Share

Denda 10 Juta

Herin yang baru saja bersantai setelah mendapat respons dari suaminya, duduk sembari menikmati cemilan. Ia mencoba mengalihkan rasa kesalnya pada beberapa tayangan televisi. Herin sadar kalau sikapnya terus-terusan seperti itu malah akan membuat hubungannya dengan Farhan merenggang.

Wanita itu melirik ponsel di atas meja saat berbunyi nyaring. Hayfa menghubunginya.

[Ada apa?]

[Ma, kenapa mobil kita ada di kampus. Mama ke kampus aku?] tanyanya.

[Tidak. Aku sedang menonton tv.]

[Terus, mobil ini? Aku yakin ini mobil kita.]

[Fatin yang pake.]

[Fatin? Kok, bisa?]

[Papa memberikannya?]

[Apa?! Kenapa cuma Fatin yang diberikan mobil, sedangkan aku harus naik angkutan umum, Ma?]

[Mama juga tidak tahu.]

[Ma! Aku nggak mau! Enak aja. Kenapa justru dia yang diberikan mobil ini dan bukan aku. Bertahun-tahun mobil itu berada di rumah kita, mama selalu nggak boleh aku pake mobil itu dengan alasan aku masih remaja. Sekarang, apa? Mama sama papa malah memberikannya pada Fatin!]

[Bukan aku yang memberikannnya, Hayfa, tapi papamu!]

[Nggak mau! Aku juga harus punya mobil, atau mobil ini harus jadi milikku!] Hayfa menjadi sangat kesal. Ia mematikan ponselnya dengan suara yang masih terdengar marah. Kepala Herin yang hampir dingin kembali memanas.

"Memang, benar! Mobil itu sudah lama bersamaku, di sini. Aku pun berpikir kalau Hayfa bisa menggunakannya saat kuliah. Eh! Aku malah tertinggal satu langkah!" Herin menghempaskan remot di tangannya. Ia berdiri dan mondar-mandir lagi. Berpikir, bagaimana caranya mobil itu bisa kembali.

*

"Mas." Herin tersenyum menyambut kepulangan suaminya dari kantor. Farhan biasanya pulang pukul 16.00 sore, tapi kali ini, Farhan pulang lebih awal, mungkin untuk memenuhi janjinya pada Damar, meski terlambat. Herin sudah menyiapkan makanan-makanan kesukaan suaminya untuk mengambil simpati.

"Mas nggak mau makan, dulu?"

Farhan malah mengambil handuk, alih-alih mencicipi hidangan yang sudah disiapkan Herin. Pria itu tidak menjawab, ia hendak melangkah ke kamar mandi sebelum ponselnya berdering.

[Pa.]

[Fatin?] Herin meruncingkan telinga, mendengar percakapan itu.

[Aku di kantor polisi, Pa.]

[Kantor polisi?] Farhan terlihat syok. Herin hanya mengangguk pelan. [Kenapa kamu bisa di sana?]

[Ban belakang mobilnya tiba-tiba kempes. Aku oleng dan menabrak tembok pagar rumah orang lain.]

[Kamu tidak apa-apa 'kan, Fatin?]

[Tidak, Pa. Tapi, pemilik rumah melaporkan Fatin ke polisi.]

[Papa akan segera datang.]

Farhan segera bergegas, Herin tidak mau kalah langkah, ini adalah kesempatannya.

"Sudah mama duga, dia pasti buat masalah!" umpat Herin. Farhan tidak menggubris. Ia langsung mengambil kunci. Memicingkan mata sebentar sebelum menaiki mobil. Istrinya sudah masuk lebih, dulu.

"Kenapa kamu ikut?" tanya Farhan. Rasanya tidak mungkin kalau istrinya khawatir, barusan saja dia sudah mengumpat dan menyalahkan Fatin. "Bukannya Damar sedang sakit?"

"Dia sudah minum obat dan tidur, Mas. Aku harus pastikan kalau mobilnya baik-baik saja," ujar Herin. Farhan menghembuskan napas kasar. Ia tidak habis pikir, namun tidak ingin menghabiskan energi. Pria itu harus segera ke kantor polisi dan melihat keadaan putrinya. Tidak bisa ia bayangkan, Fatin mungkin ketakutan, sekarang.

Sampai di kantor polisi. Herin langsung turun dan mencari mobilnya, sedangkan Farhan masuk dan menemui Fatin.

"Pa." Fatin langsung berdiri dari duduknya. Ia menunduk mengakui kesalahan. "Maaf, Pa."

"Kamu tidak apa-apa?" Pria itu memeriksa.

Fatin menggeleng.

"Selamat, siang, Pak." Seorang petugas polisi menyapa.

"Siang, Pak."

"Silahkan duduk. Ada yang harus saya sampaikan."

Farhan duduk bersama satu petugas polisi dan pemilik rumah. Fatin, duduk sedikit lebih jauh. Ia mendengarkan percakapan papanya dan petugas polisi.

"Putri Anda harus mengganti kerugian korban sebanyak 10 juta."

"Saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak." Fatin mengiba. Farhan menoleh. "Pa, tolong jangan hubungi Mama." Air mata sudah terlihat memenuhi kelopak matanya. Pria itu menarik napas dan kembali melihat lawan bicaranya.

"Saya akan mengganti kerugiannya, Pak," tukas Farhan.

"Baik kalau begitu. Jika, Pak Farhan mengganti kerugian pada korban, maka tuntutan dari pelapor akan dicabut dan putri Anda tidak perlu berurusan lagi dengan hukum. Kecelakaan ini memang benar-benar murni dari ban mobil yang kempes."

"Baik, Pak. Terimakasih. Saya siapkan dulu uangnya." Farhan beranjak dari sana.

Herin masuk dan melihatnya. "Bagaimana, Mas? Apa Fatin harus dipenjara?" tanyanya berbisik, melirik pada Fatin yang masih duduk menunduk. Ada senyum puas yang tersembunyi.

"Pinjam dompetmu," ujar Farhan.

"Untuk apa, Mas?"

"Pinjam saja!"

Herin mengeluarkan dompet miliknya. Farhan terlihat mencari sesuatu dan mengambil satu kartu ATM.

"Kenapa kamu ambil ATM tabungan kita, Mas?"

"Aku butuh uang 10 juta untuk menebus Fatin," jawab Farhan sembari keluar. Ia lihat ada mesin ATM di seberang kantor polisi.

"Mas! Itu uang tabungan anak-anak!" Herin menyusulnya. Mencoba merebut kembali. "Uang itu untuk biaya sekolah Haifa dan Damar!"

"Aku akan mengumpulkannya lagi."

"Enggak, Mas!" Herin menghalanginya. "Itu uangku dan anak-anak. Dia bisa minta pada ibunya. Kenapa harus menggunakan uangku!"

"Aku yang memberikan mobilnya, Herin. Dan ini adalah kecelakaan!"

"Tapi, tidak harus kita yang menanggungnya, Mas. Kita sudah berbaik hati memberikannya mobil, biarkan itu menjadi tanggung jawab Lanita!"

"Ini tabungan anak-anak, kan?" tanya Farhan.

Herin mengangguk tegas. Membenarkan.

"Aku sengaja menabung untuk keperluan anak-anak. Dan, Fatin adalah anakku. Aku tidak mungkin membiarkannya tidur di lantai dingin di penjara kantor polisi."

"Tapi, kamu bisa bicara pada ibunya, Mas. Dia mungkin punya uang atau bisa pinjam kalau ada yang percaya," ucap Herlin.

"Aku sudah tidak ingin berdebat, Herin!"

"Kalau begitu, aku akan mengambil kembali mobilnya!"

Farhan tidak lagi menjawab dan menyingkirkan kasar istrinya dari jalan.

"Mas! Itu uangku! Aku tidak terima kamu mengambilnya, meski sepeser! Aku akan mengambil mobilnya, jika kamu menarik uangnya!" teriak wanita itu, namun tidak digubris Farhan.

Herin benar-benar muak, suaminya tidak merespons sama sekali. Farhan sudah kembali dan memberikan uang senilai 10 juta kepada pemilik rumah. Wanita itu melipat tangannya di dada. Ia sangat ingin memaki anak tirinya itu.

"Terimakasih, Pa."

"Kamu harus lebih hati-hati, Fatin. Periksa dulu sebelum menaikinya."

Fatin mengangguk.

"Papa akan bawa dulu mobilnya ke bengkel. Kamu bisa mengenakannya lagi kalau sudah diperbaiki. Ayo, Papa antar pulang."

Fatin melihat ibu tirinya berdiri membuang wajah di sebelah sana.

"Fatin naik kendaraan umum saja, Pa."

"Ini sudah malam dan angkutan umum sudah sulit di dapat. Ayo naik lah!"

Fatin berjalan ragu mendekati mobil.

Farhan mengajak istrinya untuk naik. Tapi, melihat Fatin sudah berjalan menuju mobilnya, ia mengangkat alis.

"Aku akan mengantarkan Fatin pulang."

"Apa?!" Mata Herin melotot, bahwasanya baru kali ini setelah 8 tahun suaminya itu akan mengunjungi rumah yang dihuni oleh mantan istri dan anaknya itu. "Kamu sudah gila, Pa! Kamu sengaja melakukannya untuk bertemu Lanita, 'kan?"

"Kamu mau ikut apa tidak?"

"Tidak sudi aku pergi ke rumah wanita itu!"

"Baiklah kalau begitu. Itu keputusanmu!" Farhan meninggalkannya begitu saja.

Herin benar-benar menyadari suaminya pergi dan meninggalkan ia di sana.

"Mas!" teriaknya. "Kamu keterlaluan!" Suaranya melengking, namun mobil Farhan tetap saja berlalu.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status