Bayi yang Kubawa dari KotaMeskipun sekarang sudah berjilbab, namun tetanggaku tetap bisa mengenaliku. Mereka berbisik-bisik mengetahui kepulanganku. "Masih punya nyali untuk pulang ya, atau karena sudah tak punya muka jadi hilang rasa malunya?" Spontan aku menoleh pada sebuah suara yang sangat aku kenal.Tak kuhiraukan cibirannya, aku terus berjalan melewatinya begitu saja. "Ee ... di tanya kok malah pergi, dasar bocah tak tahu malu. Amit-amit dah punya mantan warga kayak kamu!" teriaknya lagi semakin membuatku emosi. Sebisa mungkin kutahan amarahku agar tak lagi membuat kekacauan di kampung ini. Aku hanya ingin hidupku tenteram, tak ingin lagi ada amarah apalagi dendam. Namun semakin dibiarkan, sepertinya ibu satu itu semakin kelewatan. "Ibu-ibu, sini deh! Lihat tuh, Si Amira pulang lagi ke kampung kita. Pasti dia mau bikin ulah lagi di kampung ini!" teriak Bu Mirna, kembali memprovokasi warga. Satu persatu tetanggaku keluar, mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Bu Mirna.
Bayi yang Kubawa dari Kota Part 26Setelah pembagian selesai, kami pamit berziarah ke makam keluargaku untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Sesampainya di makam, kutumpahkan segala kerinduan pada keluargaku yang berada di bawah batu nisan itu. Kusirami makam itu dengan air do'a dan taburan bunga. Mama ikut terharu melihatku menangis di atas pusara keluargaku. Gerimis mulai turun ketika kami selesai berdo'a. Mas Yusuf dengan sigap berlari mengambil payung dan mengajak kami segera memasuki mobil. Hatiku berbunga-bunga melihat perhatian yang ditunjukkannya. Perlahan mobil yang kami tumpangi keluar dari area pemakaman. Setelah berhenti di restoran untuk makan siang, mobil yang kami tumpangi kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sementara itu, hujan semakin deras mengguyur sepanjang jalan, sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati. Mas Yusuf duduk di depan bersama sopir, sementara aku berada di bangku belakang bersama Mama dan Safira. Mungkin karena kelelahan, anak itu sudah
Bayi yang Kubawa dari Kota'Tidak! Itu tak boleh terjadi, kakiku baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki, namun usahaku sia-sia. Kedua kakiku tetap diam tak bergerak. Mama dan Mas Yusuf tampak saling pandang melihat usahaku yang sia-sia. Perlahan kulihat kaca-kaca bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mata Mama. Apa yang aku lihat, sudah mewakilkan penjelasan yang tidak mereka katakan. Hatiku hancur seketika, takut membayangkan kedepannya bagaimana caraku hidup dengan kedua kaki yang lumpuh. "Tida ... ak!" Seketika aku kalap, tak bisa mengendalikan emosiku sendiri. Kuraih apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Mama terlihat panik dan segera memelukku erat, aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, merutuki nasib buruk yang seolah selalu akrab denganku. Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku Ya Tuhan? Rasanya aku sudah tak punya semangat lagi untuk hidup, bayanga
BAYI YANG KUBAWA DARI KOTA" Usir! usir! teriak warga yang berkerumun di depan rumahku. "Hei, keluar kau Amira! Jangan membuat malu di kampung kita! teriak Bu Mirna sembari menabuh ember yang membuat suasana semakin ribut.Ibu-ibu lain yang terprovokasi juga ikut meneriakiku. Mereka berbondong-bondong mendatangi rumahku. Badanku panas dingin, belum pernah merasakan ketakutan sehebat ini. Kudekap erat bayi dalam gendonganku, berjalan mondar-mandir memikirkan langkah apa yang harus kuambil. Kusibak tirai jendela untuk melihat kondisi di luar, ternyata kerumunan warga semakin banyak. Kampung yang dulu terkenal dengan warganya yang ramah, mendadak beringas setelah mendengar berita kepulanganku. Seakan mata hati mereka sudah tertutup untuk melihat diriku dari sisi yang lain. Sementara itu Safira, bayi mungil dalam gendonganku semakin menggeliat tak nyaman. Sepertinya dia tahu dengan apa yang aku rasakan. Apalagi bayi mungil itu sempat demam semalam, sesaat setelah sampai di kampung ini
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 2Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku. Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini. Ingin bertanya pada orang lain juga tidak mungkin, karena kebanyakan penumpang sudah turun dan berganti dengan penumpang yang lain. Untunglah tadi sudah membayar ongkos bus terlebih dulu, sehingga tak perlu malu karena tak bisa membayar. Dengan langkah gontai aku keluar dari area terminal Jombor. Tak tahu lagi kemana arah tujuanku, apalagi ponsel satu-satunya ikut raib di dalam tas itu. Safira mulai menangis, pasti bayiku itu lapar dan haus. Segera aku menuju penjual angkringan yang mangkal di daerah situ untuk meminta air panas guna menyeduh susu. Untunglah Ibu penjualnya sangat
Bayi yang Kubawa dari KotaMendengar jawabanku, Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya diam saling pandang. Sementara aku, harap-harap cemas menanti jawaban mereka."Jangan di pikirkan, biarkan saja mereka. Nanti juga diam sendiri, kasihan anakmu kalau harus berpindah pindah terus. Kalau kamu jenuh di rumah, nanti aku carikan pekerjaan yang bisa sambil menjaga anakmu." ujar Bu Ratmi meyakinkanku. Setelah selesai sarapan, Bu Ratmi dan Pak Yanto berangkat bersama sembari mendorong gerobaknya. Safira belum bangun juga, jadi aku punya waktu untuk mandi dan mencuci piring bekas sarapan tadi. "Nduk, ada yang ingin Ibu bicarakan kepadamu." kata Bu Ratmi di depan pintu kamarku malam itu. " Iya Bu," jawabku sembari berjalan meninggalkan kamar. Aku merasa penasaran, karena sepertinya serius sekali. Sebenarnya apa yang ingin Bu Ratmi bicarakan?"Begini Nak, tadi Bapak ketemu teman yang jualan online. Katanya dia lagi butuh tenaga buat masarin dagangannya. Kalau bersedia, kamu bisa ambil peluang itu unt
Bayi yang Kubawa dari KotaKupercepat langkah menuju rumah agar bisa segera merebahkan tubuh di kamarku. Rasanya siang ini semakin panas saja, apalagi setelah mendengar ocehan Bu Yuni tadi. Tak terasa, sampai juga di rumah Bu Ratmi. Niat hati ingin beristirahat, namun aku justru terkejut melihat semua barang barangku sudah berada di ruang tamu. Seketika lututku lemas melihat semua itu. Ya Allah, ada apa lagi ini? Kenapa ada saja yang mengusik ketenanganku. Apakah aku tak berhak bahagia bersama anakku?Lututku terasa lemas, seakan tubuhku tak bertulang. Buliran bening kembali menganak sungai di pelupuk mata. Dengan langkah gontai kumasuki kamar yang biasa aku tempati. Namun di dalam kamar itu tampak Farhan tidur lelap, seiring suara dengkurannya yang semakin keras. Rupanya dia marah karena kamarnya aku tempati bersama Safira.Biarlah aku yang mengalah, toh kamar itu memang miliknya jadi dia berhak menempatinya kembali. Perlahan kuletakkan bayiku di atas ayunan dari kain jarik yan
Bayi yang Kubawa dari KotaUsia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara. Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya. Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan. Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak. Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang