Bayi yang Kubawa dari Kota
Mendengar jawabanku, Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya diam saling pandang. Sementara aku, harap-harap cemas menanti jawaban mereka."Jangan di pikirkan, biarkan saja mereka. Nanti juga diam sendiri, kasihan anakmu kalau harus berpindah pindah terus. Kalau kamu jenuh di rumah, nanti aku carikan pekerjaan yang bisa sambil menjaga anakmu." ujar Bu Ratmi meyakinkanku.Setelah selesai sarapan, Bu Ratmi dan Pak Yanto berangkat bersama sembari mendorong gerobaknya. Safira belum bangun juga, jadi aku punya waktu untuk mandi dan mencuci piring bekas sarapan tadi."Nduk, ada yang ingin Ibu bicarakan kepadamu." kata Bu Ratmi di depan pintu kamarku malam itu." Iya Bu," jawabku sembari berjalan meninggalkan kamar. Aku merasa penasaran, karena sepertinya serius sekali. Sebenarnya apa yang ingin Bu Ratmi bicarakan?"Begini Nak, tadi Bapak ketemu teman yang jualan online. Katanya dia lagi butuh tenaga buat masarin dagangannya. Kalau bersedia, kamu bisa ambil peluang itu untuk mengatasi kejenuhan, juga bisa untuk biaya membeli susu anakmu." ujar Pak Yanto menjelaskan."Tapi Pak, saya tak punya ponsel untuk berjualan. Ponsel saya sudah hilang di dalam bus kemarin." jawabku terus terang."Tak perlu khawatir, ini ada ponsel yang bisa kamu pakai berjualan. Kalau kamu bersedia, tinggal hubungi saja nomor ini agar dijelaskan caranya." terang Pak Yanto, kemudian menunjukkan nama seseorang di layar ponsel tersebut."Alhamdulillaah, kalau begitu saya mau Pak." jawabku antusias.Dengan semangat kuhubungi nomor tersebut untuk menyatakan kesediaanku. Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap, aku mulai memposting jualanku malam itu juga.Tugasku hanya menawarkan dagangan untuk selanjutnya di proses pihak toko bila ada yang memesan daganganku. Jadi aku tak perlu keluar rumah untuk pekerjaan ini.Aku bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ratmi, Pak Yanto dan Bu Alma pemilik toko yang memberiku pekerjaan ini.Sebulan sudah aku tinggal di rumah ini. Cibiran tetangga tak terdengar lagi seiring berjalannya waktu. Mungkin juga mereka mulai percaya kalau aku memang benar keponakan Bu Ratmi.Siang itu aku sedang di kamarku, sibuk berbalas pesan dengan konsumen yang hendak membeli daganganku ketika tiba-tiba terdengar langkah seseorang memasuki dapur.Karena penasaran, aku segera keluar kamar untuk melihat siapa yang datang. Tidak mungkin Pak Yanto atau Bu Ratmi yang datang, karena biasanya jam segini mereka masih bekerja.Sesampainya di dapur, aku melihat seorang pria yang usianya sedikit lebih tua dariku, sedang membuka lemari yang biasanya untuk menyimpan makanan di dapur.Segera kuraih sapu lantai di dekatku dan kuayunkan gagangnya ke arah pria tersebut."Auu .... Kurang ajar Kamu!" teriak Pria itu penuh amarah.Seketika nyaliku menciut melihat sorot matanya yang tajam seakan hendak menerkamku hidup-hidup.Aku berjalan mundur untuk menghindarinya, secepat kilat berlari menuju kamar dan menutup pintunya dengan rapat.Namun sayang, langkahku kalah cepat sehingga tangannya lebih dulu mencengkeram pergelanganku."Auu ... , sakit! teriakku yang justru membangunkan Safira dari tidurnya. Bayi mungil itu menangis seakan tahu kepanikan Ibunya.Pria itu tak bergeming, justru semakin kuat mencengkeram tanganku. Keringat dingin bercucuran seiring detak jantungku yang tak beraturan. Tenggorokan serasa tercekat, tak mampu berteriak untuk sekedar meminta tolong.Tiba-tiba Pria itu menyentakkan tubuhku ke tempat tidur, untung saja tubuhku tak menindih Safira sehingga bayi mungil itu masih aman meski tangisannya semakin kuat."Ya Allah tolonglah hamba-Mu, selamatkanlah kami. Jangan sampai Pria ini menyakiti kami berdua." Do'aku dalam hati.Pria itu hanya melirikku sekilas kemudian pergi dengan membanting pintu kamarku. Gegas aku bangkit untuk mengunci pintu kamar dari dalam. Aku takut pria tadi akan kembali untuk menyakiti kami.Safira masih menangis kencang, namun aku bingung bagaimana cara menenangkannya. Ingin kubuatkan susu, namun aku takut harus pergi ke dapur mengambil air panasnya. Sedangkan untuk membuka pintu kamar, aku masih belum berani, khawatir pria tadi masih berada di dalam rumah ini.Kugendong dan kuayun Safira dengan pelan, berharap bayiku segera diam dan kembali tidur. Namun sepertinya semua sia-sia karena Safira masih terus menangis.Safira masih terus menangis, akhirnya kuberanikan diri keluar dari kamar untuk membuatkan susu. Setelah meminum susunya, bayi usia lima bulan itu terdiam dan kembali tidur dalam gendonganku.Kini aku bisa bernapas lega, karena pria tadi sudah tidak ada di rumah ini.Namun aku menyesal, merutuki kelalaianku mengunci pintu depan seperti yang selalu Bu Ratmi pesankan saat mereka bekerja."Aku memang bodoh, tak mampu melindungi diriku sendiri hingga kesialan seringkali menimpaku." Umpatku dalam hati.Ya ampun, aku baru ingat belum sempat mengunci pintu depan lagi. Tak ingin kejadian tadi terulang, gegas kuberjalan ke ruang tamu untuk mengunci pintu utama.Belum sempat meraih pintu, aku terkejut mendengar langkah terburu-buru dari arah luar. Kupercepat langkahku sebelum orang itu masuk kembali ke dalam rumah.Terlambat, pintunya telah terbuka dari luar. Namun aku terkejut melihat kedatangan Bu Ratmi bersama Pria tadi di sampingnya. Ada apa lagi ini, kenapa Pria itu bisa bersama Bu Ratmi? Ada hubungan apa diantara mereka berdua?Kamu baik-baik saja Nduk?" tanya Bu Ratmi yang terdengar panik seraya meraba-raba punggungku seakan takut ada yang terluka."I ... iya Bu, saya baik-baik saja." jawabku gugup karena masih bingung dengan apa yang ku lihat."Maafkan Ibu Nduk, kalau membuatmu takut. Ini Farhan anakku satu-satunya yang baru pulang merantau di Jakarta. Dia sedang mengambil cuti kerjanya untuk pulang ke rumah ini. Niatnya mau buat kejutan untuk kami, tapi dia justru terkejut melihat keberadaanmu di rumah ini." ujar Bu Ratmi, menerangkan dengan penuh penyesalan."I ... iya Bu," sahutku terbata sembari melirik ke arah Farhan. Dapat kulihat wajah Farhan yang kurang bersahabat, bahkan terkesan acuh kepadaku.Farhan berjalan ke kamar Bu Ratmi dan kulihat dia merebahkan tubuhnya di sana. Sementara Bu Ratmi pamit untuk berjualan lagi karena masih siang jadi warungnya belum tutup.Akhirnya aku bisa bernapas lega karena orang yang kusangka maling itu ternyata anaknya Bu Ratmi.Safira sudah tertidur, kuletakkan kembali anakku di atas kasur. Kugunakan kesempatan ini untuk mencuci baju sebelum Safira terbangun.Selesai mencuci, aku berniat untuk berbelanja kebutuhan Safira di minimarket ujung gang. Untunglah Safira sudah bangun jadi aku tak perlu mengganggu tidurnya untuk kuajak berbelanja.Sesampainya di minimarket, kususuri rak susu dan diapers untuk Safira. Rencananya aku ingin membeli stok sekalian untuk satu bulan ke depan, biar tak perlu banyak keluar rumah.Di sela-sela memilih kebutuhanku, terdengar bisik-bisik di ujung lorong toko, yang ternyata Bu Yuni dan Bu Rita tetangga Pak Yanto."Eh Jeng, lihat tuh keponakannya Bu Ratmi. Belanjaannya banyak banget, dih lagaknya seperti orang kaya saja!" ujar Bu Yuni kepada Bu Rita."Ah jangan gitu Jeng, biarin aja. Toh dia belanja juga pakai uangnya sendiri." sahut Bu Rita."Halah Jeng, palingan juga uang habis morotin Farhan tuh! Kan kemarin baru pulang dari Jakarta. Aku kok nggak yakin kalau dia itu keponakannya Bu Ratmi. Atau jangan-jangan dia pacarnya Farhan ya?" kata Bu Yuni mulai memprovokasi.Dadaku sesak mendengarkan ucapan Bu Yuni, air mataku tak terbendung lagi. Segera kudorong keranjang belanjaku menuju kasir.Sampai di sana, kulihat Bu Yuni juga sudah mengantri di depanku."Belanjanya banyak banget Neng, habis panen ya?" sindir Bu Yuni sembari melirik ke arah keranjang belanjaku.Tak kutanggapi ocehan Bu Yuni, buang energi saja. Untunglah kasir sebelah sudah kosong jadi aku bisa pindah antrian sebelum Bu Yuni mengoceh lagi.Ya Allah, baru saja ingin bernapas sedikit lega karena bertemu orang-orang baik, namun ada saja orang julid yang menyertainya.Bersambung...Bayi yang Kubawa dari KotaKupercepat langkah menuju rumah agar bisa segera merebahkan tubuh di kamarku. Rasanya siang ini semakin panas saja, apalagi setelah mendengar ocehan Bu Yuni tadi. Tak terasa, sampai juga di rumah Bu Ratmi. Niat hati ingin beristirahat, namun aku justru terkejut melihat semua barang barangku sudah berada di ruang tamu. Seketika lututku lemas melihat semua itu. Ya Allah, ada apa lagi ini? Kenapa ada saja yang mengusik ketenanganku. Apakah aku tak berhak bahagia bersama anakku?Lututku terasa lemas, seakan tubuhku tak bertulang. Buliran bening kembali menganak sungai di pelupuk mata. Dengan langkah gontai kumasuki kamar yang biasa aku tempati. Namun di dalam kamar itu tampak Farhan tidur lelap, seiring suara dengkurannya yang semakin keras. Rupanya dia marah karena kamarnya aku tempati bersama Safira.Biarlah aku yang mengalah, toh kamar itu memang miliknya jadi dia berhak menempatinya kembali. Perlahan kuletakkan bayiku di atas ayunan dari kain jarik yan
Bayi yang Kubawa dari KotaUsia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara. Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya. Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan. Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak. Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang
Bayi yang Kubawa dari KotaRupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal. "Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta. "Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah. Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah. Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia. Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan. Set
Bayi yang Kubawa dari Kota"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku. Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal. "Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu. Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing. "Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk. Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin. "Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis. Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya. Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengam
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..
Bayi yang Kubawa dari Kota"Papa ... Papa ...." terdengar suara rintihan Safira mengigau malam itu. Spontan aku terbangun dan meraba kening Safira, yang terasa sangat panas. Anak itu demam, entah apa yang harus aku lakukan, otakku buntu tak bisa memikirkan sesuatu. Kompres, hanya itu yang terpikir. Mau minta bantuan pada tetangga juga tak mungkin karena di luar hujan cukup deras. Kulihat jam dinding, tepat jam tiga pagi. Kalaupun di bawa ke dokter, belum ada yang praktek jam segini. Apalagi aku tak punya kendaraan untuk membawa Safira ke dokter. Mungkinkah Safira sangat merindukan ayahnya, hingga dalam tidurpun dia masih mencarinya? Hatiku perih, merasa bersalah karena sampai kini Safira belum pernah bertemu dengan ayahnya. Setelah kukompres, perlahan panasnya mulai turun, namun dia menjadi rewel. Kugendong, kemudian kuayun dengan pelan agar dia kembali tertidur. Setelah Safira terlelap, akupun ikut berbaring di sampingnya, karena mataku juga masih sangat mengantuk.Belum sempat
Bayi yang Kubawa dari KotaSeketika wajah Bu Alma berubah sendu setelah aku mengatakan tentang asal-usul liontin tersebut. Seakan ada kerinduan yang terpendam di mata teduhnya. Siapa Bu Alma sebenarnya?"Ibumu adalah sahabatku Sayang, sahabat yang selama ini kucari-cari." kata Bu Alma seraya memelukku erat. "Dulu kami berjanji setelah menikah akan tetap menjadi saudara, bahkan jika anak kami nanti mau dijodohkan, kami akan menjadi besan. Namun semenjak aku pindah bersama keluargaku, ibumu sudah tak bisa dihubungi lagi. Aku kehilangan jejak ibumu." kata Bu Alma panjang lebar. "Pantas saja sejak pertama melihatmu, aku merasa tak asing dengan wajahmu. Karena kamu benar-benar mirip dengan ibumu. Kemarin waktu aku mengajakmu bertemu, sebenarnya ingin menanyakan kebenaran ini dan sekarang sudah terjawab semuanya." kata Bu Alma panjang lebar. Kini giliran aku yang shock mendengar pernyataan Bu Alma, aku tak percaya. Pasti semua ini hanya mimpi, batinku berkali-kali. Mana mungkin ibuku ya