" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi.
Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya."Hallo.""Ada apa?""Kau sudah mulai mengawasi dia?""Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi...""Bisa kau kesini sekarang?""Rumah Sapphire?""Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu.""Untuk apa?""Aku akan menjelaskannya nanti."klik.Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya."Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah."Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling.""Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang.""Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?""Zeilo Alexandro."Riana dan Saron saling pandang. "Gadis itu sepertinya sakit hati dengan kekalahan saudaranya." Gumam Riana. Sementara Rose termangu tak mengerti."Apa yang sebenarnya terjadi?""Sapphire menghilang." jawab Saron."Hah?" Rose terkejut. "Bagaimana bisa?""Kau mengawasi Zarah, bukan? Apa dia terlihat mencurigakan saat pulang sekolah?" Riana mengabaikan pertanyaan Rose."Pipi kirinya bengkak seperti bekas tamparan. Aku mengikutinya sampai depan kompleks secara diam-diam. Dia sempat singgah di pusat perbelanjaan sebelum pulang. Hanya itu. Dia hanya membeli beberapa makanan ringan."Riana mengetukkan jari diatas helm yang sudah dilepasnya. Dia terkejut ketika Saron tiba-tiba berteriak."Hidup!""Apa?""Penanda lokasi Sapphire aktif kembali!"Riana lekas memeriksa handphonenya dan segera menscreenshoot penanda lokasi Sapphire yang sudah tidak bergerak-gerak lagi, pertanda pemegang handphone itu sudah berdiam di suatu tempat, tidak lagi dalam perjalanan."Cabut!" Riana memberi instruksi."Aku bagaimana?" tanya Rose bingung."Awasi Zarah, kabari jika ada hal yang mencurigakan.""Baik."Riana dan Saron melaju pergi. Hanya sesaat ketika keduanya pergi, Rose mengeluarkan handphonenya."Sapphire menghilang. Riana dan Saron sedang melacak keberadaannya." lapornya pada seseorang.".......""Aku ditugasi mereka mengawasi Zarah.""....................""Baik, "Rose mengakhiri panggilannya. Dia pura-pura nongkrong disebuah resto kecil yang kebetulan berada didekat rumah Zarah. Dari tempat duduknya Rose dapat melihat ke arah rumah Zarah dengan jelas.***Gadis yang memegang smartphone ditangannya itu mengernyit, dia tidak mendapatkan informasi berarti dari ponsel milik sanderanya. Kepalanya disandarkan ke sofa, memejamkan mata sejenak."Aneh sekali. ponselnya tidak memiliki pengamanan apapun. Gadis bodoh." gumamnya. Gadis ini bangkit dari sofa dalam ruangan yang didominasi warna merah tua itu.Dia melangkah keluar lewat pintu belakang, dan menghampiri dua bodyguard yang berjaga didepan gudang di belakang rumahnya."Apa dia sudah sadar?"Kedua lelaki kekar itu mengangguk. "Sudah, Putri."Gadis itu memasang tudung hoodienya dan berjalan masuk ke dalam gudang. Dua bodyguardnya tetap berjaga di luar.Dia melihat sanderanya duduk tertunduk, rambutnya tergerai tak beraturan menutupi wajahnya."Putri, apa kau sudah sadar?" waktu mengucapkan kata Putri, suaranya sengaja dibuat-buat.Sanderanya tidak bergerak. Tidak bersuara.Gadis itu membungkuk, tangannya bergerak hendak menjambak.Bukkk!Akh!Si gadis bermasker terseret kebelakang ketika tahu-tahu tangannya ditangkis. Dia mendengar tawa pendek.Sang sandera sudah bangkit berdiri dengan perlahan-lahan, tambang itu sudah berhamburan putus."Sungguh permainan yang menyenangkan." gumam Ariza, si 'sandera' sambil membunyikan buku-buku jarinya.Gadis yang memakai hoodie membeliak. "Ternyata dia masih sekuat dulu!""Bagaimana kabarmu?" Ariza tersenyum sinis sambil menyugar rambutnya dengan tenang."Hmmm. Akhirnya kau mengenali diriku." Desis si jaket hoodie tak kalah sinis."Tenanglah. Mata lembut tapi munafik itu tidak ada duanya. Aku tentu mengenali pemilik mata yang sangat pandai bersandiwara ini seperti aku mengenal telapak tanganku.Meskipun kau menutupi warna mata aslimu dengan softlens cokelat itu, aku tetap mengenalimu.""Tutup mulutmu!""Oh ya? Mengapa aku harus tutup mulut?""Kau benar-benar menyedihkan. Hidupmu terbuang dan tidak diharapkan oleh orang-orang yang kau cintai. Sungguh menyakitkan.""Ah, sepertinya kau mulai mengalihkan pembicaraan. Caramu memang selalu seperti itu sejak dulu. Kurasa kau yang lebih menyedihkan, kau mengejar-ngejar orang yang kau benci hanya karna Nilakandi. Kau tertutup dengan obsesi sampai lupa sampai dimana batas kekuatan sendiri.""Nyatanya aku bisa mengalahkanmu dan membuatmu menjadi putri terbuang!""Aku bukan seorang putri. Sejak awal aku bukan seorang putri." Ariza menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dan aku lebih memilih terbuang daripada hidup didekatmu dan melihat sikapmu yang menjijikan. Kurasa itu hanya akan memperpendek umurku!" Ariza tertawa lebar dengan santai. Ini sangat bertolak belakang dengan pembawaannya yang dingin selama ini."Bukankah memang jika aku berada didekatmu, kau akan segera mati? Jika bukan karna dia, saat itu kau sudah dihukum mati, Tirza!""Nyatanya aku masih tetap hidup saat ini, dan itu berarti usahamu untuk melenyapkanku gagal.""Aku akan menyeretmu untuk kembali ke istana dan membuatmu dipancung didepan orang-orang yang kau cintai!""Yakin? Apakah kemampuanmu sudah cukup?""Bajingan!"Dua pasang mata berperang pandang. Udara di di gudang itu tiba-tiba menjadi sangat dingin. Perlahan-lahan, tubuh kedua gadis itu mulai diselimuti sinar berbeda warna. Warna biru indigo menguar dari sosok Sapphire, sedang warna kuning keemasan berpendar di tubuh gadis ber hoodie."Aku sudah lama tidak menggunakan kekuatan internalku, apa kau sudah cukup yakin menghadapiku?" Ariza berkata dengan suara yang seperti terdistorsi. Warna indigo yang menyelimuti wajahnya membuatnya terlihat abstrak dan berbahaya. Aura membunuh mulai memenuhi udara."Aku baru tahu ternyata kau sudah jadi tukang pamer kekuatan! Dimana Tirza Antara yang polos dan rendah hati dulu? Apakah sudah mati?" Gadis berhoodie mencibir sinis. Sinar keemasan disekitar tubuhnya mulai berlipat ganda."Tirza Antara sudah mati. Dia sudah mati sejak lama." Ariza tertawa panjang. Tidak ada sentuhan perasaan dalam tawa itu. Begitu datar dan kosong."Kalau begitu, seharusnya kau sudah mati saat ini!"Sinar emas yang mencuat dari sepasang mata Gadis yang memakai masker itu meleret kedepan, bermaksud memotong tubuh Ariza menjadi dua bagian, namun secara bersamaan dari sepasang mata Ariza balas mencuat dua larik sinar biru, memapas dan membelokkan dua sinar emas itu menghantam dinding gudang yang terbuat dari papan.Wushhhh! Wussssh!Rrrttttttttttttt!Papan bagian belakang bangunan itu seperti dihantam gunting-gunting raksasa, jatuh bertanggalan dengan keadaan terpotong-potong.Saat itulah tiba-tiba pintu gudang terbuka lebar. Kedua gadis yang sedang berseteru sama berpaling.Dipintu gudang tegak dua gadis berjaket hitam. Satu berambut curly satu berambut lurus pendek. Keduanya terkesiap menyaksikan pemandangan didalam gudang itu."Apa ini... semacam sihir?" Saron tergugu menyadari dua sinar berbeda warna sedang mendominasi ruang gudang yang kotor dan penuh debu itu.Riana terhenyak disampingnya, mendapati dua pasang mata yang sedang menatap ke arah mereka laksana dikobari api."Sa...Sapphire... Itu kau...?" Riana bahkan tergagap mengucapkannya."Menyingkir!" sosok Ariza berteriak nyaring. Dia mengibaskan tangannya. Saron dan Riana terhempas jatuh punggung menimpa dua bodyguard yang sudah mereka lumpuhkan dan sedang tergeletak pingsan.Pintu gudang tertutup dengan keras sekali dari dalam.Saron dan Riana saling pandang. Jelas mereka sangat shock."Apa itu tadi, Riana?" Saron menelan ludah. "Apa di abad 21 masih ada penampakan sihir seperti itu?!"Riana tak menjawab. Sesaat kemudian terdengar suara benda hancur berantakan, dinding sisi kanan gudang runtuh, dan sosok Ariza melompat keluar dengan kecepatan kilat. Dia menyambar tangan Saron dan Riana dan menggumamkan dua kata dengan cepat. "Kita pergi!"Saron dan Riana belum sempat menjawab ketika kedua tangan mereka disentakkan dan mereka seperti merasa dibawa berlari tanpa menjejak tanah. Hanya dalam hitungan detik mereka sudah sampai di luar halaman rumah besar itu. Tanpa basa basi Ariza menaiki sepeda motor sport milik Riana dan berseru pada bawahannya itu. "Naik!" titahnya. Riana melompat naik, sedang Saron sudah menstart motornya sendiri. Dua kendaraan itu melaju bagai kilat, meninggalkan rumah besar kediaman gadis penculik itu.Sementara didalam gudang, gadis berjaket hoodie itu terhantar mengerang sebelum akhirnya melompat bangkit dengan sinar mata buas. Dia menekan dadanya yang terasa amblas. Ariza berhasil mendesak dan menundukkannya dengan kekuatan internalnya. Itu membuatnya sangat jengkel. Dia berteriak keras, menghantam isi gudang itu sampai hancur berantakan!"Kau harus mati, Tirza Antara! Harus!" raungnya penuh dendam.***Ariza melepaskan jaketnya yang tidak lepas dari tubuhnya semenjak adegan penculikan itu. Wajahnya yang jelita nampak sedikit memar.Dia menghempaskan tubuhnya diatas sofa dan memejamkan mata sambil menarik nafas berulangkali. Pelepasan kekuatan internalnya memang selalu berdampak lemas pada akhirnya.Saron dan Riana tegak didekatnya, belum berani membuka mulut."Tinggalkan aku sendiri. Suruh Rino menjemput motorku di perempatan dekat warung Mbok Mirna." titah Ariza tanpa membuka sepasang matanya.Riana dan Saron saling pandang dan melangkah turun ke lantai satu. Saat itu dua orang menerobos masuk dari pintu depan. Rose dan... Kristo?"Dimana Sapphire?" Kristo paling dulu bertanya begitu melihat Riana."Dia tidak ingin diganggu." Saron menjawab dari punggung Riana.Cowok tampan itu mendengus, dia hendak menaiki tangga, namun Saron dengan cepat menghalangi langkahnya."Kau musti berhadapan denganku dulu." ajudan Sapphire itu memasang badan."Hm, aku tidak suka hal ini." Kristo mengangkat alisnya. "Jika dia memang mengusirku, aku pasti akan pergi. Aku hanya ingin melihatnya..."Riana memberi tanda dengan tangannya, Saron menyingkir perlahan-lahan. Kristo melangkah setengah berlari menuju lantai dua."Kau yang memberitahu dia?" Saron mendekat ke arah Rose yang diam sejak tadi. Gadis itu mengangguk."Aku bertemu Kristo didepan. Dia mengeluhkan Sapphire yang tak kunjung menjawab teleponnya."Riana terlalu lelah untuk marah. Demikian juga Saron. Meski mereka kurang suka sikap Rose yang seenaknya mengekspos berita. Ya, walaupun Kristo memang bukan orang luar bagi mereka.Di lantai dua, Kristo menemukan Sapphire yang terduduk di sofa sambil memejamkan matanya seperti tidur. Cowok itu duduk perlahan di samping gadis itu."Sapphir?""Hm?" Ariza tak kunjung membuka matanya."Kau baik-baik saja?""Siapa yang menyuruhmu kemari?""Aku khawatir denganmu. Mengapa kau tak menjawab teleponku?"Ariza membuka sepasang matanya. Tanpa mengindahkan cowok tampan itu, dia bangkit dari sofa. "Aku ingin istrahat.""Sapphire!" Kristo menahan tangannya. Ariza berpaling memandangnya dengan datar. "Aku bukan Sapphire.""Kau Ariza? Apa yang sudah kau lakukan? Rose memberitahu apa yang terjadi. Kau membahayakan Sapphire tahu! Sampai kapan sifat keras kepalamu itu hilang?!" Meski nada suara Kristo meninggi, namun lebih banyak rasa cemas daripada amarah dalam tekanan suaranya.Ariza menarik nafas. "Sekarang Sapphire selamat, bukan? Tidak perlu dibahas lagi."Kristo berdiri. Saat mereka tegak berhadap-hadapan begitu nampak jelas tinggi Ariza hanya sampai di telinga cowok ganteng itu."Mengapa kau selalu menganggapku tiada, Ariza?" Kristo bertanya dengan tajam. Ariza mendongak menatap mata hitam cowok itu. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Kau dan anak-anak Poison yang lain adalah duniaku.""Dunia Sapphire, bukan duniamu..."Ariza bungkam. Sorot matanya terlihat lelah. "Apa sebenarnya maumu?""Aku ingin kau menganggapku ada.""Ucapkan permintaan itu pada Sapphire.""Aku ingin mengucapkannya padamu, Ariza. Karna aku mencintai dirimu.""Apa?" Ariza mengangkat wajahnya, "Ucapkan sekali lagi.""Aku mencintai dirimu." tekan Kristo dengan tegas.Tanpa diduga, Ariza tertawa. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Cinta...? Aku tak percaya pada cinta. Seharusnya kau mencintai Sapphire. Bukan diriku.""Aku mencintai Sapphire, namun aku menyadari bahwa perasaanku lebih kuat pada jiwamu. Pada jiwamu, Ariza.""Aneh sekali." Ariza tertawa. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Aku dan Sapphire itu satu, kau sangat aneh jika berucap seperti itu.""Tidak. Kalian berbeda." Kristo menarik tangan gadis itu, membuat Ariza musti berpaling menatapnya. Dua pasang mata mereka saling berperang pandang. Ariza diam-diam berharap kejadian ini tidak terekam dalam memori Sapphire nanti. Bukankah ucapan Kristo akan membuat Sapire sakit hati?Ariza dan Sapphire memang berbagi ingatan, namun Ariza tidak akan bisa mengingat kenangan Sapphire pada saat usianya 12 tahun ke bawah. Demikian juga Sapphire, dia tidak bisa mengingat kehidupan dan asal-usul jiwa lain yang menumpang di tubuhnya. Mereka hanya berbagi ingatan untuk kejadian yang mereka alami bersama. Pendek kata, kejadian-kejadian saat mereka mendiami tubuh yang sama."Kau tidak sadar kalau sedang mengucapkan hal seperti itu pada Sapphire juga sekarang, Kristo." tandas Ariza.Kristoper menghela nafas berat."Aku dan Sapphire adalah dua sisi dari satu raga. Kau tidak bisa mencintai satu sisi saja. Jikalau kau benar-benar mengasihiku, kau juga harus mencintai sisi lain dariku dengan cinta yang sama.""Aku mencintaimu. Entah kau Sapphire atau Ariza. Aku mencintaimu!" Kristo memejamkan matanya sejenak, membuat parasnya terlihat lebih tampan. "Jangan seperti ini, jangan menjerumuskan dirimu dalam bahaya."Ariza mengusap pipi cowok tampan itu, membuat Kristo membuka sepasang matanya yang hitam dan tajam. Dua mata yang selalu menatap dingin itu terlihat sendu dan lemah didepan Ariza."Aku tidak akan membahayakan Sapphire. Percayalah." Ariza menurunkan tangannya dan tersenyum. "Aku ingin istrahat sebentar. Kau tidak marah bukan?"Kristo mengangguk.Ariza melepaskan tangannya yang masih dalam genggaman cowok itu, lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.Gadis itu buru-buru menutup pintu dan menyandarkan punggungnya pada daun pintu kamarnya. Sepasang matanya terpejam. Seraut wajah tampan singgah dalam bayangannya. Dari sepasang mata yang tertutup itu mengalirlah bulir-bulir airmata. Gadis itu teringat kenangan masa lalunya. Dia merasa sangat lelah sekarang.***"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s
Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."
Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah
Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?
"Ada apa Riana?" "Kau Ariza?" tanya Riana setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Saron, dan sang ketua didalam tenda itu. Ariza mengangguk. Mendadak tenggorokannya menjadi kering. Dia membuka tutup botol air mineral pemberian Saron dan meminumnya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Bersikaplah biasa," ujar gadis itu dengan nada tak ingin dibantah. Dia beringsut bangkit. Beberapa peserta perkemahan terlihat menenteng peralatan mandi mereka sambil berjalan menuju danau. "Ingin ke danau?" Saron bertanya. Ariza mengangguk saja. Sebentar kemudian ke tiganya telah tergabung diantara peserta perkemahan yang berbondong-bondong untuk mandi di danau pagi itu. Danau di dalam hutan itu di beri nama Danau Nilamukti, karna airnya yang biru kehijauan. Ariza memilih tempat yang cukup tersendiri, jauh dari hiruk pikuk anak-anak, bersama Saron dan Riana. Mereka mandi dengan santai, air danau itu ternyata sangat dingin dan menyegarkan. Ariza membasahi wajah dan ra
"Kau... disini..." Ariza menggumam serak. Airmata mengalir dari netranya tanpa bisa dicegah. Itu mata yang sangat dirindukannya, tapi wajah itu bukan wajah Sang Pangeran."Sapphire, kau baik-baik saja?" pemuda itu berucap pelan dan lembut,dan sekali lagi menyadarkan Ariza bahwa suara itu bukan suara sang Pangeran.Gadis itu bergerak duduk, menepis lembut tangan pemuda itu perlahan. "Terimakasih, kau menyelamatkan diriku." ucapnya pula. Pemuda itu meraih kacamatanya yang tercampak. Dia adalah Bayu, pemuda culun itu."Bagaimana kau bisa hanyut dan terpisah dari kelompokmu?""Aku tidak ingat. Mungkin aku terpeleset." Ariza memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing, tak berniat menjelaskan panjang lebar. Hidungnya terasa asam karna kemasukan air."Mari kubantu kembali ke perkemahan," Bayu menyodorkan tangannya. Kali ini dia tidak lagi terus-terusan menunduk.Ariza memandangi tangan itu sebentar sebelum menyambutnya."Terimakasih."Bayu menuntun gadis itu meninggalkan aliran sungai te
"Kau tidak ingin berbelanja?"Lily mengangkat kepala dengan heran, di pojok tangga, Kristo berdiri tenang sambil melontarkan pertanyaan datar itu. "Eh, sudah cukup sehat?" tanya Lily.Kristo melangkah mendekati gadis itu, duduk diatas sofa disampingnya, kemudian melirik buku bacaan di tangan Lily."Sudah cukup baik.""Apa maksud pertanyaanmu tadi?""Berbelanja. Kau tentu memiliki banyak kebutuhan." Ucap Kristo datar, bahwa wajahnya tidak menunjukan riak sama sekali."Eh, aku..."Pemuda itu mengeluarkan sesuatu, lalu melemparkannya diatas meja didepan mereka. "Gunakan itu."Lily mengerutkan keningnya sebentar. "Apa kau tidak khawatir memberikan card semacam itu pada orang asing sepertiku?""Mengapa tidak? Aku masih memiliki beberapa sebagai cadangan." jawab Kristo asal, membuat Lily merolling bola matanya. Dasar sombong!"Baik, tapi kau ikut bersamaku." cetus gadis itu, menciptakan kerut didahi cowok tampan disampingnya."Aku sibuk.""Sibuk mengurung diri?"Kristo tak menanggapi. "Per
Ariza tidak pulang ke rumahnya, dia berbelok ke arah lain tanpa sepengetahuan anggota gengnya. Dia terus melajukan mobilnya sampai dia tiba di jalanan sepi, dengan sebuah telaga kecil dan sebuah bangku di tepi telaga. Cukup banyak lampu jalan sehingga keadaan disitu cukup terang.Gadis itu keluar dari mobilnya, menutup pintu dan bersandar disana sambil memandang kilauan air telaga yang ditimpa cahaya lampu, tampak gelap keemasan. Sorot mata Ariza terlalu beku dan minim emosi, namun orang dapat merasakan kegelisahannya. "Apa ini? Mengapa orang-orang itu datang di negeri ini? Apakah mereka belum puas menghancurkanku?" batinnya. Pandangannya berubah sendu. Ketua Poison itu melangkah ke kursi besi, duduk disana sambil merapatkan jaketnya. Udara cukup dingin, namun Ariza tidak terganggu. Dia menghela nafas berkali-kali untuk melonggarkan sesak di dadanya."Malam yang sendu, sepertinya?" sebuah suara memecah kesunyian Ariza. Gadis itu sedikit terkejut, lalu memutar kepala. Pandangannya lan
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak