"Pagi, Mas." Herin menyapa suaminya yang sudah bersiap berangkat kerja. Rumah yang berserakan sudah tertata rapi kembali. Ia sengaja bangun pagi dan menyiapkan banyak makanan untuk sarapan, pagi ini.
Farhan melewatinya yang tengah menata piring. Pria itu mengambil segelas air minum. "Aku sudah menyiapkan makan kesukaanmu, Mas." Herin tersenyum mencegatnya. "Maafkan aku, kemarin," ucapnya lagi. Lalu, ia menarik satu kursi untuk tempat suaminya duduk. Farhan bahkan tidak melirik hidangan yang ada di meja, ia meninggalkannya begitu saja. Hayfa yang baru saja turun dari tangga melihat ayah sambungnya akan langsung berangkat langsung menyusul. "Aku terburu-buru. Naik mobil umum saja," ujar Farhan saat menyadari putri tirinya mengikuti. Hayfa menengadahkan tangan. Meminta uang saku. Farhan melihatnya sejenak. "Minta pada ibumu!" ujarnya lagi sembari masuk ke dalam mobil. Hayfa melihat perbedaan sikap ayah tirinya. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri memperhatikan mereka. "Ada apa dengan, kalian?" tanya Hayfa "Tidak ada apa-apa. Pergi lah sebelum kamu terlambat!" Herin memberikan putrinya uang. Jarang sekali ia melakukannya, kecuali Hayfa meminta uang lebih. Farhan akan selalu memberikan uang jajan setiap anak itu berangkat sekolah. Herin menarik napas kesal. Ia membanting barang yang ada di dekatnya. Lalu, berpikir keras apa yang bisa dilakukannya agar Farhan bisa memaafkan. Ia sadar terlalu berlebihan, kemarin, hingga pria itu marah besar. "Mama aku lapar." Damar muncul dari kamarnya. Herin melihat anak lelaki itu. Dia adalah putra dari pernikahannya bersama Farhan. Wanita itu tersenyum, ia merasa menemukan ide. "Kemarilah!" Herin menarik anak lelakinya dan meminta ia untuk tidur. Mengambil lap basah dan menyimpannya di atas kening Damar. "Apa yang Mama lakukan? Aku lapar." Anak itu hendak beranjak. "Diamlah sebentar!" Herin segera membuka aplikasi video dan merekamnya. "Berpura-pura lah sakit!" "Tapi, aku lapar, Ma." Rengek Damar. "Aku akan memberimu makan setelah kamu melakukannya! Lakukan, sekarang!" Damar pura-pura sakit dan menggigil. Ia pun terus memanggil nama papanya seperti yang diminta oleh Herin. "Anak pintar!" Herin menepuk tangan anak itu dan menyuruhnya makan sendiri. Sedangkan, ia mengirimkannya pada Farhan. "Dia tidak akan bisa mengelak, sekarang! Damar adalah anaknya, sama seperti Fatin!" Herin mengetuk-ngetuk jarinya di lengan kiri sembari bersidekap, menunggu balasan dari Farhan. Cukup lama, Herin menunggu, suaminya tidak kunjung membaca pesan dan melihat video yang dia kirimkan. Wanita itu menjadi sangat kesal kembali. "Dia benar-benar mengabaikanku?" ucap geram Herin, semakin tidak terima. "Bukankah harusnya aku yang marah? Lantas kenapa dia yang memperlakukanku seperti ini? Mobil itu dibeli setelah menikah denganku, aku punya hak untuk melarang dia memberikannya pada Fatin. Enak sekali dia mau mengambil apa yang harusnya menjadi hakku dan anak-anak!" Kemarahan Herin belum reda, tiba-tiba putrinya mengirim foto di dalam kendaraan. [Ma, aku tidak mau naik kendaraan umum lagi! Sumpek dan bau!] [Jangan rewel!] balas Herin. [Harusnya Mama memberikanku uang lebih banyak kalau aku tidak berangkat bersama papa atau berikan aku kendaraan sendiri!] Herin tidak membalas pesan putrinya lagi, ia benar-benar merasa begitu geram. Wanita itu bahkan tidak bisa menang dari Fatin dan ibunya. Padahal, sudah bertahun-tahun kedua orang itu hampir dilupakan oleh suaminya. "Kalau dibiarkan terus-terusan seperti ini. Fatin bahkan akan mendapatkan warisan dari Mas Farhan. Enak saja. Uang dan harta yang dihasilkan bersamaku tidak ada hak untuk anak itu!" Suara ponsel nyaring membuyarkan lamunannya. Farhan menghubungi. Wanita itu segera mengangkatnya. [Iya, Mas?] [Bagaimana keadaan Damar?] tanyanya. [Damar?] Herin lupa kalau ia baru saja mengirim video pura-pura. Wanita itu setengah berlari menghampiri putranya yang tengah makan. "Papa menelpon. Katakan padanya kalau kamu sakit!" Ancam ibunya sebelum memberikan ponsel. [Damar panas tinggi, Pa. Sepertinya dia sakit dari, kemarin. Anak itu ketakutan mendengar kita terus bertengkar.] Suara Herin terdengar mengiba. [Aku ingin berbicara dengannya,] kata Farhan. Herin memberikan ponselnya pada anak itu. Dan memberikan instruksi agar dia mengatakan apa yang sudah diajarkan. [Damar?] [Iya, Pa,] [Apa yang kamu rasakan, Nak?] tanya Farhan. Damar mencoba mencerna pertanyaan papanya. Ia menyeka mulut dan meneguk air di dalam gelas. [Apa kamu sedang makan?] tanya Farhan curiga. [Iya, Pa.] Mata Herin langsung melotot, memberikan instruksi agar anak itu berbohong dan berkata yang sudah mereka sepakati. [Sakit, Pa.] Rengek Damar. [Baiklah, nanti siang papa akan pulang untuk membawamu ke dokter. Istirahat saja untuk sekarang.] Herin senang mendengar jawaban itu, tidak sia-sia usahanya menjual Damar untuk kembali merebut perhatian suaminya. Wanita itu tidak bisa terima, kalau Farhan lebih mencintai Fatin dibanding kedua anaknya. "Heum! Aku bisa memainkan peran Lanita, sekarang, memanfaatkan anak untuk menarik perhatian Mas Farhan." Emosi Nerin menurun saat ia mendapat respon dari suaminya. Ia dan Farhan bisa segera berbaikan. Herin pikir, ia harus merayu suaminya lagi agar tidak marah untuk lebih mudah mengendalikannya seperti sebelum-sebelumnya. Bersambung ....Herin yang baru saja bersantai setelah mendapat respons dari suaminya, duduk sembari menikmati cemilan. Ia mencoba mengalihkan rasa kesalnya pada beberapa tayangan televisi. Herin sadar kalau sikapnya terus-terusan seperti itu malah akan membuat hubungannya dengan Farhan merenggang.Wanita itu melirik ponsel di atas meja saat berbunyi nyaring. Hayfa menghubunginya. [Ada apa?][Ma, kenapa mobil kita ada di kampus. Mama ke kampus aku?] tanyanya.[Tidak. Aku sedang menonton tv.][Terus, mobil ini? Aku yakin ini mobil kita.][Fatin yang pake.] [Fatin? Kok, bisa?][Papa memberikannya?][Apa?! Kenapa cuma Fatin yang diberikan mobil, sedangkan aku harus naik angkutan umum, Ma?][Mama juga tidak tahu.][Ma! Aku nggak mau! Enak aja. Kenapa justru dia yang diberikan mobil ini dan bukan aku. Bertahun-tahun mobil itu berada di rumah kita, mama selalu nggak boleh aku pake mobil itu dengan alasan aku masih remaja. Sekarang, apa? Mama sama papa malah memberikannya pada Fatin!][Bukan aku yang memb
[Bagaimana, Ma?] Herin mendapat panggilan dari putrinya. Ia mengangkatnya dengan kesal.[Kamu kalau kerja tuh bisa benar nggak sih?][Aku sudah melakukan apa yang mama suruh. Mengempeskan ban mobilnya.][Tapi, tidak sampai harus menabrak rumah orang dan aku harus ikut ganti rugi!][Apa? Dia menabrak rumah orang?][Sudahlah! Aku masih di jalan.] Herin masih berjalan untuk menghentikkan taksi. Otaknya dipenuhi dengan kekesalan hingga ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya kalut. Bisa-bisanya hanya dalam waktu 2 hari saja ia kehilangan mobil dan uang tabungan senilai 10 juta. "Apes!" umpatnya berkali-kali.Herin langsung pulang dan menunggu suaminya. Ia harus pastikan kalau pria itu tidak datang terlambat setelah mengantarkan anak tirinya. Matanya tidak lepas dari detik jam yang terasa lambat berpindah di layar ponsel. "Ini sudah hampir satu jam." Herin tidak lagi bisa menahan jari untuk menghubungi suaminya.[Kamu di mana, Mas?][Aku baru saja sampai.][Kamu tidak sedang m
Herin merasa lelah, usahanya untuk kembali mengambil simpati dari suaminya hanya sia-sia. Buktinya, Farhan masih tidur membelakangi. Sejak malam, ia bahkan tidak menyapa. Wanita itu hanya membuat sarapan sederhana, itu pun belum disentuh suaminya. Ia duduk berselonjor sembari membaca majalah. Hanya terlihat dari luar, jujur pikirannya penat sekali memikirkan bagaimana cara mengambil mobil yang sudah terlanjur diberikan Farhan kepada anak tirinya.Herin melirik, Farhan baru keluar dari kamar. Wajahnya terlihat muram."Di mana Hayfa?" tanyanya."Hayfa?" Herin langsung berdiri, nada suara suaminya sudah berbeda. Ini memang hari minggu anak-anaknya tidak sekolah."Haifa!" panggil Farhan. Herin semakin cemas, jelas sekali nadanya sangat berbeda dengan biasanya. Suaminya terlihat marah."Hayfa! Apa kamu tidak dengar aku memanggilmu!" teriak Farhan lagi."Biar aku yang menyusulnya, Mas," ujar Herin."Tidak perlu! Apa yang dia kerjakan di atas sampai tidak menyahut panggilan orang tua sendir
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Sepanjang perjalanan pulang Herin memasang mode cemburu pada sikap suaminya yang masih jelas terlihat peduli pada mantan istrinya itu. Ia tidak habis pikir bagaimana suaminya bisa langsung berubah sikap beberapa hari ini. Dulu, dia benci pada Lanita dan bahkan mengusirnya dari rumah yang mereka tempati, sekarang.Herin melirik pada suaminya yang juga hanya diam dan tidak peduli pada sikapnya yang jelas-jelas sedang marah. Pria itu justru terlihat lebih tertekan dari pada dirinya saat ini. Alis Herin berkerut heran.Brank! Pintu kamar ditutup kencang oleh Herin. Sengaja ia tunjukkan kecemburuannya pada sang suami. Sayang, Farhan masih sibuk menata hatinya yang terasa panas. Ia malah menjatuhkan dirinya pada sofa dan tidak memperdulikan sikap istrinya."Tidur di luar!" pekik Herin dari balik pintu sembari melemparkan bantal.Herin semakin kesal karena suaminya tidak ada upaya untuk mendamaikan hatinya yang terbakar cemburu."Apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan, Mas? Apa kamu masih
Herin menjegal sembari melipat tangan saat ketiganya selesai makan siang. Farhan kaget, begitu pula dua wanita di sampingnya. "Apa kalian ingin mengatakan sesuatu untuk ini?" ucapnya. Herin merasa menjadi wanita yang telah ditusuk dari belakang oleh suaminya sendiri dengan mantan istrinya."Apa tidak cukup dengan apa yang kamu lihat, hingga masih harus meminta penjelasan?" jawab Farhan."Mas!" Mata Herin melotot mendapat jawaban tidak mengasikkan itu."Mas, biar kami pulang naik taksi saja." Lanita sedikit memohon untuk itu, ia tidak ingin mengundang masalah yang lebih besar."Tapi, Fatin sakit.""Aku sudah jauh lebih baik, Pa." Susul Fatin meyakinkan."Baiklah kalau begitu." Farhan setengah berlari menghentikkan taksi untuk keduanya. "Hati-hati," ucapnya seraya membukakan pintu. Lanita dan putrinya mengangguk. Wanita itu melihat pembayaran taksi sudah dibayarkan di depan dengan metode buka pintu hingga tidak ada lagi tagihan."Terimakasih, Mas." Lanita mengangguk sebelum menutup pint
"Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka
"Tolong cari tahu siapa yang telah membawa Hayfa dan membebaskan Fatin, Mas. Dia telah mengembalikan hidupku. Aku berhutang besar pada anak muda itu," ucap Lanita sebelum Arya pamit pergi."Iya, aku akan mencari tahu tentang anak muda itu."Arya berpamitan pulang. Lanita mengantarnya sampai depan. "Terimakasih, Mas."Pria itu mengangguk dan memberikan senyuman. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Lanita sebelum mobilnya benar-benar menjauh. Melihat lambaian tangan wanita itu dari kaca spion. Sungguh, Arya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Lanita!" Lanita kembali menoleh saat ia hendak menggelindingkan kursi rodanya masuk ke rumah. Lalu, memutar kembali kursi roda saat melihat Farhan sudah berdiri di sana. Emosi pria itu masih terlihat tidak stabil. Ia tampak marah dengan wajah memerah."Kamu tidak bisa memutuskan sebelah pihak seperti itu dan mempermainkanku seenaknya! Apa maksudmu dengan menarik ulur seperti ini? Bukankah baru saja kemarin kamu berputus asa dan menyerah
Suara lemah dari derap langkah kaki seorang ibu berjalan terhuyung menuju tempat di mana anak yang selama ini ada dalam buaiannya harus berjarak jeruji besi. Hayfa berdiri dan melangkah kecil menuju dinding besi yang memisahkannya dengan kehingar bingaran dunia luar. Ia melihat ibunya berdiri di sana. Menatap kosong, seperti mimpi. Herin tidak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun, meski sekedar sumpah serapah yang biasanya akan refleks ia lontarkan."Ma." Hayfa merasa khawatir. Bukan itu reaksi yang seharusnya ia dapatkan. Gadis itu tahu betul bagaimana ibunya. Suaranya mungkin akan terdengar melengking lebih dulu sebelum dirinya sampai.Herin masih diam, lalu mengerjap dan bulir bening terjatuh dari sana. "Kenapa dengan kepalamu?" tanyanya saat melihat kasa di bagian samping kanan kepala Hayfa."Ya?" Hayfa menyentuhnya. Ia berpikir cepat untuk berbohong. Setidaknya gadis itu tahu, kalau keadaan ibunya berbeda saat ini. "Aku jatuh."Suasana kembali hening. Herin banyak diam dibanding
"Hei, bangun! Kenapa kau terus tidur?" Seorang wanita teman satu sel Fatin menendang kaki gadis itu. "Walau tidak ada yang kau kerjakan. Jangan hanya tidur! Itu akan membuat otakmu mati! Kamu bisa bangun dan mengkhayal!" ucapnya lagi sembari merentangkan tangan dan menggerakan otot kepala. "Tubuhmu bisa lumpuh juga kalau hanya meringkuk seperti itu!""Hei! Gadis muda, bangun! Apa kau tuli!" Wanita itu menatap heran pada teman selnya yang hanya meringkuk sejak pagi. Sarapannya pun bahkan tidak disentuh. "Kau bahkan tak makan!" ucapnya lagi. "Penjara bukan akhir dari hidup, setidaknya kau masih harus bersyukur dikasih hidup!" "Hei! Bangun!" Wanita itu akhirnya berjongkok untuk membangunkan fatin. "Ya, ampun kenapa kau seperti mayat! Dingin sekali!" Wanita itu menjauh ketakutan. "Apa dia mati?" gumamnya. Wanita itu mencoba mendekat setelah mengumpulkan keberanian. Dia mendorong pelan tubuh Fatin yang meringkuk. "Ya, ampun dia beneran mati!" Wanita itu sampai melonjak mundur sendiri keti