Share

Farhan Berubah

"Pagi, Mas." Herin menyapa suaminya yang sudah bersiap berangkat kerja. Rumah yang berserakan sudah tertata rapi kembali. Ia sengaja bangun pagi dan menyiapkan banyak makanan untuk sarapan, pagi ini.

Farhan melewatinya yang tengah menata piring. Pria itu mengambil segelas air minum.

"Aku sudah menyiapkan makan kesukaanmu, Mas." Herin tersenyum mencegatnya. "Maafkan aku, kemarin," ucapnya lagi. Lalu, ia menarik satu kursi untuk tempat suaminya duduk.

Farhan bahkan tidak melirik hidangan yang ada di meja, ia meninggalkannya begitu saja. Hayfa yang baru saja turun dari tangga melihat ayah sambungnya akan langsung berangkat langsung menyusul.

"Aku terburu-buru. Naik mobil umum saja," ujar Farhan saat menyadari putri tirinya mengikuti.

Hayfa menengadahkan tangan. Meminta uang saku. Farhan melihatnya sejenak. "Minta pada ibumu!" ujarnya lagi sembari masuk ke dalam mobil.

Hayfa melihat perbedaan sikap ayah tirinya. Ia menoleh dan melihat ibunya berdiri memperhatikan mereka.

"Ada apa dengan, kalian?" tanya Hayfa

"Tidak ada apa-apa. Pergi lah sebelum kamu terlambat!" Herin memberikan putrinya uang. Jarang sekali ia melakukannya, kecuali Hayfa meminta uang lebih. Farhan akan selalu memberikan uang jajan setiap anak itu berangkat sekolah.

Herin menarik napas kesal. Ia membanting barang yang ada di dekatnya. Lalu, berpikir keras apa yang bisa dilakukannya agar Farhan bisa memaafkan. Ia sadar terlalu berlebihan, kemarin, hingga pria itu marah besar.

"Mama aku lapar." Damar muncul dari kamarnya. Herin melihat anak lelaki itu. Dia adalah putra dari pernikahannya bersama Farhan. Wanita itu tersenyum, ia merasa menemukan ide.

"Kemarilah!" Herin menarik anak lelakinya dan meminta ia untuk tidur. Mengambil lap basah dan menyimpannya di atas kening Damar.

"Apa yang Mama lakukan? Aku lapar." Anak itu hendak beranjak.

"Diamlah sebentar!" Herin segera membuka aplikasi video dan merekamnya. "Berpura-pura lah sakit!"

"Tapi, aku lapar, Ma." Rengek Damar.

"Aku akan memberimu makan setelah kamu melakukannya! Lakukan, sekarang!"

Damar pura-pura sakit dan menggigil. Ia pun terus memanggil nama papanya seperti yang diminta oleh Herin.

"Anak pintar!" Herin menepuk tangan anak itu dan menyuruhnya makan sendiri. Sedangkan, ia mengirimkannya pada Farhan.

"Dia tidak akan bisa mengelak, sekarang! Damar adalah anaknya, sama seperti Fatin!" Herin mengetuk-ngetuk jarinya di lengan kiri sembari bersidekap, menunggu balasan dari Farhan.

Cukup lama, Herin menunggu, suaminya tidak kunjung membaca pesan dan melihat video yang dia kirimkan. Wanita itu menjadi sangat kesal kembali.

"Dia benar-benar mengabaikanku?" ucap geram Herin, semakin tidak terima. "Bukankah harusnya aku yang marah? Lantas kenapa dia yang memperlakukanku seperti ini? Mobil itu dibeli setelah menikah denganku, aku punya hak untuk melarang dia memberikannya pada Fatin. Enak sekali dia mau mengambil apa yang harusnya menjadi hakku dan anak-anak!"

Kemarahan Herin belum reda, tiba-tiba putrinya mengirim foto di dalam kendaraan.

[Ma, aku tidak mau naik kendaraan umum lagi! Sumpek dan bau!]

[Jangan rewel!] balas Herin.

[Harusnya Mama memberikanku uang lebih banyak kalau aku tidak berangkat bersama papa atau berikan aku kendaraan sendiri!]

Herin tidak membalas pesan putrinya lagi, ia benar-benar merasa begitu geram. Wanita itu bahkan tidak bisa menang dari Fatin dan ibunya. Padahal, sudah bertahun-tahun kedua orang itu hampir dilupakan oleh suaminya.

"Kalau dibiarkan terus-terusan seperti ini. Fatin bahkan akan mendapatkan warisan dari Mas Farhan. Enak saja. Uang dan harta yang dihasilkan bersamaku tidak ada hak untuk anak itu!"

Suara ponsel nyaring membuyarkan lamunannya. Farhan menghubungi. Wanita itu segera mengangkatnya.

[Iya, Mas?]

[Bagaimana keadaan Damar?] tanyanya.

[Damar?] Herin lupa kalau ia baru saja mengirim video pura-pura. Wanita itu setengah berlari menghampiri putranya yang tengah makan.

"Papa menelpon. Katakan padanya kalau kamu sakit!" Ancam ibunya sebelum memberikan ponsel.

[Damar panas tinggi, Pa. Sepertinya dia sakit dari, kemarin. Anak itu ketakutan mendengar kita terus bertengkar.] Suara Herin terdengar mengiba.

[Aku ingin berbicara dengannya,] kata Farhan.

Herin memberikan ponselnya pada anak itu. Dan memberikan instruksi agar dia mengatakan apa yang sudah diajarkan.

[Damar?]

[Iya, Pa,]

[Apa yang kamu rasakan, Nak?] tanya Farhan.

Damar mencoba mencerna pertanyaan papanya. Ia menyeka mulut dan meneguk air di dalam gelas.

[Apa kamu sedang makan?] tanya Farhan curiga.

[Iya, Pa.]

Mata Herin langsung melotot, memberikan instruksi agar anak itu berbohong dan berkata yang sudah mereka sepakati.

[Sakit, Pa.] Rengek Damar.

[Baiklah, nanti siang papa akan pulang untuk membawamu ke dokter. Istirahat saja untuk sekarang.]

Herin senang mendengar jawaban itu, tidak sia-sia usahanya menjual Damar untuk kembali merebut perhatian suaminya. Wanita itu tidak bisa terima, kalau Farhan lebih mencintai Fatin dibanding kedua anaknya.

"Heum! Aku bisa memainkan peran Lanita, sekarang, memanfaatkan anak untuk menarik perhatian Mas Farhan." Emosi Nerin menurun saat ia mendapat respon dari suaminya. Ia dan Farhan bisa segera berbaikan. Herin pikir, ia harus merayu suaminya lagi agar tidak marah untuk lebih mudah mengendalikannya seperti sebelum-sebelumnya.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status