Sepasang mata cowok tinggi berambut merah kepirangan, di balik kaca mata tebal itu tampak mengerjab beberapa kali, didepan gerbang sekolah SMA Persada Bangsa. Kemudian dia melangkah sambil menunduk memasuki halamannya, membuat siswa-siswi yang tersebar di seluruh penjuru sekolah mengarahkan pandang kepadanya dengan berdecih dan sorot mengejek. Bagaimana tidak? Penampilan cowok itu sangat culun dan menyedihkan. Aura lemah yang menyertainya tentu saja memancing para 'predator' sekolah yang haus darah untuk datang dan melakukan penindasan.
Nun di parkiran sekolah, tiga orang pemuda berseragam sudah mulai memasang muka bengis dengan seringai penuh arti."Murid baru yang satu ini sepertinya menarik..." gumam salah seorang dari antara mereka, cowok itu berwajah lumayan, namun matanya yang licik membuat orang tidak terkesan pada kegagahan parasnya. Namanya Rubby. Dia terkenal sebagai ketua geng pembuli yang senang berbuat onar. Kedua cowok yang saat itu bersamanya adalah Tio dan Fandy, dua ajudan setia yang selalu menemaninya malang melintang sebagai 'bandit' sekolah. Mereka memang menikmati peran brutal itu selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA Persada. Keluar masuk ruang Kesiswaan justru menjadi kebanggaan dan dianggap catatan prestasi oleh mereka.Ketiga cowok itu terus mementang mata mengikuti langkah si culun di seberang sana."Cabut!" bisik Rubby sambil melompat turun dari bison kesayangannya. Tio dan Fandy segera mengikuti.Pemuda culun itu terus melangkah sambil menunduk dan mencengkram tali ranselnya erat, seolah takut akan ada seseorang yang merenggut benda itu dari punggungnya. Karna terus menunduk, dia tidak menyadari seorang gadis yang sedang terburu-buru melangkah dari arah berlawanan, menyusuri koridor sekolah dengan setumpuk buku di tangannya. Seperti yang diduga, terjadilah tabrakan yang tidak dramatis, karna cewek itu langsung jatuh terduduk dengan posisi yang sama sekali tidak keren."Ma...maaf..." si culun mencicit gugup, cepat berlutut dan mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Gadis itu ikut mengumpulkan bukunya."Tidak apa," gumam gadis itu pelan. Dia seorang gadis berwajah manis, berkacamata tipis, memiliki tahi lalat di dagu kanannya.Si culun menyodorkan buku terakhir, dan keduanya lekas berdiri."Daniah." Gadis itu menyodorkan tangan. "Dari kelas Sepuluh A. Kamu?"Cowok itu mengangkat kepalanya yang selalu menunduk, menatap bolak balik antara tangan dan paras si gadis dengan ragu. Melihat wajah lembut penuh persahabatan itu, akhirnya dia menyambut uluran tangan gadis itu."A..aku Bayu.""Dari kelas apa?""Aku belum tahu, belum sempat melihat..."Daniah memandangi Bayu sebentar. "Kalau begitu," katanya, "Mari kuantar ke mading untuk melihat dimana kelasmu,""Eh... Terimakasih.."Daniah tersenyum singkat, "Ayo."Bayu lekas mengimbangi langkah gadis itu. Daniah berjalan ringan, tidak memperdulikan tatapan-tatapan menghina dari sebagian besar siswa yang tampak sudah gatal mengomentari penampilan Bayu.Mereka akhirnya sampai di mading yang lumayan ramai dengan murid-termasuk murid baru- dari berbagai angkatan. Mereka sibuk mencari nama masing-masing untuk menentukan di kelas mana mereka ditempatkan di tahun ajaran baru ini."Itu untuk kelas 10," tunjuk Daniah pada lembaran kertas yang ditempelkan di bagian sudut. Beberapa siswa asyik mengerubut disana. Bayu masih berdiri termangu, membuat Daniah tak sabar. Ditariknya tangan cowok itu seraya menerobos kerumunan siswa."Cari namamu!" tandasnya.Bayu mengangkat kepala, memperhatikan lembaran kertas yang tertempel di mading, berusaha mengabaikan desakan-desakan disekelilingnya."Sudah ketemu," ujarnya kemudian, sambil cepat-cepat keluar dari kerumunan. Daniah menyusulnya dengan cepat."Kelas mana?""Sepuluh IPA A.""Kalau begitu, kita sekelas!" Gadis itu menyengir senang, entah apa yang membuatnya gembira. "Ayo!" dia menarik tangan Bayu dan membawanya berjalan."Kita mau kemana?""Sepuluh IPA A. Letaknya di lantai dua. Sebaiknya kau segera memilih bangku!"Bayu menurut saja. Lagipula kehadiran Daniah membuat dirinya yang kuper dan tertutup itu sedikit terbantu. Ibarat domba muda di tengah serigala, Daniah adalah gembala yang datang melindungi dan menuntunnya!Tapi eh... melindungi? Daniah sepertinya belum cocok dengan kalimat itu. Mereka sudah akan menaiki tangga ke lantai dua, ketika tampak tiga remaja asyik berdiri dengan sikap menghadang di bawah tangga menuju lantai dua. Para bandit sekolah itu! Rubby duduk diatas undak tangga ke tiga, dengan gaya seorang bos lengkap dengan tatapan tajam dan bengisnya. Tio dan Fandi berdiri bersandar pada pegangan tangga dan tembok, saling berseberangan.Daniah dan Bayu berhenti."Maaf Kak, boleh kami lewat?" tanya gadis itu. Lambungnya diam-diam terasa mual melihat wajah-wajah sok ke tiga remaja yang dijuluki 'Trio Bandit' ini."Lo boleh lewat," ucap Rubby sambil bangkit berdiri. Ekspresinya yang dibuat-buat sungguh memuakkan. Padahal sebenarnya-sekali lagi- dia tampan. Cowok itu membuka jalan, bersikap mempersilakan.Daniah menarik tangan Bayu, mereka melangkah dengan cepat hendak menaiki tangga. Namun dengan cepat pula Rubby merentangkan tangannya dan menahan dada si culun itu. Kepalanya menggeleng pada Daniah dan wajahnya menampilkan senyum jahat, "Gue bilang lo boleh lewat, tapi cowok agar-agar ini tetap disini!""Tolong jangan macam-macam, Kak. Kami ingin lewat!" gerutu Daniah."Lo berani menentang senior? Lo nggak tahu siapa kami?" Tio mengancam.Daniah menggigit bibirnya. Tangannya masih mencengkram pergelangan tangan Bayu yang terus menunduk. Arrggghh! Kenapa cowok itu terus menatap lantai?!"Memangnya siapa kalian?!" tanya Daniah dengan jengkelnya."Kami geng yang paling di takuti disini! Jangan mencampuri kesenangan kami gadis manis! Sebaiknya lo pergi dan tinggalin teman lo disini!" kecam Rubby."Begitu? Aku tidak akan pergi, tanpa Bayu!" Daniah lekas menarik tangan Bayu, namun Tio dan Fandy melakukan gerakan menghadang secepat kilat. Rubby mendorong Bayu keras-keras sehingga pegangannya terlepas dan dia tersungkur ke bawah tangga. Daniah terkejut. Buku-bukunya jatuh berserakan karna sentakan yang kuat."Urus dia! Gue mau bermain-main dengan kelinci kecil ini..." kata Rubby sambil melirik Bayu, membuat Daniah mendelikkan mata cemas.Tio dan Fandi memegangi tangan Daniah, dia tidak berkutik. Rubby menjambak rambut pirang Bayu, memaksanya berdiri tanpa menghiraukan rintihan kesakitan cowok itu."Kalian lihat?!" Rubby mencebik. "Dia bergaya mewarnai rambut segala seperti anak gaul! Namun pembawaan lembek! Dasar menjijikkan!""Ii...ni... warna rambut asliku...""Oh ya?" Rubby membulatkan mata. "Kalau begitu mari kita lihat!" Pemuda itu menyeret Bayu pergi. Tio dan Fandy segera mengikuti tanpa menghiraukan Daniah yang berdiri kebingungan."Dia mau dibawa kemana?" desisnya khawatir saat melihat aksi trio bandit itu. Daniah bergegas hendak melapor ketika dilihatnya ada seorang guru yang baru datang.Namun langkahnya tertahan ketika sebuah tangan yang mencengkram bahunya. Daniah menoleh cepat. Seorang gadis cantik berambut coklat dengan softlens hitam dan bertubuh tinggi tersenyum miris menatapnya. "Jangan ikut campur. Kau hanya akan terseret dalam masalah jika mencampuri urusan Rubby.""Ttaa...pi...""Biarkan saja. Kalau bosan dia pasti akan berhenti, toh temanmu tidak akan mati, kan?" katanya santai yang akhirnya dihadiahi pelototan mata Daniah. Apakah murid disekolah ini semuanya tidak berperasaan?!Daniah hendak memberontak, namun gadis itu malah menampilkan smirk yang sinis. "Kau harus mendengarkan ucapanku. Jangan cari masalah! Oh ya, siapa namamu?"Daniah menggertakkan gigi. "Daniah.""Aku Rose." Dia memperkenalkan diri tanpa diminta. "Jangan lupa pesanku. Bye." Rose berlalu dengan santai, tubuhnya yang semampai itu melenggang pergi tanpa beban.Daniah kembali kebingungan. Dia memutuskan untuk mengantar buku-bukunya dulu ke kelas, dan kemudian turun lagi ke lantai satu untuk mencari keberadaan Bayu yang telah diseret para 'penjahat' itu!***Daniah melangkah kesana kemari sambil menyebar pandangan mencari. Sosok Bayu akan sangat mudah dikenali karna cowok itu satu-satunya siswa yang berpenampilan freak dan berkacamata tebal. Namun sampai lelah dia berputar-putar, orang yang dicarinya tak kunjung kelihatan. Daniah merutuk cemas dalam hati, jengkel bukan main mendapati praktik penindasan masih terjadi di zaman kemerdekaan ini! Bahkan ini terjadi di lingkungan sekolah! Tempat dimana setiap hari para pelajar di ajari pentingnya toleransi dan saling menghargai! Daniah menghempas nafas ke sekian kalinya.Apa yang akan mereka lakukan pada Bayu?Gadis itu memegang keningnya, dia ingat kalau dirinya belum memeriksa toilet sekolah. Gadis ini seperti mendapat kekuatan baru dan segera berlari ke arah toilet lelaki dan mengabaikan beberapa hal yang bertentangan dalam benaknya.Berpasang-pasang mata tampak menatap kaget ketika seorang gadis menerobos seenaknya ke dalam toilet sekolah. Paras Daniah merah sesaat. Malu! Malu! Malu!Cepat ditekannya perasaan itu sambil memandang berkeliling, berusaha mengabaikan beberapa pemandangan yang tersembunyi dibalik papan-papan pemisah.Dia tahu Bayu tidak ada disana. Tanpa mengucap sepatah kata dan wajah merah padam, Daniah berlari keluar. Shit. Apa yang barusan dilakukannya? Para cowok-cowok itu pasti berpikir dirinya cewek mesum! Dia baru saja menghancurkan citra dirinya yang bahkan belum dia bangun di sekolah itu!Gadis ini keluar dari toilet, menyusuri koridor sekolahan dengan lesu.Eh... Bukankah itu Bayu?Daniah memperbaiki letak kacamata tipisnya. Tampak Bayu melangkah keluar dari sebuah lorong, tergesa-gesa, dan tak lupa... menunduk.Dia baik-baik saja? Mana Trio Bandit itu?Dibelakangnya tampak seorang gadis tinggi langsing melangkah tersenyum-senyum sambil mengucapkan sesuatu pada Bayu, namun cowok itu hanya melirik sedikit dan berbelok meninggalkannya. Gadis itu... Bukankah itu Rose? Si rambut coklat?Daniah mengeryit.Rose akhirnya berpapasan dengan Daniah."Apa yang...." Daniah membuka mulut bertanya, namun bunyi bel masuk menghentikan ucapannya.Rose tersenyum manis. Tanpa menunggu Daniah menyelesaikan kalimatnya, gadis tinggi ini melangkah pergi seolah tak ada siapa-siapa. Tak lama kemudian terdengar suara dari speaker sekolah meminta seluruh siswa melakukan apel pagi.Para siswa berlarian menuju halaman sekolah, berbaris rapi menunggu pemberitahuan apa yang akan disampaikan. Guru yang memberikan apel adalah seorang lelaki bertubuh pendek, namun kekar, berwajah tegas dan mengaku sebagai guru Matematika. Dia menyapa para murid baru dan memberikan beberapa petunjuk dan memberitahu peraturan umum sekolah.Setelah bubar, Daniah lekas mengejar Bayu yang melangkah perlahan menuju kelas mereka."Bayu!"Cowok itu menoleh. "Daniah?""Kamu baik-baik saja?"Bayu mengangguk singkat, kemudian menunduk lagi. Seolah-olah lantai memang adalah pemandangan indah yang tak ingin dia lewatkan sedikitpun."Mereka tidak menyakitimu?" Daniah melirik pakaian dan tubuh pemuda itu. Terlihat baik.Bayu menggeleng. "Tidak, terimakasih." Kemudian dia memutar tubuh, kembali melanjutkan langkahnya."Apa Rose juga hendak menyakitimu?" gadis itu memberondong sambil melangkah mengikuti."Itu... tidak. Dia menolongku.""Menolongmu?" Alis Daniah terangkat. Gadis langsing itu menolong Bayu? Sepertinya cukup sulit membayangkan Rose berkelebat bak superhero dan membabat habis Trio Bandit itu demi menyelamatkan Bayu. "Aku tidak salah dengar?""Tidak.""Baiklah. Yang penting kau selamat." gumam Daniah yang lelah pertanyaannya ditanggapi singkat padat dan jelas.Keduanya menyusuri tangga dalam diam, membaur diantara para murid yang lain.***Kelas Sepuluh A terdiri dari 40 siswa yang rata-rata berotak cerdas. Tidak menjadi rahasia lagi kalau kelas A selalu ditempati oleh murid ber IQ lumayan, sementara kelas lain menampung para 'murid buangan' alias gagal seleksi, meski tidak bisa dikatakan bodoh.Meski demikian, bukan berarti kelas A adalah tempat para pelajar kutu buku berkacamata tebal yang hanya peduli pada rumus matematika dan fisika.Kelas A rata-rata diisi komunitas borjuis berpenampilan menarik disamping pandai.Ketika Daniah dan Bayu masuk, kelas itu sudah cukup sesak. Bayu memilih tempat duduk pada deret ke tiga sudut sebelah kanan, sementara Daniah tepat didepan Bayu.Para murid 10 A sibuk berkenalan sana sini untuk membangun keakraban. Ada beberapa siswa maupun siswi yang menyalami Daniah sambil menyebutkan nama, dan disambuti gadis itu dengan senang hati."Asmira," seorang gadis bertubuh sedang, berkulit coklat terang dan berwajah seperti orang India mengulurkan tangannya pada Daniah."Daniah,"Gadis itu melir
Pagi itu, Bayu kembali memasuki halaman sekolah dengan langkah pelan, kepala menatap tanah. Beberapa siswi yang sempat melihat cowok berkacamata itu keluar dari mobil mahal tak tahan untuk merumpi dan bertanya-tanya. Siapa sebenarnya si culun ini? Apakah dia putra seorang konglomerat? Atau mungkin dari golongan crazy rich?Meski begitu banyak dugaan, namun tak ada seorangpun yang mau mendekati Bayu apalagi bertanya atau mengajaknya berkenalan. Bayu sendiri tampaknya tidak peduli dengan sekelilingnya. Dia terus berjalan, naik ke lantai dua menuju kelas 10 A, dan menaruh tasnya disana. Suasana kelas masih cukup sepi, baru satu dua orang yang datang. Bayu melirik arlojinya. Masih ada waktu 20 menit sebelum bel masuk. Cowok ini membetulkan letak kacamatanya sebentar kemudian melangkah keluar dari kelas dan menuju ujung koridor lantai dua, dimana disana tampak sebuah pintu tertutup dengan papan keterangan yang menggantung di sisi kiri pintu. Perpustakaan/Library. Tempat favorit apa lagi ba
Daniah masih berdiri menunggu didepan gerbang sekolah. SMA Persada Bangsa sudah mulai sepi. Gadis berkacamata tipis itu celingak-celinguk, namun kendaraan jemputannya belum juga tiba. Sambil memasang wajah masam, dia berpaling ke halaman sekolah dan terkejut melihat sosok Bayu melangkah keluar gerbang. "Bayu!" Daniah segera mendekat. Matanya membeliak melihat penampilan cowok itu yang berantakan dan belepotan lumpur. "Kacamatamu mana?" tanya Daniah. Cowok itu mengangkat kepalanya, namun dia tidak memandang Daniah. Tanpa menjawab, Bayu mengeluarkan handphonenya, lalu menelpon seseorang."Roy, dimana?" tanyanya begitu tersambung."....""Aku menunggumu di gerbang."Bayu mematikan handphonenya, lalu berpaling pada Daniah. Gadis itu tertegun. Shit! Tanpa kacamata, wajahnya benar-benar tampan! Mata hazelnya kayak shining! O my God!"Kenapa kau belum pulang?" pertanyaan Bayu menyentakan gadis itu dari keterpukauan-nya."Ada sedikit masalah. Mungkin jemputanku masih setengah jam lagi." ja
Pemuda tampan itu tegak diatas balkon rumah mewah bernuansa klasik tersebut sambil memandang ke arah taman. Kegelapan malam yang mulai turun tampak bersanding eksotis dengan gemerlap lampu taman di bawah sana. Dibelakangnya, seorang cowok bermata coklat menunduk khidmat."Dia bertindak secara luarbiasa, diluar perintahku." kata pemuda didepannya. Dia membalik. Pencahayaan yang suram menimpa sosoknya yang tinggi sempurna, sepasang matanya bagai manik bintang yang penuh wibawa, memancarkan kekuatan dan ketenangan dalam waktu bersamaan.Meski dia memakai pakaian santai biasa, namun setiap orang akan merasakan aura seorang raja menguar dari dalam dirinya, padahal usianya masih sangat belia."Harap Yang Mulia tidak marah." Si mata coklat merapatkan telapak tangannya diatas kening, khas hamba sahaya jaman dahulu menghadap rajanya."Putri mengkhawatirkan Yang Mulia.""Dia benar. Setelah Rose masuk ke Poison, kau memang harus masuk ke Persada Bangsa untuk menggantikan perannya. Meski kurasa,
....Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?" Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya. Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudi
" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi. Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya. "Hallo." "Ada apa?" "Kau sudah mulai mengawasi dia?" "Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..." "Bisa kau kesini sekarang?" "Rumah Sapphire?" "Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu." "Untuk apa?" "Aku akan menjelaskannya nanti." klik. Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya. "Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah. "Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling." "Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang." "Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"
"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s
Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak