Home / Pernikahan / BALADA SANG MANDARA / POISON AND BLACK DIAMOND

Share

POISON AND BLACK DIAMOND

Author: Igamurti Ndekano
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pemuda tampan itu tegak diatas balkon rumah mewah bernuansa klasik tersebut sambil memandang ke arah taman. Kegelapan malam yang mulai turun tampak bersanding eksotis dengan gemerlap lampu taman di bawah sana. 

Dibelakangnya, seorang cowok bermata coklat menunduk khidmat.

"Dia bertindak secara luarbiasa, diluar perintahku." kata pemuda didepannya. Dia membalik. Pencahayaan yang suram menimpa sosoknya yang tinggi sempurna, sepasang matanya bagai manik bintang yang penuh wibawa, memancarkan kekuatan dan ketenangan dalam waktu bersamaan.

Meski dia memakai pakaian santai biasa, namun setiap orang akan merasakan aura seorang raja menguar dari dalam dirinya, padahal usianya masih sangat belia.

"Harap Yang Mulia tidak marah." Si mata coklat merapatkan telapak tangannya diatas kening, khas hamba sahaya jaman dahulu menghadap rajanya.

"Putri mengkhawatirkan Yang Mulia."

"Dia benar. Setelah Rose masuk ke Poison, kau memang harus masuk ke Persada Bangsa untuk menggantikan perannya. Meski kurasa, peran itu tidak akan terlalu berguna untuk sekarang."

Pemuda bermata coklat merasa sedikit tenang. "Terimakasih Yang Mulia. Semoga hamba bisa melakukannya dengan baik."

"Sepertinya kau tertarik pada gadis berkacamata itu..." Pemuda yang dipanggil Yang Mulia itu tersenyum samar.

"Hamba mana berani berpikir macam-macam diluar tugas, Yang Mulia..."

"Tidak apa. Anggap saja sebagai hiburan, asal tidak lupa tugas utama..."

"Yang Mulia..." sang 'hamba' menelan ludah. Rajanya itu tertawa lebar. "Aku hanya bercanda, Chandra. Kau mungkin bisa menebar pesona dan menyukai seorang gadis, namun dirimu harus berhati-hati agar tidak terpeleset dengan minyak yang kau taburkan sendiri."

"Hamba tidak berani bermain-main, Yang Mulia. Hamba mengajak Dwi berkenalan karna... karna..."

"Agar bisa memudahkan tugasmu?"

"Be...benar, Yang Mulia."

"Baiklah, tapi kau harus bisa pandai-pandai memainkan peran. Jangan membuat gadis itu terbawa perasaan, karna biar bagaimanapun, setelah ini semua selesai, kau harus meninggalkan negeri ini dan juga orang-orangnya..."

"Hamba mengerti..."

"Kau boleh pergi."

"Terimakasih, Yang Mulia." Chandra undur diri.

Kini tinggallah sang Raja yang kembali menatapi bintang dari balkon rumahnya. Dikatakan seorang raja sebenarnya agak menggelikan karna dia tidak memakai baju kebesaran ataupun mahkota. Pakaiannya kaos oblong dam celana santai. Walau memang tak dapat dipungkiri, cahaya matanya memantulkan aura seorang pemimpin.

"Putri ...." gumamnya sambil memandang bintang. "Apakah aku memang harus belajar menerimamu?"

Dan pikirannya tiba-tiba melayang pada sosok lain. Seorang gadis yang tersenyum memandangnya di tengah kancah peperangan. Pemuda itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Semoga Penguasa Langit membantuku menguak teka-teki ini."

***

Rose mengecek handphonenya ketika sebuah notifikasi WA-nya berbunyi. Nama pengirimnya jelas dan singkat. "Saron."

Dengan berusaha melupakan kepenasarannya mengapa Saron bisa memiliki nomor WA-nya, gadis itu membaca alamat yang baru dikirimkan.

"Pukul 7 malam," gumam Rose melihat keterangan waktu yang juga dikirimkan Saron. Dia melirik kaos dan jaket putih berlambangkan gambar berlian hitam di atas tempat tidurnya. Itu adalah isi bungkusan yang diberikan Riana di sekolah.

"Poison? Mengapa bukan Black Diamond saja? Aneh." Rose menyipitkan matanya, mencari sinkronisasi antara nama geng itu dan lambangnya. Sepertinya dia gagal karna berakhir dengan menggeleng-gelengkan kepala. "Racun. Berlian. Apa maksudnya?"

Rose melirik jam. Dua jam lagi dia harus tiba disana. Gadis berambut coklat ini memutuskan untuk bersiap-siap dari sekarang.

Satu jam kemudian, gadis itu telah keluar dari kamarnya sambil mengenakan kaos berlapis jaket Poison serta jeans hitam dan sepatu kets berwarna putih. Rambut coklatnya digerai lepas. Dia memang cantik, meski memang belum dapat menandingi kecantikan 01 Persada Bangsa, Sapphire.

"Kamu mau pergi?"

Seorang lelaki separuh baya memandangnya dari sofa ruang tamu yang luas dan didominasi warna-warna terang itu.

"Ya,"jawab Rose singkat. "Ini untuk kepentingan misi, Paman."

Lelaki itu tersenyum. "Sudah pamit?" katanya sambil mengarahkan kepala ke arah tangga loteng.

Rose mengangguk cepat. "Ya. Aku berangkat."

Rose menaiki sepeda motor sport miliknya dan melesat keluar dari pintu gerbang dan melaju menuju alamat yang dikirimkan Saron.

Lewat setengah jam berkendara, gadis itu tiba di alamat yang dikirimkan. Gadis ini memarkir motornya, dan mengecek pesan WA Saron.

"Di rumah?" Rose mengangkat mata mengamati sebuah rumah besar yang berhalaman luas, dilindungi dengan pagar besi yang rapat. Halamannya teduh, ditumbuhi pohon-pohon akasia yang terpangkas rapi. Dia segera mengirim pesan pada Saron.

"Aku sudah sampai."

Hanya 3 detik, pesannya itu langsung ditandai dua centang berwarna biru.

Tak lama kemudian, seorang lelaki berseragam satpam membuka pintu gerbang yang megah itu.

"Nona Rose?" dia disapa. Rose mengangguk.

"Silakan masukkan kendaraan Anda di garasi." terang si satpam.

Rose menurut. Motornya dimasukkan ke dalam gerbang, terus menuju garasi rumah yang luas dan tampak sudah dipenuhi sepeda motor berbagai merk.

Ketika dia turun dari motornya, seorang gadis mendekatinya. Rose melepas helm dan memandang orang itu.

Itu Saron. Rambut curlynya dikuncir, membuat karakter wajahnya yang cantik semakin menonjol. Dia  memakai kaos  senada dengan Rose. di bagian belakang kaos putih polosnya terlihat lambang Poison, Berlian berwarna hitam.

"Selamat datang." Saron menjabat tangannya, membuat Rose mengernyit samar. Apa harus seresmi itu?

Saron tertawa.  Dia dapat menduga apa yang dipikirkan Rose."Itu bentuk ucapan selamat personal bagi Anggota baru," jelasnya, disambut anggukan pelan Rose.

"Ini rumahmu?"

"Bukan."

"Lalu?"

Saron menggerakkan kepalanya. "Ikutlah. Anak-anak sudah menunggu."

Rose tidak mendapat jawaban, dan pada akhirnya memilih menurut saja. Mereka masuk melalui pintu utama yang dijaga 2 orang pria kekar berseragam hitam. Ruang tamunya sangat luas,  berdinding putih bersih, dengan lantai dilapisi karpet berwarna merah tua. Tampak sebuah tangga  memanjang menuju lantai dua rumah itu. Saron membawanya meniti tangga, dan pada akhirnya tibalah mereka di ruang tamu lantai dua yang sama luasnya dengan lantai satu. Ada sekitar 10 orang remaja  lelaki, sedang duduk dan bersantai disana. Ada yang sedang bermain game play station, duduk makan cemilan, main gitar bahkan main catur! Semuanya memakai kaos putih berlambang berlian hitam.

Ketika Saron datang bersama Rose, semua anggota Poison berpaling memandangnya. Mereka rata-rata laki-laki. Hanya Riana dan Sapphire yang perempuan.

"Selamat datang," Rose berpaling begitu mendengar suara itu. Sapphire melangkah mendekatinya. Gadis itu mengulurkan tangan, yang dengan tenang disambut oleh Rose.

"Kawan-kawan," Sapphire meminta perhatian kawan-kawannya. "Ini Rose Adiratna, dia adalah anggota baru di Poison."

Para cowok yang rata-rata berwajah cuek namun menarik itu melambaikan tangan. Kemudian Mereka gantian menyalami Rose. Salah seorang dari mereka, tampaknya masih diam di sofa sambil menggenggam gitarnya. Dia baru bergerak ketika Sapphire memanggilnya penuh penekanan, "Kristo?"

Cowok itu bangkit, lalu mendekati Rose. Pemuda ini memiliki tubuh yang tinggi dan proporsional. Ditengah para cowok ganteng itu pun dia tetap terlihat special. Rambutnya dipotong dengan gaya terkini, wajahnya tampan dengan sepasang mata hitam dalam bagaikan mutiara dari samudra tak berdasar.

"Kristopher," sebutnya sambil menggenggam tangan Rose sekilas. Lalu dia kembali ke sofa. Rose di persilahkan duduk oleh Sapphire.

"Mereka adalah anggota luar Poison," kata Sapphire. Riana melirik wajah tersenyum ketuanya itu. Sapphire dan  Safira memang sangat berbeda dalam pembawaan dan sikap.

"Anggota inti adalah Riana, Kristo, Saron, dan aku sebagai Ketua. Jika kau ingin bertanya atau butuh sesuatu, kau bisa menghubungi mereka bertiga."

Rose mengangguk.

"Aku ingin bicara berdua denganmu." Kristo buka suara sambil memandang Sapphire. Gadis itu mengernyit. Namun akhirnya mengangguk.

Dia mengikuti Kristo, menuju balkon lantai dua yang jauh dari keramaian anak-anak Poison. Tak lupa Sapphire memberi kode lewat mata pada Riana. Gadis itu mengangguk singkat.

Ketika Kristo dan Sapphire menjauh, Riana segera mengambil alih pembicaraan dengan Rose.

"Perlu kau tahu," Suara Riana tenang, dan datar. "Setiap anggota yang baru masuk harus menjalankan sebuah misi yang diberikan padanya. Dan misi itu harus dilakukan seorang diri."

"Apa ini semacam syarat?" Rose bertanya, disambut anggukan mantap Riana. Sementara Saron memilih diam diantara mereka sambil menyantap cemilan.

"Aku akan memberikan sebuah nama dan petunjuk singkat mengenai seseorang. Dan kau harus mengumpulkan semua data tentangnya, bahkan sampai hal yang paling detail. Kau juga akan disuruh mengawasi gerak-geriknya dan melapor padaku."

"Padamu? Mengapa bukan pada Sapphire?"

Saron menghentikan makannya, dia melirik Riana yang tetap memasang wajah datar mendengar pertanyaan itu.

"Rose, kau tidak boleh lupa bahwa Riana adalah orang kepercayaan Sapphire yang paling utama." tanggap Saron. "Ini," gadis itu menyerahkan secarik kertas yang dicomotnya dari atas meja.

"Apa ini?"

"Peraturan dalam Poison, kau harus membacanya." jelas Saron.

Rose menerimanya dan melipatnya dengan cepat. "Aku akan membacanya nanti. Sekarang, bisa kau berikan nama orang yang harus ku selidiki?"

"Kau memang bernyali lumayan." Seorang cowok berkomentar begitu mendengar kalimat terakhir Rose. Namanya Rino. Dia tersenyum sinis, kemudian segera berlalu ketika Riana melempar lirikan tajam.

"Zarah Alexa. Persada Bangsa, Sebelas A." jawab Riana tegas. "Awasi gerak-geriknya dari sekarang, kumpulkan semua data tentang kehidupan pribadinya, kau harus menyetornya selambat-lambatnya 4 hari dari sekarang."

"Baik." Rose berucap mantap.

Sementara itu, di balkon rumah, Kristo sedang memandangi Sapphire dengan pandangan bertanya. "Kau serius menerimanya sebagai anggota?" tanya Kristo.

"Apa aku terlihat bercanda?" Sapphire mengangkat alis. "Bagaimana kalau dia seorang musuh yang disusupkan  ke Poison?"

"Kau berlebihan."

Kristo menarik nafas. Diamatinya wajah cantik gadis itu. "Apa Ariza tahu tentang ini?"

"Dia yang menerima Rose sebelumnya! Apa kau puas?"

Kristo mendapat sentuhan maut dalam kalimat itu. Dia tersenyum tipis. "Maafkan aku kalau begitu."

"Kau meragukanku, bukan? Jika saat ini Ariza yang sedang berhadapan denganmu, tentu kau tidak akan bertanya. Bukan begitu?"

"Kau marah padaku?" Kristo meraih tangan gadis yang dicintainya itu.

Sapphire mendengus tipis.  Dilepaskannya tangan Kristo dengan sentakan lembut. "Aku balik kesana." ucapnya sambil melangkah pergi. Kristo mengikuti dibelakangnya.

Sapphire duduk di sofa ukuran satu orang, berhadapan dengan Rose di seberang meja. Kristo duduk disamping Riana.

"Riana sudah memberitahu misi pertamamu?" tanya Sapphire.

"Iya,"

"Keanggotaanmu di rahasiakan, di sekolah pun kau tidak boleh memancing kecurigaan orang. Kau mengerti?"

Rose tersenyum untuk pertama kalinya. "Aku mengerti."

"Satu lagi, kau harus tahu bahwa disini, pengkhianatan adalah pelanggaran yang paling parah. Dan aku tidak akan mengampuni seorang pengkhianat." Sapphire menampilkan smirk jahat. Riana dan Saron saling lirik. Barusan mereka sepertinya merasakan aura Ariza yang kejam, meski mereka yakin yang berhadapan dengan mereka ini masih Sapphire, bukan Ariza.

Kesunyian yang tidak enak menggantung beberapa lama, kemudian dipecah kembali oleh suara Sapphire. "Santailah. Yang perlu kau dan kita semua ingat..." katanya ditujukan pada Rose dengan nada yang lebih ramah,"...Loyalitas. Dimanapun kita berada, utamanya dalam organisasi ataupun pekerjaan, sikap loyal harus dijunjung tinggi. Kau yang meminta masuk ke Poison, sekarang apa kau menyesal?"

"Tidak sama sekali." Rose menggeleng. Sementara hatinya masih bertanya-tanya apa maksud kata 'tidak akan mengampuni' itu. Dihabisi? Bukankah pembunuhan adalah tindakan yang sangat serius dan kejahatan yang paling berbahaya?

"Bagus." tanggap Sapphire pendek.

"Aku menyukai tantangan. Ini adalah duniaku." Rose membunyikan jari-jari tangannya.

Saron tersenyum lebar, Sapphire juga. Hanya Riana dan Kristo yang terus berekspresi dingin. Kristo memang berpembawaan kaku. Senyumnya hanya muncul saat dia  berdua dengan Sapphire.

***

Keadaan mendadak sepi ketika seluruh anggota Poison berpamitan. Hanya Riana dan Saron yang tetap tinggal, karna memang tugas mereka adalah menjaga Sapphire. Selain mereka, ada 8 bodyguard pilihan dan 8 orang pelayan di rumah itu. Rumah besar berlantai dua itu adalah rumah Sapphire.

Saron dan Riana adalah putri dari dua pengawal pribadi kepercayaan Ayah Sapphire, Adi Rajasa, yang sekarang berdiam di Australia.

Adi Rajasa adalah seorang diplomat yang telah berkeliling dunia dan tinggal di beberapa negara. Dia sangat jarang kembali ke Indonesia, kalaupun kembali itu hanya untuk urusan yang urgent.

Sapphire telah terbiasa dari kecil hidup sendirian. Ketika baru berusia 12 tahun, ibunya meninggal dan dia mengalami depresi hebat. Dia bahkan sering melukai dirinya sendiri. Sapphire  meminta ayahnya untuk tidak menikah lagi karna gadis kecil itu terintimidasi dengan penggambaran kejam seorang ibu tiri di sinetron-sinetron Indonesia.

Namun pada akhirnya, sang Ayah menikah lagi dengan Gina, seorang perempuan beranak satu dari kalangan darah biru. Sayangnya wanita ini terlalu dingin untuk mengganti peran Ibunya. Mereka bahkan tidak pernah bercakap-cakap setelah pernikahan Gina dan ayahnya.   Adi Rajasa pun sangat sibuk dengan tugasnya sehingga dia tidak lagi sempat memperhatikan Sapphire yang masih membutuhkan kasih sayangnya.

Saphire kecil tumbuh dalam gersangnya kasih sayang. Ketika ayahnya mengajak dia untuk ikut ke berbagai belahan dunia, gadis itu menolak mentah-mentah, dan lebih memilih tinggal. Ibu dan saudara tirinya-Ajeng- ikut ayahnya ke Australia dan berdomisili disana selama  masa tugas Adi Rajasa, dan tinggalah Sapphire bersama para pelayan dan bodyguard yang dipekerjakan sang Ayah.

Setelah Saron dan Riana pamit ke kamar mereka, Sapphire berganti pakaian dengan piyama , melepas softlens dan naik ke pembaringannya. Dia berniat untuk istirahat, namun kepalanya mendadak sakit dan rasa kantuk lenyap begitu saja. Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, wajahnya terasa panas sekali. Gadis ini membuka laci meja di samping tempat tidur Dia berusaha menjangkau sebuah benda, namun baru saja jarinya menyentuh benda itu, Sapphire jatuh pingsan!

Ketika dia  membuka mata, Sapphire mendapati dirinya sedang berada ditempat yang asing. Di tengah-tengah sebuah taman yang cantik, keadaan di tempat itu sangat indah dengan warna yang terang dan segar. Gadis ini merasa rileks. Dia melangkah ke telaga jernih di tengah taman, bermaksud menyegarkan tubuhnya.

Sapphire membungkuk, hendak menciduk air. Tapi gerakannya tertahan. Dia melihat bayangan seseorang terpantul dari telaga jernih.  Bayangan seseorang yang berdiri dibelakangnya. Gadis itu berpaling.

"Hai, Sapphire." sapa sosok itu sambil tersenyum.

Mata Sapphire melebar. "Kau..." dia merasa tenggorokannya kering. Didepannya tampak sosok seorang gadis berpakaian biru, berambut hitam dan setengah dijalin setengah digerai . Gadis itu mirip dengannya, baik bentuk tubuh dan garis muka. Satu-satunya perbedaan terletak pada warna mata mereka. Sapphire memiliki warna mata hitam, sedang gadis didepannya bermata biru seperti permata nilakandi.

"Si...siapa kau?"

"Benarkah kau tidak mengenaliku? Padahal kita berbagi tubuh selama ini." jawab si gadis mata biru tenang sekali.

Sapphire tersurut. "Kau Ariza?"

Gadis didepannya tersenyum. "Ya, aku Ariza. Itu namaku saat meminjam tubuhmu."

Sapphire speechless. Dia tercengang.

"Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih. Kita berbagi ingatan dan pikiran meski salah satu jiwa tidak memegang kendali. Aku tahu ini tidak mengenakkan bagimu."

"Aku memang tidak suka tubuhku dikuasai dua jiwa." Sapphire berucap setelah bisa mengendalikan keterkejutannya. "Namun akhirnya aku terbiasa dengan kehadiranmu. Kau banyak membuat perubahan yang berdampak baik bagiku."

Ariza tersenyum manis. Tiba-tiba muncul kilauan sinar biru yang semakin lama semakin silau, dan menelan sosoknya. Ketika cahaya itu memudar, gadis itu mendapati dirinya berada di dalam kamarnya, tengah menggenggam sebuah batu nilakandi, yang tadi disentuhnya dari dalam laci.

"Sapphire..." desisnya. "Maafkan aku mengambil alih tubuhmu lagi. Ini semua diluar kuasaku." gumamnya. Dan memang, jiwa yang kini memegang kendali atas tubuh Sapphire adalah jiwa Ariza.

***

Siang itu ketika jam istrahat kedua, Bayu melangkah menuju kelas Sebelas A sambil membawa sebuah buku, dengan kepala ditundukkan. Ketika tiba disana, dia sesaat menjadi ragu didepan pintu. Tetapi akhirnya pemuda berkacamata itu melangkah masuk dan mengangkat kepala sedikit mengedarkan pandang. Sebelas A sepi, para siswa sedang beristrahat di luar kelas. Hanya ada satu orang disana, yang asyik memasang earphone-nya dan membuka-buka sebuah buku. Dia tidak lain adalah Sapphire dalam kepribadian Ariza.

Bayu mendekat sambil menunduk. Ariza yang masih menatap buku, mengangkat muka. Wajahnya yang datar tampak berkerut melihat penampakan Bayu di depannya.

Pemuda itu menyodorkan buku yang dibawanya.

"Aku sudah membacanya, kau bisa meminjamnya sekarang. Maaf kalau waktu itu kita saling bermusuhan gara-gara buku ini." kata Bayu tak berani mengangkat mata.

Ariza menurunkan earphone dari telinganya. Raut wajahnya tanpa ekspresi ketika dia menyahut. "Tidak perlu. Aku sudah membeli sendiri." katanya datar. Bayu tertegun sejenak. dia menarik buku itu lagi.

"Maaf kalau begitu."

Ariza diam saja. Raut wajahnya tidak terlihat marah ataupun jengkel. Lurus dan monoton.

"Kau memaafkanku?" pemuda culun itu bertanya pelan.

"Memangnya apa kesalahanmu?"

Bayu terdiam. "Buku ini..."

"Hanya sebuah buku? Lalu apa masalahnya?" Ariza bangkit, berdiri didepan cowok culun yang selalu menunduk itu.

"Aku berterimakasih."

Alis si cantik dingin didepan Bayu terangkat mendengar ucapan itu. "Untuk apa?"

"Kau sudah menolongku dari Rubby dan teman-temannya..."

"Rose yang menolongmu, jangan lupa itu."

"Kau juga turut membantuku."

"Terserah padamu. Waktu itu aku hanya menonton, tidak menolong."

***

Related chapters

  • BALADA SANG MANDARA   PENCULIKAN

    ....Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?" Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya. Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudi

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   TIRZA ANTARA

    " Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi. Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya. "Hallo." "Ada apa?" "Kau sudah mulai mengawasi dia?" "Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..." "Bisa kau kesini sekarang?" "Rumah Sapphire?" "Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu." "Untuk apa?" "Aku akan menjelaskannya nanti." klik. Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya. "Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah. "Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling." "Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang." "Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   TANTANGAN DAN PERTOLONGAN

    "Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   LILY

    Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   ANCAMAN

    Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   MEMORI MASA LALU

    Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   PEMUDA BERMATA HAZEL

    "Ada apa Riana?" "Kau Ariza?" tanya Riana setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Saron, dan sang ketua didalam tenda itu. Ariza mengangguk. Mendadak tenggorokannya menjadi kering. Dia membuka tutup botol air mineral pemberian Saron dan meminumnya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Bersikaplah biasa," ujar gadis itu dengan nada tak ingin dibantah. Dia beringsut bangkit. Beberapa peserta perkemahan terlihat menenteng peralatan mandi mereka sambil berjalan menuju danau. "Ingin ke danau?" Saron bertanya. Ariza mengangguk saja. Sebentar kemudian ke tiganya telah tergabung diantara peserta perkemahan yang berbondong-bondong untuk mandi di danau pagi itu. Danau di dalam hutan itu di beri nama Danau Nilamukti, karna airnya yang biru kehijauan. Ariza memilih tempat yang cukup tersendiri, jauh dari hiruk pikuk anak-anak, bersama Saron dan Riana. Mereka mandi dengan santai, air danau itu ternyata sangat dingin dan menyegarkan. Ariza membasahi wajah dan ra

    Last Updated : 2024-10-29
  • BALADA SANG MANDARA   SANG PENYELAMAT

    "Kau... disini..." Ariza menggumam serak. Airmata mengalir dari netranya tanpa bisa dicegah. Itu mata yang sangat dirindukannya, tapi wajah itu bukan wajah Sang Pangeran."Sapphire, kau baik-baik saja?" pemuda itu berucap pelan dan lembut,dan sekali lagi menyadarkan Ariza bahwa suara itu bukan suara sang Pangeran.Gadis itu bergerak duduk, menepis lembut tangan pemuda itu perlahan. "Terimakasih, kau menyelamatkan diriku." ucapnya pula. Pemuda itu meraih kacamatanya yang tercampak. Dia adalah Bayu, pemuda culun itu."Bagaimana kau bisa hanyut dan terpisah dari kelompokmu?""Aku tidak ingat. Mungkin aku terpeleset." Ariza memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing, tak berniat menjelaskan panjang lebar. Hidungnya terasa asam karna kemasukan air."Mari kubantu kembali ke perkemahan," Bayu menyodorkan tangannya. Kali ini dia tidak lagi terus-terusan menunduk.Ariza memandangi tangan itu sebentar sebelum menyambutnya."Terimakasih."Bayu menuntun gadis itu meninggalkan aliran sungai te

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • BALADA SANG MANDARA   TAMAT

    Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta

  • BALADA SANG MANDARA   MAAF

    Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange

  • BALADA SANG MANDARA   SEBUAH PENGAKUAN

    Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem

  • BALADA SANG MANDARA   HUKUMAN MATI

    Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri

  • BALADA SANG MANDARA   MEMBUKA PORTAL

    Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d

  • BALADA SANG MANDARA   PURI PANDARA

    Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat

  • BALADA SANG MANDARA   BUKAN MANDARA

    "Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn

  • BALADA SANG MANDARA   SADAR KEMBALI

    Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra

  • BALADA SANG MANDARA   SIRVARADES MEVZANA NILAVARA

    "Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak

DMCA.com Protection Status