang membuat hatinya terluka. Apalagi setelah sampai di kamar Safira, terang-terangaan Mama menyuruhku untuk keluar dari sana. Sebenarnya, apa yang mereka sembunyikan dariku, membuatku makin penasaran saja."Suf, mulai hari ini, Amira dan Safira akan tinggal bersama dengan kita." Entah ada angin apa, tiba-tiba saja mama meminta Amira tinggal bersama kami."Tinggal dengan kita, tapi kena
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 14Setelah tiga hari dirawat, hari ini Safira sudah boleh pulang. Mama sengaja datang bersama Mas Yusuf untuk menjemput kami. Mama terlihat bahagia hari ini, begitu juga dengan Mas Yusuf. Dia kembali ramah seperti sebelumnya, mungkin kemarin salah minum obat jadi bawaannya kaku kaya kanebo kering, he ... he ....Awalnya Mama mengajakku untuk pulang ke rumahnya, namun sebisa mungkin kutolak dengan halus. Aku tak ingin kedatanganku di rumah itu justru menjadi bahan gunjingan tetangga. Meski awalnya aku sudah setuju, namun setelah kupikir-pikir sepertinya lebih baik aku menolak permintaan Mama. Apalagi status Mas Yusuf masih suami orang, bisa jadi aku dicap sebagai pelakor kalau tiba-tiba tinggal di rumah itu. Sesampainya di kontrakan, para tetangga yang biasa julidin aku heboh melihatku turun dari mobil mewah. Apalagi setelah melihat Mama dan Mas Yusuf turut mengantarkanku. Siapa sih yang tak kenal dengan mereka, orang terkaya nomor lima di Jogja. Mere