POV Yusuf 1Sejak pertama kali melihat Amira di toko waktu itu, rasanya hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini sebelumnya, bahkan kepada Safitri sekalipun. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang pasti sejak kejadian itu, bayangan Amira selalu berkelebat memenuhi isi kepala.Namun, pantaskah aku menyukainya, sedangkan status pernikahanku saja sampai saat ini masih belum jelas. Aku memang pernah menikah, karena dijodohkan kedua orang tua. Meski awalnya tak ada rasa, namun seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta itu mulai tumbuh untuk Safitri, istriku.Tak dapat dipungkiri, aku mulai menyayanginya hingga tumbuh benih cinta di rahim istriku. Namun karena kesalahpahaman diantara kami, Safitri pergi meninggalkanku di saat bunga cinta mulai bersemi. Ya, Safitri pergi di saat dia sedang mengandung buah cinta kami. Safitri memang bukan gadis satu daerah denganku. Aceh, itulah tanah kelahirannya. Berbagai cara telah k
Bayi yang Kubawa dari KotaPov Yusuf 2Melihat kepedulian Mama terhadap Amira dan Safira, aku merasa tak terima karena mereka yang telah membuat Mama seperti ini. Entahlah, pikiranku mendadak berubah seperti anak kecil, aku takut mereka mengambil kasih sayang Mama dariku. Mungkin karena sejak kecil selalu menjadi pusat perhatian mama dan papa, hingga membuatku tak suka bila ada orang lain berada di posisiku.Apalagi semenjak papa tiada, otomatis kasih sayang yang kudapat hanya dari mama. Tanggung jawab papa juga berpindah kepadaku untuk selalu menjaga Mama. Rasanya tak rela kalau sampai ada orang lain yang membuat hatinya terluka. Apalagi setelah sampai di kamar Safira, terang-terangaan Mama menyuruhku untuk keluar dari sana. Sebenarnya, apa yang mereka sembunyikan dariku, membuatku makin penasaran saja."Suf, mulai hari ini, Amira dan Safira akan tinggal bersama dengan kita." Entah ada angin apa, tiba-tiba saja mama meminta Amira tinggal bersama kami."Tinggal dengan kita, tapi kena
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 14Setelah tiga hari dirawat, hari ini Safira sudah boleh pulang. Mama sengaja datang bersama Mas Yusuf untuk menjemput kami. Mama terlihat bahagia hari ini, begitu juga dengan Mas Yusuf. Dia kembali ramah seperti sebelumnya, mungkin kemarin salah minum obat jadi bawaannya kaku kaya kanebo kering, he ... he ....Awalnya Mama mengajakku untuk pulang ke rumahnya, namun sebisa mungkin kutolak dengan halus. Aku tak ingin kedatanganku di rumah itu justru menjadi bahan gunjingan tetangga. Meski awalnya aku sudah setuju, namun setelah kupikir-pikir sepertinya lebih baik aku menolak permintaan Mama. Apalagi status Mas Yusuf masih suami orang, bisa jadi aku dicap sebagai pelakor kalau tiba-tiba tinggal di rumah itu. Sesampainya di kontrakan, para tetangga yang biasa julidin aku heboh melihatku turun dari mobil mewah. Apalagi setelah melihat Mama dan Mas Yusuf turut mengantarkanku. Siapa sih yang tak kenal dengan mereka, orang terkaya nomor lima di Jogja. Mere
Bayi yang Kubawa dari Kota"Ayo ikuti Mama, akan kutunjukkan sesuatu untukmu." kata Mama sembari menarik lenganku. Sementara aku hanya menurut saja ke mana Mama mengajakku. Langkah Mama terhenti di sebuah rumah yang terletak di belakang rumah utama. Rumah itu lebih kecil, namun tetap lebih besar dari kontrakanku. Rumah siapakah ini, kenapa Mama mengajakku ke sini?Ketika pintu di buka, tampak pemandangan rumah yang tertata rapi lengkap dengan segala perabotannya. Aku yang baru saja masuk langsung jatuh cinta dengan rumah itu. Sepertinya terasa nyaman kalau aku bisa tinggal di sini. "Sayang, karena kamu tak mau tinggal di rumah utama, Mama minta kamu mau tinggal di rumah ini. Aku tahu alasan kamu menolak tinggal di rumah utama, pasti karena ada Yusuf kan? Mama akan merasa sangat bersalah kalau membiarkanmu tetap tinggal di kontrakan itu. Apalagi aku sudah melihat dan mendengar sendiri bagaimana sikap mereka terhadapmu. Kamu pasti merasa tak nyaman tinggal di sana kan? Mama sudah meny
Bayi yang Kubawa dari KotaBelum sempat aku menanyakan lebih jauh kepada Mak Ijah, sebuah mobil box berhenti di halaman rumah. Rupanya mobil itu yang ditugaskan Mama untuk membawa barang-barangku. Kalau sudah begini, aku tak bisa lagi menolak permintaan Mama. Tak mungkin kusuruh mereka mengembalikan barang-barangku ke kontrakan lagi kan?Dengan dibantu Mak Ijah dan Pak Jono, aku mulai membereskan barang-barangku. Setelah semuanya tertata rapi, mereka kembali ke rumah Mama lagi. Sementara aku, masih tak percaya bisa menempati rumah ini. Rumah yang menurutku sangat bagus, karena aku belum pernah tinggal di rumah senyaman ini. Safira sepertinya juga menyukainya, anak itu sejak tadi hilir mudik di dalam rumah sembari terus berceloteh ria. Karena hari sudah sore, aku berniat untuk memandikan Safira. Ketika hendak mengambil handuk, tak sengaja tanganku menyenggol koran diantara tumpukan baju yang belum sempat kususun. Pandanganku kembali tertuju pada berita orang hilang beberapa waktu y
Bayi yang Kubawa dari KotaPagi itu, Mama mengajak kami untuk sarapan bersama di rumah utama. Entah mengapa, semenjak aku dan Safira memasuki rumah itu, auranya terasa berbeda. Seakan ada ketegangan yang terjadi di antara penghuni rumah itu. Semuanya tampak diam di kursinya masing-masing. Hanya Mama yang tersenyum menyambut kedatanganku bersama Safira. "Sini Sayang, kita makan sama-sama." ujar Mama, meminta kami duduk di sebelahnya.Mama memang orang yang luar biasa, meskipun berlimpah harta, namun tetap baik pada sesama. Terbukti Pak Jono dan Mak Ijah juga ikut makan dalam satu meja dengan kami. Safitri tampak duduk tenang di sebelah Mas Yusuf. Ketika Mas Yusuf hendak menyendok nasi, spontan Safitri berdiri hendak mengambilkannya. Namun usahanya mendapat penolakan, sehingga membuat wajahnya memerah menahan malu. Aku yang melihat itu hanya diam menahan tawa, 'rasain kamu!' Pura-pura baik di depan mereka, tapi ujung-ujungnya malu sendiri. Rupanya Safitri menyadari kalau aku terus
Bayi yang Kubawa dari KotaAku bergidik sendiri mendengar ancamannya, padahal aku tak melakukan apa-apa, tapi dia menganggapku seakan-akan aku ini pe**kor saja. Aku sendiri tak tahu apa salahku sehingga dia mengancam dan menerorku. Dia juga yang mengirimiku beberapa lembar foto sewaktu di kontrakan dulu. Biarlah, aku tak mau pusing memikirkannya. Yang penting aku tak pernah melakukan seperti yang dia tuduhkan. Setelah Safitri pergi, Mama baru bercerita kalau mereka meragukan kehadiran Safitri. Menurut Mama, Safitri yang datang itu sangat berbeda dengan menantunya yang lemah lembut. Awalnya Mas Yusuf hampir terkecoh, namun setelah melihat cincin kawin yang di kenakan Safitri berbeda dengan milik Mas Yusuf, barulah dia menyadari kalau perempuan itu bukan istrinya. Seminggu setelah kejadian itu, suasana di rumah Mama kembali seperti biasanya. Hari ini Mama mengajakku belanja ke supermarket, tak lupa Safira juga bersamaku. Rencananya Mama akan membelikan baju untukku dan Safira. Men
Bayi yang Kubawa dari KotaMalam harinya, aku benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayanganku terus berkelana, memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Safira. Bagaimana jika anak itu menangis mencariku? Biasanya dia tidur dalam dekapanku, bangun tengah malam minta susu. Lalu sekarang, siapa yang akan membuatkannya? Hingga azan Subuh berkumandang, mata ini tetap tak mau terpejam. Segera aku bangkit mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku. Dalam sujudku, tak lupa teriring do'a untuk Safira, di manapun dia berada, semoga Allah selalu menjaganya. Pagi itu, Mama sengaja datang ke rumahku untuk mengantar sarapan juga memberi suport kepadaku. Untuk saat ini, memang itulah yang sangat aku butuhkan. Hidupku terasa hampa tanpa Safira, seakan separuh jiwaku pergi bersamanya. Berulang kali Mama membujukku untuk sarapan, namun selalu aku tolak. Rasa laparku seakan menguap entah ke mana. Padahal perutku belum terisi apapun sejak Safira menghilang. "Ayo Nak, makanlah
Bayi yang Kubawa dari Kota'Tidak! Itu tak boleh terjadi, kakiku baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki, namun usahaku sia-sia. Kedua kakiku tetap diam tak bergerak. Mama dan Mas Yusuf tampak saling pandang melihat usahaku yang sia-sia. Perlahan kulihat kaca-kaca bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mata Mama. Apa yang aku lihat, sudah mewakilkan penjelasan yang tidak mereka katakan. Hatiku hancur seketika, takut membayangkan kedepannya bagaimana caraku hidup dengan kedua kaki yang lumpuh. "Tida ... ak!" Seketika aku kalap, tak bisa mengendalikan emosiku sendiri. Kuraih apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Mama terlihat panik dan segera memelukku erat, aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, merutuki nasib buruk yang seolah selalu akrab denganku. Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku Ya Tuhan? Rasanya aku sudah tak punya semangat lagi untuk hidup, bayanga
Bayi yang Kubawa dari Kota Part 26Setelah pembagian selesai, kami pamit berziarah ke makam keluargaku untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Sesampainya di makam, kutumpahkan segala kerinduan pada keluargaku yang berada di bawah batu nisan itu. Kusirami makam itu dengan air do'a dan taburan bunga. Mama ikut terharu melihatku menangis di atas pusara keluargaku. Gerimis mulai turun ketika kami selesai berdo'a. Mas Yusuf dengan sigap berlari mengambil payung dan mengajak kami segera memasuki mobil. Hatiku berbunga-bunga melihat perhatian yang ditunjukkannya. Perlahan mobil yang kami tumpangi keluar dari area pemakaman. Setelah berhenti di restoran untuk makan siang, mobil yang kami tumpangi kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sementara itu, hujan semakin deras mengguyur sepanjang jalan, sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati. Mas Yusuf duduk di depan bersama sopir, sementara aku berada di bangku belakang bersama Mama dan Safira. Mungkin karena kelelahan, anak itu sudah
Bayi yang Kubawa dari KotaMeskipun sekarang sudah berjilbab, namun tetanggaku tetap bisa mengenaliku. Mereka berbisik-bisik mengetahui kepulanganku. "Masih punya nyali untuk pulang ya, atau karena sudah tak punya muka jadi hilang rasa malunya?" Spontan aku menoleh pada sebuah suara yang sangat aku kenal.Tak kuhiraukan cibirannya, aku terus berjalan melewatinya begitu saja. "Ee ... di tanya kok malah pergi, dasar bocah tak tahu malu. Amit-amit dah punya mantan warga kayak kamu!" teriaknya lagi semakin membuatku emosi. Sebisa mungkin kutahan amarahku agar tak lagi membuat kekacauan di kampung ini. Aku hanya ingin hidupku tenteram, tak ingin lagi ada amarah apalagi dendam. Namun semakin dibiarkan, sepertinya ibu satu itu semakin kelewatan. "Ibu-ibu, sini deh! Lihat tuh, Si Amira pulang lagi ke kampung kita. Pasti dia mau bikin ulah lagi di kampung ini!" teriak Bu Mirna, kembali memprovokasi warga. Satu persatu tetanggaku keluar, mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Bu Mirna.
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 24Setelah menerima panggilan dari Mak Ijah, Mama meminta sopir untuk memutar balik mobilnya dan pulang ke rumah. Entah apa yang terjadi, karena Mama tak mengatakan alasannya. Selama perjalanan pulang, kami semua hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali hanya menyahuti celotehan Safira yang tak bosan menanyakan apa yang dilihatnya. Sesampainya di rumah, tampak dua orang berseragam dealer sedang menunggu kami. Mereka duduk di teras rumah ditemani Mak Ijah. Melihat kami turun, mereka segera menghampiri Mama dan Mas Yusuf. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat mereka pergi setelah menyerahkan sebuah kunci mobil kepada Mama. Setelah mereka pergi, Mama datang menghampiriku dan mengajakku untuk menuju garasi. Di dalam sana, tampak tiga buah mobil berjajar rapi. Aku penasaran untuk apa Mama membeli mobil baru, bukankah sudah ada dua buah sebelumnya? Satu untuk Mas Yusuf bekerja dan satunya untuk Mama. "Amira, karena sebentar lagi kamu a
Bayi yang Kubawa dari KotaSafira yang menjadi rebutan Papa dan Omanya justru berlari ke arahku. Anak itu minta dimandikan dan memakai baju baru. Segera kuturuti permintaan Safira, berharap dengan menghilang dari pandangan Mas Yusuf akan sedikit bisa menetralkan degup jantungku. Namun aku salah, kemanapun aku pergi bayangannya tak juga menghilang dari ingatanku. Menempel di dinding seperti cicak, berenang di air seperti bebek bahkan di wajah Safira juga ada bayangan Mas Yusuf. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta?Setelah mandi dan berganti baju, Safira kembali menggelayut di paha Mas Yusuf. Anak itu seakan tak mau lepas dari papanya. "Horee__ aku punya Papa sama Mama seperti Icha. Sekarang dia tak akan bisa mengejekku tak punya Papa." celoteh Safira kegirangan menceritakan teman bermainnya dulu sewaktu di kontrakan. Mendengar celotehan Safira, Mama kembali menitikkan air mata. Mungkin sedih membayangkan kondisi kami sebelumnya. "Oma kenapa nangis? Oh ya, tadi Safira mimpi ketemu
Bayi yang Kubawa dari KotaDemi memantapkan pilihan, kucoba menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, meski berat namun aku akan berusaha untuk kuat. Ketika bayi itu hendak kutinggalkan, kukecup sekali lagi bayi tak berdosa itu. Tanpa kusadari, air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tangannya bergerak gerak seakan mencegah kepergianku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya kembali bersamaku?Hatiku hancur membayangkan seandainya hal itu terjadi kepadaku. Dicampakkan dari satu tangan ke tangan lainnya demi untuk mendapatkan belas kasihan orang. Sungguh aku tak rela itu terjadi kepadanya. Cukup aku saja yang mengalami pedihnya hidup tanpa orang tua, tanpa kasih sayangnya hingga semakin akrab dengan derita dan duka lara. Kuambil kembali bayi mungil itu, kudekap erat di dadaku. Kami menangis bersama, dalam hati aku berjanji tak akan lagi meninggalkannya apapun yang terjadi. Wildan marah besar setelah aku mengatakan untuk tetap merawat bayi itu. Secara sepihak dia memutu
Bayi yang Kubawa dari KotaWanita itu terus menjerit menahan sakit, hingga tak lama kemudian lahirlah bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan. Atas inisiatif warga, maka di panggillah seorang bidan terdekat untuk menangani perempuan itu dan bayinya. Wanita itu tampak tersenyum melihat bayi mungilnya, begitupun denganku yang langsung jatuh cinta begitu melihatnya. "Dek, siapapun kamu, tolong rawat anak ini baik-baik ya? Aku minta sama kamu, apapun yang terjadi jangan berikan bayi ini pada siapapun. Kamu orang baik, karena itu aku percaya kepadamu." kata wanita itu dengan suara serak. Aku tak percaya mendengar permintaannya. Bukankah bayi itu miliknya, kenapa harus diserahkan padaku? Sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya waktu itu. Haruskah aku menerima permintaannya?Tak bisa kubayangkan bagaimana caraku merawat bayi mungil itu. Menikah saja belum, apalagi merawat bayi seorang diri, pasti akan banyak resiko yang harus aku tanggung nantinya. Setelah mengatakan itu, perlahan
Bayi yang Kubawa dari KotaKali ini semua mata tertuju padaku, sedangkan aku sendiri tak tahu apa maksud dari ucapannya itu. "Apa maksud dari ucapanmu, jelaskan sekarang!" Bentak Mas Yusuf marah. "Sampai kapanpun, aku tak akan memberitahumu. Satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa anakmu masih hidup. Silakan cari sendiri keberadaannya ha ... ha ...ha ...." Kali ini tawa Safitri terdengar sangat menyebalkan, bahkan membuat Mas Yusuf mengepalkan kedua tangannya. Kalau bukan seorang perempuan, mungkin orang itu sudah habis di hajarnya. "Sudah Pak, saya serahkan mereka kepada kalian. Hukum mereka sesuai perbuatannya!" kata Mas Yusuf kepada polisi untuk mengakhiri perdebatan. Setelah itu, Mas Yusuf mengajak kami pulang. Safira sudah sejak tadi tertidur dalam gendonganku. Mungkin anak itu kelelahan dan tertekan selama dalam penculikan. Karena itu kini dia tertidur pulas saat sudah merasa aman. Selama dalam perjalanan, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri belum menger
Bayi yang Kubawa dari KotaMalam harinya, aku benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayanganku terus berkelana, memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Safira. Bagaimana jika anak itu menangis mencariku? Biasanya dia tidur dalam dekapanku, bangun tengah malam minta susu. Lalu sekarang, siapa yang akan membuatkannya? Hingga azan Subuh berkumandang, mata ini tetap tak mau terpejam. Segera aku bangkit mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku. Dalam sujudku, tak lupa teriring do'a untuk Safira, di manapun dia berada, semoga Allah selalu menjaganya. Pagi itu, Mama sengaja datang ke rumahku untuk mengantar sarapan juga memberi suport kepadaku. Untuk saat ini, memang itulah yang sangat aku butuhkan. Hidupku terasa hampa tanpa Safira, seakan separuh jiwaku pergi bersamanya. Berulang kali Mama membujukku untuk sarapan, namun selalu aku tolak. Rasa laparku seakan menguap entah ke mana. Padahal perutku belum terisi apapun sejak Safira menghilang. "Ayo Nak, makanlah