....
Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?"Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya.Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudian, masuklah seorang wanita separuh baya bertubuh langsing dengan riasan yang apik. Dia adalah Ibu Sri, guru Sejarah.Ariza melepas earphonenya, melirik pada Zarah yang tadi mengejeknya, kemudian memandang ke arah guru yang baru masuk.Ibu Sri menyapa para siswa dan memulai pelajarannya. Sepanjang pelajaran, semua siswa terlihat menyimak, kecuali Ariza. Gadis itu menatap ke arah jendela, seperti tengah melamun."Sapphire!" suara Ibu Sri menggema dalam ruangan itu. Ariza masih asyik dengan lamunannya. Dia belum menyadari kalau nama pemilik tubuh yang dikendalikannya itu dipanggil oleh sang guru."Sapphire Rajasa!"Gadis itu tersentak. Dia berpaling, menatap sang guru dengan ekspresi bertanya. "Ya?"Ibu Sri yang merasa tidak diperhatikan menjadi sangat jengkel. "Coba jelaskan pengertian Pengakuan de facto dan de yure!"Sunyi sejenak. Zarah tak tahan untuk tidak tersenyum menghina. Dia puas melihat Sapphire dalam keadaan seperti itu. Ibu Sri sudah hendak melontarkan kemarahannya melihat gadis itu diam saja, namun..."De Facto dan De Yure berasal dari bahasa Latin. De Facto berarti pengakuan atas suatu pemerintahan sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Sedangkan De Yure adalah pengakuan atas suatu pemerintahan berdasarkan hukum."Semua siswa di kelas itu memandangnya heran. Ibu Sri jadi terdiam. Dia memang sudah menjelaskan dua pengertian itu barusan, namun dia ingat betul belum memberi tahu kalau ke dua istilah itu berasal dari bahasa Latin."Kamu benar." balas sang guru. Dia tidak memiliki alasan lagi untuk marah pada Sapphire, dan kembali melanjutkan pelajarannya. Kali ini Sapphire( Ariza) memilih untuk terus menatap wajah sang guru, dan bersikap mendengarkan penjelasannya.***Bel istrahat ke tiga berbunyi. Guru Sejarah itu melangkah keluar. Para murid Sebelas A segera menyusul untuk mencari angin segar. Ariza menyuruh Riana dan Saron meninggalkannya karna kedua gadis itu sepertinya tidak akan beranjak karna dia juga tidak berinisiatif keluar.Riana dan Saron melangkah pergi. Saat itu, tersisa Zarah yang sudah siap meninggalkan bangkunya. Dia melangkah menuju pintu, namun tak disangka satu tarikan keras di bahunya membuat gadis itu terbetot ke belakang, dan kemudian... brakkk!Pintu kelas dibanting tertutup dari dalam. Zarah memandang dengan marah, Ariza tegak merangkap tangan didekat pintu yang sudah tertutup. Tinggal mereka berdua didalam ruangan itu. Entah mengapa Zarah merasa atmosfir di dalam kelas menjadi sangat dingin sehingga tangannya bergetar."Apa maumu?" gadis itu membentak Ariza."Aku tidak pernah menyukai penghinaan.""Kau..."Plakkkk!Zarah terpelintir ke samping, nyaris menabrak meja. Wajahnya berubah pucat dan meringis kesakitan. Dia ditampar!Gerakan Ariza luarbiasa cepat sehingga dia terlambat mengantisipasi."Kau berani memukulku?!" Zarah menatap gadis itu dengan berang. Dia merasa ada sesuatu yang asin di mulutnya. sudut bibirnya robek, merembeskan darah!"Kau dengan seenaknya menggunakan lidahmu untuk melukai perasaan orang, lalu mengapa aku tidak boleh balas melukaimu dengan tanganku? Percayalah, sebenarnya lidahmu itu lebih menyakitkan dari tanganku." ucap Ariza dengan kalem. Wajahnya nyaris tanpa emosi. Sulit dipercaya tamparan maut begitu berasal darinya."Lain kali," kata Ariza, " Jaga lidahmu, agar anggota tubuhmu yang lain tidak menerima dampak yang menyakitkan."Zarah melotot, tak bisa membalas. Ariza melayangkan senyum mengejek sebelum membuka pintu kelas lebar-lebar dan melenggang pergi.Sekujur tubuh Zarah bergetar penuh emosi. Dia segera mengambil kapasdari tasnya dan mengusap darah disudut bibir. Tamparan itu pasti akan menghasilkan memar yang hanya akan hilang dalam beberapa hari.Dia tidak mungkin mengadu pada guru dan membuat dirinya harus di sidang bersama Sapphire di ruang kesiswaan. Semua jajaran guru dan siswa tahu betul karakter Sapphire (atau Arizq) yang tidak akan bertindak jika tidak diusik. Jika Zarah melapor, sama saja dia mempermalukan dirinya sendiri yang akan di nilai mencari gara-gara dengan Sapphire!Ariza melenggang tenang menuju parkiran bersama dua ajudan setianya. Bel pulang telah berbunyi nyaring lima menit yang lalu."Kalian duluan saja," gadis itu bertitah pada Saron dan Riana. "Aku akan singgah sebentar di warung martabak Mbok Mirna." lanjutnya. Ariza memang sangat menyukai martabak."Kami bisa menunggumu." ucap Saron."Aku tidak suka ditunggu-tunggu seperti itu.""Ariza..." Riana menelan luda keberatan."Kalian tahu aku kan? Aku jauh lebih pandai ilmu bela diri daripada Sapphire...""Namun kita tidak pernah tahu kapan Sapphire mengambil alih tubuhmu. Kalau terjadi apa-apa di jalan?" Riana masih bersikeras."Sapphire tidak pernah muncul saat aku sedang sadar penuh." tandas Ariza. "Tenang saja." suaranya sedikit melunak.Riana dan Saron tak bisa berbuat banyak. Mereka akhirnya menyerah dan masuk ke dalam mobil. Rose sebenarnya ingin mendekati Ariza untuk menjabarkan hasil penyelidikannya mengenai Zarah. Namun dia cukup tahu diri untuk tidak mendekati sang ketua di lingkungan sekolah.Sementara itu, Riana dan Saron sudah mulai berkendara dalam mobil yang sama, melesat mulus keluar dari pekarangan sekolah. Saron yang menyetir.Beberapa menit berlalu dan keheningan dipecah oleh suara Saron. "Aku masih tidak mengerti, apa memang Sapphire mengidap kepribadian ganda?"Diantara mereka berdua, Riana memang jauh lebih mengenal Sapphire. Dia sudah berteman dengan Sapphire semenjak gadis itu berusia 8 tahun. Saron baru muncul di kehidupan Sapphire saat gadis itu berusia 15 tahun, memenuhi permintaan ayahnya untuk menjadi pengawal pribadi putri diplomat itu bersama Riana."Ini kepribadian ganda dalam kasus berbeda," tanggap Riana. "Aku berteman dengannya semenjak kecil. Sapphire seorang gadis yang kurang kasih sayang. Ibu yang amat dicintainya meninggal saat dia baru menjelang dua belas tahun. Ayahnya sangat sibuk, dan jarang sekali bertemu dengan dirinya. Dia tumbuh tanpa kasih sayang, dan sempat mengalami depresi hebat karna kematian ibunya. Dia bahkan sering melukai tangannya dengan silet apabila sedang depresi. Ibu dan saudara tirinya amat dingin dan kaku. Dan pada akhirnya, kepribadian lain yang lebih kuat itu muncul saat dia berusia 13 tahun.""Berarti kepribadian lain itu baru bersamanya semenjak 4 tahun lalu?""Ya. Tetapi setelah aku mempelajarinya, tidak ada kasus kepribadian ganda seperti dirinya. Sapphire dan kepribadian Ariza saling berbagi ingatan. Meskipun kita membuat perjanjian dengan Ariza, pada waktu berikut ketika kita bertemu dengan Sapphire, dia tetap mengingat perjanjian itu. Mereka seperti memiliki pikiran yang sama, dengan jiwa yang berbeda. Sedangkan dalam kasus DID, ketika kepribadian lain bangkit, pribadi satunya tertidur dan tidak akan tahu apa yang terjadi. Memori pribadi ganda dari penderita DID Tidak berkaitan. itu sangat berbeda dengan kasus Sapphire ini. Pada akhirnya, alih-alih menyebut sebagai kepribadian ganda, aku lebih suka menyebut dia satu tubuh yang didiami dua jiwa." jelas Riana."Ariza dan Sapphire. Jadi siapa pemilik tubuh yang asli?""Sapphire. Bukankah sudah jelas?" Riana memutar bola matanya, sedangkan Saron terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. "Selain kita dan Kristo, apa ada orang lain yang tahu keadaan itu?"Riana menggeleng. "Bahkan ayahnya pun tidak."***Ariza melaju tenang dengan kecepatan sedang. Dia sudah berkendara sejauh 500 meter dari Persada Bangsa. 500 meter lagi dia akan sampai di warung Mbok Mirna. Gadis ini menambah kecepatan kendaraannya.Saat itu tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam menyalip dan menghadang jalannya. Ariza tersentak kaget, dia membelokan kemudi menghindari tabrakan secara spontan. Gadis itu berakhir di pagar pembatas jalan, jatuh dan terguling bersama sepeda motornya.Semua terjadi begitu cepat, dua sosok lelaki kekar keluar dari mobil dan segera mengangkat tubuh Ariza yang pingsan masuk ke dalam mobil, dan kemudian alat transportasi itu pun melaju pergi dengan kecepatan kilat. Ketika orang-orang disekitar situ menyadari apa yang terjadi, mobil hitam itu telah lenyap di kelokan jalan, meninggalkan sepeda motor sport milik Ariza yang berkelukuran!***"Mengapa dia belum tiba juga?" Riana berdiri menghadap gerbang rumah besar keluarga Sapphire itu dengan khawatir. Saron sudah lebih dulu masuk.Firasatnya yang peka terus-terusan meneriakkan hal buruk di kepalanya. Gadis cantik yang merupakan pengawal pribadi Sapphire itu mengeluarkan handphonenya dan mengecek keberadaan gadis itu lewat pelacak yang memang mereka pasang di handphone sang putri diplomat dengan seizinnya.Kening Riana mengerut. Lokasi yang ditampilkan map nya menunjukkan kalau Ariza tidak dalam perjalanan pulang, namun melaju jauh ke Selatan."Ada masalah?" Saron muncul di belakangnya, dia belum sempat berganti pakaian."Ada yang tidak beres, Ariza tidak menuju kemari," Riana mulai berspekulasi dalam benaknya. Dia segera memberi isyarat pada Saron. Mereka berganti pakaian kurang dari 30 detik, Ketika mereka kembali ke garasi, keduanya sudah mengenakan jeans hitam, sepatu, dan jaket hoodie. Saron dan Riana segera melaju keluar dari halaman rumah dengan mengendarai sepeda motor sport masing-masing.Mereka melaju dengan cepat menuju tempat yang ditunjukan dalam aplikasi pelacak di handphone masing-masing.Satu jam kemudian mereka tiba di kompleks perumahan elit di daerah Selatan. Sampai disini, petunjuk keberadaan Safira itu mati.Riana dan Saron berhenti, lalu saling pandang."Ada orang yang sengaja mematikannya. Ariza tidak pernah merahasiakan keberadaannya. Gadis itu dalam bahaya..." Riana bergumam."Kita harus menemukannya." kecam Saron. Hebatnya, dua gadis itu tidak menunjukkan kepanikan mereka dan tetap bersikap tenang. Itu memang adalah salah satu aturan yang diterapkan ketika mereka masih dalam masa pelatihan. Tetap bersikap tenang dalam situasi kacau, agar pikiran tetap jernih dalam menganalisis keadaan dan mencari jalan pemecahan. Saron dan Riana memang sudah dilatih orangtua masing-masing untuk menjadi seorang pengawal pribadi semenjak berusia 10 tahun.Tiba-tiba sebuah mobil lewat didepan mereka, dua gadis bermata tajam itu saling lirik. Mereka mengenali orang yang berada di kursi penumpang, namun tampaknya orang itu tidak mengenali mereka. Mungkin karna penampilan Saron dan Riana yang sangat berbeda, lagipula dia juga tidak menyempatkan diri menoleh ke arah dua ajudan Sapphire itu.Mobil tersebut berhenti didepan sebuah rumah yang bagus, satpam membukakan gerbang. Mobil itu perlahan masuk ke dalam. Orang di kursi penumpang bergerak turun, melangkah masuk ke dalam rumah."Zarah Alexa..." Riana bergumam pelan.***Sapphire merasa kepalanya pening sekali. Sekujur tubuhnya terasa sakit dan ada beberapa bagian tubuhnya yang lecet.Dia membuka matanya dan perlahan-lahan mulai menatap sekeliling. Dia berada disebuah ruangan suram, penuh barang-barang bekas dan sangat kotor. Tikus-tikus mencicit berlarian di sudut tempat itu.Sapphire berusaha menggerakkan tangannya, dan detik itu juga dia menyadari kedua tangannya diikat kebelakang dengan tambang, ujung tambang itu dililitkan pada tiang yang disandarinya tadi."Ariza... Karna keras kepalamu, aku yang menanggung akibat!" gerutu Sapphire yang sekarang memegang kendali atas tubuhnya. Dia berusaha melepaskan diri, namun dia tidak dapat melakukan apapun. Ikatan itu sangat kuat. "Sial." Sapphire merutuk.Pintu ruangan terbuka, membawa cahaya matahari dari luar, membuat Sapphire yakin bangunan ini bukan ruangan dalam sebuah rumah, namun sebuah bangunan sendiri. Mungkin gudang.Kedua mata yang dilapisi softlens hitam itu menyipit, ketika tiga orang melangkah masuk, satu diantaranya segera menutup pintu dari dalam.Orang paling depan sepertinya adalah seorang perempuan. Dari bentuk tubuhnya Sapphire tahu dia masih sangat muda. Perempuan itu memakai jaket hoodie yang menutupi kepalanya, dia juga memakai masker hitam tebal yang menyamarkan wajahnya.Dibelakangnya berdiri dua orang pria kekar yang bersikap sebagai bodyguard.Gadis itu berjongkok didepan Sapphire yang duduk terikat. Sepasang dibalik masker hitam itu tampak lembut, namun terkesan mematikan. Dia menatap wajah Sapphire dalam-dalam."Itu memang.... kamu." gumamnya, nyaris tak terdengar."Siapa kau?" tanya Sapphire penuh tuntutan.Gadis itu berdecak sinis. "Kau tidak perlu tahu siapa diriku. Aku hanya ingin kau memberikan sesuatu untukku.""Apa maksudmu?""NILAKANDI." kata gadis bermasker pelan mendesis."Aku tidak memiliki benda semacam itu!" jawab Sapphire."Sekarang kau sudah pintar berbohong rupanya. Aku bertanya-tanya mengapa kau bisa selemah ini? Apakah kekuatan internalmu memang sudah hilang, Putri?"Sapphire mengerutkan keningnya tidak mengerti. Putri? Siapa Putri?Dia mulai curiga gadis didepannya telah salah menculik orang."Namaku Sapphire, bukan Putri." tandas Sapphire sambil menatap tajam sepasang mata kecoklatan gadis didepannya."Kau bisa merubah nama seribu kali, namun aku tidak akan bisa ditipu. Meskipun kau berusaha menyamarkan warna matamu, kau tetap kau!"Gadis itu menjambak rambut panjang dan lurus milik Sapphire. "Jawab pertanyaanku! Dimana kau menyembunyikan benda itu?!"Sapphire tersenyum miring. "Dasar gila!"Plakk!!Satu tamparan melayang. Sudut bibir Sapphire mengeluarkan darah. "Kau akan menyesali ini, perempuan sinting." Ketua Poison itu menampilkan seringai."Keangkuhan yang masih sama." Mata lawannya menyipit. Gadis bermasker itu memencet kedua pipi Sapphire dengan tangan kanannya. "Tidak tahukah kamu bahwa hidup matimu ada ditanganku sekarang?" dia melepaskan tangannya dengan kasar."Benarkah? Apa dirimu sudah menyamai Tuhan?"Gadis bermasker itu tertawa. "Tidak masalah jika kau belum membuka mulut, Tirza. Aku akan datang lagi dengan siksaan yang lebih parah lagi...""Kau sudah hendak pergi? Bahkan ini belum seberapa!" Sapphire menantang sambil tertawa pahit. "Kau perempuan gila yang aneh!""Tutup mulutmu!" Gadis bermata coklat itu melayangkan tangannya untuk kedua kali.Plakk! Tamparan itu sangat keras, sehingga kepala Sapphire terbentur ke tiang. Gadis itu pingsan tanpa mengerang sedikitpun."Tidak kusangka kau selemah ini. Dimana kekuatan dan keperkasaanmu dulu, heh?" suara gadis bermasker itu mendengus memburu, menahan luapan emosinya yang belum sepenuhnya terlampiaskan."Jaga gudang ini!" titahnya pada dua bodyguard itu sambil melangkah pergi. Dua lelaki kekar itu membungkuk, ikut keluar, mereka berjaga-jaga didepan pintu.***" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi. Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya. "Hallo." "Ada apa?" "Kau sudah mulai mengawasi dia?" "Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..." "Bisa kau kesini sekarang?" "Rumah Sapphire?" "Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu." "Untuk apa?" "Aku akan menjelaskannya nanti." klik. Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya. "Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah. "Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling." "Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang." "Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"
"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s
Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."
Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah
Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?
"Ada apa Riana?" "Kau Ariza?" tanya Riana setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Saron, dan sang ketua didalam tenda itu. Ariza mengangguk. Mendadak tenggorokannya menjadi kering. Dia membuka tutup botol air mineral pemberian Saron dan meminumnya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Bersikaplah biasa," ujar gadis itu dengan nada tak ingin dibantah. Dia beringsut bangkit. Beberapa peserta perkemahan terlihat menenteng peralatan mandi mereka sambil berjalan menuju danau. "Ingin ke danau?" Saron bertanya. Ariza mengangguk saja. Sebentar kemudian ke tiganya telah tergabung diantara peserta perkemahan yang berbondong-bondong untuk mandi di danau pagi itu. Danau di dalam hutan itu di beri nama Danau Nilamukti, karna airnya yang biru kehijauan. Ariza memilih tempat yang cukup tersendiri, jauh dari hiruk pikuk anak-anak, bersama Saron dan Riana. Mereka mandi dengan santai, air danau itu ternyata sangat dingin dan menyegarkan. Ariza membasahi wajah dan ra
"Kau... disini..." Ariza menggumam serak. Airmata mengalir dari netranya tanpa bisa dicegah. Itu mata yang sangat dirindukannya, tapi wajah itu bukan wajah Sang Pangeran."Sapphire, kau baik-baik saja?" pemuda itu berucap pelan dan lembut,dan sekali lagi menyadarkan Ariza bahwa suara itu bukan suara sang Pangeran.Gadis itu bergerak duduk, menepis lembut tangan pemuda itu perlahan. "Terimakasih, kau menyelamatkan diriku." ucapnya pula. Pemuda itu meraih kacamatanya yang tercampak. Dia adalah Bayu, pemuda culun itu."Bagaimana kau bisa hanyut dan terpisah dari kelompokmu?""Aku tidak ingat. Mungkin aku terpeleset." Ariza memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing, tak berniat menjelaskan panjang lebar. Hidungnya terasa asam karna kemasukan air."Mari kubantu kembali ke perkemahan," Bayu menyodorkan tangannya. Kali ini dia tidak lagi terus-terusan menunduk.Ariza memandangi tangan itu sebentar sebelum menyambutnya."Terimakasih."Bayu menuntun gadis itu meninggalkan aliran sungai te
"Kau tidak ingin berbelanja?"Lily mengangkat kepala dengan heran, di pojok tangga, Kristo berdiri tenang sambil melontarkan pertanyaan datar itu. "Eh, sudah cukup sehat?" tanya Lily.Kristo melangkah mendekati gadis itu, duduk diatas sofa disampingnya, kemudian melirik buku bacaan di tangan Lily."Sudah cukup baik.""Apa maksud pertanyaanmu tadi?""Berbelanja. Kau tentu memiliki banyak kebutuhan." Ucap Kristo datar, bahwa wajahnya tidak menunjukan riak sama sekali."Eh, aku..."Pemuda itu mengeluarkan sesuatu, lalu melemparkannya diatas meja didepan mereka. "Gunakan itu."Lily mengerutkan keningnya sebentar. "Apa kau tidak khawatir memberikan card semacam itu pada orang asing sepertiku?""Mengapa tidak? Aku masih memiliki beberapa sebagai cadangan." jawab Kristo asal, membuat Lily merolling bola matanya. Dasar sombong!"Baik, tapi kau ikut bersamaku." cetus gadis itu, menciptakan kerut didahi cowok tampan disampingnya."Aku sibuk.""Sibuk mengurung diri?"Kristo tak menanggapi. "Per
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak