Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?
"Ada apa Riana?" "Kau Ariza?" tanya Riana setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Saron, dan sang ketua didalam tenda itu. Ariza mengangguk. Mendadak tenggorokannya menjadi kering. Dia membuka tutup botol air mineral pemberian Saron dan meminumnya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Bersikaplah biasa," ujar gadis itu dengan nada tak ingin dibantah. Dia beringsut bangkit. Beberapa peserta perkemahan terlihat menenteng peralatan mandi mereka sambil berjalan menuju danau. "Ingin ke danau?" Saron bertanya. Ariza mengangguk saja. Sebentar kemudian ke tiganya telah tergabung diantara peserta perkemahan yang berbondong-bondong untuk mandi di danau pagi itu. Danau di dalam hutan itu di beri nama Danau Nilamukti, karna airnya yang biru kehijauan. Ariza memilih tempat yang cukup tersendiri, jauh dari hiruk pikuk anak-anak, bersama Saron dan Riana. Mereka mandi dengan santai, air danau itu ternyata sangat dingin dan menyegarkan. Ariza membasahi wajah dan ra
"Kau... disini..." Ariza menggumam serak. Airmata mengalir dari netranya tanpa bisa dicegah. Itu mata yang sangat dirindukannya, tapi wajah itu bukan wajah Sang Pangeran."Sapphire, kau baik-baik saja?" pemuda itu berucap pelan dan lembut,dan sekali lagi menyadarkan Ariza bahwa suara itu bukan suara sang Pangeran.Gadis itu bergerak duduk, menepis lembut tangan pemuda itu perlahan. "Terimakasih, kau menyelamatkan diriku." ucapnya pula. Pemuda itu meraih kacamatanya yang tercampak. Dia adalah Bayu, pemuda culun itu."Bagaimana kau bisa hanyut dan terpisah dari kelompokmu?""Aku tidak ingat. Mungkin aku terpeleset." Ariza memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing, tak berniat menjelaskan panjang lebar. Hidungnya terasa asam karna kemasukan air."Mari kubantu kembali ke perkemahan," Bayu menyodorkan tangannya. Kali ini dia tidak lagi terus-terusan menunduk.Ariza memandangi tangan itu sebentar sebelum menyambutnya."Terimakasih."Bayu menuntun gadis itu meninggalkan aliran sungai te
"Kau tidak ingin berbelanja?"Lily mengangkat kepala dengan heran, di pojok tangga, Kristo berdiri tenang sambil melontarkan pertanyaan datar itu. "Eh, sudah cukup sehat?" tanya Lily.Kristo melangkah mendekati gadis itu, duduk diatas sofa disampingnya, kemudian melirik buku bacaan di tangan Lily."Sudah cukup baik.""Apa maksud pertanyaanmu tadi?""Berbelanja. Kau tentu memiliki banyak kebutuhan." Ucap Kristo datar, bahwa wajahnya tidak menunjukan riak sama sekali."Eh, aku..."Pemuda itu mengeluarkan sesuatu, lalu melemparkannya diatas meja didepan mereka. "Gunakan itu."Lily mengerutkan keningnya sebentar. "Apa kau tidak khawatir memberikan card semacam itu pada orang asing sepertiku?""Mengapa tidak? Aku masih memiliki beberapa sebagai cadangan." jawab Kristo asal, membuat Lily merolling bola matanya. Dasar sombong!"Baik, tapi kau ikut bersamaku." cetus gadis itu, menciptakan kerut didahi cowok tampan disampingnya."Aku sibuk.""Sibuk mengurung diri?"Kristo tak menanggapi. "Per
Ariza tidak pulang ke rumahnya, dia berbelok ke arah lain tanpa sepengetahuan anggota gengnya. Dia terus melajukan mobilnya sampai dia tiba di jalanan sepi, dengan sebuah telaga kecil dan sebuah bangku di tepi telaga. Cukup banyak lampu jalan sehingga keadaan disitu cukup terang.Gadis itu keluar dari mobilnya, menutup pintu dan bersandar disana sambil memandang kilauan air telaga yang ditimpa cahaya lampu, tampak gelap keemasan. Sorot mata Ariza terlalu beku dan minim emosi, namun orang dapat merasakan kegelisahannya. "Apa ini? Mengapa orang-orang itu datang di negeri ini? Apakah mereka belum puas menghancurkanku?" batinnya. Pandangannya berubah sendu. Ketua Poison itu melangkah ke kursi besi, duduk disana sambil merapatkan jaketnya. Udara cukup dingin, namun Ariza tidak terganggu. Dia menghela nafas berkali-kali untuk melonggarkan sesak di dadanya."Malam yang sendu, sepertinya?" sebuah suara memecah kesunyian Ariza. Gadis itu sedikit terkejut, lalu memutar kepala. Pandangannya lan
Sapphire mencuci tangannya didepan wastafel kamar mandi wanita, mengibaskan sekali dan beralih pada bayangan Rose yang terpantul di cermin wastafel. "Aku tahu kau melihatnya, Rose.""Kau benar, Sapphir.""Mengapa gadis itu bisa bersama Kristo?" gumam Sapphire sambil membalik dan menatap Rose berhadap-hadapan."Itu yang ingin kudengar dari Kristo, namun kau buru-buru pergi karna cemburu."Sapphire mengangkat sebelah alisnya, "Kau mengejekku, hm?""Sama sekali tidak ketua. Siapapun yang berhadapan dengan gadis seperti itu pasti akan jengkel.""Kau melihatnya bersama Zarah saat itu. Bukankah aneh jika dia tiba-tiba berada dalam lingkup pergaulan kita?" alih Sapphire. "Ini tidak lucu untuk dikatakan kebetulan.""Bagaimana jika ketua kembali pada Kristo dan menanyakannya?""Berarti aku menjilat ludahku sendiri. Kau dengar yang kukatakan tadi bukan?" gerutu Sapphire."Kau benar-benar jatuh cinta padanya?" tanya Rose dengan lancangnya. Sapphire tersenyum. Entah apa makna senyuman itu. Dia m
Another StoryDua bocah itu berlarian diantara hutan perburuan dengan lincah. Mereka memakai pakaian halus dengan hiasan batu mulia di bahu dan dada.Di tangan bocah lelaki berambut emas pucat itu terdapat busur panah emas bertahtakan permata merah. Tabung panah di bahunya bergerak teratur seiring dengan sosoknya yang aktif berlari. Dibelakangnya, bocah perempuan mengejar dengan pedang tersampir dipunggung. Rambutnya hitam bagai malam, dikuncir tunggal dengan pita sutra. Matanya yang awas dan jeli itu berwarna lazuardi. Bocah lelaki berhenti, kemudian merentang busur dan anak panah, mulai membidik. Diantara pepohonan yang hijau dalam hutan itu, berkelebatlah seekor foran, makhluk yang mirip rusa namun memiliki tanduk melingkar seperti domba.Binatang itu melompat gesit, panah bocah lelaki itu meleset! Geram, sang bocah itu bergerak mengejar. Anak perempuan berambut hitam legam dibelakangnya terus mengejarnya.Mereka berlari beberapa lama, sampai bocah perempuan itu berseru memanggi
Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu berdiri gentar didepan ayahnya dalam gedung kepanglimaan Sofraz yang megah. Ayahnya yang gagah dan tampan dengan mata emas dan rambut berwarna kenari itu memandangnya tajam dari kursi besar miliknya. Ayah Tirza Antara itu memang tampan, namun diikuti raut keras yang membuat siapapun berhati-hati saat bersamanya. Belum lagi mata emas angker dengan pesona anehnya yang membuat orang lain segan memandangnya. Dialah Panglima Utama Kerajaan Sofraz, Antara Dafruz."Kenapa kau hanya diam saja?" suara berat lelaki itu membuat Putrinya, Tirza menjadi semakin gugup. "Mo..mohon maaf, Ayah....""Aku tidak ingin membesarkan pelindung yang tidak berguna." kecam Antara Dafruz dingin. Ucapannya laksana pisau menusuk ulu hati Tirza yang ketakutan. "Aku seringkali bertanya-tanya, mengapa darah pelindung harus jatuh kepadamu. Mengapa bukan pada Davar kakakmu. Padahal dia jauh lebih bertanggungjawab dan lebih membanggakan."Tirza menutup bibirnya rapat-rapat. Dia
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak