Share

Part 4

Bayi yang Kubawa dari Kota

Kupercepat langkah menuju rumah agar bisa segera merebahkan tubuh di kamarku. Rasanya siang ini semakin panas saja, apalagi setelah mendengar ocehan Bu Yuni tadi.

Tak terasa, sampai juga di rumah Bu Ratmi.

Niat hati ingin beristirahat, namun aku justru terkejut melihat semua barang barangku sudah berada di ruang tamu. Seketika lututku lemas melihat semua itu.

Ya Allah, ada apa lagi ini? Kenapa ada saja yang mengusik ketenanganku. Apakah aku tak berhak bahagia bersama anakku?

Lututku terasa lemas, seakan tubuhku tak bertulang. Buliran bening kembali menganak sungai di pelupuk mata.

Dengan langkah gontai kumasuki kamar yang biasa aku tempati. Namun di dalam kamar itu tampak Farhan tidur lelap, seiring suara dengkurannya yang semakin keras.

Rupanya dia marah karena kamarnya aku tempati bersama Safira.

Biarlah aku yang mengalah, toh kamar itu memang miliknya jadi dia berhak menempatinya kembali.

Perlahan kuletakkan bayiku di atas ayunan dari kain jarik yang sengaja dibuatkan Pak Yanto untuk Safira. Dengan begitu aku bisa leluasa membereskan barang-barangku.

Belum sempat pekerjaanku selesai, terdengar suara Bu Ratmi yang menyapa tetangga sebelah. Rupanya Bu Ratmi tutup warung lebih awal, karena kulihat beliau menenteng keranjang yang biasa di gunakan untuk berjualan.

Memang jarak rumah di sini sangat dekat, bahkan hampir berdempetan dengan rumah lainnya. Karena itu kalau ada berita apapun cepat menyebar ke tetangga sekitar.

"Assalamu'alaikum," ucap Bu Ratmi setelah melihatku dari pintu depan yang masih terbuka.

"Wa'alaikumussalam, Ibu tutup lebih awal ya, tumben?" balasku yang memang sudah akrab dengan Bu Ratmi.

"Iya Nduk, Ibu khawatir sama kamu. Tadi Farhan telpon Ibu katanya mau nempatin lagi kamar yang kamu pakai, ternyata benar." ucap Bu Ratmi seraya matanya berkeliling melihat barang-barangku yang berserakan.

"Maafkan Ibu ya Nduk, Kamu jadi tak nyaman di rumah ini. Yowes sekarang bantuin Ibu bereskan kamar belakang ya! Tak apa kan kamu tidur di sana?" tanya Bu Ratmi dengan wajah bersalah.

"Iya Bu, tak apa kok. Yang penting ada tempat untuk tidur saja saya sudah sangat bersyukur.

Maafkan saya juga Bu, sudah banyak merepotkan." ujarku tulus.

Setelah berjibaku membereskan gudang, akhirnya tempat itu berubah menjadi kamar yang layak untuk ku tempati bersama Safira.

Aku berniat memindahkan Safira ke dalam kamar ketika samar-samar mendengar suara Farhan dari dalam kamar Bu Ratmi.

"Bu, kenapa sih perempuan itu masih di sini?

Harusnya di usir saja, biar gak ngerepotin Bapak sama Ibu terus. Enak aja, kita yang kerja dia tinggal nikmatin hasilnya!" Terdengar suara Farhan yang protes kepada Bu Ratmi tentang keberadaanku di rumah ini.

Hatiku perih mendengar kata-kata Farhan, meskipun memang benar yang diucapkannya. Apa yang harus aku lakukan? Apa sebaiknya aku keluar saja dari rumah ini?

"Hus ... Kamu tak boleh bilang begitu Nak, dia itu perempuan. Kita tidak tahu apa yang sudah dialami oleh Amira. Kalau kita bisa membantunya tanpa mengusik masa lalunya, kurasa itu lebih baik untuk kita." Kata Bu Ratmi berusaha mendinginkan hati anaknya.

Sepertinya aku memang harus segera pindah dari rumah ini. Tak ingin keberadaanku justru mengacaukan keluarga orang yang telah menolongku.

Tak mau menunggu lebih lama lagi, ku ketuk pintu kamar Bu Ratmi. Aku harus membicarakan masalah ini sebelum berlarut-larut.

Pintu terbuka dari dalam, tampak Farhan melongok di balik pintu kamar yang terbuka sedikit.

Tanpa sepatah kata, Farhan berlalu begitu saja melewatiku. Kini tinggal aku dan Bu Ratmi yang sama-sama diam di dalam kamar.

"Bu, sepertinya saya harus pindah dari rumah ini sekarang. Saya akan mencari kontrakan baru, tak pantas rasanya kalau saya terus merepotkan Ibu." ujarku hati-hati, agar Bu Ratmi tak tersinggung.

"Nanti biar Ibu bicarakan dulu dengan Bapak ya, kamu yang sabar. Besok juga Farhan sudah berangkat lagi, jadi kamu tak perlu khawatir." jawab Bu Ratmi seakan bisa membaca pikiranku.

Pagi itu, kulihat Farhan sudah rapi, bahkan tas ranselnya juga sudah siap di depan pintu. Ternyata benar yang diucapkan Bu Ratmi kemarin, kalau hari ini Farhan akan kembali lagi ke Jakarta.

"Amira, aku minta maaf karena sudah bersikap kasar kepadamu. Kamu bisa tetap tinggal di rumah ini kok, biar ada yang nemenin Bapak sama Ibu." kata Farhan kepadaku.

Aku masih belum percaya dengan ucapannya barusan. Beberapa detik kemudian aku tersadar dan menjawab permintaan maafnya.

"Iya, aku maafkan. Kamu gak bersalah kok, justru aku yang harusnya minta maaf karena sudah mengusik kenyamananmu di rumah sendiri." jawabku tulus.

Entah kesambet sawan dari mana tiba-tiba Farhan berubah baik kepadaku. Tapi aku bersyukur, artinya dia sudah bisa menerimaku di rumah ini.

Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya tersenyum melihat kami berdua. Mereka sudah siap melepas keberangkatan Farhan ke Jakarta lagi.

"Tolong jaga Ayah dan Ibu untukku." kata Farhan sembari menatapku.

"Iya." jawabku datar.

Sembari menunggu ojek online yang akan mengantarnya ke terminal, Farhan berbincang-bincang kepada kedua orang tuanya. Entah apa yang mereka bicarakan, hanya sesekali kulihat mereka menoleh ke arahku.

Setelah Farhan kembali lagi ke Jakarta, suasana rumah itu kembali lagi seperti semula. Setiap harinya hanya ada aku dan Safira di rumah itu, karena Bu Ratmi dan Pak Yanto pergi bekerja.

Sesekali, kadang aku juga bermain ke tempat tetangga terdekat agar Safira juga bisa mengenal orang lain, tidak hanya melihatku saja setiap saat.

Namun kadang jengah juga kalau ada yang menanyakan tentang asal usul Safira. Bingung harus menjawab apa karena menurutku tak semua masalah harus kuceritakan kepada orang lain.

Kadang ada orang yang pura-pura menanyakan kondisi kita bukan karena peduli, namun hanya untuk mencari tahu kemudian menceritakannya lagi kepada orang lain menurut versinya masing-masing.

Begitu pula dengan tetangga di sini, banyak yang nyinyir mengenai keberadaanku di rumah ini. Mereka bilang katanya aku hanya menjadi benalu di rumah itu.

Untunglah masih ada juga tetangga yang baik, Bu Sari namanya. Beliau belum dikaruniai anak meski usianya sudah diambang senja, karena itu sangat sayang kepadaku dan juga Safira.

Tak jarang beliau membelikan oleh-oleh untuk Safira. Katanya hanya dengan melihat Safira, hatinya sudah merasa bahagia, seakan melihat cucunya sendiri.

Beliau juga menasihatiku untuk mencari kontrakan saja. Tak elok katanya kalau aku terus menumpang di rumah Bu Ratmi, takut menjadi fitnah kedepannya.

Siang itu beliau mengajakku untuk mencari kontrakan yang tak jauh dari tempat Bu Ratmi dengan berjalan kaki. Meski lelah karena sambil menggendong Safira, namun tetap aku kuatkan langkahku agar secepatnya mendapatkan kontrakan.

Keluar masuk gang sudah aku jalani, namun belum juga mendapatkan tempat yang cocok dengan keinginanku.

Matahari semakin terik Safira mulai menangis karena haus. Akhirnya kami pulang tanpa menemukan tempat kontrakan yang baru.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status