Bayi yang Kubawa dari Kota
Kupercepat langkah menuju rumah agar bisa segera merebahkan tubuh di kamarku. Rasanya siang ini semakin panas saja, apalagi setelah mendengar ocehan Bu Yuni tadi.Tak terasa, sampai juga di rumah Bu Ratmi.Niat hati ingin beristirahat, namun aku justru terkejut melihat semua barang barangku sudah berada di ruang tamu. Seketika lututku lemas melihat semua itu.Ya Allah, ada apa lagi ini? Kenapa ada saja yang mengusik ketenanganku. Apakah aku tak berhak bahagia bersama anakku?Lututku terasa lemas, seakan tubuhku tak bertulang. Buliran bening kembali menganak sungai di pelupuk mata.Dengan langkah gontai kumasuki kamar yang biasa aku tempati. Namun di dalam kamar itu tampak Farhan tidur lelap, seiring suara dengkurannya yang semakin keras.Rupanya dia marah karena kamarnya aku tempati bersama Safira.Biarlah aku yang mengalah, toh kamar itu memang miliknya jadi dia berhak menempatinya kembali.Perlahan kuletakkan bayiku di atas ayunan dari kain jarik yang sengaja dibuatkan Pak Yanto untuk Safira. Dengan begitu aku bisa leluasa membereskan barang-barangku.Belum sempat pekerjaanku selesai, terdengar suara Bu Ratmi yang menyapa tetangga sebelah. Rupanya Bu Ratmi tutup warung lebih awal, karena kulihat beliau menenteng keranjang yang biasa di gunakan untuk berjualan.Memang jarak rumah di sini sangat dekat, bahkan hampir berdempetan dengan rumah lainnya. Karena itu kalau ada berita apapun cepat menyebar ke tetangga sekitar."Assalamu'alaikum," ucap Bu Ratmi setelah melihatku dari pintu depan yang masih terbuka."Wa'alaikumussalam, Ibu tutup lebih awal ya, tumben?" balasku yang memang sudah akrab dengan Bu Ratmi."Iya Nduk, Ibu khawatir sama kamu. Tadi Farhan telpon Ibu katanya mau nempatin lagi kamar yang kamu pakai, ternyata benar." ucap Bu Ratmi seraya matanya berkeliling melihat barang-barangku yang berserakan."Maafkan Ibu ya Nduk, Kamu jadi tak nyaman di rumah ini. Yowes sekarang bantuin Ibu bereskan kamar belakang ya! Tak apa kan kamu tidur di sana?" tanya Bu Ratmi dengan wajah bersalah."Iya Bu, tak apa kok. Yang penting ada tempat untuk tidur saja saya sudah sangat bersyukur.Maafkan saya juga Bu, sudah banyak merepotkan." ujarku tulus.Setelah berjibaku membereskan gudang, akhirnya tempat itu berubah menjadi kamar yang layak untuk ku tempati bersama Safira.Aku berniat memindahkan Safira ke dalam kamar ketika samar-samar mendengar suara Farhan dari dalam kamar Bu Ratmi."Bu, kenapa sih perempuan itu masih di sini?Harusnya di usir saja, biar gak ngerepotin Bapak sama Ibu terus. Enak aja, kita yang kerja dia tinggal nikmatin hasilnya!" Terdengar suara Farhan yang protes kepada Bu Ratmi tentang keberadaanku di rumah ini.Hatiku perih mendengar kata-kata Farhan, meskipun memang benar yang diucapkannya. Apa yang harus aku lakukan? Apa sebaiknya aku keluar saja dari rumah ini?"Hus ... Kamu tak boleh bilang begitu Nak, dia itu perempuan. Kita tidak tahu apa yang sudah dialami oleh Amira. Kalau kita bisa membantunya tanpa mengusik masa lalunya, kurasa itu lebih baik untuk kita." Kata Bu Ratmi berusaha mendinginkan hati anaknya.Sepertinya aku memang harus segera pindah dari rumah ini. Tak ingin keberadaanku justru mengacaukan keluarga orang yang telah menolongku.Tak mau menunggu lebih lama lagi, ku ketuk pintu kamar Bu Ratmi. Aku harus membicarakan masalah ini sebelum berlarut-larut.Pintu terbuka dari dalam, tampak Farhan melongok di balik pintu kamar yang terbuka sedikit.Tanpa sepatah kata, Farhan berlalu begitu saja melewatiku. Kini tinggal aku dan Bu Ratmi yang sama-sama diam di dalam kamar."Bu, sepertinya saya harus pindah dari rumah ini sekarang. Saya akan mencari kontrakan baru, tak pantas rasanya kalau saya terus merepotkan Ibu." ujarku hati-hati, agar Bu Ratmi tak tersinggung."Nanti biar Ibu bicarakan dulu dengan Bapak ya, kamu yang sabar. Besok juga Farhan sudah berangkat lagi, jadi kamu tak perlu khawatir." jawab Bu Ratmi seakan bisa membaca pikiranku.Pagi itu, kulihat Farhan sudah rapi, bahkan tas ranselnya juga sudah siap di depan pintu. Ternyata benar yang diucapkan Bu Ratmi kemarin, kalau hari ini Farhan akan kembali lagi ke Jakarta."Amira, aku minta maaf karena sudah bersikap kasar kepadamu. Kamu bisa tetap tinggal di rumah ini kok, biar ada yang nemenin Bapak sama Ibu." kata Farhan kepadaku.Aku masih belum percaya dengan ucapannya barusan. Beberapa detik kemudian aku tersadar dan menjawab permintaan maafnya."Iya, aku maafkan. Kamu gak bersalah kok, justru aku yang harusnya minta maaf karena sudah mengusik kenyamananmu di rumah sendiri." jawabku tulus.Entah kesambet sawan dari mana tiba-tiba Farhan berubah baik kepadaku. Tapi aku bersyukur, artinya dia sudah bisa menerimaku di rumah ini.Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya tersenyum melihat kami berdua. Mereka sudah siap melepas keberangkatan Farhan ke Jakarta lagi."Tolong jaga Ayah dan Ibu untukku." kata Farhan sembari menatapku."Iya." jawabku datar.Sembari menunggu ojek online yang akan mengantarnya ke terminal, Farhan berbincang-bincang kepada kedua orang tuanya. Entah apa yang mereka bicarakan, hanya sesekali kulihat mereka menoleh ke arahku.Setelah Farhan kembali lagi ke Jakarta, suasana rumah itu kembali lagi seperti semula. Setiap harinya hanya ada aku dan Safira di rumah itu, karena Bu Ratmi dan Pak Yanto pergi bekerja.Sesekali, kadang aku juga bermain ke tempat tetangga terdekat agar Safira juga bisa mengenal orang lain, tidak hanya melihatku saja setiap saat.Namun kadang jengah juga kalau ada yang menanyakan tentang asal usul Safira. Bingung harus menjawab apa karena menurutku tak semua masalah harus kuceritakan kepada orang lain.Kadang ada orang yang pura-pura menanyakan kondisi kita bukan karena peduli, namun hanya untuk mencari tahu kemudian menceritakannya lagi kepada orang lain menurut versinya masing-masing.Begitu pula dengan tetangga di sini, banyak yang nyinyir mengenai keberadaanku di rumah ini. Mereka bilang katanya aku hanya menjadi benalu di rumah itu.Untunglah masih ada juga tetangga yang baik, Bu Sari namanya. Beliau belum dikaruniai anak meski usianya sudah diambang senja, karena itu sangat sayang kepadaku dan juga Safira.Tak jarang beliau membelikan oleh-oleh untuk Safira. Katanya hanya dengan melihat Safira, hatinya sudah merasa bahagia, seakan melihat cucunya sendiri.Beliau juga menasihatiku untuk mencari kontrakan saja. Tak elok katanya kalau aku terus menumpang di rumah Bu Ratmi, takut menjadi fitnah kedepannya.Siang itu beliau mengajakku untuk mencari kontrakan yang tak jauh dari tempat Bu Ratmi dengan berjalan kaki. Meski lelah karena sambil menggendong Safira, namun tetap aku kuatkan langkahku agar secepatnya mendapatkan kontrakan.Keluar masuk gang sudah aku jalani, namun belum juga mendapatkan tempat yang cocok dengan keinginanku.Matahari semakin terik Safira mulai menangis karena haus. Akhirnya kami pulang tanpa menemukan tempat kontrakan yang baru.Bersambung....Bayi yang Kubawa dari KotaUsia Safira kini sudah satu tahun lebih. Gadis kecilku itu sudah pandai berjalan sejak usianya sebelas bulan, bahkan kini mulai belajar berbicara. Setiap apa yang dia lakukan selalu mengundang tawa diantara kami karena tingkah laku dan wajahnya sangat menggemaskan. Mata bulat, dengan bulu mata lentik yang selalu memikat siapapun yang melihatnya. Rencananya hari ini aku akan mengajak Safira membeli baju baru. Maklum karena kebanyakan baju Safira kubeli sejak anak itu baru lahir. Apalagi pertumbuhan bayi memang sangat cepat sehingga sebentar saja bajunya sudah kekecilan. Dengan menumpang angkutan umum, aku dan Safira berangkat ke toko baju. Beberapa menit kemudian, sampailah kami di toko yang aku inginkan. Di toko itu di jual beraneka pernak pernik bayi mulai dari baju, tas, sepatu hingga mainan anak-anak. Safira yang sedang semangat berjalan sudah pasti sangat senang di tempat ini. Berlarian ke sana kemari dan tangannya bergerak ingin meraih sesuatu yang
Bayi yang Kubawa dari KotaRupanya Farhan pulang bersama kekasihnya yang dia bawa dari kota. Keduanya tampak serasi meski sang gadis terlihat lebih tua, mungkin karena pengaruh riasannya yang terlalu tebal. "Kak Farhan ... Bapak sama Ibu belum pulang." kataku memberitahukan tentang orang tuanya tanpa diminta. "Ya, aku sudah tahu." jawabnya ketus sembari terus melangkah ke dalam rumah. Rupanya sifat ketusnya tak berubah meski kami sudah lama tak bertemu. Mungkin memang sudah tabiatnya seperti itu atau mungkin takut kekasihnya cemburu kepadaku, entahlah. Padahal dulu sebelum berangkat ke Jakarta sempat bersikap baik kepadaku, tapi ya sudahlah itu urusan dia. Setelah membuatkan minuman untuk mereka berdua, aku bergegas masuk ke dalam kamar.Siang ini, aku berencana untuk mencari kontrakan baru. Tak mungkin aku terus-terusan tinggal di rumah ini, karena aku memang bukan bagian dari keluarga ini.Aku memesan ojek online agar bisa leluasa keluar masuk gang untuk mencari kontrakan. Set
Bayi yang Kubawa dari Kota"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku. Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal. "Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu. Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing. "Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk. Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin. "Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis. Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya. Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengam
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..
Bayi yang Kubawa dari Kota"Papa ... Papa ...." terdengar suara rintihan Safira mengigau malam itu. Spontan aku terbangun dan meraba kening Safira, yang terasa sangat panas. Anak itu demam, entah apa yang harus aku lakukan, otakku buntu tak bisa memikirkan sesuatu. Kompres, hanya itu yang terpikir. Mau minta bantuan pada tetangga juga tak mungkin karena di luar hujan cukup deras. Kulihat jam dinding, tepat jam tiga pagi. Kalaupun di bawa ke dokter, belum ada yang praktek jam segini. Apalagi aku tak punya kendaraan untuk membawa Safira ke dokter. Mungkinkah Safira sangat merindukan ayahnya, hingga dalam tidurpun dia masih mencarinya? Hatiku perih, merasa bersalah karena sampai kini Safira belum pernah bertemu dengan ayahnya. Setelah kukompres, perlahan panasnya mulai turun, namun dia menjadi rewel. Kugendong, kemudian kuayun dengan pelan agar dia kembali tertidur. Setelah Safira terlelap, akupun ikut berbaring di sampingnya, karena mataku juga masih sangat mengantuk.Belum sempat
Bayi yang Kubawa dari KotaSeketika wajah Bu Alma berubah sendu setelah aku mengatakan tentang asal-usul liontin tersebut. Seakan ada kerinduan yang terpendam di mata teduhnya. Siapa Bu Alma sebenarnya?"Ibumu adalah sahabatku Sayang, sahabat yang selama ini kucari-cari." kata Bu Alma seraya memelukku erat. "Dulu kami berjanji setelah menikah akan tetap menjadi saudara, bahkan jika anak kami nanti mau dijodohkan, kami akan menjadi besan. Namun semenjak aku pindah bersama keluargaku, ibumu sudah tak bisa dihubungi lagi. Aku kehilangan jejak ibumu." kata Bu Alma panjang lebar. "Pantas saja sejak pertama melihatmu, aku merasa tak asing dengan wajahmu. Karena kamu benar-benar mirip dengan ibumu. Kemarin waktu aku mengajakmu bertemu, sebenarnya ingin menanyakan kebenaran ini dan sekarang sudah terjawab semuanya." kata Bu Alma panjang lebar. Kini giliran aku yang shock mendengar pernyataan Bu Alma, aku tak percaya. Pasti semua ini hanya mimpi, batinku berkali-kali. Mana mungkin ibuku ya
POV Yusuf 1Sejak pertama kali melihat Amira di toko waktu itu, rasanya hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini sebelumnya, bahkan kepada Safitri sekalipun. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang pasti sejak kejadian itu, bayangan Amira selalu berkelebat memenuhi isi kepala.Namun, pantaskah aku menyukainya, sedangkan status pernikahanku saja sampai saat ini masih belum jelas. Aku memang pernah menikah, karena dijodohkan kedua orang tua. Meski awalnya tak ada rasa, namun seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta itu mulai tumbuh untuk Safitri, istriku.Tak dapat dipungkiri, aku mulai menyayanginya hingga tumbuh benih cinta di rahim istriku. Namun karena kesalahpahaman diantara kami, Safitri pergi meninggalkanku di saat bunga cinta mulai bersemi. Ya, Safitri pergi di saat dia sedang mengandung buah cinta kami. Safitri memang bukan gadis satu daerah denganku. Aceh, itulah tanah kelahirannya. Berbagai cara telah k