[Bagaimana, Ma?] Herin mendapat panggilan dari putrinya. Ia mengangkatnya dengan kesal.
[Kamu kalau kerja tuh bisa benar nggak sih?] [Aku sudah melakukan apa yang mama suruh. Mengempeskan ban mobilnya.] [Tapi, tidak sampai harus menabrak rumah orang dan aku harus ikut ganti rugi!] [Apa? Dia menabrak rumah orang?] [Sudahlah! Aku masih di jalan.] Herin masih berjalan untuk menghentikkan taksi. Otaknya dipenuhi dengan kekesalan hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya kalut. Bisa-bisanya hanya dalam waktu 2 hari saja ia kehilangan mobil dan uang tabungan senilai 10 juta. "Apes!" umpatnya berkali-kali. Herin langsung pulang dan menunggu suaminya. Ia harus pastikan kalau pria itu tidak datang terlambat setelah mengantarkan anak tirinya. Matanya tidak lepas dari detik jam yang terasa lambat berpindah di layar ponsel. "Ini sudah hampir satu jam." Herin tidak lagi bisa menahan jari untuk menghubungi suaminya. [Kamu di mana, Mas?] [Aku baru saja sampai.] [Kamu tidak sedang minum teh bersama Lanita, 'kan, Mas?] [Kamu tidak perlu menungguku!] Herin melotot, panggilannya diputus secara sepihak. Ia bahkan tidak bisa lagi menghubungi suaminya karena sudah tidak aktif. "Dia benar-benar sengaja melakukannya, 'kan? Kerasukan apa sebenarnya dia? Ini semua karena anak itu, 'kan? Tiba-tiba saja mengirim pesan dan meminta mobil. Arrggh! Kenapa juga dia tiba-tiba menghubungi papanya?!" Herin hanya bisa bicara sendiri. Menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Kepalanya terasa pecah. "Apa mungkin ini adalah siasat Lanita untuk merebut Mas Farhan kembali?" Herin tersentak dengan pikirannya sendiri. Ia langsung terbangun dengan dada yang bergemuruh hebat. Apalagi sekarang, suaminya tengah berkunjung ke sana. Ia tidak bisa bayangkan kalau mereka tengah mengobrol dan menemukan obrolan yang menyenangkan. Herin kembali menghubungi, ponsel Farhan masih tidak aktif. Ia semakin tidak karuan. Wanita itu bahkan tidak tahu di mana alamat rumah Lanita. "Bagaimana ini?" "Ma," panggil Damar, "aku mau ...." "Tidur! Pergi tidur, sana!" sentak Herin tidak memandang putranya sama sekali. Hatinya begitu kacau, ia tidak bisa terima kalau suaminya saat ini tengah ----- Farhan membuka pintu, melihat Herin yang kusut. Ia mengacuhkannya dan langsung membersihkan diri. Herin merasa sedikit lega. Walaupun kekesalannya belum mengurai. Setidaknya, suaminya telah kembali. Farhan sangat lama berada di kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya di dalam, Herlin berkali-kali menengok pada pintu yang masih tertutup. Wanita itu mencoba menenangkan hati. Ia menarik napas panjang untuk bisa mengontrol suasana. Suaminya pasti belum makan, ia baru saja pulang bekerja sebelum pergi ke kantor polisi. Herin menyiapkan kembali makanannya. Menghangatkan yang sudah terasa sangat dingin. "Aku sudah menyiapkan piyamamu, Mas. Setelah itu makan, dulu. Kamu mungkin tidak akan bisa tidur dengan keadaan perut lapar." Farhan menyugar rambutnya yang basah. Ia berjalan ke kamar setelah mendengar ucapan istrinya. Dan tidak lama keluar lagi untuk makan. Herin mendekatkan beberapa makanan kesukaan suaminya. Farhan mengambil sedikit saja, alis wanita itu berkerut. Biasanya kalau disediakan makanan kesukaannya itu, suaminya akan makan banyak. 'Apa mungkin dia sudah makan?' batinnya mulai lagi. Pikiran negatifnya memang sulit untuk diluruskan. "Kamu sudah makan, Mas?" Farhan menggeleng. "Tapi, kamu makan hanya sedikit. Biasanya kamu makan sangat banyak, jika aku menghidangkan makanan-makanan ini." "Aku makan mie, tadi." "Mie?" "Ya." "Di rumah Lanita?" tanya Herin langsung. Farhan mengangkat wajahnya, menyeka sisa makanan di sudut bibir, lalu meneguk sedikit air dari gelas di dekatnya. "Di pinggir jalan." "Bersama Lanita?" cerca Herin lagi. "Sebaiknya kamu tidur dan istirahatkan pikiran itu!" Farhan mendorong kursi duduknya dan berdiri. "Bagaimana aku bisa istirahat, Mas! Semenjak Fatin mengirim pesan kamu jadi berbeda. Sekarang, dalam pikiranmu apa-apa tentang dia! Kamu bahkan lupa pada aku dan anak-anak di rumah." Herin pun berdiri, menyerobot bicara sebelum suaminya pergi. "Kita sudah kehilangan mobil harga ratusan juta dan uang hanya dalam 2 hari saja, setelah kamu dekat lagi dengan putrimu itu. Bagaimana aku bisa tidak berpikir buruk!" "Aku bahkan mungkin sudah kehilangan uang berkali-kali lipat lebih besar dari itu untuk menghidupi anakmu, Herin!" "Tapi, itu sudah kewajibanmu, Mas. Kamu menikahiku yang sudah memiliki seorang anak. Tentu saja kamu pun harus menerimanya, selain menerimaku!" Herin langsung beranjak dan menghadang suaminya. Farhan menatap bola mata istrinya yang tengah menggebu-gebu. "Lanita sudah kamu ceraikan. Dia bukan lagi tanggung jawabmu! Kamu tidak perlu merasa bersalah karena tidak menghidupi Fatin. Dia sendiri yang memilih membawa putrinya dari rumah ini, padahal kamu hanya mengusir dia!" Herin masih menggebu-gebu, mencoba menjelaskan sesuatu pada suaminya yang menurut dia benar. "Lanita lah yang memang seharusnya bertanggung jawab atas anaknya sendiri. Aku pun tidak pernah membebani Herlan setelah memutuskan membawa Hayfa bersamaku." "Asal kamu tahu, tanggung jawabku adalah hanya padamu dan Damar. Hayfa masih menjadi tanggung jawab ayahnya! Jika, aku baik selama ini, itu karena aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Tapi, aku bahkan melupakan tanggung jawabku sebagai seorang ayah pada Fatin. Apalagi Lanita masih belum menikah lagi." "Ya, kenapa juga dia belum menikah lagi? Itu salahnya! Seharusnya dia menikahi pria sukses agar bisa mencukupi kebutuhannya bersama Fatin. Itu pun kalau masih ada yang mau!" Herin membuang muka. Menyepelekan, ia yakin kalau sudah tidak ada pria yang menginginkan wanita itu lagi. "Bukan itu yang jadi titik masalahnya, Herin! Kenapa kamu tidak paham juga!" "Kenapa juga aku harus paham! Dengar ya, Mas. Mobil yang kamu berikan pada Fatin, dan uang 10 juta itu, kamu dapatkan setelah bersamaku. Setelah bersamaku! Bukan saat bersama Lanita. Memang kamu yang bekerja, tapi aku yang menemanimu! Mengurus semua keperluanmu, dari hal terkecil. Kamu mungkin tidak akan bisa membeli mobil dan menabung uang, jika aku tidak hemat dan menyimpannya dengan baik. Kamu tahu artinya apa? Artinya tidak ada kontribusi Fatin dan Lanita dalam mobil dan uang itu. Tapi, kamu sudah memberikannya begitu saja tanpa persetujuanku! Sekarang, kamu masih bertanya kenapa aku tidak paham?" Farhan merasa emosinya sudah berada di ubun-ubun, tapi dia menahannya sekuat mungkin. Damar_putranya yang masih berusia 7 tahun mengintip dari balik pintu. "Cukup, Herin!" Farhan memilih untuk mengakhiri. "Tidak, Mas. Kita harus selesaikan ini. Kamu harus sadar dengan sikapmu yang tiba-tiba aneh dan terpengaruh oleh anak itu!" Herin masih saja menghalang-halangi suaminya untuk pergi. "Mobil yang dibengkel itu akan aku ambil kembali! Fatin sudah terlihat tidak becus menjaga pemberianmu! Dia hanya membuat masalah." "Aku bilang cukup!" Farhan menatap wanitanya kembali. "Tidak, Mas! Aku tidak akan berhenti! Kamu sudah berani kasar padaku demi anak itu!" "Herin!" sentak Farhan menggelegar. "Aku bisa lebih kasar dari ini, jika kamu terus mengoceh tentang masalah Fatin!" Farhan mendorong tubuh istrinya, kedua kali ia lakukan hari ini. Herin tidak percaya. Suaminya sudah benar-benar berubah. Bersambung ....Herin merasa lelah, usahanya untuk kembali mengambil simpati dari suaminya hanya sia-sia. Buktinya, Farhan masih tidur membelakangi. Sejak malam, ia bahkan tidak menyapa. Wanita itu hanya membuat sarapan sederhana, itu pun belum disentuh suaminya. Ia duduk berselonjor sembari membaca majalah. Hanya terlihat dari luar, jujur pikirannya penat sekali memikirkan bagaimana cara mengambil mobil yang sudah terlanjur diberikan Farhan kepada anak tirinya.Herin melirik, Farhan baru keluar dari kamar. Wajahnya terlihat muram."Di mana Hayfa?" tanyanya."Hayfa?" Herin langsung berdiri, nada suara suaminya sudah berbeda. Ini memang hari minggu anak-anaknya tidak sekolah."Haifa!" panggil Farhan. Herin semakin cemas, jelas sekali nadanya sangat berbeda dengan biasanya. Suaminya terlihat marah."Hayfa! Apa kamu tidak dengar aku memanggilmu!" teriak Farhan lagi."Biar aku yang menyusulnya, Mas," ujar Herin."Tidak perlu! Apa yang dia kerjakan di atas sampai tidak menyahut panggilan orang tua sendir
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
"Ini mobil aku pake, Mas. Biarkan Fatin naik kendaraan umum. Manja! Baru aja masuk kuliah sudah ngelunjak, apalagi kalau sudah kerja.""Kamu bisa naik kendaraan umum dulu untuk sementara, Ma.""Tidak! Aku tidak mau!" Herin berusaha mengambil kunci yang sudah dipegang suaminya."Fatin sudah menunggu di luar.""Fatin! Fatin! Fatin terus! Kenapa sih kamu selalu manjain dia. Dia masih punya ibu, Mas! Kalau dia kamu berikan mobil, Haifa juga belikan.""Haifa kan bisa aku antar setiap hari, Ma.""Begini yang aku nggak suka dari kamu, Mas. Kamu harus adil dong. Kalau kamu berikan mobil untuk Fatin, artinya kamu juga harus belikan untuk Haifa!""Adil katamu?""Ya!" Herin menyilangkan tangannya di dada dan mengangkat dagu tinggi."Aku sudah membiayai anakmu dari SD hingga tamat SMA dan sekarang dia aku sekolahkah di Universitas ternama. Aku mengantarnya ke sekolah setiap hari. Sedangkan, Fatin, aku biarkan tinggal bersama ibunya, aku bahkan tidak pernah memberinya uang hanya karena kamu selalu
Herin mondar-mandir di ruang tamu. Ia sudah mendorong dan memecahkan banyak barang. Kekesalannya masih belum reda. Wanita itu tidak terima saat suaminya harus membagi uang dan kekayaan milik mereka pada anak tirinya."Ada apa ini, Ma?" Haifa membuka headset dan mengerutkan alisnya, lalu melangkahi pecahan beling dari benda yang berserakan."Kakak." Seorang anak laki-laki merengek ketakutan di sudut pintu.Haifa hanya melirik dan enggan menghampiri. "Tidur! Ngapain kamu diam di situ!" ucapnya pada adik lelakinya itu. Damar menutup pintu kamarnya perlahan, anak berusia 7 tahun itu ketakutan karena mendengar suara-suara keras dari barang-barang yang ibunya pecahkan.Herin mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suaminya lagi. Kekesalannya tidak akan mereda sampai mobil itu kembali, atau ia dan putrinya pun dibelikan mobil baru.'Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar area. Silahkan ----'"Kemana dia?" Napas Herin semakin memburu saat ponsel suaminya malah tidak aktif. Ia mengambil
"Pagi, Mas." Herin menyapa suaminya yang sudah bersiap berangkat kerja. Rumah yang berserakan sudah tertata rapi kembali. Ia sengaja bangun pagi dan menyiapkan banyak makanan untuk sarapan, pagi ini.Farhan melewatinya yang tengah menata piring. Pria itu mengambil segelas air minum."Aku sudah menyiapkan makan kesukaanmu, Mas." Herin tersenyum mencegatnya. "Maafkan aku, kemarin," ucapnya lagi. Lalu, ia menarik satu kursi untuk tempat suaminya duduk.Farhan bahkan tidak melirik hidangan yang ada di meja, ia meninggalkannya begitu saja. Hayfa yang baru saja turun dari tangga melihat ayah sambungnya akan langsung berangkat langsung menyusul."Aku terburu-buru. Naik mobil umum saja," ujar Farhan saat menyadari putri tirinya mengikuti.Hayfa menengadahkan tangan. Meminta uang saku. Farhan melihatnya sejenak. "Minta pada ibumu!" ujarnya lagi sembari masuk ke dalam mobil. Hayfa melihat perbedaan sikap ayah tirinya. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri memperhatikan mereka."Ada apa dengan,
Herin yang baru saja bersantai setelah mendapat respons dari suaminya, duduk sembari menikmati cemilan. Ia mencoba mengalihkan rasa kesalnya pada beberapa tayangan televisi. Herin sadar kalau sikapnya terus-terusan seperti itu malah akan membuat hubungannya dengan Farhan merenggang.Wanita itu melirik ponsel di atas meja saat berbunyi nyaring. Hayfa menghubunginya. [Ada apa?][Ma, kenapa mobil kita ada di kampus. Mama ke kampus aku?] tanyanya.[Tidak. Aku sedang menonton tv.][Terus, mobil ini? Aku yakin ini mobil kita.][Fatin yang pake.] [Fatin? Kok, bisa?][Papa memberikannya?][Apa?! Kenapa cuma Fatin yang diberikan mobil, sedangkan aku harus naik angkutan umum, Ma?][Mama juga tidak tahu.][Ma! Aku nggak mau! Enak aja. Kenapa justru dia yang diberikan mobil ini dan bukan aku. Bertahun-tahun mobil itu berada di rumah kita, mama selalu nggak boleh aku pake mobil itu dengan alasan aku masih remaja. Sekarang, apa? Mama sama papa malah memberikannya pada Fatin!][Bukan aku yang memb