Daniah masih berdiri menunggu didepan gerbang sekolah. SMA Persada Bangsa sudah mulai sepi. Gadis berkacamata tipis itu celingak-celinguk, namun kendaraan jemputannya belum juga tiba. Sambil memasang wajah masam, dia berpaling ke halaman sekolah dan terkejut melihat sosok Bayu melangkah keluar gerbang.
"Bayu!" Daniah segera mendekat. Matanya membeliak melihat penampilan cowok itu yang berantakan dan belepotan lumpur."Kacamatamu mana?" tanya Daniah. Cowok itu mengangkat kepalanya, namun dia tidak memandang Daniah. Tanpa menjawab, Bayu mengeluarkan handphonenya, lalu menelpon seseorang."Roy, dimana?" tanyanya begitu tersambung."....""Aku menunggumu di gerbang."Bayu mematikan handphonenya, lalu berpaling pada Daniah. Gadis itu tertegun. Shit! Tanpa kacamata, wajahnya benar-benar tampan! Mata hazelnya kayak shining! O my God!"Kenapa kau belum pulang?" pertanyaan Bayu menyentakan gadis itu dari keterpukauan-nya."Ada sedikit masalah. Mungkin jemputanku masih setengah jam lagi." jawab Daniah tak lepas-lepas memandangi wajah pemuda itu.Bayu merasa kurang nyaman dipandangi seperti itu. Dia membuang muka ke samping. "Kenapa memandangku seperti itu?""Habis kau tampan sekali! Kenapa musti pakai kacamata sih?!" jawab Daniah blak-blakan.Bayu menggeleng. "Aku minus, Daniah. Makanya aku pakai kacamata!""Sepertinya kau lebih baik tanpa kacamata, Bay." Daniah terkikik geli."Sudahlah!" Bayu menghentikan pembahasan itu, bertepatan saat sebuah lamborghini hitam mendekat dan berhenti didepan mereka. Bayu membuka pintu mobil. Dia terdiam sesaat, kemudian memandang Daniah."Mau nebeng?" tawarnya."Boleh?" Mata dibalik kacamata tipis itu berkilau penuh harap.Bayu tak menjawab, terus masuk ke dalam mobil. Daniah melompat masuk diiringi tawa cerianya."Antar gadis ini dulu, Roy. Dimana alamatmu?" Bayu berpaling pada Daniah yang diam-diam memperhatikan sopir Bayu itu. Dia seorang pemuda, mengenakan seragam serba hitam."Daniah?" Bayu memanggilnya."Eh...apa?""Alamatmu dimana?"Daniah segera menyebut alamatnya. Sopir mobil itu melirik Daniah sebentar dan tersenyum tipis.O my God! Ganteng juga! Gadis itu rasanya mau jingkrak-jingkrak saat itu juga."Sepertinya kau harus cepat-cepat punya pacar, Daniah." Bayu menyindir."Eh, kenapa?" gadis itu berpaling menatap Bayu yang menunduk memperhatikan handphonenya."Supaya matamu bisa lebih di kontrol," ucap Bayu santai, tak peduli dengan tatapan melotot gadis disampingnya. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang.Terdengar suara notifikasi handphone. Daniah melirik Bayu yang sedang menerima panggilan masuk."Hallo...""..........""Menurutmu?""...............""Perbaiki lain kali."Klik. Pembicaraan diputus sepihak oleh Bayu."Siapa, Bay?""Seorang teman." jawab pemuda itu pendek."Kacamatamu dicuri siapa?""Trio Bandit.""Aku... turut prihatin.""Lupakan."Daniah melirik pemuda disampingnya. Entah mengapa dia merasakan ada sebuah hal yang janggal."Dimana rumah Nona?" tanya Roy begitu mereka memasuki kompleks perumahan yang disebut Daniah tadi."Nomor 30, cat biru."Mobil melaju lambat, dan akhirnya berhenti didepan sebuah rumah besar bercat biru, terlindung dengan pagar besi setinggi orang dewasa."Ini?" tanya Bayu.Daniah mengangguk. "Terimakasih Bay." ucap sang dara yang dibalas senyum tipis Bayu. Daniah bergerak turun dari mobil. Lamborghini hitam itupun berputar kembali. Si gadis masih tegak beberapa lama, dipinggir jalan."Mengapa Bayu terlihat sangat berbeda? Disekolah dia penakut dan culun. Tapi tadi..." Daniah mengerutkan kening. Dia merasa aura dan pembawaan Bayu tadi sangat berbeda dari biasanya. Gadis itu mengangkat bahu dan segera melangkah ke arah gerbang pagar besi rumahnya.***Kamis pagi, Rose melangkah masuk ke kelas 11 A untuk meletakkan tasnya. Dia bermaksud keluar kelas karna bosan, namun niatnya terhenti ketika pandangannya membentur sesosok tubuh dipintu kelas.Sepasang mata yang dilapisi softlens hitam itu melebar."Kau?"Orang yang bersandar didepan pintu itu melangkah mendekati Rose. Dia seorang cowok tinggi, berparas tampan, berambut dan bermata coklat."Aku ingin bicara denganmu.""Kenapa kau bisa ada disini?" Rose melirik seragam Persada Bangsa yang dipakai cowok itu."Ikut aku." Cowok itu membalik, Rose segera mengikuti. Dia membawa Rose di taman sekolah yang sedang sepi, di belakang gedung lab fisika."Kau berhasil?" tanya cowok berambut coklat itu, sambil melirik Rose. Gadis cantik itu menarik nafas sebentar. "Ya. Dia menerimaku.""Kerja yang cukup bagus. Tapi aku disini untuk menggantikanmu.""What?" Rose mengerutkan keningnya. "Atas dasar apa kau menggantikanku?""Kau akan masuk ke Poison. Kau tidak bisa mengawasinya lagi.""Tapi...""Ini perintah Putri."Rose membelalakkan matanya. "Well, sekarang kau mengabdi padanya?""Perintah ini untuk kebaikan Yang Mulia." jawab cowok tampan itu dengan tenang.Rose mengepalkan tangannya. "Baik," angguknya kemudian. "Tapi ini murni perintah Putri, kan? Bukan karna Yang Mulia marah padaku?""Yang Mulia tidak marah padamu. Memangnya kau melakukan kesalahan apa?"Rose terdiam. "Kau masuk kesini sebagai siswa baru?" tanyanya setelah bungkam beberapa saat."Lebih tepatnya siswa pindahan.""Kau memang sangat pintar merekayasa data...""Bukankah itu memang kemampuan kita?" cowok berambut coklat itu tersenyum. "Aku akan masuk di kelas Sepuluh IPA B.""Mengapa tidak di sepuluh A?""Sayangnya sepuluh A tidak menerima siswa pindahan.""Baiklah. Sekarang, tugas itu adalah tanggungjawabmu. Btw, siapa nama barumu di negeri ini?""Supiyah."Rose membelalakkan mata, mulutnya berkedut, tampak jelas dia berusaha menahan tawa. "Kau serius?" gadis itu menahan semburan tawanya yang sudah diujung tenggorokan. Membayangkan seorang cowok tampan, tinggi dan berambut coklat bernama Supiyah, sungguh sesuatu yang absurd!"Tentu saja tidak. Aku hanya bercanda, karna kulihat uratmu terlalu tegang. Aku memakai nama asliku.""Chandra?"Cowok itu mengangguk. "Sebaiknya kau kembali, aku berfirasat Sapphire akan menemuimu.""Sapphire atau Ariza?""Bukankah sama saja?""Tidak. Mereka dua pribadi yang berbeda.""Sapphire yang akan menemuimu."****Rose kembali ke kelasnya, dan mendapati Sapphire sudah tiba dan duduk di bangkunya. Riana dan Saron berada didekatnya.Sapphire melontarkan senyum tipis ke arah Rose. Gadis berambut coklat itu sesaat kebingungan. Benar kata Chandra, yang dihadapinya sekarang adalah Sapphire, bukan Ariza.Riana mendekati Rose. Tangannya menyodorkan sebuah bungkusan."Apa ini?""Tanda resmi bahwa kau telah menjadi bagian dari Poison." Sapphire berdiri dan mendekatinya. Saat itu situasi kelas sedang sepi. Semua siswa berada diluar, dan kebanyakan masih dalam perjalanan menuju sekolah. Ini memang masih sangat pagi."Aku mengundangmu nanti malam, untuk peresmian anggota. Nanti Saron yang akan memberitahu alamatnya."Rose mengangguk, matanya melirik Saron yang tersenyum memandangnya. Rose memperhatikan raut wajah Sapphire sebentar. Raut wajah cantiknya terlihat segar, ceria dan hidup. Berbeda sekali dengan raut yang biasa ditampilkan oleh Ariza. Satu-satunya yang sama dengan pembawaan Ariza adalah caranya memandang orang. Tajam sekali."Aku akan datang." Rose mengangguk, dan tanpa sadar membungkuk pada Ketua Poison itu. Riana mengangkat alis, saling lirik dengan Saron, mereka sedikit heran dengan gerak naluriah Rose. Rose seperti sudah terbiasa melakukannya."Jangan bersikap begitu. Di Poison semuanya sama. Tidak ada penghormatan berlebihan. Aku bukan seorang putri." kata Sapphire tenang, dibumbui senyum lebar.Ucapan terakhir Sapphire entah mengapa sedikit menyentakan hati Rose. "Maaf kalo begitu, Sapphire.""Aku tunggu kedatanganmu malam nanti.""Tentu."Sapphire melangkah keluar kelas, entah mau kemana. Riana sigap mengikuti. Hanya Saron yang tinggal. Gadis berambut curly dan ramah itu menghampiri Rose."Alamatnya akan kukirim ke WA-mu.""Baik." Eh, darimana dia dapat nomor WA-ku?Rose belum sempat bertanya, karna Saron telah melangkah pergi.***Sapphire, gadis cantik berambut hitam lepas itu berdiri didepan cermin wastafel-dalam toilet-sekolah dan memperhatikan wajahnya. Dia menyodorkan muka ke depan dan menyentuh kulit pipinya yang kenyal."Kuharap saja kau tidak akan membuatku cepat tua dengan ekspresi kakumu, Ariza." gumamnya sambil tersenyum.Saat itu, seseorang masuk ke dalam toilet. Sapphire melirik lewat pantulan kaca. Seorang gadis manis, berkulit kuning dan berambut pendek sebahu. Wajahnya sangat oriental. Sapphire ingat namanya Zarah. Gadis itu pernah tampil dalam pentas sekolah sebagai vokalis band. Dia dari kelas Sebelas A juga.Zarah mencuci tangannya, dan mengeluarkan bedak padat dari saku, memperbaiki riasannya.Sapphire bergegas mencuci tangan dan bermaksud keluar."Bagaimana rasanya?"Sapphire terhenti, dia memandang Zarah sebentar, ingin memastikan ucapan itu diperuntukan pada siapa. Awalnya dia berpikir gadis itu sedang berbicara lewat telpon menggunakan earphone.Namun Zarah sedang menatapnya lewat cermin didepan mereka."Maaf?" tanyà Sapphire dengan alis berkerut.Gadis itu berputar, menghadap ke arah Sapphire sambil merangkapkan tangannya didepan dada. Tak seperti siswa lain yang mengelak beradu pandang dengan Sapphire, Zarah justru dengan berani menatap mata gadis didepannya."Ternyata kau lebih lentur dari yang kuduga." Zarah terus berceloteh, membuat kerutan di kening Sapphire bertambah dalam. "Apa maksudmu?""Kukira seorang Sapphire yang disebut-sebut sebagai makhluk es tidak akan mau berbicara denganku.""Bisakah kau bicara tanpa berbelit-belit?" Sapphire masih tegak disana dengan sabar."Well, bagaimana rasanya menjadi orang yang dipuja dan disegani? Bagaimana rasanya menjadi... seorang pembantai?" Zarah jelas-jelas menekankan sarkasme dalam ucapannya.Raut wajah Sapphire sesaat tidak dapat terbaca. Hanya sebentar, mulutnya kemudian membentuk senyum. Dia merangkap tangannya lalu mencondongkan sedikit tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari Zarah, "Kau ingin tahu?""Aku hanya ingin tahu bagaimana bisa ada gadis tak berhati sepertimu..." Zarah semakin tak terkendali. Wajahnya menampilkan raut jijik yang luarbiasa."Daripada memusingkan seorang gadis tak berhati, lebih baik kau berpikir apakah hidupmu akan baik-baik saja setelah berani menyulut api disini ..." suara Sapphire tenang sekali."Kau pikir aku takut padamu?""Itu bukan urusanku. Kau telah memilih jalanmu saat kau berani menegurku disini.""Kau benar-benar tak berhati. Kau itu...monster!" Zarah berapi-api."Aku tak butuh penilaianmu." Sapphire hendak membalik pergi, namun Zarah masih belum mengakhirinya. "Kau bukan manusia! Jangan kira aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan di balik softlens hitam itu, kau monster!"Sapphire tersengat samar. "Aku rasa tidak apa-apa menjadi monster, asalkan aku tidak pernah merusak hidup orang-orang baik. Daripada..." Dia tersenyum sambil menyugar rambutnya yang panjang."Menjadi seorang munafik berkedok manusia, yang telah menghancurkan kehidupan orang-orang tak bersalah yang tak pernah mengusik kehidupannya."Ketua Poison yang dituding sebagai monster itu tersenyum sinis, "Aku mungkin monster. Namun aku tidak munafik dan aku adalah orang yang sangat realistis. Aku hanya bergerak saat merasa diganggu. Dan aku hanya menghancurkan mereka yang pantas dihancurkan! Aku tidak tahu siapa kamu, apa latar belakangmu dengan semua ucapan-ucapan ini. Kalau kau berani merugikanku, kau tahu apa yang akan aku lakukan."Sapphire melenggang pergi dengan ringan, meninggalkan Zarah yang menggigit bibirnya penuh geram."Suatu saat nanti kau akan hancur, Sapphire! Hancur!" dia mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, sampai kuku tangannya terasa melukai telapaknya. Sorot matanya bersinar penuh dendam.Sapphire sendiri tidak tahu apapun mengenai Zarah, kecuali namanya. Namun dia tidak kaget, sepak terjangnya selama ini tentu menuai banyak musuh, baik itu yang terang-terangan, ataupun terselubung. Dan mungkin Zarah, termasuk diantaranya. Dan itu adalah resiko yang harus dihadapinya.Riana dapat membaca raut tak biasa di wajah Sapphire ketika gadis itu kembali dari toilet. Sang 'pengawal' merasa tenggorokannya mendadak sepat ketika dia mengeluarkan kalimat sama berulang kali."Ada masalah?""Zarah, Sebelas A." Sapphire berhenti sejenak. "Awasi dan cari tahu tentang dia.""Make down?"Sapphire menggeleng. "Belum saatnya.""Baik." Riana mengangguk. Dia tahu akan mengutus siapa dalam tugas ini.***Daniah berjalan menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya, dia mengajak Bayu, namun cowok itu belum berniat mengembalikan buku sekarang. Dia masih asyik menyelesaikan bacaannya dan berjanji menyusul sebentar lagi. Gadis itu menyetor bukunya dan segera mengisi daftar keterangan peminjam untuk mengonfirmasi dirinya sudah memulangkan buku pinjamannya.Daniah siap melangkah keluar, namun matanya yang jeli itu menangkap sesosok tubuh tinggi yang sedang bersandar pada sebuah rak, memegang sebuah buku dan tersenyum segar ke arahnya. Si kacamata tipis balas tersenyum. Sosok itu adalah seorang cowok tampan berambut coklat. Daniah terpesona dengan ketampanannya, meski dia mengakui Bayu masih 'sedikit unggul' dibanding rambut coklat ini. Cowok ini memiliki aura ceria yang bersahabat, mungkin itulah yang membuat dia lebih shining."Hai," tanpa disangka si tampan itu menyapanya.Daniah menoleh ke belakang. Tidak ada orang lain. Bu Linda juga sedang ke kantor mengikuti rapat, jadi di ruangan itu hanya ada mereka berdua."Kau menyapaku?" tanya gadis berkacamata itu ragu.Cowok itu tertawa. Dia menyimpan buku itu kembali pada rak dan mendekat."Chandra," si rambut coklat ini mengulurkan tangan. "Kamu?"Daniah tertegun. Wow. Sangat jarang ada cowok ganteng minta kenalan dengannya.Gadis itu menyambuti tangan Chandra dengan semangat. "Dwi Daniah Fransiska. Panggil saja Daniah.""Sepertinya aku akan lebih suka memanggilmu Dwi." Chandra tersenyum lebar. Daniah makin meleleh!"Kenapa?""Biar kesannya beda dengan yang lain.""Oh ya?" Daniah menyengir, "Terserah kamu saja. Dari kelas berapa? Kayaknya aku baru melihatmu...""Aku dari Sepuluh B, baru pindah hari ini.""Kenapa bisa pindah?"Chandra mengerutkan keningnya samar. "Kebetulan, keluargaku juga harus pindah didaerah sini."Daniah ber-oh pendek. Diliriknya rak yang tadi disandari Chandra."Suka cerita fiksi ya?""Hm," Chandra mengangkat bahu. "Terkadang apa yang dianggap fiksi dan fantasi benar-benar ada,""Contohnya?"Chandra berpura-pura memasang pose berpikir. "Mungkin tentang sebuah negeri antah berantah yang berada dalam portal?" cowok itu tertawa. Daniah tersenyum. "Sekalian saja, jini oh jini dalam rumah kerangnya..."Chandra terkikik geli. "Kau lucu juga ya." "Kau orang pertama yang mengatakan itu...""Benarkah?" Chandra membulatkan matanya. "Kalau begitu aku memecah rekor MURI dalam kategorimu.""Berlebihan." Daniah tak tahan untuk tersenyum. Selagi mereka bercakap-cakap, Bayu masuk ke ruangan itu sambil membawa salah satu buku yang dipinjamnya kemarin. Dia tidak menghiraukan Chandra dan Daniah, terus ke rak, mengembalikan buku, dan mengisi keterangan dalam daftar peminjam."Dia temanku, mari kukenalkan." Daniah menarik tangan Bayu. Chandra tersenyum, dia mengulurkan tangannya."Chandra.""Bayu." Cowok yang sudah memakai kacamata baru itu mendongak sebentar lalu menunduk lagi."Ehm.. Apa kalian sudah makan? Kurasa jam kosong masih cukup panjang karna guru sedang rapat. Mau ke kantin?""Sepertinya tid...""Tentu saja." Daniah berucap cepat sebelum Bayu menyelesaikan kalimatnya.Chandra tersenyum. "Tenang, aku yang bayar!" ujarnya sambil melirik Bayu yang tak berdaya diseret oleh Daniah.***Pemuda tampan itu tegak diatas balkon rumah mewah bernuansa klasik tersebut sambil memandang ke arah taman. Kegelapan malam yang mulai turun tampak bersanding eksotis dengan gemerlap lampu taman di bawah sana. Dibelakangnya, seorang cowok bermata coklat menunduk khidmat."Dia bertindak secara luarbiasa, diluar perintahku." kata pemuda didepannya. Dia membalik. Pencahayaan yang suram menimpa sosoknya yang tinggi sempurna, sepasang matanya bagai manik bintang yang penuh wibawa, memancarkan kekuatan dan ketenangan dalam waktu bersamaan.Meski dia memakai pakaian santai biasa, namun setiap orang akan merasakan aura seorang raja menguar dari dalam dirinya, padahal usianya masih sangat belia."Harap Yang Mulia tidak marah." Si mata coklat merapatkan telapak tangannya diatas kening, khas hamba sahaya jaman dahulu menghadap rajanya."Putri mengkhawatirkan Yang Mulia.""Dia benar. Setelah Rose masuk ke Poison, kau memang harus masuk ke Persada Bangsa untuk menggantikan perannya. Meski kurasa,
....Bayu tersenyum. "Tetap aku berterimakasih,""Siapa namamu?" Pemuda culun itu tertegun sejenak. Apa gadis populer itu sedang menanyakan namanya?"Ba...Bayu. Namaku Bayu.""Well, Bayu. Aku tidak menolongmu, dan aku tidak membutuhkan buku itu lagi. Jelas?"Bayu mengangguk. Kemudian dia mundur perlahan. Diiringi tatapan datar Ariza, pemuda itu memasang punggungnya dan berlalu.Gadis cantik yang selalu mengenakan softlens hitam itu duduk kembali di bangkunya dan kembali memasang earphone. Dia terus asyik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari kalau saat itu ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan memperhatikan dirinya."Dasar gadis aneh."Terdengar decak sinis.Ariza mendengar kalimat itu dengan jelas meski dirinya tengah memakai earphone. Namun dia tidak terusik, terus tenggelam dengan buku yang dibacanya. Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi nyaring. Para siswa kembali ke dalam kelas masing-masing. Begitu pula dengan penghuni kelas Sebelas IPA A.Tak lama kemudi
" Aku akan menghubungi Rose," Saron bersuara. Dia dan Riana masih setia mengawasi rumah Zarah yang terlihat sepi. Tanpa menunggu tanggapan Riana, Saron langsung menelpon orang yang disebutnya. "Hallo." "Ada apa?" "Kau sudah mulai mengawasi dia?" "Ya. Aku sudah mendapatkan beberapa informasi..." "Bisa kau kesini sekarang?" "Rumah Sapphire?" "Bukan. Rumah Zarah. Kau sudah tahu tentu." "Untuk apa?" "Aku akan menjelaskannya nanti." klik. Saron mengakhiri panggilannya. Hampir setengah jam mereka menunggu, dan Rose pun muncul dengan sepeda motor sport miliknya. "Ada apa?" tanyanya begitu mendapati Riana dan Saron disuatu tempat tidak jauh dari rumah Zarah. "Laporanmu." ucap Saron tanpa tedeng aling-aling." "Zarah Alexa, lahir 23 Juli 2003. Dia memiliki seorang saudara kembar laki-laki. Orangtuanya adalah Pembisnis sibuk. Di rumah itu dia tinggal bersama saudara kembarnya itu. Orangtuanya jarang pulang." "Hanya itu?" Saron mengangkat alisnya. "Siapa nama saudara kembarnya?"
"Jadi Zarah itu kembaran Zeilo?" Ariza memastikan sambil memandang Rose yang duduk didepannya. Sore itu cuaca cukup baik, anggota inti Poison masih belum pulang. Di samping Ariza duduk Kristo, memasang wajah datar. Sedang Saron dan Riana duduk tak jauh dari mereka.Rose mengangguk. "Ya, Sapphire."Ariza berdecak pelan. "Pantas saja dia begitu membenciku, ternyata dia sakit hati dengan kekalahan saudaranya..."Gadis itu teringat beberapa bulan yang lalu, saat dia membubarkan sebuah geng motor yang dikepalai Zeilo Alexandro. Dia menantang cowok itu duel dengan taruhan yang kalah akan membubarkan gengnya. Dan hasilnya, you know lah. Zeilo kalah, dia kehilangan muka. Padahal awalnya dia sudah memandang remeh gadis cantik yang mengetuai Poison itu."Apa kau tahu apa rencana Zarah dengan ini semua?""Sejauh ini dia belum tampak mencurigakan." jawab Rose. Keadaan di ruang tamu yang luas itu mendadak sepi."Awasi dia terus." titah Ariza setelah beberapa lama diam. Dari lantai satu, tampak s
Pemuda tampan itu tersenyum menatap dua orang yang duduk dihadapannya. Dua orang muda yang sama-sama berambut dan bermata coklat, hanya yang satu cewek dan yang satu cowok. "Jadi..." pemuda tampan itu memperbaiki duduknya sambil memandang ke arah yang lelaki. "Siapa prioritasmu sekarang, Chandra?" Si cowok mata coklat menelan ludahnya. "Maafkan hamba, Yang Mulia...." Pemuda beraura pemimpin itu mengangkat tangannya. "Aku dapat memahami keadaan yang terjadi. Kau tidak perlu meminta maaf..." "Namun hamba bertindak diluar perintah...." "Apakah membasmi kebatilan harus menunggu perintah dulu? Kebenaran tidak diatur. Dia bergerak dengan caranya sendiri." Chandra menunduk dengan hati lega. Sang Raja tersenyum dan berpaling pada gadis disamping Chandra. "Adirani, adakah yang hendak kau sampaikan?" Gadis yang dipanggil Adirani mempertemukan dua telapak tangannya didepan kening lalu menjawab. "Yang Mulia, hamba mohon petunjuk agar tidak salah melangkah dalam menjalankan tugas ini."
Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah
Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?
"Ada apa Riana?" "Kau Ariza?" tanya Riana setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Saron, dan sang ketua didalam tenda itu. Ariza mengangguk. Mendadak tenggorokannya menjadi kering. Dia membuka tutup botol air mineral pemberian Saron dan meminumnya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Bersikaplah biasa," ujar gadis itu dengan nada tak ingin dibantah. Dia beringsut bangkit. Beberapa peserta perkemahan terlihat menenteng peralatan mandi mereka sambil berjalan menuju danau. "Ingin ke danau?" Saron bertanya. Ariza mengangguk saja. Sebentar kemudian ke tiganya telah tergabung diantara peserta perkemahan yang berbondong-bondong untuk mandi di danau pagi itu. Danau di dalam hutan itu di beri nama Danau Nilamukti, karna airnya yang biru kehijauan. Ariza memilih tempat yang cukup tersendiri, jauh dari hiruk pikuk anak-anak, bersama Saron dan Riana. Mereka mandi dengan santai, air danau itu ternyata sangat dingin dan menyegarkan. Ariza membasahi wajah dan ra
Putri Tirza Antara, berjalan dengan wajah tersenyum menemui Pangeran Avdar. Gadis itu terlihat penuh dengan aura bangsawannya yang murni, anggun dalam pakaian putri dengan kerah tunggi dan jubah menjuntai biru di hiasi batu permata halus."Kau sudah kembali," Pangeran bermata hitam itu membalas senyum Tirza, meraih tangan gadis itu dan membimbingnya duduk di pendopo gedung putra mahkota."Semuanya berjalan dengan baik,""Aku sudah mendengarnya, dan aku turut bahagia untukmu, Tirza." Sang Pangeran menghela napas sebentar, lalu menatap Tirza dengan pandangan yang penuh damba sekaligus tak percaya, "Kau kembali padaku, sesuai janjimu." ujarnya.Tirza mengangguk. "Seorang ksatria harus memegang janjinya.""Apakah dengan ini kau bersedia..." Pangeran Avdar menggantung kalimatnya, menatap dengan lekat sepasang mata biru indah gadis di hadapannya lalu melanjutkan dengan hati -hati,"Apa kau bersedia untuk menikah denganku?"Tirza tak langsung menjawab pertanyaan penuh harap itu. Gadis itu ta
Keadaan kerajaan menjadi terkendali. Frazia Farza di jebloskan ke dalam penjara untuk menerima penghukuman besok. Semua bangsawan di perintahkan sang ratu untuk kembali ke kediaman masing-masing. Termasuk keluarga Bazlam yang kini di awasi oleh kesatria ksatria Sofraz, padahal kediaman mereka berada satu lingkungan dalam istana."Bagaimana kau bisa melepaskan diri?" tanya Angin saat di ruang pengadilan itu yang tersisa tinggalah dia, sang ratu, Tirza Antara dan kakaknya Davar Antara."Davar membantu hamba dengan Nilakandi Adavara. Dengan permata itu juga Davar menyembuhkan Ratu bersama dengan guru." jawab Tirza yang sudah mendengar penjelasan singkat kakaknya tadi ketika Pangeran tengah bertarung dengan Jelaba."Dimana guru sekarang?" tanya Angin."Guru Amba telah kembali, Yang Mulia. Dia percaya Yang Mulia dan Tirza dapat menyelesaikan ini.""Aku sudah lama tidak menjenguknya." Angin mengucapkannya dengan penuh sesal. Dia melihat pada sang ibu yang tersenyum lembut padanya, sang pange
Meski tahu, hukuman yang paling berat yang akan dilemparkan adalah hukuman mati, Tirza tetap merasakan sakit yang nyeri didadaya ketika dia mendengar Angin Nava Satra menjatuhkan hukuman itu. Pandangan gadis itu kosong.Angin Nava Satra merasa dadanya sesak, dia menahan diri untuk tidak jatuh saat itu. Tangannya mengangkat palu emas, siap mengesahkan hukuman."Pangeran."Ada yang memanggil. Angin Nava Satra mengangkat kepalanya yang tertunduk. Dia mengedarkan pandang, dan saat matanya menubruk suatu objek, sang pangeran merasa terhenyak, Ratu Sofraz Agatara Vidma berjalan masuk dari pintu ruang pengadilan diikuti Davar Antara. Sang Ratu masih memakai pakaian tidur putih bersih tanpa atribut bangsawan apapun. Perempuan itu terlihat polos, tapi langkahnya yang anggun tetap menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ratu. Betapapun terkejutnya Pangeran Angin, yang lebih terkejut di sana adalah Frazia Farza Purdam. Lebih lebih para tetua kerajaan yang tidak menyangka bahwa sang ratu akan sem
Saat Angin Nava Satra tiba di balariung istana, rupanya para jajaran petinggi istana telah ada disana, Frazia Farza pun telah turut hadir.Nilam Rencana, Chandrafala dan Adira turut pula bergabung di balariung.Tirza berlutut, sepasang tangannya di buhul oleh rantai Zora. Dia tidak melakukan banyak gerakan, hanya menunduk saja, saat dia mendengar langkah kaki Angin, gadis itu mengangkat kepala, menyaksikan pangeran Sofraz itu berdiri di depannya.Angin Nava Satra sedikit mengernyit ketika melihat Tirza tersenyum ketika memandangnya. "Kau kembali, akhirnya kau kembali." Dia tersenyum dengan lega seolah-olah telah melepaskan beban di dadanya. "Tirza, kau melakukan banyak hal di luar batas. Apakah kau menyadari kesalahanmu?" Angin bertanya."Sebutkan kesalahanku, Yang Mulia. Aku tidak dapat mengetahui mana yang merupakan salahku dan yang bukan." jawabnya dengan berani."Kau menyusup ke Istana Sofraz, bahkan menutup portal dimensi sehingga aku aku tidak bisa secepatnya kembali ke negeri
Bukan hal sulit bagi kedua orang yang sudah mengenal seluk beluk istana Sofraz semenjak mereka kecil, untuk menyusup ke dalam benteng istana.Malam yang gelap membantu Tirza dan Davar yang memakai pakaian malam hitam menyelinap di lorong-lorong menuju gedung kerajaan.Gedung Kerajaan adalah gedung utama dari semua bangunan yang ada dalam benteng istana.Di gedung inilah terdapat Balariung istana, ruang makan kerajaan, penjamuan tamu, dan kamar raja. Hanya saja gedung ini sering kosong karna sang raja telah tiada.Davar membawa Tirza menyusup di taman gedung kerajaan, sesekali mereka merayap untuk menghindari para ksatria yang berjaga.Di taman itu rupanya ada sebuah jalan rahasia yang tertutup dengan rerumputan. Davar meraba-raba, lalu membuka bulatan logam seukuran tubuh orang dewasa yang menempel di dinding penuh rumput. "Masuk,"pintanya.Tirza masuk lebih dulu diikuti Davar yang dengan cepat menutup jalan rahasia itu dengan bulatan logam sebelumnya dari dalam.Saat masuk, Tirza d
Menutup portal hanya bisa dilakukan oleh orang yang membuka portal itu sendiri, Angin Nava Satra. Bagaimana bisa Frazia melakukan itu?"Aku bisa melakukan banyak hal," Seolah tahu apa yang ada di pikiran Tirza Antara, wanita tua yang masih terlihat muda itu bicara."Kau memang berniat mengambil alih tahta..." gumam Tirza, dengan pandangan tak habis pikir.Mendengar itu, Frazia tertawa. "Aku tidak mengambil alih, sejak awal, tahta Sofraz adalah milikku. Jangan menjadi naif.""Kau juga yang menjebakku sehingga aku difitnah sebagai orang yang meracuni Ratu, bukan?"Tanpa ragu, Frazia tertawa dan mengangguk. "Lalu, kamu mau apa? Berteriak mengatakan kalau aku yang meracun Agatara? Tidak akan ada yang mempercayai seorang pengkhianat sepertimu."Tirza sadar akan hal itu, dia tidak bisa menuding Frazia begitu saja. Dia membutuhkan bukti."Aku tidak peduli dengan urusan Fandita," akhirnya gadis itu bicara lagi. "Aku hanya memohon izin untuk bertemu dengan ibuku.""Ibumu?" Frazia mengangkat
"Pergilah bersama Galamav." Pangeran Gag melepas kepergian Tirza. Gadis itu mengenakan pakaian perjalanan sederhana, namun tetapi tak bisa menyembunyikan kecantikannya.Tirza memang menguasai kemampuan teleportasi, namun untuk melakukannya dibutuhkan energi yang besar dan cukup beresiko. Karna itu dia berpikir untuk kembali ke Sofraz jalur udara. Tirza ingin menemui gurunya lebih dulu.Gadis itu tersenyum pada pangeran Gag sebelum Galamav, gagak raksasa itu mengepakkan sayapnya membawa Tirza terbang ke awan."Kita temui Guruku, Galamav."burung itu menguik halus tanda mengerti. Selang beberapa saat kemudian, mereka mulai melintasi langit Sofraz. Galamav sepertinya tahu tempat terakhir dimana Guru Amba berada. Dia mendarat di hutan Pilaz. Hutan yang terletak di barat Sofraz itu adalah salah satu hutan terlarang yang jarang di masuki manusia.Tirza sendiri tahu bahwa hutan ini adalah tempat dimana sang guru lebih banyak bersunyi diri dan bermeditasi semenjak Angin dan Tirza telah purn
Frazia Farza Purdam melangkah memasuki ruang peraduan Ratu Sofraz. Perempuan itu berada dalam keadaan setengah koma, tak dapat bicara dan tak membuka mata. Beberapa saat, Frazia berdiri disana, lalu perlahan senyum tipis muncul di bibirnya."Sudah begitu lama eh? Padahal aku berharap kamu segera mati, Agatara Vidma. Aku menikmati peranku sekarang, semuanya berada dalam kendaliku. Aku tinggal menunggu waktu bagaimana cara menutup portal dimensi agar putramu tidak akan dapat kembali ke sini, dan aku akan berkuasa selamanya..."Perempuan berambut merah itu tertawa kecil, menahan mulutnya dengan tangan. Khawatir kalau para dayang yang berdiri di luar sana dapat menangkap suara tawanya. Frazia melangkah mengelilingi ranjang ratu."Sekarang, Sofraz berada dalam genggamanku. Namun karna para tua tua sialan itu aku terpaksa harus menahan diriku untuk duduk di kursi kebesaran. Padahal selangkah lagi, semuanya akan sempurna." Dia berdecak sinis. Lalu, wanita itu menatap ke arah Agatara Vidma, Ra
"Bukan kamu yang menentukan kepantasan seseorang untuk menjadi ratu,""Ya,"Ariza mengangguk tanpa ragu menyahuti ucapan sang Pangeran. "Tapi aku bebas menilainya.""Aku akan mengampuni perbuatanmu ini," Ucap Angin Nava Satra, berdiri dengan tenang dalam wibawa seorang raja. "Asalkan, kau dengan sukarela menyerahkan Nilakandi Adavara. Aku berjanji, aku tidak akan mengusikmu lagi."Ariza membeku beberapa saat, lalu perlahan -lahan senyum manisnya terbentuk. "Barangkali jika kau lupa, Angin Nava Satra. Kaulah yang mengusirku dari Sofraz. Lalu kenapa sekarang kau bisa melintasi dimensi hanya karna Nilakandi Adavara ada bersamaku?""Ini untuk kesembuhan ibunda." balas Angin Nava Satra. "Bagaimana...." Tirza menarik nafasnya, lalu mengangkat kepala menatap orang yang dicintainya itu. "Jika aku tidak mau?"Angin Nava Satra mengerjab dalam ketenangannya, dia maju satu langkah. Sedangkan Nilam mulai bangkit perlahan dan berusaha melakukan penyembuhan mandiri meski itu memang tidak akan banyak