Farhan langsung beranjak dan keluar kamar. Herin masih sibuk menata jantungnya saat suara pria itu sudah terdengar di ruang tamu."Duduk, Herlan!" ucap Farhan. "Ma, ada tamu!" panggilnya pada Herin. Ia hanya berpura-pura semuanya baik-baik saja."Iya, Mas." Herin muncul dari kamar. Ia menengok sebentar pada mantan suaminya itu. "Aku siapkan minum, dulu." Buru-buru wanita itu pergi ke dapur dan meninggalkan dua pria yang pernah sama-sama bertahta dalam hatinya, berbicara."Ada apa? Tumben sekali kamu memintaku datang." Herlan mengangkat satu kakinya dan melebarkan jas. Dari penampilannya ia pun adalah pekerja kantoran dengan jabatan tinggi, tapi sekali pun tidak pernah memberikan putrinya uang saku. Setidaknya, itulah yang diadukan Herin hingga Farhan merasa kasihan."Sudah 8 tahun Hayfa tinggal di sini. Apa kamu tidak merindukannya? Herin bilang kamu bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya.""Eum ...." Herlan membuang tawa. "Aku sudah coba beberapa kali. Herin bilang ia sudah bahagia
Sepanjang perjalanan pulang Herin memasang mode cemburu pada sikap suaminya yang masih jelas terlihat peduli pada mantan istrinya itu. Ia tidak habis pikir bagaimana suaminya bisa langsung berubah sikap beberapa hari ini. Dulu, dia benci pada Lanita dan bahkan mengusirnya dari rumah yang mereka tempati, sekarang.Herin melirik pada suaminya yang juga hanya diam dan tidak peduli pada sikapnya yang jelas-jelas sedang marah. Pria itu justru terlihat lebih tertekan dari pada dirinya saat ini. Alis Herin berkerut heran.Brank! Pintu kamar ditutup kencang oleh Herin. Sengaja ia tunjukkan kecemburuannya pada sang suami. Sayang, Farhan masih sibuk menata hatinya yang terasa panas. Ia malah menjatuhkan dirinya pada sofa dan tidak memperdulikan sikap istrinya."Tidur di luar!" pekik Herin dari balik pintu sembari melemparkan bantal.Herin semakin kesal karena suaminya tidak ada upaya untuk mendamaikan hatinya yang terbakar cemburu."Apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan, Mas? Apa kamu masih
Herin menjegal sembari melipat tangan saat ketiganya selesai makan siang. Farhan kaget, begitu pula dua wanita di sampingnya. "Apa kalian ingin mengatakan sesuatu untuk ini?" ucapnya. Herin merasa menjadi wanita yang telah ditusuk dari belakang oleh suaminya sendiri dengan mantan istrinya."Apa tidak cukup dengan apa yang kamu lihat, hingga masih harus meminta penjelasan?" jawab Farhan."Mas!" Mata Herin melotot mendapat jawaban tidak mengasikkan itu."Mas, biar kami pulang naik taksi saja." Lanita sedikit memohon untuk itu, ia tidak ingin mengundang masalah yang lebih besar."Tapi, Fatin sakit.""Aku sudah jauh lebih baik, Pa." Susul Fatin meyakinkan."Baiklah kalau begitu." Farhan setengah berlari menghentikkan taksi untuk keduanya. "Hati-hati," ucapnya seraya membukakan pintu. Lanita dan putrinya mengangguk. Wanita itu melihat pembayaran taksi sudah dibayarkan di depan dengan metode buka pintu hingga tidak ada lagi tagihan."Terimakasih, Mas." Lanita mengangguk sebelum menutup pint
Herin berjalan ke depan untuk mencari taksi. Cukup lama ia menunggu angkutan umum itu lewat. Baru saja ia berpikir untuk memesan angkutan online, seorang pria berjalan dari arah kiri."Bukankah dia?" Herin ingat itu adalah pria yang bersama Lanita di pesta pernikahan. Hatinya tiba-tiba sumringah. Ia merasa mendapat angin segar. Dadanya yang sesak terasa melonggar. "Mereka cocok. Orang miskin, memang seharusnya sama yang kere lagi!" "Kamu!" sapa Herin.Arya mendongak. Sejak tadi, ia menunduk, mencoba menghubungi seseorang. Mobilnya tiba-tiba saja mogok di sebelah sana. "Kamu mau ke rumah Lanita, 'kan?" tanyanya antusias.Arya berpikir sejenak. Ia tahu kalau wanita itu adalah istri dari mantan suami Lanita. "Benar." Arya menyimpan ponselnya ke dalam saku."Aku ingin bicara sebentar denganmu." Herin melihat tempat di mana mereka bisa berbicara. Tidak jauh dari sana, ada sebuah warung kaki lima. "Di sana!" tunjuknya. Arya mengikuti langkah Herin menuju salah satu kursi di warung kaki
"Bukannya mobil itu suka dipake ibumu?" Hayfa melirik pada mobil yang terparkir di depan kampus. Temannya_Hani sejak SMA mengenali mobil itu."Ya.""Ibumu sedang ada di sini?" tanyanya lagi.Hayfa menggeleng. "Terus?""Dipake anak papaku.""Anak papamu?" Temannya yang lain menyahut."Jadi, kamu mau bilang kalau kamu bukan anaknya?"Hayfa enggan menjawab, tapi temannya itu lebih dulu tertawa. "Pantas saja kemarin aku lihat papamu menggandeng seorang mahasiswi. Ternyata, itu anaknya.""Kamu cuma anak tiri, Hayfa?" Hani menyelidik. "Hahaha ... aku kira kamu anaknya. Anak tiri nggak akan kebagian apa-apa, dong! Selain, kasih sayang papamu, semua hartanya akan diberikan pada dia." Temannya menyahuti dan tertawa lepas.Perlahan tangan Hayfa mengepal. Ia merasa sakit terhadap kata-kata yang diucapkan temannya. Gadis itu langsung pergi menjauh."Hayfa!" panggil Hani.Gadis itu tidak ingin mendengar. Ia berlari sembarang melampiaskan kemarahannya.Sejak pindah ke rumah papanya Hayfa selalu p
"Kamu tidak pergi ke kantor, Mas?" Herin mengerutkan dahi saat suaminya kembali pulang. Ia tidak banyak bicara melainkan masuk begitu saja ke kamarnya. Pria itu membaringkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan mata. Herin merasa sangat heran. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Arya. Menanyakan apakah suaminya melihat saat ia mengantar Fatin ke kampus.[Mungkin saja. Aku tidak memperhatikannya,] balas Arya. [Aku memang mengantarkan Fatin ke kampusnya.]'Apa sesakit hati itu Mas Farhan hingga tidak sanggung pergi ke kantor?' Herin menyelidik. Ia penasaran dan datang dengan lambat mendekat. "Kamu sakit, Mas?" Herin mencoba memeriksa, namun Farhan keburu berbalik. Memunggungi."Tinggalkan aku sendiri!" perintahnya.Herin beranjak dan memilih meninggalkannya. Dalam hati ia merasa senang melihat suaminya seperti ini. Itu berarti lelaki itu merasa sangat kecewa, hingga tidak akan terlalu dekat dengan Fatin dan Lanita lagi. "Ternyata permainanku tidak sia-sia. Pria itu lumayan juga diajak
Farhan melihat dengan bersemangat, setelah sulit dihubungi putrinya mengirim pesan. Pria itu segera membukanya. Fatin mengirim sederet pesan yang membuat wajah riang Haikal menjadi berkerut. [Aku meminta maaf.][Heum! Tidak salah kamu meminta maaf? Apa papamu sudah tidak percaya lagi? Kamu memang tidak pantas dipercaya, Fatin. Papa Farhan adalah papaku. Dia lebih menyayangiku daripada kamu. Jadi, wajar saja, jika dia lebih percaya padaku. Kamu sebaiknya tidak perlu muncul lagi, karena itu hanya akan membuat papa semakin murka. Aku sudah tinggal lagi bersama Papa di sini. Jangan harap kamu bisa tinggal bersamanya!][Enyahlah kamu dan ibumu dari kehidupan kami. Cari kehidupan kalian tanpa Papa! Aku tidak akan tinggal diam, jika kamu masih mencoba mencari simpati lagi!]Farhan langsung menghubungi putrinya setelah membaca semua pesan itu. Itu adalah screenshot percakapan antara Fatin dan Hayfa.[Fatin?] sapa Farhan. Tidak ada suara dari sana padahal panggilan sudah tersambung. [Apa kamu
Farhan keluar rumah dengan keadaan linlung. Ia bingung dengan kondisi hidupnya sendiri. Pria itu merasa mungkin ini sebuah karma."Assalamualaikum, Pak Farhan."Farhan langsung menengok. Seorang pria berpakain serba putih lengkap dengan sorbannya datang menghampiri. "Assalamualaikum wr.wb." Ia kembali mengulang ucapannya, karena Farhan masih belum menjawab."Walaikumsalam, Pak Kyai Jamal." Farhan terlambat menjawab, ia baru saja tersadar dari lamunannya. "Sudah lama saya tidak melihat Pak Farhan datang berkunjung?" Pria yang sedikit lebih tua dari Farhan menepuk lembut pundaknya. Ia bisa melihat pria itu kini datang dengan beban yang sama, persis seperti bulan sebelumnya. Di tempat yang sama, Kyai Jamal menemukan pria yang limpung di teras Masjid dan mengajaknya untuk shalat. Hari itu, setelah melaksanakan shalat. Farhan berkata merasa linglung dengan pikirannya sendiri. Kyai Jamal mendengarkan, dan sesekali bertanya tentang keadaan keluarganya. Dari sana lah, Kyai Jamal tahu kalau
"Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare
"Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men
"Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua
"Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L
"Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan
"Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka
"Tolong cari tahu siapa yang telah membawa Hayfa dan membebaskan Fatin, Mas. Dia telah mengembalikan hidupku. Aku berhutang besar pada anak muda itu," ucap Lanita sebelum Arya pamit pergi."Iya, aku akan mencari tahu tentang anak muda itu."Arya berpamitan pulang. Lanita mengantarnya sampai depan. "Terimakasih, Mas."Pria itu mengangguk dan memberikan senyuman. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Lanita sebelum mobilnya benar-benar menjauh. Melihat lambaian tangan wanita itu dari kaca spion. Sungguh, Arya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya."Lanita!" Lanita kembali menoleh saat ia hendak menggelindingkan kursi rodanya masuk ke rumah. Lalu, memutar kembali kursi roda saat melihat Farhan sudah berdiri di sana. Emosi pria itu masih terlihat tidak stabil. Ia tampak marah dengan wajah memerah."Kamu tidak bisa memutuskan sebelah pihak seperti itu dan mempermainkanku seenaknya! Apa maksudmu dengan menarik ulur seperti ini? Bukankah baru saja kemarin kamu berputus asa dan menyerah
Suara lemah dari derap langkah kaki seorang ibu berjalan terhuyung menuju tempat di mana anak yang selama ini ada dalam buaiannya harus berjarak jeruji besi. Hayfa berdiri dan melangkah kecil menuju dinding besi yang memisahkannya dengan kehingar bingaran dunia luar. Ia melihat ibunya berdiri di sana. Menatap kosong, seperti mimpi. Herin tidak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun, meski sekedar sumpah serapah yang biasanya akan refleks ia lontarkan."Ma." Hayfa merasa khawatir. Bukan itu reaksi yang seharusnya ia dapatkan. Gadis itu tahu betul bagaimana ibunya. Suaranya mungkin akan terdengar melengking lebih dulu sebelum dirinya sampai.Herin masih diam, lalu mengerjap dan bulir bening terjatuh dari sana. "Kenapa dengan kepalamu?" tanyanya saat melihat kasa di bagian samping kanan kepala Hayfa."Ya?" Hayfa menyentuhnya. Ia berpikir cepat untuk berbohong. Setidaknya gadis itu tahu, kalau keadaan ibunya berbeda saat ini. "Aku jatuh."Suasana kembali hening. Herin banyak diam dibanding
"Hei, bangun! Kenapa kau terus tidur?" Seorang wanita teman satu sel Fatin menendang kaki gadis itu. "Walau tidak ada yang kau kerjakan. Jangan hanya tidur! Itu akan membuat otakmu mati! Kamu bisa bangun dan mengkhayal!" ucapnya lagi sembari merentangkan tangan dan menggerakan otot kepala. "Tubuhmu bisa lumpuh juga kalau hanya meringkuk seperti itu!""Hei! Gadis muda, bangun! Apa kau tuli!" Wanita itu menatap heran pada teman selnya yang hanya meringkuk sejak pagi. Sarapannya pun bahkan tidak disentuh. "Kau bahkan tak makan!" ucapnya lagi. "Penjara bukan akhir dari hidup, setidaknya kau masih harus bersyukur dikasih hidup!" "Hei! Bangun!" Wanita itu akhirnya berjongkok untuk membangunkan fatin. "Ya, ampun kenapa kau seperti mayat! Dingin sekali!" Wanita itu menjauh ketakutan. "Apa dia mati?" gumamnya. Wanita itu mencoba mendekat setelah mengumpulkan keberanian. Dia mendorong pelan tubuh Fatin yang meringkuk. "Ya, ampun dia beneran mati!" Wanita itu sampai melonjak mundur sendiri keti