Bayi yang Kubawa dari Kota
"Lain kali hati-hati ya Mbak!" ucap sebuah suara yang tak asing di telingaku.Rupanya benar dugaanku, saat aku menoleh tatapanku beradu dengan sebentuk wajah yang ku kenal."Tuan?" tanyaku kaget, begitupun dengan orang itu.Sesaat mata kami saling menatap seperti adegan dalam sinetron, namun sekejap kemudian kami berhasil menguasai diri dan berusaha membenahi posisi masing-masing."Jangan panggil tuan, aku bukan bosmu! Lebih enak panggil Mas saja!" kata Pria tersebut sembari tersenyum ramah."B ... baik Tuan, eh Mas." jawabku sedikit kikuk.Rupanya orang yang membantuku berdiri itu adalah Pak Yusuf, pemilik toko baju bayi tempatku belanja kemarin."Mama ... Mama ...." teriak Safira masih menangis.Aku baru sadar kalau sedari tadi Safira memanggilku. Anak itu berontak ingin lepas dari gendongan, namun sebisa mungkin aku berusaha menenangkannya.Safira tak mau diam bahkan suara tangisannya semakin kencang. Mas Yusuf yang masih di dekatku mencoba mengambil alih Safira dari gendongan.Lagi, gadis kecilku itu kembali diam dalam pelukannya. Mata Safira lekat menatap ke arah Mas Yusuf.Bulir bening kembali menganak sungai di pelupuk mataku. Inilah yang aku takutkan, cepat atau lambat Safira pasti akan mencari sosok ayahnya yang bahkan aku sendiri tak tahu keberadaannya.Mas Yusuf dengan telaten mengajak Safira bermain. Safira yang memang baru bisa berjalan sangat senang mengelilingi taman kecil di halaman rumah itu.Sementara aku hanya duduk diam di kursi panjang yang berada di ujung halaman. Tak tahu harus berbuat apa, sungguh aku takut kedekatannya dengan Mas Yusuf justru akan semakin mengingatkannya tentang sosok ayah.Saking asyiknya melamun, aku tak menyadari bahwa pesta telah usai, karena kulihat mobil tamu undangan mulai keluar dari parkiran. Sepertinya aku juga harus segera pulang, karena hari sudah semakin gelap."Mama ...." teriak Safira membuyarkan lamunanku.Rupanya anak itu telah berada di dekatku bersama Mas Yusuf yang terus menggenggam tangan mungilnya. Sepertinya dia juga sangat menyayangi Safira. Dalam pandanganku, kedekatan mereka justru terlihat seperti hubungan seorang ayah dengan putrinya."Yusuf, kamu di sini? Mama cariin dari tadi lho." kata seorang wanita bergamis mocca yang tampak elegan dengan hijab warna senada.Wanita yang masih tampak cantik di usianya itu, terus berjalan ke arah kami."Iya Ma, maaf kalau Yusuf keluar dari acara Mama, bosen di dalam terus." kata Mas Yusuf pada Mamanya."Lalu siapa anak kecil ini, dan kamu siapa?" tanya Ibu tadi seraya menunjuk ke arahku dan Safira bergantian."Maaf Bu, saya tadi ikut acara yang diadakan pemilik rumah ini. Namun karena anak saya rewel sehingga saya ajak keluar saja, takut mengganggu acaranya." jawabku apa adanya."Jadi kalian ini tamu saya?" tanya Ibu tadi kepadaku."Maaf, apakah anda ini Bu Alma?" jawabku malah balik bertanya."Iya, jadi kamu baru tahu ya. Nama kamu siapa cah ayu?" tanya Bu Alma kepadaku."Iya Bu, maaf kalau belum mengenal Ibu. Nama saya Amira Bu. Terima kasih sudah memberi pekerjaan kepada saya." jawabku sungkan."Tak apa Amira, Ibu maklum kok. Karena selama ini karyawan yang mengurusi reseller. Jadi wajar saja kalau kamu belum mengenalku." sahut Bu Alma bijak."Ini anak kamu ya, lucu banget. Siapa namanya Sayang?" tanya Bu Alma kepada Safira."Namanya Safira Bu." jawabku sembari mengangkat Safira ke pangkuanku.Aku sangat kagum pada sosok Bu Alma yang ramah. Selain cantik dan juga kaya, ternyata Bu Alma tak merasa risih duduk berdampingan dengan orang sepertiku.Beliau juga sangat menyukai anak kecil, terbukti Safira juga langsung akrab begitu saja, meski mereka baru bertemu untuk pertama kali.Bu Alma juga lebih banyak bercerita kepadaku. Rupanya Mas Yusuf itu pernah menikah, namun istrinya pergi setelah terjadi kesalahpahaman dalam rumah tangganya.Mas Yusuf sangat menyesal atas kejadian itu dan menyalahkan dirinya sendiri. Berbagai cara telah dilakukan untuk mencari istrinya, namun sayang usahanya sia-sia karena hingga kini istrinya tak juga ditemukan.Sejak saat itu, Mas Yusuf menutup diri dari lawan jenis karena trauma dengan masa lalunya. Karena itu, Bu Alma sangat senang saat tadi Mas Yusuf mau berbincang denganku.Setelah berbincang-bincang cukup lama, akhirnya kami pamit pulang kepada Bu Alma dan Mas Yusuf.Kali ini aku memesan taksi online karena sudah malam. Kasihan kalau Safira kedinginan, apalagi anak itu sudah terlihat kelelahan. Benar saja, baru sebentar mobil berjalan, Safira sudah tertidur di pangkuanku.Awalnya Bu Alma menyuruh Mas Yusuf untuk mengantarkanku, namun aku tolak karena takut merepotkannya. Apalagi beliau ini bosku, rasanya tak pantas kalau harus mengantarkan orang sepertiku.Tak butuh waktu lama, sampailah mobil yang kutumpangi di depan gang masuk kontrakan. Segera kugendong Safira menuruni taksi kemudian memberikan ongkos kepada pak sopir.Aku berjalan tertatih karena kakiku kesemutan sembari menggendong Safira yang tertidur. Sesampainya di kontrakan, segera kubaringkan Safira ke tempat tidur dan mengganti bajunya.Setelah beres, aku segera masuk kamar mandi untuk bersih-bersih. Badanku terasa lengket karena kebetulan cuaca saat ini cenderung panas.Ah, segar rasanya setelah semuanya bersih, kini tinggal tiduran sembari mengecek ponsel yang sedari tadi tak tersentuh. Kulihat dalam aplikasi hijau banyak sekali chat yang masuk. Kebanyakan berasal dari pelanggan yang memesan daganganku.Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah notifikasi panggilan dalam aplikasi tersebut. Sepuluh kali panggilan dari nomor asing, nomor siapa ini?Belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba konsentrasiku teralihkan oleh suara ketukan di pintu depan. Siapa sih malam-malam begini datang bertamu? batinku.Kualihkan pandanganku pada jam berwarna biru yang bertengger di dinding, tepat jam delapan malam. Sementara ketukan tadi masih terdengar berulang-ulang.Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Seketika mataku membulat saat melihat siapa yang datang."Kamu?" tanyaku pada seorang gadis berambut pirang yang kemarin bertemu di rumah Bu Ratmi.Namun yang membuatku lebih terkejut adalah sosok pria yang berdiri di sebelahnya. Meski sudah lama tak bertemu, namun aku masih dapat mengenali dari sorot matanya yang tajam.Seketika air mata merebak di pelupuk mata, mengingat kejadian demi kejadian yang telah aku lalui. Ya, aku menangis untuk luka yang kurasakan selama ini.Dadaku sesak oleh emosi yang siap meledak, namun sebisa mungkin kutahan agar tak membuat keributan di rumah orang.Kuhempaskan napas kuat-kuat, perlahan kususut air mata yang meleleh di pipi. Aku tak boleh begini, aku harus kuat demi Safira.Setelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya."Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar.Bersambung....Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya. "Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar. "Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar. "Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi. "Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah. "Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi."
Bayi yang Kubawa dari KotaSetelah aku periksa, ternyata pesan tersebut berasal dari nomor yang tadi menghubungiku lewat panggilan. ["Maaf, ini dengan siapa ya"] balasku pada nomor tersebut. ["Oh iya, maaf lupa belum kasih tahu. Ini nomor Bu Alma, cah ayu"] balas pesan tersebut. ["Oh Bu Alma, kira-kira ada apa ya Bu? Apakah saya berbuat kesalahan"?] tanyaku langsung, karena tak biasanya ada orang yang mengajakku janjian di kafe. Apalagi ini seorang bos, sudah pasti membuat hatiku tak karuan. Satu menit, lima menit hingga aku menguap kesekian kalinya tak juga kunjung mendapat balasan. Mungkin Bu Alma sudah tidur, apalagi jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas malam. Tanpa sadar akupun tertidur dengan membawa banyak tanya dalam benakku. Hingga akhirnya kokok ayam milik tetangga yang membangunkanku. Mataku masih terasa berat, namun aku harus cepat menunaikan salat Subuh sebelum Safira terbangun. Selesai salat, aku segera menyiapkan sarapan dan mencuci baju. "Mama ... Mama ..
Bayi yang Kubawa dari Kota"Papa ... Papa ...." terdengar suara rintihan Safira mengigau malam itu. Spontan aku terbangun dan meraba kening Safira, yang terasa sangat panas. Anak itu demam, entah apa yang harus aku lakukan, otakku buntu tak bisa memikirkan sesuatu. Kompres, hanya itu yang terpikir. Mau minta bantuan pada tetangga juga tak mungkin karena di luar hujan cukup deras. Kulihat jam dinding, tepat jam tiga pagi. Kalaupun di bawa ke dokter, belum ada yang praktek jam segini. Apalagi aku tak punya kendaraan untuk membawa Safira ke dokter. Mungkinkah Safira sangat merindukan ayahnya, hingga dalam tidurpun dia masih mencarinya? Hatiku perih, merasa bersalah karena sampai kini Safira belum pernah bertemu dengan ayahnya. Setelah kukompres, perlahan panasnya mulai turun, namun dia menjadi rewel. Kugendong, kemudian kuayun dengan pelan agar dia kembali tertidur. Setelah Safira terlelap, akupun ikut berbaring di sampingnya, karena mataku juga masih sangat mengantuk.Belum sempat
Bayi yang Kubawa dari KotaSeketika wajah Bu Alma berubah sendu setelah aku mengatakan tentang asal-usul liontin tersebut. Seakan ada kerinduan yang terpendam di mata teduhnya. Siapa Bu Alma sebenarnya?"Ibumu adalah sahabatku Sayang, sahabat yang selama ini kucari-cari." kata Bu Alma seraya memelukku erat. "Dulu kami berjanji setelah menikah akan tetap menjadi saudara, bahkan jika anak kami nanti mau dijodohkan, kami akan menjadi besan. Namun semenjak aku pindah bersama keluargaku, ibumu sudah tak bisa dihubungi lagi. Aku kehilangan jejak ibumu." kata Bu Alma panjang lebar. "Pantas saja sejak pertama melihatmu, aku merasa tak asing dengan wajahmu. Karena kamu benar-benar mirip dengan ibumu. Kemarin waktu aku mengajakmu bertemu, sebenarnya ingin menanyakan kebenaran ini dan sekarang sudah terjawab semuanya." kata Bu Alma panjang lebar. Kini giliran aku yang shock mendengar pernyataan Bu Alma, aku tak percaya. Pasti semua ini hanya mimpi, batinku berkali-kali. Mana mungkin ibuku ya
POV Yusuf 1Sejak pertama kali melihat Amira di toko waktu itu, rasanya hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah mengalami perasaan seperti ini sebelumnya, bahkan kepada Safitri sekalipun. Mungkinkah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah, yang pasti sejak kejadian itu, bayangan Amira selalu berkelebat memenuhi isi kepala.Namun, pantaskah aku menyukainya, sedangkan status pernikahanku saja sampai saat ini masih belum jelas. Aku memang pernah menikah, karena dijodohkan kedua orang tua. Meski awalnya tak ada rasa, namun seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta itu mulai tumbuh untuk Safitri, istriku.Tak dapat dipungkiri, aku mulai menyayanginya hingga tumbuh benih cinta di rahim istriku. Namun karena kesalahpahaman diantara kami, Safitri pergi meninggalkanku di saat bunga cinta mulai bersemi. Ya, Safitri pergi di saat dia sedang mengandung buah cinta kami. Safitri memang bukan gadis satu daerah denganku. Aceh, itulah tanah kelahirannya. Berbagai cara telah k
Bayi yang Kubawa dari KotaPov Yusuf 2Melihat kepedulian Mama terhadap Amira dan Safira, aku merasa tak terima karena mereka yang telah membuat Mama seperti ini. Entahlah, pikiranku mendadak berubah seperti anak kecil, aku takut mereka mengambil kasih sayang Mama dariku. Mungkin karena sejak kecil selalu menjadi pusat perhatian mama dan papa, hingga membuatku tak suka bila ada orang lain berada di posisiku.Apalagi semenjak papa tiada, otomatis kasih sayang yang kudapat hanya dari mama. Tanggung jawab papa juga berpindah kepadaku untuk selalu menjaga Mama. Rasanya tak rela kalau sampai ada orang lain yang membuat hatinya terluka. Apalagi setelah sampai di kamar Safira, terang-terangaan Mama menyuruhku untuk keluar dari sana. Sebenarnya, apa yang mereka sembunyikan dariku, membuatku makin penasaran saja."Suf, mulai hari ini, Amira dan Safira akan tinggal bersama dengan kita." Entah ada angin apa, tiba-tiba saja mama meminta Amira tinggal bersama kami."Tinggal dengan kita, tapi kena
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 14Setelah tiga hari dirawat, hari ini Safira sudah boleh pulang. Mama sengaja datang bersama Mas Yusuf untuk menjemput kami. Mama terlihat bahagia hari ini, begitu juga dengan Mas Yusuf. Dia kembali ramah seperti sebelumnya, mungkin kemarin salah minum obat jadi bawaannya kaku kaya kanebo kering, he ... he ....Awalnya Mama mengajakku untuk pulang ke rumahnya, namun sebisa mungkin kutolak dengan halus. Aku tak ingin kedatanganku di rumah itu justru menjadi bahan gunjingan tetangga. Meski awalnya aku sudah setuju, namun setelah kupikir-pikir sepertinya lebih baik aku menolak permintaan Mama. Apalagi status Mas Yusuf masih suami orang, bisa jadi aku dicap sebagai pelakor kalau tiba-tiba tinggal di rumah itu. Sesampainya di kontrakan, para tetangga yang biasa julidin aku heboh melihatku turun dari mobil mewah. Apalagi setelah melihat Mama dan Mas Yusuf turut mengantarkanku. Siapa sih yang tak kenal dengan mereka, orang terkaya nomor lima di Jogja. Mere
Bayi yang Kubawa dari Kota"Ayo ikuti Mama, akan kutunjukkan sesuatu untukmu." kata Mama sembari menarik lenganku. Sementara aku hanya menurut saja ke mana Mama mengajakku. Langkah Mama terhenti di sebuah rumah yang terletak di belakang rumah utama. Rumah itu lebih kecil, namun tetap lebih besar dari kontrakanku. Rumah siapakah ini, kenapa Mama mengajakku ke sini?Ketika pintu di buka, tampak pemandangan rumah yang tertata rapi lengkap dengan segala perabotannya. Aku yang baru saja masuk langsung jatuh cinta dengan rumah itu. Sepertinya terasa nyaman kalau aku bisa tinggal di sini. "Sayang, karena kamu tak mau tinggal di rumah utama, Mama minta kamu mau tinggal di rumah ini. Aku tahu alasan kamu menolak tinggal di rumah utama, pasti karena ada Yusuf kan? Mama akan merasa sangat bersalah kalau membiarkanmu tetap tinggal di kontrakan itu. Apalagi aku sudah melihat dan mendengar sendiri bagaimana sikap mereka terhadapmu. Kamu pasti merasa tak nyaman tinggal di sana kan? Mama sudah meny